Analysis Of Problems And Management Strategies Of Old Wells In The Cepu Block (A Case Study Of Petroleum In The Mining Village Of Wonocolo, Bojonegoro)
ANALISIS MASALAH DAN STRATEGI PENGELOLAAN
SUMUR TUA DI BLOK CEPU
STUDI KASUS TAMBANG RAKYAT MINYAK
BUMI DI DESA WONOCOLO KABUPATEN
BOJONEGORO
M A R W O T O
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
(2)
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak
Bumi Di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro) adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Marwoto NRP P052090061
(3)
ABSTRACT
MARWOTO. Analysis Of Problems And Management Strategies Of Old Wells In The Cepu Block (A Case Study Of Petroleum In The Mining Village Of Wonocolo, Bojonegoro) in guided by HARIADI KARTODIHARDJO and IIN ICHWANDI.
Mine people’s is done on older wells often cause problems due to various factors. Failure to manage these factors will cause problems that harm all parties. Policy is an instrument that is expected to serve as guidelines in the management of old wells and stakeholders who are perpetrators of management activities old well in Cepu be an important component in implementation of the management of old wells. Access theory is used to identify who will actually benefit from something and through a process of what they can do.So that access empirically focused on the issue of "who is using what and who is not, in what ways, and when (what conditions)". Important elements in this concept is a natural resource as something that is disputed and power range that affect people's ability to take advantage of the resources. Research results showed that the legality of activities, pollution and illegal treatment due to lack of law enforcement authorities. On the other hand people who feel they have for the existence of old wells that are entitled tothe benefits of natural resources produced on the basis of his ability in the capital, labor and technology. Empowerment of communities around the area of abandoned and oils old wells are not functioning public institutions which is a requirement of legalization of mining exploitation of petroleum in the oils old well is another issue that is not managed by the local government so that the management is not currently for local government gave the benefits and negative impacts can not be in to control. Policy is an instrument that is expected to serve as guidelines in the management of oils old wells and stakeholders who are perpetrators of management activities in Cepu oils old well be an important component in implementation of the management of oils old wells. These two elements are the focus in this study in order to obtain an alternative formulation of appropriate strategies so that the exploitation of oil from oils old wells are economically beneficial to all parties, socially and culturally and ecologically accountable while maintaining environmental sustainability. In the present study also shows that there are different perceptions between stakeholders with applicable regulations.
(4)
iv
RINGKASAN
MARWOTO. Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak Bumi Di desa Wonocolo, Kabupaten bojonegoro) di bimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan IIN ICHWANDI.
Sumur Tua Minyak Bumi di Blok Cepu merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat disekitar lokasi sumur tua tersebut dan merupakan potensi Pendapatan Asli Daerah bagi Pemerintah Daerah kabupaten Bojonegoro. Potensi tersebut harus dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan meminimalkan dampak pencemaran yang terjadi pada proses eksploitasinya.
Peneltian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua dan memberikan rekomendasi kebijakan pengelolaannya dengan mengetahui karakteristik sumberdaya alam minyak bumi, bagaimana masyarakat memperoleh akses terhadap sumberdaya tersebut serta implimentasi kebijakan yang terkait sehingga dapat diketahui permasalahan yang menjadi isu dalam pengelolaan sumur tua.
Data berasal dari observasi lapangan, wawancara mendalam dan data sekunder lain yang terkait serta penelitian yang pernah dilakukan pada kawasan tersebut. Kegiatan pengelolaan digambarkan secara deskriptif, identifikasi
stakeholders dilakukan dengan wawancara mendalam dan rekomendasi
kebijakan digambarkan secara deskriptif berdasarkan hasil olah data observasi dan wawancara mendalam.
Hasil penelitan menunjukan bahwa legalitas kegiatan, pencemaran dan pengolahan yang ilegal disebabkan karena lemahnya penegakan hukum dari pihak yang berwenang. Disisi lain masyarakat yang merasa memiliki atas keberadaan sumur-sumur tua tersebut berhak atas manfaat sumberdaya alam yang dihasilkan atas dasar kemampuanya dalam modal, tenaga kerja dan teknnologi. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan sumur tua yang terabaikan dan tidak berfungsinya lembaga masyarakat yang merupakan syarat legalisasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua merupakan masalah lain yang tidak di dikelola oleh Pemerintah Daerah sehingga pengelolaan saat ini tidak meberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah dan dampak negatif tidak bisa di kendalikan. Kebijakan merupakan instrumen yang diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pengelolaan sumur tua dan
stakeholders yang merupakan pelaku dari kegiatan pengelolaan sumur tua di
blok cepu menjadi komponen penting pada pelaksanaan pengelolaan sumur tua. Kedua elemen ini menjadi fokus dalam penelitian ini agar diperoleh rumusan alternative strategi yang tepat sehingga pengusahaan minyak bumi dari sumur-sumur tua secara ekonomi menguntungkan semua pihak, secara sosial dan budaya bisa dipertanggungjawabkan dan secara ekologi tetap menjaga kelestarian lingkungan. Dalam penelitian ini juga menunjukan bahwa ada persepsi yang berbeda antara stakeholders dengan peraturan yang berlaku.
(5)
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(6)
vi
ANALISIS MASALAH DAN STRATEGI PENGELOLAAN
SUMUR TUA DI BLOK CEPU
STUDI KASUS TAMBANG RAKYAT MINYAK
BUMI DI DESA WONOCOLO KABUPATEN
BOJONEGORO
M A R W O T O
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
(7)
Judul tesis : Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak Bumi Di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro)
Nama : Marwoto
NRP : P052090061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr.Ir. Iin Ichwandi, M.Sc. For
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
(8)
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, karunia dan perkenanNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul Analisis Masalah Dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak Bumi Di Desa Wonocolo
Kabupaten Bojonegoro).
Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan serta bimbingan kepada penulis, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, M. Scselaku anggota Komisi Pembimbing.
2. Bupati Kabupaten Bojonegoro Drs. H. Suyoto, M.Si beserta staf dan Dinas terkait dengan penelitian yang telah memberikan bantuan baik materi maupun imateri.
3. Camat Kedewan Gunardi, SH berserta staff yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan penelitian serta memandu penulis selama melakukan kegiatan di lapangan.
4. Kepala Desa Wonocolo Bapak Jasmin yang dengan setia membimbing dan mengarahkan penulis selama melakukan penelitiann di lapangan.
5. Bapak Gubernur Jambi melalui Dinas pendidikan propinsi Jambi yang telah memberikan dukungan materiil selama penelitian.
6. Masyarakat Penambang, Penyuling, Pengusaha, LSM Merah Putih, aparat Polsek Kedewan, Perengkek semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penambangan trdisional di Desa Wonocolo yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu..
7. Teman-teman kuliah Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan yang telah membantu selama proses penulisan dan pengolahan data.
Dalam menyelesaikan karya ini penulis banyak mendapat masukan dan kritikan yang begitu berarti dalam memperkaya isi tulisan ini. Rasa terimakasih mendalam juga penulis berikan buat teman-teman yang telah setia mendampingi dan membantu penulis selama menyelesaikan studi.
Akhirnya, terima kasih dan hormat yang sangat mendalam penulis persembahkan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu telah memberikan dukungan doa, perhatian, pengertian dan dorongan moril maupun materiil yang tidak ternilai buat penulis.
Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Bogor, Januari 2012
(9)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Krajan, Kabupaten Klaten Jawa Tengah, pada tanggal 15 Agusutus 1968 dari Ayah Kadya Sukirno dan Ibu Sukirni, merupakan anak ke-3 dari 4(empat) Saudara.
Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Tehnologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1995.
Penulis bekerja di PT. Wirakarya Sakti Jambi yang bergerak pada pengelolaan Hutan Tanaman Industrii dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2001. Tahun 2001 sampai sekarang Penulis tercatat sebagai Dosen di jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian universitas Jambi, selanjutnya pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
(10)
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ... xv
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3
1.3 Perumusan Masalah ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Rakyat ... 6
2.2 Permasalahan dalam Pertambangan Rakyat ... 7
2.2.1 Faktor Kebijakan ... 7
2.2.2 Faktor Modalalitas ... 8
2.2.3 Faktor Kelembagaan ... 9
2.2.4 Faktor Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan ... 9
2.3 Landasan Hukum Pengelolaan Sumur tua ... 10
2.4 Landasan Teori ... 11
2.4.1 Teori Akses ... 11
2.4.2 Analisis Isi Kebijakan ... 13
2.4.3 Konsep pemberdayaan ... 16
2.4.4 Konsep kelembagaan ... 19
2.4.5 Teori Kelompok ... 22
2.4.6 Teori Koalisi ... 24
2.4.7 Analisis Stakeholders ... 26
2.4.8 Analisis Triangulasi ... 27
III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Peneitian ... 30
3.2 Tahap penelitian ... 30
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 30
3.4 Teknik Pengambilan contoh ... 31
3.5 Teknik Analisis Data ... 32
3.5.1 Analisis Isi Kebijakan ... 32
3.5.2 Analisis Stakeholders ... 32
3.5.3 Analisis Triangulasi ... 36
3.6 Metodologi Penelitian ... 37
IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Desa Wonocolo ... 38
4.1.1 Kondisi Fisik ... 38
4.1.2 Kondisi Ekonomi, sosial dan Budaya ... 39
4.1.3 Peta Desa Wonocolo ... 40
4.2 Peta Pertambangan Blok Cepu ... 40
(11)
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Mekanisme Akses Pengusahaan Pertambangan Rakyat pada Sumur
Tua di Desa Wonocolo ... 48
5.1.1 Karakteristik Minyak Bumi dari Sumur Tua ... 48
5.1.2 Karakteristik Sumur Tua minyak Bumi ... 49
5.1.3 Mekanisme Akses ... 50
5.2 Identifikasi Masalah dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua di Desa Wonocolo ... 53
5.2.1 Hak pengelolaan (Property Right) dalam Pengambilan Minyak Bumi .. 53
5.2.2 Legalitas Kegiatan Pengolahan dan Perdagangan Minyak Olahan tidak sesuai kebijakan yang berlaku ... 55
5.2.3 Pencemaran Lingkungan ... 57
5.3 Analisis Isi Kebijakan ... 58
5.3.1 Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ... 58
5.3.2 Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi ... 59
5.3.3 Pencemaran Lingkungan ... 60
5.3.4 Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Sektor Minyak dan Gas Bumi tidak dapat direalisasikan ... 61
5.4 Analisis Stakeholders ... 61
5.4.1 Kepentingan (Interest) Stakeholders ... 64
5.4.2 Pengaruh Stakeholders ... 65
5.4.3 Klasifikasi Stakeholders ... 66
5.4.4 Pemetaan Stakeholders dalam Bingkai Masalah (problemframe) ... 70
5.5 Konsep Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Wonocolo ... 72
5.5.1 Pemberdayaan Masyarakat Penambang ... 73
5.5.2 Penguatan Kelembagaan ... 75
5.5.3 Penegakan Hukum (Pemberantasan Pengolahan Dan Perdagangan Minyak Hasil Olahan)... 76
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 79
6.2 Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
(12)
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis dan Sumber Data Sekunder yang Diperlukan dalam Penelitian ... 31
2. Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ... 32
3. Ukuran Kuantitatif Terhadap Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders ... 33
4. Tingkat Kepentingan Stakeholders Terhadap Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ... 34
5. Instrumen dan Sumber Kekuatan Stakeholders ... 35
6. Tingkat Pengaruh Stakeholders Terhadap Pertambangan Rakyat Minyak Bumi di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro ... 35
7. Sumber dan Teknik Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian ... 37
8. Pola pemanfaatan Lahan dan Sarana Prasarana Desa Wonocolo ... 38
9. Jenis Pekerjaan dan Jumlah Penduduk Desa Wonocolo ... 39
10. Sejarah Pengelolaan Lapangan Minyak Blok Cepu ... 41
11. Jumlah Sumur Tua dan Dapur Sulingan di Desa Wonocolo ... 41
12. Identifikasi Stakeholders ... 62
13. Skoring Kepentingan (Importance) Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ... 65
14. Skoring Pengaruh Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ... 66
15. Jumlah Skoring Pengaruh dan Kepentingan Stakeholders pada Pengelolaan Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di Desa Wonocolo ... 66
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan
Pertambangan Rakyat Minyak Bumi Blok Cepu Desa Wonocolo ... 3 2. Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok Cepu Desa
Wonocolo ... 5 3. Diagram Alir Tahapan Penelitian Analisis Masalah dan Strategi
Pengelolaan Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo ... 30 4. Matriks Pengaruh dan Kepentingan (Diadaptasi dari Eden dan Ackermann,
1998 dalam Bryson, 2004 dan Reed et al, 2009) ... 36 5. Kondisi Fisik Desa Wonocolo ... 39 6. Peta Lokasi Penelitian Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur ... 40 7. Peta Wilayah Kerja PT. PERTAMINA Region Jawa Area Cepu ... 40 8. Proses Perbaikan Sumur Secara Tradisional Dengan Menggunakan
Tenaga Manusia ... 43 9. Proses pengambilan Minyak Mentah dengan Teknologi Sederhana pada
Pengelolaan Sumur Tua ... 44 10. Proses Pengolahan Minyak Mentah Menjadi Solar/Minyak Tanah/Bensin ... 46 11. Kelompok Perengkek/Pedagang Minyak Hasil Penyulingan ... 47 12. Mekanisme Akses Pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur
Tua Sumur Tua di Desa Wonocolo. diadaptasi dari Ostrom (2011), Ribot dan Peluso (2003). ... 52 13. Identifikasi Masalah Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo. ... 55 14. Klasifikasi Stakeholders berdasarkan Pengaruh dan Kepentingannya dalam
Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di Desa Wonocolo, diadaptasi dari Eden dan Ackermann 1998 dalam Bryson 2004 dan Reed et al. 2009 ... 67 15. Pemetaan Stakeholders Dalam Bingkai Masalah Pengelolaan
Pertambangan Rakyat Minyak Bumi Di Desa Wonocolo (Bryson 2004, diadaptasi dari Nutt dan Backoff 1992) ... 70 16. Bagan Konsep StrategiPengelolaan Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di
(14)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Panduan Wawancara Mendalam Stakeholders ... 85
2. Hasil Wawancara Mendalam ... 89
3. Peta Desa Wonocolo Kecamatan Kedewan ... 105
4. Peta Wilayah Kerja PT. PERTAMINA Region Jawa Area Cepu ... 105
5. Analisis Stakeholder Berdasarkan Kepentingan dan Aspirasinya ... 106
6. Analisis Isi Kebijakan Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo ... 109
(15)
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Aplusan : Bekerja secara bergantian/Shift
BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Beking : Dukungan secara politik dan kekuatan BUMD : Badan Usaha Milik Daerah.
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
Ciduk : Alat untuk mengambil minya mentah.
DPRD II : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II ESDM : Energi dan Sumberdaya Mineral
HMN : Hak Menguasai Negara IPR : Ijin Pertambangan Rakyat
Kerjo : Gotong-royong memperbaiki sumur minyak tanpa upah. Lantung : Minyak mentah.
LH : Lingkungan Hidup
LSM : Lembaga Swadaya masyarkat.
Mancal/sopir : Mengoperasikan mobil penimba minyak mentah. Mel : Memberikan uang suap untuk aparat.
Mblandut : Mengangkut minyak mentah dari sumur ke tempat penyulingan.
Mergawe : Bekerja pada perusahaan. Nimbel : Pengarah timba minyak mentah
Njarangi : Mengurangi kadar air minyak mentah dengan cara dipanaskan
Ngajok : Mengangkut minyak mentah
Nyiduk : Memisahkan minyak mentah dengan air PAD : Pendapatan Asli Daerah
Perencek : Pencari kayu untuk bahan bakar penyulingan Perengkek : Pembeli/pedagang minyak hasil penyulingan Permen : Peraturan Menteri
Penyuling : Orang yang bekerja melakukan penyulingan minyak mentah menjadi solar/minyaktanah/bensin.
PERTAMINA : Perusahaan Minyak dan Gas Negara PETI Pertamabangan Tanpa Ijin
Rengkek : Alat untuk mengangkut minyak hasil penyulingan yang terdiri dari jerigen dan pengait pada motor.
SDA : Sumberdaya Alam
SDM : Sumberdaya Manusia
Stakeholders : Para pihak
Sumber : Sumur minyak tua yang sedang di eksploitasi. WPR : Wialayah Pertambangan Rakyat
(16)
xvi
Penyuling : Orang yang bekerja melakukan penyulingan minyak mentah menjadi solar/minyaktanah/bensin.
PERTAMINA : Perusahaan Minyak dan Gas Negara PETI Pertamabangan Tanpa Ijin
Rengkek : Alat untuk mengangkut minyak hasil penyulingan yang terdiri dari jerigen dan pengait pada motor.
SDA : Sumberdaya Alam
SDM : Sumberdaya Manusia
Stakeholders : Para pihak
Sumber : Sumur minyak tua yang sedang di eksploitasi. WPR : Wialayah Pertambangan Rakyat
(17)
I.
P E N D A H U L U A N1.1 Latar Belakang
Peranan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) sangat penting dalam pembangunan nasional dan pendukung sistem kehidupan. Sesuai dengan fungsinya tersebut, SDA dan LH perlu dikelola dengan bijaksana agar pembangunan serta keberlangsungan kehidupan manusia dapat terjaga dan lestari saat ini dan di masa yang akan datang.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pembahasan mengenai hak atas sumberdaya alam di Indonesia tidak akan terlepas dari penjabaran hak menguasai oleh negara (HMN). Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi telah menafsirkannya dalam putusan nomor 002/PUU-I/2003 tentang Penafsiran konsep Penguasaan Negara Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, sebagai berikut:1
1) Pemilikan sumberdaya alam bukan hanya dalam arti private (keperdataan) melainkan juga mencakup kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam Indonesia;
2) Mandat Negara untuk “mengadakan kebijakan“ (beleid) dan membuat “tindakan pengurusan“ (bestuurs-daad). Dalam hal ini negara memberi mandat kepada pemerintah untuk mengeluarkan dan mencabut perijinan, lisensi, dan konsesi. 3) Menjalankan “pengaturan“ (regelen-daad). Hal ini dijalankan melalui kewenangan
legislasi DPR bersama pemerintah dan regulasi oleh pemerintah.
4) Melakukan “Pengelolaan” (beheers-daad). Dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN sebagai instrumen kelembagaan.
5) Pengawasan (toezichthoudens-daad). Dilakukan oleh pemerintah agar penjabaran HMN berjalan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1
Penjelasan tentang penafsiran penguasaan negara dalam Kartodihardjo “Sumberdaya Alam, Komoditi dan Arah Pengelolaannya”
(18)
Dengan demikian, makna HMN terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan lima peranan negara sebagaimana tersebut di atas masih tetap dipenuhi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 2004 tentang Minyak dan Gas Bumi ketentuan pasal 1 angka 5 UU No. 22 Tahun 2001, Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang berarti pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan pengaturan yang berkaitan dengan Usaha Minyak dan Gas Bumi.
Sebagaimana diatur dalam Permen ESDM no. 1 tahun 2008, bahwa sumur tua boleh diusahakan melalui Koperasi Unit Desa atau Badan Usaha Milik Daerah. Sumur tua adalah sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja (WK). Sumur tua tersebut tidak lagi dikelola oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas (KKS Migas), karena secara ekonomis tidak menguntungkan lagi. tetapi sumur tua tersebut masih memiliki potensi khususnya minyak yang jika dikelola oleh unit usaha yang dikelola oleh BUMD atau KUD masih menjanjikan keuntungan. Kebijakan ini telah membuka kesempatan kepada Koperasi Unit Desa sebagai pelaksana kegiatan dalam pengelolaan sumur tua sebagaimana disebutkan pada pasal 2 ayat (1) “Kontraktor mempunyai kewajiban untuk mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua yang masih terdapat kandungan minyak bumi berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomi dan ayat (2) dalam hal kontraktor tidak mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua sebagaimana di atur pada ayat (1), KUD dan BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi setelah mendapat persetujuan Menteri.
Pemberian peran kepada KUD dalam pengusahaan sumur tua telah memberikan peran kepada masyarakat dalam pengusahaan sumur tua dalam usaha hulu berupa pengambilan minyak bumi dari sumur tua.
Minyak bumi yang berasal dari sumur tua merupakan potensi yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaannya. Tercatat total sumur tua di Indonesia sebanyak 13.824 buah sumur (www.esdm.go.id), yang tersebar : 1). Sumatera bagian selatan (3.623 buah sumur); Sumatera bagian utara (2.392 buah sumur); Sumatera bagian tengah (1.633 buah sumur); 2). Kalimantan Timur(3.143 buah sumur) dan Kalimantan selatan (100 buah); 3). Jawa tengah, Timur dan Madura (2.496 buah); 4). Papua (208 buah) dan Seram (229 buah).
(19)
1.2 Kerangka Pemikiran Penelitian.
Masalah pertambangan rakyat di Desa Wonocolo pada umumnya juga terjadi pada pertambangan rakyat di Indonesia, kesenjangan antara kebijakan dengan implentasi dilapangan menimbulkan implikasi negatif karena faktor-faktor yang berpengaruh tidak dikelola dengan baik.
Langkah yang harus dilakukan adalah membuat suatu kebijakan sebagai strategi pengelolaan terencana dan terpadu yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan pemanfaatan dari berbagai sektor dan stakeholders melalui kebijakan pengelolaan yang dapat menampung aspirasi dari semua stakeholders yang terlibat, sehingga nantinya akan diperoleh konsep pengelolaan pertambangan rakyat yang ideal. Berdasarkan analisis masalah tersebut secara skematik, kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Pertambangan Rakyat Minyak Bumi Desa Wonocolo. 1.3 Perumusan Masalah Penelitian
Sumur tua Minyak Bumi yang berada di Desa Wonocolo merupakan aset negara yang telah diserahkan pengusahaannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan Permen ESDM No. 01 tahun 2008 tentang Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua. Sebagai aset sumberdaya alam yang bersifat state property maka segala pengusahaan harus berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya keberadaan sumur tua saat ini berada pada kondisi open acces. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat mampu memanfaatkan sumberdaya alam minyak bumi yang terkandung didalam sumur-sumur tua karena keberadaannya yang tidak dapat diproteksi oleh pemerintah daerah dan adanya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan dan mengambil
Sumur Tua Minyak Bumi
PERTAMINA
Pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua
Masyarakat
Pemberdayaan
Rumusan strategi pengelolaan
Analisis akses, analisis isi kebijakan, analisis triangulasi dan analisis stakeholders
Karakteristik minyak bumi,mekanisme akses, implementasi kebijakan dan Identifikasi Masalah Pemda
(20)
keuntungan sumberdaya minyak bumi tersebut. Kemampuan masyarakat berupa modal, teknologi dan tenaga kerja. Oleh karena itu masyarakat secara de facto
menjadi pemilik dari sumur-sumur tua minyak bumi. Pemilik disini bukan selalu berarti bentuk kepemilikan (ownership right) tetapi berupa “rasa memiliki terhadap benda, kondisi atau situasi tertentu (Kartodihardjo, 2008).
Karakteristik minyak bumi sebagai komoditi dan berpotensi menjadi bahan pencemar menyebabkan masalah dalam pengelolaannya karena teknologi yang digunakan dalam pengambilan minyak mentah yang masih sederhana. Partisipasi masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan tambang secara ekonomi mengupayakan agar masyarakat memahami peran dan fungsinya dalam regulasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua dan dapat melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana.
Berdasarkan uraian diatas diharapkan diperoleh rumusan kebijakan pengelolaan melalui pendekatan aspek ekologi, ekonomi dan sosial-budaya dengan mengintegrasikan konsep kelembagaan, pemberdayaan dan penegakan hukum yang hasilnya merupakan konsep atau desain pengelolaan pertambangan rakyat yang secara teknis bisa diterapkan, secara ekonomi menguntungkan semua pihak, secara sosial-budaya dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ekologi tetap menjaga kelestarian lingkungan. Secara skematik analisis masalah dari pertambangan rakyat dapat dilihat dalam Gambar 2:
Keterangan: Proses melanggar hukum (Illegal)
Gambar 2 Perumusan Masalah Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok di Blok Cepu Desa Wonocolo.
1.4 Tujuan Penelitian.
Berdasarkan latar belakang masalah dalam pendahuluan di atas dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
State Property
PERTAMINA Komoditi
Pencemaran
Masyarakat lokal Masyarakat pendatang Minyak Bumi
Open Access Sumur Minyak Tua
Pemda
Eksploitasi
Koperasi
Pengambilan Pengolahan Perdagangan Mekanisme
(21)
1) Mengetahui karakteristik SDA (minyak bumi) dan mekanisme kepemilikan serta implementasi kebijakan yang terkait dengan pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
2) Identifikasi masalah yang terkait pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
3) Merumuskan konsep alternatif strategi yang tepat dan komprehensif dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
1.5 Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo dengan mempertimbangkan potensi masyarakat yang ada. Hasil studi ini juga diharapkan mampu memperkaya khasanah studi sosial di Indonesia.
(22)
II.
TINJAUAN PUSTAKA2.1 Pertambangan Rakyat
Pertambangan rakyat menurut World Bank dalam Zulkarnain et al (2007) adalah suatu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, keluarga atau koperasi dengan peralatan mekanik yang minimal atau tanpa peralatan mekanik serta sering berada pada sektor informal pasar. Selanjutnya Zulkarnain et al (2007) menyatakan pertambangan rakyat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Sangat sedikit menggunakan bantuan peralatan mekanik dan lebih didominasi oleh tenaga fisik penambang;
2) Tingkat keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah;
3) Memiliki keragaman kualifikasi SDM pada level operasi yang sama;
4) Proses eksploitasi dan pengolahan yang tidak efisien (low recovery values), serta tingkat produksi yang rendah;
5) Tingkat gaji dan penghasilan yang rendah;
6) Intensitas kegiatan sangat tergantung kepada perkembangan harga pasar; 7) Tingkat kepedulian sosial dan lingkungan yang kurang memadai;
8) Dukungan organisasi dan modal yang rendah; 9) Kebanyakan beroperasi tanpa ijin resmi atau illegal.
Aspek legalitas merupakan hal yang sering menjadi masalah dalam kegiatan pertambangan rakyat, hal ini disebabkan karena status open acces dari sumberdaya yang diusahakan dan adanya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, sementara itu keinginan pemerintah untuk menertibkan pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan sejumlah uang iuran dari penambang-penambang rakyat (Zulkarnain et al 2007). Pada kenyataannya penertiban dan pembinaan tidak memberikan solusi pertambangan rakyat dan tidak terdapat catatan yang pasti terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah ini merupakan indikasi dari pengelolaan pertambangan rakyat (Zulkarnain et al 2007) yakni:
1) Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2) Ketidak pastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat harus menyingkir.
(23)
3) Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan sejumlah pungutan dari penambang, meskipun pembinaan tersebut tidak jelas dan diserahkan kepada pemda setempat.
2.2. Permasalahan dalam Pertambangan Rakyat.
Pertambangan rakyat merupakan salah satu sektor kegiatan ekonomi bidang pertambangan yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dari para pelakunya, menurut Zulkarnain (2008) terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi kegiatan pertambangan rakyat ini, yaitu:
2.2.1 Faktor Kebijakan
Kegiatan penambangan oleh masyarakat umumnya berlangsung di lahan-lahan negara, terutama di bekas tambang Belanda dan kawasan hutan, pada lahan-lahan masyarakat dan bahkan di dalam areal konsesi perusahaan. Penggalian secara ilegal tersebut bukan saja merugikan negara dan mengancam keselamatan lingkungan, tetapi juga menimbulkan persoalan yang serius bagi sektor lainnya, seperti sektor kehutanan dan lingkungan hidup, ketika mereka menambang di kawasan hutan konservasi dengan teknologi yang kurang berwawasan lingkungan. Namun penanganan persoalan masyarakat penambang masih belum menjadi prioritas pemerintah di Indonesia. Bahkan di era otonomi daerah saat ini, banyak Pemda yang belum memiliki Perda untuk mengatur kegiatan tersebut dan kalaupun ada yang sudah memiliki umumnya belum diimplementasikan.
Keberadaan sumur tua minyak bumi ternyata tidak dimanfaatkan oleh pemda dengan mekanisme yang benar dan mengesankan ada “pembiaran” terhadap keberadaan sumur tua. Timbulnya permasalahan pengusahaan pertambangan rakyat disebabkan oleh beberapa faktor, menurut Zulkarnain et al (2004) ada beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah melakukan hal tersebut, yakni: 1) Ketidak mampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja pengganti. 2) Lokasi penambangan umumnya berada di daerah terpencil (remote area). 3) Penambangan dilakukan berdasarkan intuisi tanpa data eksplorasi yang
lengkap, sehingga potensi komoditi tambang tidak diketahui dengan pasti. 4) Adanya oknum aparat, baik pemerintah maupun keamanan, yang ”melindungi”
dan ”bermain” dalam kegiatan tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok.
Pada beberapa kasus, pemerintah mencoba melakukan tindakan penertiban untuk memutus hubungan antara penambang dengan para oknum yang melindungi mereka. Namun hal itu hanyalah satu mata rantai dari persoalan yang demikian
(24)
rumit di kawasan pertambangan. Seharusnya pemerintah melakukan suatu solusi yang holistik dan terencana untuk menata dan mengatur kegiatan pertambangan rakyat tersebut sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal dengan dampak seminimal mungkin.
2.2.2 Faktor Modalitas.
Unsur modalitas yang paling berperan adalah kualitas sumberdaya manusia dan tingkat perekonomian masyarakat itu sendiri. Secara formal tingkat pendidikan mereka relatif rendah, yakni dominan SD, SLTP dan sedikit SLTA. Pendidikan yang relatif rendah membuat mereka tidak mampu untuk berkompetisi dalam memperoleh pekerjaan yang memadai, sehingga kegiatan menambang menjadi pilihan yang menarik, karena selain tidak memerlukan keahlian khusus juga dapat mendatangkan uang secara cepat dan kadang dalam jumlah yang cukup banyak.
Kemiskinan dan tingkat perekonomian yang rendah membuat mereka bersedia melakukan kegiatan tersebut dengan segala resikonya. Sementara itu, bagi masyarakat yang memang tumbuh dalam budaya menambang, selain kedua faktor di atas, budaya yang mereka warisi telah melahirkan sebuah sikap atau pilihan hidup yang mengalahkan segalanya karena menambang bagi mereka bukanlah hanya sekedar sebuah profesi tetapi telah menjadi bagian dari hidup yang mereka nikmati. Kondisi yang terakhir ini akan menyebabkan masyarakat tersebut akan sangat sulit untuk dapat beralih ke profesi yang lain. Kerugian sosial yang perlu mendapat perhatian dalam aspek modalitas ini, antara lain:
1) Terbentuknya cara pandang dan sikap hidup para penambang yang kehilangan kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku.
2) Cenderung berorientasi kepada tujuan jangka pendek dengan mengambil segala resiko.
3) Sikap individualistis dan tidak mempunyai komitmen komunal yang kuat walau bekerja secara berkelompok dan sangat toleran terhadap komunitasnya.
4) Kurang memiliki tanggungjawab dan seringkali cenderung bersikap tidak jujur.
2.2.3 Faktor Kelembagaan
Secara umum kelembagaan atau organisasi belum ditemui dalam masyarakat yang melakukan kegiatan penambangan karena tingkat SDM dan kemampuan mereka yang terbatas. Ketiadaan lembaga ini mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan bagi masyarakat yang menambang, baik persoalan internal maupun eksternal Akibat dari persoalan tiadanya lembaga pada penambangan yang dilakukan oleh masyarakat yakni;
(25)
1) Kegiatan penambangan yang mereka lakukan tidak terlindungi secara hukum, sehingga mereka seringkali memilih untuk menyembunyikan kehadiran mereka dan main kucing-kucingan dengan aparat pemerintah dalam melakukan aktivitas penambangan. Kondisi ini berdampak pada tidak optimalnya usaha yang mereka lakukan sehingga merugikan mereka secara ekonomi.
2) Kemampuan modal mereka yang terbatas dan tanpa adanya payung hukum yang jelas berdampak pada adanya tindakan eksploitasi yang mereka alami, baik oleh para pemodal maupun oknum aparat.
3) Menimbulkan persoalan bagi negara atau pemerintah karena terjadinya kerusakan lingkungan tanpa adanya pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan pencegahan dampak kerusakan lingkungan.
4) Berkurangnya potensi penerimaan negara karena sebagian besar kegiatan masyarakat yang menambang tidak berbadan hukum sehingga tidak memberikan kontribusi berupa royalti kepada negara.
2.2.4 Faktor Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan
Aspek teknologi meliputi teknik penambangan dan pengolahan, sedangkan aspek pengelolaan lingkungan lebih terfokus kepada persoalan-persoalan penanganan limbah penambangan dan pengolahan. Sejumlah masalah, baik yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja maupun yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungan, ditimbulkan oleh kegiatan masyarakat yang menambang, baik yang disebabkan oleh teknologi penambangan dan pengolahan yang belum efisien maupun oleh cara pengelolaan lingkungan yang belum berwawasan lingkungan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat yang melakukan penambangan belum melakukan atau bahkan belum memberikan perhatian terhadap pengelolaan lingkungan. Kalaupun ada kegiatan mereka yang terlihat bersentuhan dengan pengelolaan limbah, maka pada dasarnya kegiatan tersebut dilandaskan pada keinginan untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi dan bukan karena kesadaran akan pentingnya melakukan pengelolaan lingkungan. Pada sebagian besar kegiatan masyarakat yang menambang, terutama di wilayah barat Indonesia, para penambang hampir selalu membuang limbah (baik air maupun ampas pengolahannya) langsung ke sungai.
2.3. Landasan Hukum Pengelolaan Sumur Tua
Pada tahun 2001 diterbitkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada bab II pasal 2 menyebutkan “Penyelenggaraan kegiatan
(26)
usaha Minyak dan Gas Bumi berasaskan pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan dan keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan, kemudian pada pasal 3 UU No. 22 tahun 2001 kegiatan bertujuan sebagai berikut :
1) Terlaksana dan terkendalinya Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan tidak terbarukan. 2) Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional untuk lebih
mampu bersaing secara wajar, sehat dan transparan
3) Meningkatnya pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
4) Menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Secara khusus dasar hukum dari pertambangan minyak Bumi pada sumur-sumur tua adalah sebagaimana diatur dalam Permen ESDM no. 1 tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada sumur-sumur tua, bahwa sumur tua boleh diusahakan melalui Koperasi Unit Desa maupun Badan Usaha Milik Daerah. Sumur tua adalah sumur-sumur Minyak Bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor. Filosofi pengelolaan pertambangan minyak rakyat adalah; a). Optimalisasi pemanfaatan sumur-sumur tua; b). Memberdayakan ekonomi rakyat disekitar lokasi sumur tua, hal ini menunjukan bahwa kegiatan pertambangan minyak bumi pada sumur-sumur tua tidak termasuk kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang melampaui batas dan dapat diusahakan oleh masyarakat melalui prosedur dan tata cara yang sesuai dengan peraturan yang ada. 2.4. Landasan Teori
2.4.1 Teori Akses.
A. Definisi Akses
Peluso dan Ribot (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material, perorangan, institusi, dan simbol. Dengan menfokuskan pada kemampuan dibandingkan dengan kepemilikan yang ada dalam teori properti. Formulasi ini memberikan perhatian pada wilayah yang lebih luas pada hubungan sosial yang memungkinkan orang untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya tanpa
(27)
melihat pada hubungan properti semata. Perubahan proses dan hubungan akses dengan sumber daya dapat dipetakan dengan melihat susunan jaringan akses.
Teori akses digunakan untuk mengidentifikasikan siapa yang sebenarnya mendapatkan keuntungan dari sesuatu dan melalui proses apa mereka dapat melakukannya. Sehingga secara empiris akses berfokus pada isu “siapa yang menggunakan apa dan siapa yang bukan, dalam cara-cara apa, dan kapan (dalam kondisi apa)”. Elemen penting dalam konsep ini adalah sumberdaya alam sebagai sesuatu yang dipermasalahkan dan jajaran kekuasaan (range of powers) yang mempengaruhi kemampuan orang-orang untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya (Ribot dan Peluso, 2003). Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya, ekonomi serta politik dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang mengatur akses sumberdaya. Ada orang-orang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya sementara yang lain “memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai kontrol. Pembedaan dalam hubungan akses ini merupakan salah satu cara teori akses dapat dilihat sebagai suatu analisis yang dinamis, sehingga dapat membantu memahami mengapa ada orang atau lembaga yang mengambil keuntungan dari sumberdaya, baik memiliki hak atau tidak atas sumberdaya tersebut.
Analisis akses dilakukan dengan mengidentifikasi obyek yang diteliti, terutama keuntungan yang berasal dari sumberdaya tertentu. Setelah itu dapat dilanjutkan dengan analisis berbagai mekanisme di mana individu, kelompok atau institusi memperoleh, mengontrol atau memelihara akses dalam kondisi politik dan budaya tertentu. Mekanisme yang membentuk proses dan hubungan akses dapat dikategorikan dalam akses berdasarkan hak (rights based access) dan akses yang merupakan faktor tambahan yang merupakan mekanisme akses yang bersifat struktural dan relasional (structural and relational mechanisms). Faktor-faktor tersebut adalah: teknologi, modal, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang, identitas dan relasi-relasi sosial (Ribot dan Peluso, 2003).
Aspek politik-ekonomi dalam konsep ini menjadi nyata ketika memisahkan tindakan sosial ke dalam pengendalian akses dan mempertahankan akses. Penegendalian akses adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya. Pengendalian mengarah pada pemeriksaan dan dan pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan mengatur tindakan bebas. Mempertahankan akses memerlukan kuasaan untuk menjaga sebagian sumber daya akses yang terbuka. Baik pengendalian dan pengontrolan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Keduanya membentuk hubungan diantara aktor dalam hubungan
(28)
terhadap sumber daya, manajemen, dan penggunaan. Disaat yang sama, makna dan nilai sumberdaya menyangga antara siapa yang mengontrol dan siapa yang mempertahankan akses, seperti akses pengendalian dan mempertahankan sumberdaya.
B. Mekanisme Akses.
Mekanisme akses bisa di lihat berdasarkan berdasarkan kepemilikan ( right-based access), menurut Ribot dan Peluso (2003) mekanisme akses meliputi: 1) Akses Legal
Merupakan kemampuan mendapatkan keuntungan dari sesuatu yang berasal dari kepemilikan yang diakui oleh hukum, adat istiadat, atau konvensi. Arti kepemilikan berdasarkan akses adalah menyatakan secara tidak langsung melibatkan komuniti, negara, atau pemerintah untuk mengklaim sesuatu.hukum, adat istiadat atau konvensi sehingga menyebabkan suatu legitimasi atas kepemilikan sesuatu. Namun disisi lain ada sebuah ambigunitas yang terjadi antara hukum, adat-istiadat dan konvensi. Ambigunitas ini terjadi manakala ketiga perangkat legal tersebut sama-sama melegitimasi suatu barang yang sama sehingga yang terjadi adalah saling mengklaim.
2) Akses Illegal
Merupakan bentuk akses yang diberikan berdasarkan sanksi hukum, adat istiadat, dan konvensi atau bisa dikatakan bahwa akses illegal mengarah pada mendapatkan keuntungan dari sesuatu dengan cara yang tidak direstui oleh negara atau masyarakat. Akses illegal beroperasi melalui paksaan (kekuatan atau ancaman) dan secara diam-diam, hal ini dilakukan untuk mendapatkan penambahan, pengendalian, dan mempertahankan akses.
2.4.2. Teori Aksi bersama (Collective Action).
Menurut Marshal (1998) mengartikan aksi kolektif sebagai aksi yang dilakukan oleh sebuah kelompok, baik secara langsung atau atas nama organisasi, dalam mencapai apa yang oleh anggota kelompok itu dianggap sebagai kepentingan bersama. Aksi kolektif dilaksanakan secara sukarela oleh partisipannya yang membedakannya dengan usaha kolektif oleh kelompok-kelompok pekerja yang dibayar.
Aksi kolektif diperlukan ketika isu pengelolaan sumber daya alam meliputi integrasi spasial pada tingkatan yang lebih tinggi. Pengelolaan kehutanan, irigasi, dan perikanan adalah kegiatan-kegiatan yang secara spasial mencakup wilayah yang luas, karena itu kebutuhan untuk melakukan aksi kolektif lebih besar (Marshal, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap aksi kolektif senaniasa melibatkan
(29)
organisasi untuk mendisain aturan-aturan main dan melaksanakan aksi kolektif yang disepakati, menggalang proses partisipasi, dan menegakan aturan-aturan yang telah diterima, yang dianggap akan memberikan manfaat bagi kelompok. Meskipun terdapat banyak manfaat non material yang diperoleh melalui aksi-aksi kolektif, namun terdapat banyak bukti bahwa manfaat yang bersifat material juga mempengaruhi kemuncuan berbagai aksi kolektif. Dalam kasus penggembalaan ternak di India, misalnya, aksi kolektif memberikan manfaat yang bersifat finansial selama periode ketika harga daging meningkat. Sebagai antisipasi untuk meraih manfaat dari penjualan daging itu, para usaha peternakan lokal untuk mengorganisir diri dan secara kolektif membeli ahan padang rumput dan menginvestasikan dana untuk menanam pakan ternak yang disarankan oleh para ahli.
Menurut Eggertsson (1990), dalam Nugroho (2004), masalah-masalah penting dalam aksi bersama adalah (a) munculnya perilaku free riding sehubungan dengan keinginan individu untuk memaksimumkan utilitasnya, (b) biaya aksi kolektif (collective action cost) sehubungan dengan pembuatan dan penegakan kesepakatan, (c) ukuran kelompok (group size) , dan (d) koordinasi antar pelaku.
2.4.3. Analisis Isi Kebijakan
A. Teori Kebijakan
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa istilah kebijakan (policy) diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Kebijakan dalam makna tersebut merupakan suatu deklarasi mengenai dasar pedoman untuk bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Pedoman tersebut dapat berbentuk sangat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit dan sebagainya (Wahab, 1997).
Menurut Anderson dalam Wahab (1997) kebijakan merupakan langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seprang aktor atau sejumlah kelompok aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Aktor yang dimaksud adalah pejabat, instansi pemerintah, seorang atau sekolompok orang yang diberi wewenang baik secara hukum atau berdasarkan kesepakatan bersama untuk menentukan atau membuat suatu kebijakan. Aktor ini sering disebut sebagai pembuat kebijakan (policy maker). Pengertian ini memberikan implikasi bahwa: 1). Kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2). Kebijakan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; 3). Kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan
(30)
melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu; 4). Kebijakan dapat bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti memberikan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan 5), kebijakan didasarkan atau selalu berlandaskan pada peraturan-peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).
Mayer et al (1982) dalam Sahwan (2002) mendifinikan kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang dibuat atas nama suatu kelompok sosial yang memiliki implikasi yang komplek dan bermaksud mempengaruhi anggota kelompok dengan penetapan sanksi-sanksi. Menurut Islamy (1997) mendefinisikan “suatu keputusan” adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai suatu hal. Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah sati faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bulti-bukti yang sulit disimpulkan. Oleh karena itu dalam mengambil keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu.
B. Kesenjangan (Gap) Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak.2
Evaluasi adalah suatu upaya untuk menghasilkan informasi tentang nilai-nilai yang telah tercapai dari kinerja kebijakan tertentu. Menurut Michael Scriven dalam
Dunn (2003), evaluasi merupakan persoalan fakta dan logika dan lebih penting dari Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi, kelompok sektor swasta, dan individu. Suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat yang mana penyusunannya melalui berbagai tahapan sering kali lebih dikenal sebagai kebijakan publik (Dunn, 2003)). Kebijakan publik ini muncul dikarenakan adanya suatu masalah di masyarakat sehingga harapannya dengan adanya kebijakan publik ini, maka pemerintah sebagai salah satu stakeholders dan selaku pembuat kebijakan di suatu negara, dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat tersebut. Implementasinya tidak jarang sesuai dengan tujuan, sasaran, dan indikator yang ditetapkan. Namun, sering kali implementasi kebijakan tersebut juga tidak sesuai dengan tujuan, indikator, ataupun tepat sasaran. Oleh karena itu, implementasi suatu kebijakan publik juga memerlukan adanya evaluasi.
2
(31)
yang paling penting, hal ini dikarenakan evaluasi ini berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan yang mana memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran sehingga ketika suatu kebijakan telah mencapai tingkat kinerja tertentu dapat dianalisis apakah ada perbedaan yang telah dibuat sebelum dan sesudah adanya kebijakan tersebut. Hal ini juga untuk melihat tingkat keberhasilan kebijakan tersebut sehingga bisa dijadikan rekomendasi untuk perumusan kebijakan selanjutnya.
Menurut Dunn (2003) kesenjangan kebijakan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi terhadap dokumen formal mengenai suatu kebijakan atau program sehingga diperoleh kondisi faktual dengan kondisi yang direncanakan yang dapat dinilai dan direkomendasikan suatu tindakan perubahan terhadap kebijakan selanjutnya untuk menyempurnakan kebijakan sebelumnya. Evaluasi kesenjangan kebijakan ini menggunakan kriteria sebagai berikut: 1). Efektivitas adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai hasil atau akibat dari implementasi suatu kebijakan publik berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan dalam dokumen kebijakan tersebut; 2). Efisiensi adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai rasio efektivitas biaya impelementasi kebijakan publik tersebut, apakah lebih tinggi dari efisiensi marjinal atau malah lebih rendah dari efisiensi marjinalnya; 3). Kecukupan adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai seberapa jauh kebijakan publik tersebut dapat mengatasi permasalahan yang menjadi latar belakang pembentukan kebijakan publik; 4). Perataan adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai apakah implementasi kebijakan publik tersebut menghasilkan lebih banyak distribusi yang adil terhadap sumber daya yang ada dalam masyarakat; 5). Responsivitas adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai apakah kebijakan publik tersebut mampu memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai-nilai rakyat. Termasuk juga untuk menilai tanggapan masyarakat atau penerima kebijakan terhadap kebijakan publik yang ditetapkan; 6). Ketepatan adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai apakah hasil (dari tujuan) kebijakan publik tersebut benar-benar berguna atau bernilai.
2.4.4. Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan. Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife,1995 dalam Hadi (2007) menyatakan bahwa :
(32)
Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on.
Definisi tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Di sisi lain Paul (1987) dalam Hadi (2007) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Pemberdayaan adalah sebuah proses di mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi pengontrolan dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, 2008).
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan gambaran seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Sumodiningrat, 1999).
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu (Sumodiningrat, 1999) ;
1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
(33)
daya itu dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya, oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi.
3) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurang-berdayaan dalam menghadapi yang kuat. Perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka
(34)
pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut (Sumodiningrat, 1999) ;
1) Upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan. Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
2) Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikut sertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
3) Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.
2.4.5. Konsep Kelembagaan
Sistem kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan, yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mempunyai peran yang sangat penting dalam memecahkam masalah-masalah nyata dalam pembangunan. Kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak pemilikan, aturan representasi atau batas yurisdiksi. Dalam dunia nyata, kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen dalam proses pembangunan, dengan demikian kelembagaan menyebabkan perubahan. Di pihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah endogen dalam proses pembangunan, dengan demikian perubahan kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem sosial yang lain.3
Perbedaan pandangan mengenai definisi lembaga sebagai organisasi dan lembaga sebagai institusi serta definisi kelembagaan (institusi) masih diperdebatkan oleh para ahli sosiologi sampai sekarang. Berdasarkan definisi dan gambaran mengenai kelembagaan dan pengembangan kelembagaan menurut para ahli. Syahyuti (2003) merumuskan “kelembagaan” sebagai hubungan kerja yang
(35)
sistematis, teratur dan saling mendukung di antara beberapa lembaga, baik sejenis maupun tidak sejenis dan terikat dengan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama dalam rangka mencapai satu atau lebih tujuan yang menguntungkan semua pihak yang ada di dalam kelembagaan itu sendiri dan keuntungan bagi pihak-pihak di luar kelembagaan tersebut.
Pemahaman mengenai “pengembangan kelembagaan” adalah seperangkat metoda, strategi dan cara untuk memulihkan, memperbaiki dan meningkatkan sinkronisasi hubungan kerja dalam kelembagaan sehingga meningkat prestasinya. Selanjutnya Syahyuti menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) ciri Kelembagaan, yakni: 1). Kelembagaan cenderung tradisional dan berakar pada budaya setempat; 2). Kelembagaan berasal dari masyarakat itu sendiri; 3). Kelembagaan adalah organisasi yang sudah melembaga; 4). Kelembagaan bisa terdiri dari beberapa organisasi dan Kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1). Berkenaan dengan aspek sosial, 2). Berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3). Berkaitan dengan perilaku atau seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4). Ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5). Pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara yang baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu (Syahyuti, 2003).
Rumusan operasional kelembagaan mungkin akan lebih mudah digambarkan dengan contoh bahwa apabila perangkat komputer dianalogkan sebagai kelembagaan maka software yang dapat menggerakkan komputer agar bisa digunakan adalah organisasi. Contoh lain: apabila tubuh manusia dianalogkan sebagai suatu kelembagaan maka mekanisme aliran darah atau sirkulasi darah atau mekanisme pencernaan adalah organisasinya.
Dilihat dari komponen penyusunnya kelembagaan mempunyai 4 (empat) komponen yang saling terkait (Syahyuti, 2003), yakni:
1) Person (orang). Orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas.
2) Kepentingan. Orang-orang tersebut sedang diikat oleh satu kepentingan/ tujuan,sehingga mereka terpaksa harus saling berinteraksi.
3) Aturan. Setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut.
(36)
4) Struktur. Setiap orang memiliki posisi dan peran yang harus dijalankannya secara benar.serta tidak bisa merubah-rubah posisinya dengan kemauan sendiri.
Ada dua jalan utama bagaimana kelembagaan terbentuk, yaitu melalui aspek kelembagaan atau aspek keorganisasian, melalui aspek kelembagaan terjadi pada kelembagaan yang bersifat pokok dan seolah tumbuh dengan sendirinya (crescive institution) dan bersifat alamiah, sedang melalui aspek keorganisasian disebabkan karena adanya kebutuhan yang dirasakan (inacted institution) dan bersifat rekayasa (Syahyuti, 2003).
Kelembagaan yang terbentuk secara alamiah bermula dari pematangan suatu norma sebagai bagian pokoknya yang akan terbentuk secara bertahap mulai dari cara berperilau (usage), meningkat menjadi kebiasaan (folkways), menjadi tata kelakuan (mores) dan mantap ketika menjadi kebiasaan (custom), inilah yang disebut dengan pelembagaan (institutionalization), yaitu proses yang dialami oleh norma baru untuk menjadi bagian dari kelembagaan (Syahyuti, 2003),.
Kelembagaan yang terbentuk melalui aspek keorganisasian, yaitu dengan membangun lebih dahulu strukturnya, pada umumnya dijumpai pada kelembagaan yang diintroduksikan dari luar, misalnya kelompok tani atau koperasi. Struktur kelembagaan dibentuk terlebih dahulu dengan orang-orang didudukan sebagai pengurus, sebelum para anggota termasuk pengurus paham tentang nilai, norma, hukum dan aturan yang harus dipahaminya agar dapat memainkan perannya dengan baik. Menurut Syahyuti (2003), dalam membangun struktur perlu dipertimbangkan 3 (tiga) komponen yakni: kompleksitas (complexity), formalitas (formalization) dan sentralitas (centralization).
Suatu organisasi yang baru ada susunan perannya saja namun belum ada nilai-nilainya berarti organisasi tersebut belum melembaga, harus menuju kepada proses pelembagaan. Organisasi yang melembaga atau kelembagaan yang dibungkus dalam organisasi yang berisi kompleks nilai dan norma serta perilaku yang berpola merupakan bentuk ideal yang diinginkan. Ada 4 (empat) dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan (Mackay et al, 1998 dalam Syahyuti, 2003), yaitu : 1) Kondisi Lingkungan Eksternal (the external environment)
Lingkungan sosial dimana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh sesuatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan tersebut berupa kondisi politik dan pemerintahan (administrative and external policies environment), sosiokultural (sociocultural environment), teknologi (technological
(37)
environment), kondisi perekonomian (economic environment), berbagai kelompok kepentingan (stakeholders), infrastruktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam (policy natural resources environment). Seluruh komponen lingkungan tersebut perlu dipelajari dan dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian memiliki pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak. Implikasi kebijakan yang disusun dapat dialamatkan kepada lingkungan tersebut, jika disimpulkan telah menjadi faktor penghambat terhadap operasional suatu kelembagaan. 2) Motivasi Kelembagaan (institutionalmotivation).
Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri, terdapat empat aspek yang bisa dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yakni; sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah fakta historik, sejarah perjalanan kelembagaan merupakan pintu masuk yang baik untuk mengenali secara cepat aspek-aspek kelembagaan yang lain.
3) Kapasitas Kelembagaan (institutionalcapacity)
Kapasitas Kelembagaan dilihat bagaiman kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan tersebut diukur dari 5 (lima) aspek, yakni; strategi kepemimpinan (strategic leadership); perencanaan program (progran planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and execution); alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation) dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers dan external donors.
4) Kinerja Kelembagaan (institutionalperformance)
Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan-tujuannya, efisiensi penggunaan sumberdaya dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luarnya. Terkesan di sini bahwa kalkulasi secara ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. Untuk mengukur keefektifan dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif sederhana, misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan yang aktual tercapai serta rasio biaya dengan produktivitas.
(38)
2.4.6 Teori Kelompok
Kelompok menurut Hare (1962) merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari sejumlah individu yang mempunyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan perannya. Secara tertulis ada norma yang mengatur tingkah laku anggota. Ciri-ciri suatu kelompok menurut Hare (1962): 1). Para anggota kelompok selalu mengadakan hubungan tatap muka secara berkala; 2). Mempunyai tujuan, perasaan dan sikap bersama; 3). Memiliki norma; 4). Mempunyai status; 5). Memiliki rasa ketergantungan satu dengan yang lainnya.
Suatu inovasi yang diperkenalkan melalui kelompok akan berbeda dengan individu, dimana di dalam kelompok menurut Lionberger (1968) adanya tekanan-tekanan untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok. Kelompok mengembangkan norma-norma dan mempengaruhi anggota untuk berubah. Ada proses komunikasi kelompok mengawali setiap tindakan tersebut. Menurut Soekanto (1982), suatu proses komunikasi kelompok ditandai dengan interaksi sosial dan dinamika kelompok. Interaksi antara kebutuhan perorangan, tujuan dan peranan kelompok, norma-norma dan konflik dalam berfungsinya kelompok di antara anggota-anggota yang bergabung didalamnya dinamakan dinamika kelompok (Pace dan Faules, 1998).
Dinamika kelompok adalah kekuatan-kekuatan di dalam kelompok yang menentukan perilaku anggota kelompok. Menurut Carwright dan Zander (1968) dinamika kelompok adalah:
1) Suatu cara sebuah kelompok diorganisasikan dan dikelola. Ideologi ini menekankan pentingnya kepemimpinan yang demokratik, partisipasi anggota dalam keputusan dan memperoleh/mencapai tujuan kelompok maupun individu melalui kegiatan kelompok yang kooperatif.
2) Sejumlah teknik seperti role playing, membicarakan desas-desus (buzz sessions), pengamatan serta umpan balik dari proses kelompok dan keputusan kelompok.
3) Mencari keterangan untuk memperoleh pengetahuan tentang sifat dasar kelompok, aturan-aturan mengenai perkembangan mereka dan hubungan masing-masing individu dalam kelompok dengan individu lainnya, atau dengan kelompok lain dan institusi/lembaga yang lebih besar.
Menelaah dinamika kelompok berarti menelaah kekuatan-kekuatan yang muncul dari berbagai sumber di dalam kelompok. Kekuatan-kekuatan didalam kelompok tersebut menurut Cartwright dan Zander (1968) adalah:
(39)
1) Tujuan kelompok, merupakan gambaran tentang sesuatu hasil yang diharapkan dicapai oleh kelompok. Anggota kelompok berbuat sesuai tujuan kelompok karena kelompok mempunyai tujuan yang jelas dan anggota kelompok mengetahui arah kelompok.
2) Struktur kelompok, yaitu hubungan antara individu di dalam kelompok yang disesuaikan dengan posisi dan peranan masing-masing individu. Kelompok yang telah memiliki struktur yaitu kelompok yang telah memiliki hubungan yang stabil antar anggota kelompok
3) Fungsi tugas, adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok sehingga tujuannya tercapai.
4) Pembinaan kelompok, dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan kehidupan kelompok.
5) Kekompakan kelompok. Anggota yang tingkat kekompakkannya tinggi lebih terangsang untuk aktif mencapai tujuan kelompok dibandingkan anggota kelompok yang tingkat kekompakkannya rendah.
6) Suasana kelompok. Kelompok mempunyai suasana yang menentukan reaksi anggota terhadap kelompoknya. Suasana kelompok yang dimaksud yaitu rasa hangat dan setia kawan, rasa takut dan saling mencurigai, sikap saling menerima dan sebagainya.
7) Tekanan pada kelompok, adalah segala sesuatu yang menimbulkan tegangan pada kelompok untuk mendapatkan dorongan berbuat sesuatu dan tercapainya tujuan kelompok.
8) Efektivitas kelompok, dilihat dari segi produktivitas, moral dan kepuasan anggota.
Selanjutnya Pace dan Faules (1998) mengatakan bahwa ada dua tujuan besar interaksi anggota dan dinamika kelompok yakni:
1) Untuk mempertahankan kelompok atau tim agar tetap utuh dan berfungsi lancar (untuk mempertahankan kelompok yang amat padu).
2) Untuk mempertahankan agar kelompok atau tim melaksanakan pekerjaan yang mereka hadapi (untuk mempertahankan sikap berorientasi tugas melalui pendekatan sistematis terhadap pemecahan masalah).
2.4.7 Teori Koalisi
Koalisi dalam teori politik ialah penggabungan sekelompok parpol yang berkompetisi, secara bersama-sama memiliki persepsi tentang kepentingan, atau
(40)
dalam menghadapi ancaman serta dalam penggalangan energi secara kolektif (Heywood 2002 dalam Nurbaya, 2004).
Menurut Mason (2011) koalisi terjadi ketika para anggota kelompok mengatur untuk mendukung mereka tentang isu tertentu. Koalisi merupakan respon atas isu tertentu. Koalisi dibentuk untuk mempertahankan dan meningkatkan kepentingan diri sendiri, orang-orang dari individu atau kelompok dengan tujuan mencapai keseimbangan kekuatan yang menguntungkan serta memadai untuk keuntungan anggota koalisi itu. Definisi yang lebih lengkap adalah kelompok yang dibentuk untuk menyusun strategi yang akan menguntungkan mereka yang langsung terkena dampak. Adapun karakteristik umum yang ditemukan dalam koalisi, yakni: 1). Bertindak sebagai anggota kelompok; 2). Mempunyai tujuan tertentu; 3). Berisi sekelompok individu berinteraksi; 4). Independen dari struktur formal organisasi; 5). Tidak memiliki struktur formal; 6). Berorientasi pada masalah yang spesifik untuk memajukan tujuan kelompok; 7). Mempunyai persepsi sama diantara anggota; 7). Memiliki fokus eksternal.
Koalisi merupakan sebuah basis yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan yang sifatnya sementara. Bentuk lain dari koalisi adalah aliansi dan geng yang merupakan sebuah jaringan yang berbasis masyarakat umum yang bekerjasama untuk mengejar kepentingan diri sendiri (Mason, 2011). Selanjutnya menurut Mason (2011) keberadaan sebuah koalisi di sebakan oleh beberapa kodisi, yakni: 1). Harus ada satu masalah atau isu yang memerlukan tindakan atau sikap bersama karena persepsi yang sama terhadap masalah atau isu tersebut; 2). Mempunyai keyakinan bahwa mereka akan berhasil dengan membangun sebuah koalisi; 3). Mempunyai kesepakatan bahwa tindakan atau sikap harus dilakukan bersama-sama. Ketika respon kolektif ini mengarah ke tindakan terhadap suatu masalah atau isu dan berhasil berdasarkan tujuannya, maka koalisi akan dapat tumbuh dengan cepat. Koalisi yang berhasil mencapai tujuan akan menjadi koalisi yang berkuasa dan berpengaruh dalam sebuah sistem sosial.
Pada umumnya koalisi terbentuk berkaitan dengan masalah distribusi sumberdaya alam yang disebabkan karena keterbatasan sumberdaya alam tersebut atau distribusi sumberdaya alam yang tidak adil (Mason, 2011)
Berkaitan dengan pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo para penambang, penyuling dan pedagang membentuk sebuah koalisi yang lebih besar organisasinya dibanding dengan kelompoknya. Koalisi ini terbentuk dengan motivasi utama bidang ekonomi. Dengan terbentuknya koalisi ini hasil minyak mentah dapat
(41)
diolah menjadi solar dan minyak tanah sehingga minyak mentah mempunyai nilai tambah secara ekonomi.
2.4.8 Analisis Stakeholders
Stakeholders merupakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pertambangan rakyat, yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh tujuan pengelolaan pertambangan rakyat tersebut, baik individu, kelompok ataupun organisasi. Sementara itu, Eden dan Ackermann dalam Bryson (2004) menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power
(kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi. Dalam menentukan para stakeholders, harus dilakukan secara teliti, hal ini dikarenakan berpotensi mengesampingkan kelompok yang sebenarnya relevan dengan permasalahan utama, yang berakibat pada biasnya hasil penelitian. Oleh karena itu Reed et al (2009) menyebutkan bahwa analisis stakeholders perlu dilakukan dengan: 1) mendefinisikan aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, analisis stakeholders mempelajari bagaimana manusia berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan suberdaya alam dengan cara memisahkan peran stakeholders ke dalam rights (hak), responsibilities (tanggung jawab), revenues (pendapatan) serta relationship (menilai hubungan antar peran tersebut) (Mayers 2005; Reed et al. 2009).
Untuk mengetahui karakteristik permasalahan pengelolaan pertambangan rakyat dari aspek pengaruh dan kepentingannya, dilakukan dengan analisis
stakeholders. Menurut Reed et al (2009), analisis stakeholders dilaksanakan dengan cara; 1). Melakukan identifikasi stakeholders; 2). Mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders; 3). Menyelidiki hubungan antar stakeholders.
Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan pengelolaan pertambangan rakyat. Jika pembatasan stakeholders telah ditetapkan sejak awal, maka stakeholders memang dapat lebih mudah teridentifikasi, tetapi hal ini mengandung resiko bahwa beberapa stakeholders akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini menjadi tidak relevan lagi.
(1)
149
Lampiran 13 Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang telah tersertifikasi
TataWaktu RantaiPemasaran SistemPenjualan JumlahPKR
Spearman's rho Kepercayaan Correlation Coefficient .115 .059 .132 .080
Sig. (2-tailed) .396 .663 .327 .556
N 57 57 57 57
JaringanSosial Correlation Coefficient .171 .279* .167 .188
Sig. (2-tailed) .204 .035 .213 .160
N 57 57 57 57
NormaSosial Correlation Coefficient .085 .075 .037 .094
Sig. (2-tailed) .529 .577 .786 .487
N 57 57 57 57
T.Proaktif Correlation Coefficient .305* .358** .157 .345**
Sig. (2-tailed) .021 .006 .244 .009
N 57 57 57 57
Kepedulian Correlation Coefficient .059 .052 .025 .065
Sig. (2-tailed) .662 .699 .851 .629
N 57 57 57 57
JumlahMDOS Correlation Coefficient .288* .372** .188 .328*
Sig. (2-tailed) .030 .004 .161 .013
N 57 57 57 57
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
(2)
150
Lampiran 14 Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang belum tersertifikasi
TataWaktu RantaiPemasaran SistemPenjualan JumlahPKR
Spearman's rho Kepercayaan Correlation Coefficient .047 .079 .079 .070
Sig. (2-tailed) .724 .556 .556 .602
N 58 58 58 58
Jaringan Correlation Coefficient .227 -.026 -.026 .211
Sig. (2-tailed) .086 .848 .848 .112
N 58 58 58 58
NormaSosial Correlation Coefficient .072 .044 .044 .079
Sig. (2-tailed) .593 .742 .742 .554
N 58 58 58 58
T.Proaktif Correlation Coefficient .439** .270* .270* .485**
Sig. (2-tailed) .001 .040 .040 .000
N 58 58 58 58
Kepedulian Correlation Coefficient .114 .070 .070 .126
Sig. (2-tailed) .395 .601 .601 .347
N 58 58 58 58
JumlahMDos Correlation Coefficient .387** .187 .187 .418**
Sig. (2-tailed) .003 .159 .159 .001
N 58 58 58 58
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
(3)
151
Lampiran 15 Nilai rata-rata dan rata-rata rating faktor strategis pada analisis SWOT
a.
Nilai rata-rata bobot dan rata-rata rating faktor strategis internal
Faktor Strategis Internal Kekuatan Jumlah
Bobot
Rata-rata
bobot Jumlah Rating
Rata-rata rating 1 Karakteristik individu yang cukup baik (usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) 0.575 0.082 28 4.000 2 Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat
pemerintahan dan instansi kehutanan 0.455 0.065 25 3.571
3 Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik 0.526 0.075 27 3.857 4 Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi 0.409 0.058 25 3.571
5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi 0.510 0.073 28 4.000
6 Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik 0.515 0.074 27 3.857
7 Kebiasaan masyarakat secara turun temurun 0.440 0.063 24 3.429
8 Salah satu sumber penghasilan yang mudah diperoleh 0.445 0.064 28 4.000
9 Tidak membutuhkan budidaya intensif 0.265 0.038 24 3.429
10 Transportasi dan aksesbiltas yang cukup baik 0.140 0.020 17 2.429
Jumlah Kekuatan 4.280 0.611 253 36.143
Faktor Strategis Internal Kelemahan Jumlah
Bobot
Rata-rata
bobot Jumlah Rating
Rata-rata rating 1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah (formal maupun non formal) 0.395 0.056 25 3.571 2 Kelembagaan kelompok tani belum berfungsi secara optimal di Masyarakat 0.395 0.056 26 3.714
3 Keterbatasan informasi dan aksesnya 0.165 0.024 16 2.286
4 Minimnya pemahaman masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat yang baik 0.275 0.039 22 3.143
5 Belum adanya rencana yang bersifat stategis 0.180 0.026 18 2.571
6 Kurangnya tenaga kerja 0.095 0.014 11 1.571
7 Mayoritas petani subsisten 0.405 0.058 27 3.857
8 Proses pemanenan dilakukan sesuai dengan kebutuhan "tebang butuh" 0.565 0.081 28 4.000 9 Pemahaman masyarakat terhadap pengertian sertifikasi masih rendah 0.245 0.035 15 2.143
Jumlah Kelemahan 2.720 0.389 188.000 26.857
(4)
152
Lampiran 15 Nilai rata-rata dan rata-rata rating faktor strategis ………(lanjutan)
b.
Nilai rata-rata bobot dan rata-rata rating faktor strategis internal
Faktor StrategisEksternal Peluang Jumlah
Bobot
Rata-rata
bobot Jumlah Rating
Rata-rata rating 1 Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur dari instansi terkait 0.645 0.092 24 3.429
2 Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 0.650 0.093 25 3.571
3 Permintaan kayu rakyat semakin meningkat 0.630 0.090 25 3.571
4 Adanya alih fungsi lahan 0.360 0.051 19 2.714
5 Adanya fasilitasi dari LSM PERSEPSI dalam pengelolaan hutan lestari 0.345 0.049 18 2.571
Jumlah Kekuatan 2.630 0.376 111 15.857
Faktor Strategis Eksternal Ancaman Jumlah
Bobot
Rata-rata
bobot Jumlah Rating
Rata-rata rating 1 Program pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat yang dilaksanakan terbatas pada
tingkat keproyekan. 0.685 0.098 28 4.000
2 Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang pengelolaan hutan rakyat
dan perdagangan belum maksimal 0.665 0.095 28 4.000
3 Kondisi lahan yang kritis umumnya batu bertanah 0.700 0.100 28 4.000
4 Ketergantungan yang besar terhadap pedagang/bakul 0.590 0.084 21 3.000
5 Adanya sumbangan yang di bebankan dalam pemanenan kayu oleh tingkat desa 0.220 0.031 14 2.000
6 Kebijakan retribusi/sumbangan terhadap pengankutan kayu 0.205 0.029 14 2.000
7 Tidak ada nya perbedaan harga antara kayu rakyat yang dihasilkan dari lahan yang telah
tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi 0.670 0.096 21 3.000
8 Minimnya pasar yang membeli kayu rakyat yang telah tersertifikasi 0.635 0.091 28 4.000
Jumlah Strategis Internal Ancaman 4.370 0.624 182 26.000
(5)
Lampiran 16 Prioritas strategi alternatif terpilih berdasarkan QSPM
Faktor Strategis Bobot
Skor Ketertarikan
Straregi I Strategi II
AS TAS AS TAS
Kekuatan 0.600 3.486 2.149 3.186 1.964
1 Karakteristik individu yang cukup baik (usia
produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) 0.078 3.429 0.267 3.286 0.256
2
Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan dan instansi kehutanan
0.065 3.857 0.251 3.429 0.223
3 Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan
sosial yang cukup baik 0.067 3.857 0.258 3.571 0.239
4 Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat tinggi 0.055 3.286 0.181 2.857 0.157
5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi 0.060 3.857 0.231 3.429 0.206
6 Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik 0.065 3.857 0.251 3.714 0.241
7 Kebiasaan masyarakat secara turun temurun 0.070 4.000 0.280 3.571 0.250
8 Salah satu sumber penghasilan yang mudah
diperoleh 0.070 3.571 0.250 3.286 0.230
9 Tidak membutuhkan budidaya intensif 0.060 2.571 0.154 2.286 0.137
10 Transportasi dan aksesibilitas yang cukup baik 0.010 2.571 0.026 2.429 0.024
Kelemahan 0.400 2.921 1.336 2.635 1.214
1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah
(formal maupun non formal) 0.035 3.143 0.110 2.857 0.100
2 Kelembagaan kelompok tani belum berfungsi
secara optimal di Masyarakat 0.080 3.429 0.274 3.571 0.286
3 keterbatasan informasi dan aksesnya 0.025 2.571 0.064 2.143 0.054
4 minimnya pemahaman masyarakat tentang
pengelolaan hutan rakyat yang baik 0.050 3.714 0.186 3.000 0.150
5 belum adanya rencana yang bersifat stategis 0.040 3.000 0.120 2.000 0.080
6 Kurangnya tenaga kerja 0.020 1.143 0.023 1.429 0.029
7 mayoritas petani subsisten 0.060 4.000 0.240 3.429 0.206
8 proses pemanenan dilakukan sesuai dengan
kebutuhan "tebang butuh" 0.075 4.000 0.300 3.857 0.289
9 Pemahaman masyarakat terhadap pengertian
(6)
154
Lampiran 16 Prioritas strategi alternatif terpilih ………(Lanjutan)
Faktor Strategis Bobot
Skor Ketertarikan
Straregi I Strategi II
AS TAS AS TAS
Peluang 0.363 2.886 1.118 2.771 1.073
1 Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur dari
instansi terkait 0.088 3.429 0.302 3.286 0.289
2 Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 0.090 3.286 0.296 3.143 0.283
3 Permintaan kayu rakyat semakin meningkat 0.100 3.429 0.343 3.286 0.329
4 Adanya alih fungsi lahan 0.035 2.429 0.085 2.286 0.080
5 Adanya fasilitasi dari LSM PERSEPSI dalam
pengelolaan hutan lestari 0.050 1.857 0.093 1.857 0.093
Ancaman 0.637 2.070 0.000 2.062
1
Program pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat yang dilaksanakan terbatas pada tingkat keproyekan.
0.110 3.714 0.409 3.857 0.424
2
Kegiatan sosialisas, pendampingan dan
penyuluhan tentang pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan belum maksimal
0.100 3.714 0.371 3.571 0.357
3 Kondisi lahan yang kritis umumnya batu bertanah 0.092 3.571 0.329 3.714 0.342
4 ketergantungan yang besar terhadap
pedagang/bakul 0.090 2.429 0.219 2.429 0.219
5 Adanya sumbangan yang di bebankan dalam
pemanenan kayu oleh tingkat desa 0.035 1.714 0.060 1.571 0.055
6 Kebijakan retribusi/sumbangan terhadap
pengankutan kayu 0.025 2.000 0.050 1.857 0.046
7
tidak ada nya perbedaan harga antara kayu rakyat yang dihasilkan dari lahan yang telah tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi
0.095 3.143 0.299 3.000 0.285
8 Minimnya pasar yang membeli kayu rakyat yang