94 Kecamatan Kuta Selatan adalah antara pedagang pengumpul dengan petani yang
mengelola pemasaran secara individu. Kerjasama yang dilakukan adalah terkait mengenai hal permodalan. Pedagang pengumpul memberikan bantuan pinjaman
modal kepada para petani. Pinjaman modal yang diberikan bebas dari bunga pinjaman, sehingga tidak memberatkan petani. Bantuan pinjaman ini juga sebagai
upaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan rumput laut kering dari para petani ke pihak pedagang pengumpul. Dalam pemberian pinjaman selain didasari oleh
adanya hubungan dagang tetapi juga rasa saling percaya antara petani dengan pihak pedagang pengumpul.
6.6. Analisis Marjin Tataniaga
Penentuan tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui pendekatan analisis marjin tataniaga. Marjin tataniaga adalah penjumlahan dari
seluruh biaya pemasarantataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dan besarnya keuntungan yang diambil dalam aktivitas penyaluran komoditas dari
lembaga tataniaga yang satu ke lembaga tataniaga lainnya. Marjin tataniaga yang diperhitungkan dalam penelitian ini berdasarkan pada pola saluran tataniaga yang
terbentuk dalam aktivitas tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa. Dalam penelitian ini, marjin tataniaga dapat dilihat di masing – masing
lembaga tataniaga maupun secara keseluruhan di setiap saluran tataniaga. Perhitungan marjin diperoleh dari nilai selisih antara harga jual dan harga
beli di setiap lembaga tataniaga serta selisih antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat lembaga tataniaga akhir yang terdapat dalam pola saluran
tataniaga yang terbentuk. Beberapa komponen yang diperhitungkan dalam penentuan marjin tataniaga meliputi biaya pemasarantataniaga dan keuntungan
yang diperoleh. Biaya pemasarantataniaga merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam menyalurkan rumput laut dari
Kecamatan Kuta Selatan sampai ke tangan eksportir. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing – masing lembaga tergantung dari banyaknya
penanganan terhadap rumput laut atau fungsi – fungsi tataniaga yang dijalankan. Biaya yang dikeluarkan dalam penyaluran komoditi rumput laut meliputi biaya
pengangkutan, biaya tenaga kerja, biaya pengemasan, retribusi dan biaya lainnya. Sedangkan nilai keuntungan diperoleh dari pengurangan harga jual terhadap harga
95 beli yang telah ditambah dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan. Rincian
perhitungan marjin tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa dapat dilihat pada Lampiran 9.
Lampiran 9 menunjukkan tingkat marjin yang diperoleh pada masing – masing lembaga tataniaga serta marjin yang terbentuk dalam setiap pola saluran
tataniaga seperti skema yang terbentuk pada Gambar 5. Penentuan efisiensi menurut marjin tataniaga pada suatu saluran dilihat dengan membandingkan nilai
marjin yang ada pada setiap saluran. Semakin kecil marjin yang diperoleh maka saluran tataniaga tersebut dianggap semakin efisien. Berdasarkan Lampiran 8,
terlihat bahwa terdapat perbedaan harga jual di tingkat petani. Hal ini terlihat antara harga jual pada saluran I terhadap harga jual di saluran II dan III dengan
selisih harga sebesar Rp 1.600,00 per kilogram rumput laut kering. Perbedaan harga ini diakibatkan karena adanya perbedaan sistem pengelolaan penjualan yang
diterapkan oleh petani rumput laut. Pada saluran I pengelolaan penjualan dilakukan melalui kelompok tani sementara pada saluran II dan III petani rumput
laut mengelola pemasaran secara individu. Perbedaan sistem pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani juga
mengakibatkan adanya perbedaan struktur biaya pascapanen yang dikeluarkan oleh petani. Pada petani yang tergabung dalam kelompok tani terdapat biaya
tataniaga yang dikeluarkan sebagai biaya operasional kelompok untuk memperlancar aktivitas tataniaga yang dijalankan. Selain itu, kelompok tani
memiliki tujuan pemasaran langsung kepada agen perantara dari eksportir yang terdapat di Surabaya, sehingga jaminan mutu serta penyaluran produk harus
melalui penanganan yang baik misalnya saja terkait pengemasan yang dilakukan oleh kelompok tani untuk tetap menjaga kualitas rumput laut selama proses
pengangkutan. Sementara itu pada tingkat petani di saluran II dan III tidak terdapat pengeluaran untuk biaya tataniaga. Petani pada kedua saluran ini
umumnya hanya menyerahkan rumput laut kering langsung kepada pihak pedagang pengumpul tanpa melakukan pengemasan terhadap hasil panen yang
diperoleh. Biaya tataniaga tertinggi dalam sistem tataniaga rumput laut yang ada di
Kecamatan Kuta Selatan terdapat pada saluran tataniaga II yaitu sebesar Rp
96 1.126,41 untuk setiap kilogram rumput laut kering. Tingginya biaya tataniaga
pada saluran ini dipengaruhi oleh jumlah lembaga tataniaga yang terlibat serta banyaknya penerapan fungsi – fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing –
masing lembaga yang terlibat di dalam saluran. Sementara itu, pada saluran tataniaga I, biaya tataniaga yang dikeluarkan merupakan biaya tataniaga terkecil
diantara tiga pola saluran tataniaga yang terbentuk. Biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran I adalah sebesar Rp 523,94 per kilogram rumput laut
kering. Rendahnya biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran ini karena dalam saluran ini terdapat upaya yang optimal dalam memenuhi standar kualitas
bagi rumput laut yang akan diekspor, sehingga tidak terjadi pelaksanaan fungsi tataniaga yang berulang di setiap lembaga tataniaga, karena pengulangan
pelaksanaan fungsi ini akan mengakibatkan biaya tataniaga yang berlipat yang dikeluarkan dalam saluran tataniaga. Pada saluran tataniaga III terbentuk pola
yang sama dengan saluran II, namun terdapat perbedaan pelaksanaan fungsi tataniaga dan penanganan produk yang dilakukan di tingkat pedagang pengumpul,
berupa penyortiran kembali di tingkat pedagang pengumpul yang mampu meningkatkan nilai tambah dari rumput laut yang akan dijual kepada pihak
eksportir sehingga mempengaruhi tingkat perolehan marjin yang diinginkan. Keuntungan terbesar terdapat pada saluran tataniaga III dengan
keuntungan sebesar Rp 1.846,09. Keuntungan yang tinggi ini akibat standarisasi yang tidak terlaksana dengan baik khususnya di tingkat petani. Hal ini
mengakibatkan lembaga tataniaga khususnya di tingkat eksportir perlu melakukan penanganan yang lebih dengan pelaksanaan fungsi yang berulang terhadap rumput
laut yang diterima sehingga pihak eksportir perlu mengeluarkan biaya tataniaga yang lebih tinggi. Total biaya yang dikeluarkan tinggi akibat semakin banyak
fungsi tataniaga yang dijalankan oleh suatu lembaga tataniaga maka akan semakin besar pengharapan marjin yang ingin didapatkan dari aktivitas tataniaga yang
dijalankan, begitu juga halnya pada tingkat eksportir pada pola saluran tataniaga III. Sementara itu, pada saluran tataniaga I memiliki keuntungan terkecil dengan
nilai keuntungan sebesar Rp 809,06 per kilogram rumput laut kering. Pada saluran ini petani memiliki kemampuan dalam mengakses informasi harga yang berlaku
di pasaran serta adanya upaya menjamin kualitas rumput laut yang ditawarkan
97 merupakan bentuk nilai tambah yang diberikan sehingga dapat memotong marjin
yang akan terbentuk dalam saluran, sehingga keuntungan pun akan semakin kecil. Pada sistem tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Keurahan Benoa,
Kecamatan Kuta Selatan yang dianalisis dalam penelitian ini terdapat perbedaan kualitas rumput laut yang diperdagangkan pada saluran I dengan saluran II dan
III. Perbedaan harga di tingkat petani dipengaruhi oleh tingkat kualitas rumput laut kering yang dihasilkan oleh petani. Pada saluran I, rumput laut kering yang
dijual dengan harga Rp 8.600 per kilogram merupakan rumput laut kering berkualitas baik dengan kadar air 35 persen, sementara pada saluran II dan III
memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan rumput laut pada saluran I. Pada waktu penelitian tidak diperoleh informasi kadar air pada rumput laut kering
yang diperdagangkan pada saluran II dan III. Melalui perhitungan dengan asumsi bahwa semakin tinggi kadar air yang dihasilkan maka perolehan harga rumput
laut di tingkat petani akan semakin kecil, maka diperoleh nilai kadar air rumput laut kering pada saluran II dan III sebesar 43 persen.
Perbandingan antar saluran dapat dilakukan dengan menyetarakan kualitas rumput laut kering yang diperjualbelikan pada masing – masing saluran tataniaga.
Dalam analisis marjin tataniaga pada penelitian ini dilakukan perhitungan dengan asumsi dilakukan peningkatan kualitas rumput laut kering pada saluran II dan III
melalui peningkatan kualitas kadar air dari kondisi awal dengan nilai kadar air 43 persen menjadi 35 persen. Penurunan kadar air sebesar delapan persen ini
menunjukkan peningkatan kualitas rumput laut kering sehingga akan berdampak pada peningkatan harga jual di tingkat petani pada saluran II dan III dari
penetapan harga awal Rp 7.000 menjadi Rp 8.540 per kilogram rumput laut kering.
98
Tabel 13. Perhitungan Marjin Tataniaga setelah Peningkatan Kualitas Rumput
Laut Kering Saluran
Unsur I II III
Rpkg Rpkg Rpkg
Kelompok TaniPetani
Harga Jual Biaya Tataniaga
Margin Keuntungan
π 8.600,00
120,33 186,00
65,67 88,23
1,23 1,91
0,67 8.540,00
119,49 86,02
1,20 8.540,00
119,49 86,02
1,20
Pedagang Pengumpul
Harga Beli Harga Jual
Biaya Tataniaga Margin
Keuntungan
π 8.540,00
8.949,00 82,95
409,00 326,05
86,02 90,14
0,84 4,12
3,28 8.540,00
8.703,00 45,97
163,00 117,03
86,02 87,67
0,46 1,64
1,18
Agen Perantara Harga Beli
Harga Jual Biaya Tataniaga
Margin Keuntungan
π 8.600,00
8.750,00 150,00
150,00 88,23
89,77 1,54
1,54
Eksportir Harga Beli
Harga Jual Biaya Tataniaga
Margin Keuntungan
π 8.750,00
9.747,00 253,61
997,00 743,39
89,77 100,00
2,60 10,23
7,63 8.949,00
9.927,50 413,16
978,50 565,34
90,14 100,00
4,16 9,86
5,69 8.703,00
9.927,50 416,00
1.224,50 808,34
87,67 100,00
4,19 12,33
8,14 Total Biaya
Tataniaga 523,94
5,38 615,60
6,20 581,62 5,86 Total Keuntungan
809,06 8,30
891,39 8,98
925,37 9,32
Total Marjin 1.333,00
13,68 1.387,50
13,98 1.387,50
13,98 Peningkatan kualitas rumput laut kering ini mengakibatkan terjadinya
pengeluaran biaya tataniaga di tingkat petani. Peningkatan kualitas akan memperkecil marjin tataniaga pada saluran tataniaga II dan III. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 13. Melalui peningkatan kualitas melalui penurunan kadar air sebesar delapan persen mampu memperkecil marjin sebesar 53 persen atau
menurun dari nilai Rp 2.927,50 menjadi Rp 1.387,50. Adanya upaya tersebut dinilai mampu meningkatkan efisiensi saluran terbukti dengan adanya penurunan
nilai marjin dan adanya peningkatan kualitas rumput laut yang diproduksi.
99 Sementara saluran I tetap menghasilkan nilai marjin tataniaga terkecil yaitu
sebesar Rp 1.333,00 per kg rumput laut kering.
6.7. Analisis Farmer’s Share