Tataniaga rumput laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali

(1)

I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 6,5 persen pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010. PDB merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu negara pada periode waktu tertentu. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi dalam perekonomian nasional. Hal tersebut disampaikan melalui laporan dari Badan Pusat Statistika.

Berdasarkan laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan disebutkan bahwa laju pertumbuhan produksi perikanan nasional sejak tahun 2006 – 2010 mencapai 9,68 persen per tahun dengan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 3,14 persen atau sekitar Rp 148,16 triliun. Pada subsektor perikanan budidaya terjadi pertumbuhan sebesar 19,56 persen sementara pada perikanan tangkap hanya sebesar 2,78 persen. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi untuk mengembangkan sektor perikanan khususnya pada subsektor perikanan budidaya.

Perikanan budidaya merupakan salah satu sektor primadona di hulu dalam penyediaan bahan baku. Saat ini subsektor perikanan budidaya telah menetapkan empat komoditas utama dalam mendukung kebijakan industrialisasi perikanan, yaitu udang, rumput laut, bandeng dan patin. Indonesia memiliki potensi perikanan budidaya dengan luas lahan mencapai lebih dari 15,59 juta ha. Potensi perikanan budidaya ini terbagi menjadi potensi perikanan budidaya air tawar seluas 2,23 juta ha, budidaya air payau seluas 1,22 juta ha dan potensi terbesar pada budidaya laut yang mencapai 12,14 juta ha. Sampai dengan tahun 2010, pemanfaatan lahan budidaya laut baru mencapai 117.649 ha atau hanya sekitar 0,01 persen dari potensi yang ada.

Berdasarkan data produksi perikanan budidaya laut pada Tabel 1, menujukkan dalam waktu lima tahun terakhir produksi rumput laut tetap menjadi komoditi unggulan pada subsektor perikanan budidaya laut. Komoditi rumput laut merupakan komoditi dengan total produksi terbesar diantara komoditi perikanan budidaya laut utama yang ada di perairan Indonesia.


(2)

Tabel 1. Produksi Perikanan Budidaya Laut Indonesia Tahun 2006 – 2010 (Ton)

Komoditi Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

Kerapu 3.132 6.370 4.768 7.648 7.657

Kakap 630 523 707 2.399 2.311

Udang Barong 558 - 292 339 311

Kerang 18.1895 15.623 19.662 15.857 58.079

Teripang 736 94 278,8 629 475,7

Rumput Laut 1.341.141 1.485.654 1.937.591 2.791.688 3.299.436

Bandeng - - 469 99 311

Sumber : Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011)

Rumput laut adalah salah satu komoditi strategis kelautan dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, volume produksi rumput laut Indonesia mengalami peningkatan dari produksi pada tahun 2009 sebesar 2.791.688 meningkat menjadi 3.299.436 pada tahun 2010. Nilai ekspor komoditas rumput laut pada tahun 2010 naik 54,87 persen menjadi US$ 135 juta dibanding tahun 2009 yang hanya mencapai US$ 87,77 juta. Volume ekspor rumput laut juga naik dari 94.003 ton pada tahun 2009 menjadi 123.074 ton pada tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan ekspor rumput laut Indonesia yang tersaji pada Tabel 2. Potensi pengembangan rumput laut di Indonesia sangat besar mengingat komoditas ini merupakan komoditas perdagangan internasional yang telah diekspor ke berbagai negara seperti Philipina, Chili, Korea Selatan dan China.

Tabel 2. Perkembangan Ekspor Rumput Laut di Indonesia Tahun 2006 - 2010 Tahun Volume ( kg) Nilai (US $) Harga (Rp/kg)

2006 95.588.055 49.586.226 4.681,71

2007 94.073.398 57.522.350 5.625,45

2008 99.947.976 110.153.291 10.470,01

2009 94.003.326 87.773.297 8.870,39

2010 123.074.961 135.939.458 10.034,61


(3)

Berdasarkan data perkembangan ekspor rumput laut pada tahun 2006 hingga 2010 menunjukkan bahwa ekspor rumput laut cenderung mengalami peningkatan, walaupun sempat terjadi penurunan volume ekspor dan nilai ekspor pada tahun 2009 kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010. Peningkatan volume ekspor tersebut dapat mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan permintaan rumput laut dunia untuk setiap tahunnya. Hal ini tentunya menjadi peluang bagi Indonesia, untuk meningkatkan produksi serta pemasaran rumput laut untuk pemenuhan kebutuhan di pasar internasional. Data harga ekspor pada Tabel 2 diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai hasil dari nilai ekspor rumput laut dibagi dengan volume ekspor rumput laut.

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan daya tarik keindahan pesona wisata laut. Pesona perairan di wilayah Bali tidak hanya pada sektor pariwisata saja namun juga dari kekayaan komoditi budidaya laut yang telah lama dikembangkan, termasuk pengembangan budidaya rumput laut. Wilayah perairan laut di provinsi Bali mencapai angka ± 95.000 km2 dengan luas lahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam budidaya laut adalah sekitar 1.551,75 ha dan berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali pada tahun 2008 luas lahan potensial tersebut baru dimanfaatkan untuk usaha budidaya laut seluas 418,5 ha dengan komoditi utama yang telah dikembangkan adalah rumput laut jenis Euchema cotonii sp dan

Eucheuma spinosum sp. Rumput laut untuk jenis Eucheuma sp memiliki potensi untuk dikembangkan karena adanya peluang terkait tingginya permintaan pasar jika dibandingkan dengan jenis rumput laut lainnya seperti Gracilaria sp seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Peluang Pasar Perdagangan Rumput Laut

Jenis Produk 2006 2007 2008 2009 2010

Eucheuma sp

Permintaan Dunia ( ton) 202.300 218.100 235.300 253.900 274.100

Produksi Indonesia (ton) 56.000 60.000 66.000 73.000 80.000

Gracilaria sp

Permintaan Dunia (ton) 79.200 87.040 95.840 105.440 116.000

Produksi Indonesia (ton) 29.000 36.000 41.500 48.000 57,50


(4)

Komoditi rumput laut khususnya untuk jenis Eucheuma sp, mulai dibudidayakan secara massal di Indonesia pada tahun 1984 di wilayah perairan Bali meliputi wilayah Nusa Dua, Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Pada produksi rumput laut nasional, Bali memberikan kontribusi sebagai salah satu dari sepuluh provinsi penghasil rumput laut terbesar pada skala nasional. Hal ini didasarkan pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai produksi rumput laut di beberapa provinsi utama di Indonesia yang tersaji pada Tabel 4. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa antara tahun 2004 – 2008 terjadi fluktuasi hasil produksi rumput laut di Provinsi Bali. Produksi rumput laut mengalami penurunan pada tahun 2007 kemudian meningkat kembali pada tahun 2008. Tingkat produksi rumput laut di Provinsi Bali menempati urutan ketiga diantara sepuluh provinsi utama penghasil rumput laut di Indonesia.

Tabel 4. Produksi Rumput Laut menurut Provinsi Utama Tahun 2004 - 2008

No. Provinsi Tahun (dalam ton basah)

2004 2005 2006 2007 2008 1. Sulawesi

Selatan

24.784 204.397 409.422 418.063 690.385

2. NTT 66.423 271.846 478.114 504.699 566.495 3. Bali 156.104 161.053 164.804 152.317 170.860 4. Sulawesi

Tenggara

84.725 12.041 24.660 82.092 89.510

5. NTB 39.091 36.747 60.410 76.552 84.750

6. Maluku 2.480 722 3.104 17.013 37.590

7. Kalimantan Timur

126 297 1.772 17.730 19.820

8. Jawa Timur 41 6.245 10.231 12.932 16.300

9. Jawa Barat 2.687 775 143 85 14.100

10. Lampung 1.210 449 1.074 1.850 9.190

11. Lainnya 405.472 877.319 1.345.077 1.488.463 1.951.910 Sumber : Data Statistik Ditjen. Perikanan Budidaya, DKP (Dalam Buku Profil Rumput Laut


(5)

Provinsi Bali memiliki beberapa sentra wilayah dalam pembudidayaan komoditi rumput laut. Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, terdapat tiga kabupaten/kota dengan potensi terbesar dalam pengembangan budidaya rumput laut, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Klungkung. Hal ini dapat dilihat pada data yang tersaji pada Tabel 5 mengenai total produksi rumput laut yang dihasilkan oleh masing – masing kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali. Sampai dengan akhir tahun 2011, produksi rumput laut mencapai 141.863,4 ton basah dengan nilai produksi sebesar Rp 263.954.294.000 yang dapat dilihat pada data di Lampiran 3.

Tabel 5. Total Produksi Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2008 – 2010 (Ton)

No. Kabupaten/Kota Tahun

2008 2009 2010

1. Denpasar 2.795,8 2.931,5 1.348,5

2. Badung 23.469,0 28.393,5 29.026,4

3. Buleleng 1.614,3 1.251,4 751,3

4. Klungkung 101.210,2 103.234,5 101.514,6

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (data diolah, 2012)

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat empat kabupaten/kota di wilayah Provinsi Bali yang berperan sebagai penghasil komoditi rumput laut. Kabupaten Badung merupakan penghasil rumput laut kedua terbesar di wilayah Provinsi Bali. Produksi rumput laut di Kabupaten Badung pada sepanjang tahun 2008 hingga 2010 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan produksi sebesar 20,98 persen dibandingkan produksi pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2010, produksi juga mengalami peningkatan namun tidak sebesar peningkatan pada tahun 2009, pada tahun 2010 peningkatan hanya sebesar 2,23 persen dari total produksi di tahun 2009 sebesar 28.393,5 ton menjadi 29.026,4 ton pada tahun 2010.

Wilayah Bali Selatan yang termasuk dalam regional wilayah Kabupaten Badung memiliki areal potensi rumput laut seluas 95 ha yang tersebar dari Pantai Sawangan, Pantai Kutuh, dan Pantai Geger yang berada di dalam wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Hasil produksi rumput laut di wilayah Kabupaten


(6)

Badung tahun 2010 mencapai 29.026 ton basah. Perkembangan produksi rumput laut di wilayah Kabupaten Badung mengalami fluktuasi yang selanjutnya berpengaruh terhadap nilai dari rumput laut, hal ini dapat dilihat melalui data pada Tabel 6. Namun tingkat harga rumput laut di Kabupaten Badung cenderung mengalami peningkatan pada tahun 2006 hingga 2010, walaupun sempat terjadi penurunan harga sebesar 33,10 persen pada tahun 2009. Tingkat harga rumput laut diperoleh melalui perbandingan nilai produksi terhadap produksi rumput laut di Kabupaten Badung. Data pada Tabel 2 dan Tabel 6 dapat diperlihatkan bahwa terdapat marjin dalam membandingkan harga rumput laut yang masih dalam kondisi segar yang ditunjukkan pada Tabel 6 dengan rumput laut yang siap untuk ekspor yang diwakili oleh data yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 6. Perkembangan Total dan Nilai Produksi Rumput Laut di Kabupaten Badung Tahun 2006 – 2010

Tahun Produksi

(Ton) %

Nilai Produksi

( Rp .000) Harga (Rp/kg)

2006 46.166,5 - 30.009.525 650,02

2007 34.821,7 - 24,57 % 22.635.395 650,03

2008 22.005,1 - 36,81 % 36.332.685 1.651,10

2009 28.393,5 29,03 % 31.364.149 1.104,62

2010 29.026,4 2,23 % 32.302.258 1.112,85

Sumber : Buku Saku Statistik Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung 2007 – 2011 (data diolah, 2012)

Hasil produksi rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan memberikan kontribusi hampir 100 persen penuh terhadap produksi rumput laut di Kabupaten Badung. Hal ini dapat dilihat pada data produksi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan pada Lampiran 4. Berdasarkan data pada Tabel 6 menunjukkan harga rumput laut setiap tahun juga cenderung mengalami peningkatan. Namun tidak demikian dengan harga yang diperoleh petani rumput laut setiap periode panen. Fluktuasi harga jual rumput laut tetap dirasakan oleh para petani rumput laut. Fluktuasi harga yang terjadi tentunya mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani. Dalam mengoptimalkan kegiatan budidaya rumput laut tentunya perlu didukung dengan aktivitas pemasaran yang mampu meningkatkan nilai tambah dari rumput laut yang dihasilkan serta


(7)

menentukan kesejahteraan di tingkat petani. Selain itu adanya marjin dalam penetapan harga rumput laut yang ditujukan untuk pasar ekspor menunjukkan adanya berbagai perilaku dalam upaya pemberian nilai tambah dalam kegiatan ekspor rumput laut. Oleh karena itu diperlukan adanya penelusuran mengenai penerapan fungsi – fungsi pemasaran rumput laut di Indonesia melalui pendekatan sistem tataniaga yang dijalankan khususnya pada komoditi rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.

1.2. Perumusan Masalah

Peningkatan ekspor rumput laut dunia menunjukkan adanya peluang dalam hal pemasaran rumput laut. Kebutuhan dunia terhadap produk olahan rumput laut cukup tinggi diantaranya bagi industri pengolahan agar – agar, karaginan dan alginat. Kontinuitas suplai rumput laut tentunya sangat diperlukan dalam kegiatan industri pengolahan pengguna bahan baku rumput laut serta kegiatan perdagangan luar negeri terkait ekspor rumput laut. Bali sebagai salah satu sentra pembudidayaan rumput laut nasional memiliki kontribusi dalam kegiatan ekspor komoditi yang dikenal sebagai “emas” hijau lautan Indonesia. Menurut data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyebutkan realisasi ekspor rumput laut yang berasal dari Bali pada tahun 2011 berjumlah 23,6 ton senilai US $ 15.720.

Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi pengembangan budidaya rumput laut di Provinsi Bali. Rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kabupaten Badung memiliki jaminan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang berada di wilayah Provinsi Bali. Berdasarkan Tabel 5, Kabupaten Klungkung memiliki keunggulan dalam hal kuantitas produksi rumput laut namun jika dibandingkan dengan kualitas, rumput laut di Kabupaten Badung memiliki jaminan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Klungkung. Berdasarkan hasil penelusuran kepada petani rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, petani menyebutkan bahwa harga yang mereka terima lebih tinggi dibandingkan petani rumput laut di wilayah Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Hal ini juga dapat dilihat melalui perbandingan harga rumput laut di tiga kabupaten/kota dengan jumlah produksi rumput laut terbesar di Provinsi Bali yang tersaji pada Gambar 1.


(8)

Data pada Gambar 1 diolah melalui pendekatan total produksi dan nilai produksi di tiga kabupaten/kota penghasil rumput laut terbesar di Provinsi Bali yang terdapat pada Lampiran 2. Penetapan harga yang lebih tinggi mengindikasikan adanya jaminan kualitas yang lebih baik sehingga adanya kesediaan untuk membayar lebih tinggi.

  Gambar 1. Tingkat Harga Rumput Laut di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali (data diolah, 2011)

Aktivitas pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Badung didominasi oleh para petani di wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Kuta Selatan menjadi sentra pembudidayaan rumput laut dengan kontribusi hampir 100 persen pada total produksi rumput laut di wilayah Kabupaten Badung pada tahun 2009 dan 2010. Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa merupakan lokasi sentra budidaya rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan khususnya untuk jenis Euchema cotonii sp.

Para petani lebih banyak melakukan budidaya terhadap jenis ini karena berdasarkan hasil wawancara, faktor harga menjadi salah satu pertimbangan petani memlih untuk membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma sp

dibandingkan rumput laut jenis lainnya seperti Gracilaria sp. Pada rumput laut jenis Eucheuma sp petani memperoleh harga Rp 8.000 – Rp 10.000 per kg rumput laut kering sementara untuk jenis Gracilaria sp hanya berkisar pada harga Rp 2.000 – Rp 4.000 per kg.

Rumput laut sebagian besar dipasarkan dalam kondisi segar yang digunakan sebagai bahan baku mentah (raw seaweeds) sehingga belum ada upaya pengolahan untuk menciptakan nilai tambah bagi komoditi rumput laut.

666.00  593.00  700.00  1,569.95 

1,105.00  1,113.00  840.09  820.96  984.48 

‐ 200.00  400.00  600.00  800.00  1,000.00  1,200.00  1,400.00  1,600.00  1,800.00 

2008 2009 2010

Harga

 

Rumput

 

Laut

 

(Rp/kg

 

basah)

Tahun

Denpasar

Badung


(9)

Penerapan sistem tataniaga yang baik tentunya diperlukan dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi rumput laut dalam proses pemasaran. Proses produksi melalui pembudidayaan rumput laut yang diupayakan di Kecamatan Kuta Selatan tentunya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan pendapatan bagi para petani. Sistem tataniaga merupakan suatu hal yang terkait dengan proses produksi rumput laut terutama dalam upaya pemasaran produk hingga sampai ke tingkat konsumen. Tataniaga merupakan aktivitas bisnis dalam upaya mengalirkan produk dari produsen primer (petani) ke konsumen akhir. Melalui sistem tataniaga dapat diketahui proses penyaluran suatu produk hingga sampai ke tangan konsumen, jumlah biaya yang dikeluarkan dalam penyaluran produk tersebut serta pihak – pihak yang terlibat di dalamnya.

Permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam memasarkan suatu komoditi agribisnis adalah mengenai rendahnya posisi tawar petani khususnya dalam penetapan harga. Begitu pula halnya pada petani rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan khususnya bagi petani yang tidak terfasilitasi oleh keberadaan kelompok tani dalam aktivitas tataniaga. Peningkatan nilai tambah suatu komoditi merupakan suatu hal penting yang dapat dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan harga jual dari produk tersebut. Berdasarkan grafik yang tersaji pada Gambar 2, terlihat bahwa terdapat fluktuasi nilai penjualan rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan.

  Gambar 2. Perkembangan Harga Rumput Laut di Kecamatan Kuta Selatan

Tahun 2009 – 2010

Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kab. Badung (Data diolah, 2011) 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

Januari Februari Mar

et

April Mei Juni Juli

Agust u s Sept em ber Okt ober Novem b er Desem b er

Januari Februari Mar

et

April Mei Juni Juli

Agust u s Sept em ber Okt ober Novem b er Desem b er Harga (Rp/kg basah)


(10)

Pembudidayaan rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan sebagian telah dikelola oleh petani melalui suatu wadah bersama dengan membentuk kelompok tani. Keberadaan kelompok dalam aktivitas usahatani tentunya akan mempermudah pengelolaan kegiatan usaha. Peranan kelompok tidak hanya mengkoordinasikan aktivitas budidaya saja melainkan juga dalam hal pemasaran komoditi. Dalam tataniaga rumput laut, keberadaan kelompok tani juga memiliki peranan dalam aktivitas pemasaran khususnya pada pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Perbedaan wilayah desa lokasi pembudidayaan rumput laut di wilayah Kecamatan Kuta Selatan juga menimbulkan perbedaan peranan kelompok khususnya dalam pemasaran rumput laut.

Petani di wilayah Desa Kutuh memiliki empat kelompok tani yang aktif. Kelompok tani di wilayah ini telah berperan dalam aktivitas pemasaran rumput laut bagi para anggotanya. Selain dalam bentuk kelompok, pengelolaan kegiatan usaha budidaya rumput laut di wilayah Desa Kutuh juga ada yang dikelola secara individual oleh petani. Berdasarkan informasi yang diperoleh, adanya penetapan syarat mutu tertentu dari rumput laut yang harus dipatuhi oleh anggota kelompok menjadi salah satu alasan petani memilih untuk mengelola usaha budidaya rumput laut secara individual.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa para petani di wilayah Kelurahan Benoa memiliki gambaran yang berbeda dalam aktivitas pemasaran. Para petani di kawasan ini tergabung dalam kelompok, namun keberadaan kelompok tidak menunjang aktivitas pemasaran rumput laut para petani. Petani di wilayah ini memasarkan rumput laut secara individu melalui perantara yaitu para pedagang pengumpul. Perbedaan sistem manajemen dalam kegiatan usaha ini tentunya juga akan memberikan perbedaan terhadap pendapatan yang akan diperoleh antara petani yang tergabung dalam kelompok dengan petani yang mengelola usahanya secara individual. Mengacu pada uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan adalah sebagai berikut.

1) Bagaimana pelaksanaan sistem tataniaga pada komoditi rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan?


(11)

2) Bagaimana peranan kelompok tani dalam mempengaruhi sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan?

3) Apakah sistem tataniaga yang diterapkan oleh para petani di Kecamatan Kuta Selatan sudah efisien?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan maka adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mengetahui serta menganalisis pelaksanaan sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan.

2) Mengkaji peranan kelompok tani dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan.

3) Menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut dari Kecamatan Kuta Selatan.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra rumput laut yang berada di wilayah Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Hasil produksi rumput laut yang cukup besar di wilayah Kecamatan Kuta Selatan mengindikasikan adanya peluang pengembangan perekonomian desa. Pengembangan usaha komoditi rumput laut merupakan salah satu upaya yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Kecamatan Kuta Selatan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan literatur terkait, pemasaran rumput laut dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan telah menjangkau permintaan pasar ekspor di wilayah Provinsi Bali dan luar Provinsi Bali seperti melalui eksportir yang berasal dari Surabaya (Jawa Timur). Rendahnya akses petani untuk dapat menjual langsung hasil panen rumput laut kepada pihak eksportir menjadi salah satu kendala bagi petani untuk memperoleh posisi tawar yang baik dalam menentukan harga. Berdasarkan informasi tersebut maka dalam penelitian ini hanya mengkaji aktivitas tataniaga rumput laut yang berasal dari wilayah Kecamatan Kuta Selatan hingga para pedagang pengumpul, eksportir, serta berbagai lembaga tataniaga yang terkait dengan tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.


(12)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumput Laut

Algae (ganggang laut) atau lebih dikenal dengan sebutan rumput laut adalah salah satu biota laut yang berpotensi di wilayah perairan Indonesia. Rumput laut yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah seaweed

merupakan salah satu komoditas perikanan yang sudah populer dalam dunia perdagangan dan menjadi salah satu komoditas utama perikanan Indonesia yang diekspor ke berbagai negara di belahan dunia. Menurut Anggadiredja dkk (2010), rumput laut dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelas yaitu :

1) Rhodophyceae (ganggang merah) 2) Phaeophyceae (ganggang cokelat) 3) Chlorophyceae (ganggang hijau) 4) Cyanophyceae (ganggang biru – hijau)

Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan sejak dulu sudah diperdagangkan yaitu Eucheuma sp, Hypnea sp, dan Gelidium sp dari kelas Rhodophyceae serta Sargassum sp dari kelas Phaeophyceae. Namun sebaran rumput laut komersial yang dibudidayakan hanya terbatas untuk jenis Euchema dan Gracilaria. Pembudidayaan kedua jenis rumput laut tersebut disesuaikan dengan permintaan pasar yang cukup besar terhadap kedua jenis rumput laut. Di wilayah Kabupaten Badung, Provinsi Bali, pengembangan budidaya rumput laut lebih didominasi oleh rumput laut jenis Eucheuma sp, hal ini berdasarkan data dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung mengenai produksi perikanan, menunjukkan bahwa untuk budidaya laut khususnya pada komoditi rumput laut, wilayah Kabupaten Badung hanya mengusahakan dua jenis rumput laut yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum.

Jenis Euchema dibudidayakan di laut yang agak jauh dari sumber air tawar, seperti sungai atau air buangan dari pemukiman. Rumput laut jenis

Euchema sp. pertama kali dibudidayakan secara massal pada tahun 1984 di perairan Pulau Bali dan Nusa Tenggara Barat (Anggadiredja dkk 2010). Perairan yang memiliki dasar berupa pasir yang bercampur dengan pecahan karang cocok digunakan untuk budidaya rumput laut Euchema sp. Hal tersebut menunjukkan adanya pergerakan air yang baik. Selain itu, lokasi yang tepat untuk budidaya


(13)

rumput laut jenis ini adalah wilayah perairan yang terlindung dari arus dan hempasan ombak yang terlalu kuat.

Waktu pemanenan rumput laut yang baik adalah ketika rumput laut telah memiliki umur 6 – 8 minggu. Dalam penanganan pascapanen, rumput laut yang telah dipanen melalui tahapan pencucian dan pengeringan yang biasanya menghabiskan waktu 2 – 3 hari. Pada rumput laut jenis Euchema sp. kadar air yang harus dicapai dalam pengeringan berkisar 30 – 35 persen (Ditjen Perikanan Budidaya, 2011).

Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku industri sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat pada data mengenai peluang pasar perdagangan rumput laut pada Tabel 3. Data tersebut menunjukkan adanya peluang dalam mengusahakan komoditi rumput laut khususnya jenis Eucheuma sp. Euchema cotonii sebagai penghasil karaginan yang merupakan salah satu produk turunan dari komoditi rumput laut yang digunakan sebagai bahan baku berbagai industri baik pangan maupun non pangan. Penggunaan karaginan dalam industri pangan diantaranya pada produk saus dan kecap, karaginan digunakan sebagai bahan pengental dan penstabil alami. Sementara itu pada produk non pangan, karaginan juga digunakan pada produk pewangi ruangan air-freshner gel sebagai gelling agent, pada produk pasta gigi karaginan memiliki fungsi sebagai binder dan stabilizer serta pada produk kosmetik seperti lotion dan cream, karaginan digunakan sebagai bodying agent (Anggadiredja dkk 2010).

Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku dalam produk olahan menjadikan pentingnya jaminan mutu dan keamanan pangan pada komoditi rumput laut. Persyaratan standar kadar air pada rumput laut kering menjadi hal yang diutamakan oleh pihak eksportir dalam melakukan aktivitas ekspor. Adapun persayaratan rumput laut yang ditetapkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dapat dilihat pada data yang tersaji pada Tabel 7. Sebagai komoditi ekspor, rumput laut memiliki kode perdagangan internasional yang digunakan sebagai pengenal dan dikenal dengan istilah kode HS (Harmonized System). Komoditi rumput laut termasuk dalam kode HS.1212.20 yang merupakan kelompok seaweed and other alga, fresh and dried wether or not ground


(14)

Tabel 7. Standar Nasional Rumput Laut Indonesia

Eucheuma spp

Gracilaria spp

Gelidium spp

Sensori 7 7 7

Kimia -Kadar Air

- Clean Anhydrous Weed

% Fraksi Massa % Fraksi Massa

30 – 35

Minimal 30

15 – 18

Minimal 30

15 – 20

Minimal 30 Fisik

-Benda Asing % Fraksi Massa

Maksimal 5 Maksimal 5 Maksimal 5 Sumber : Direktorat Standarisasi dan Akreditasi DKP, 2008 (Dalam Buku Profil Rumput Laut

Indonesia, 2009)

2.2.Hasil Penelitian Terdahulu tentang Tataniaga

Ketersediaan hasil penelitian terkait sistem tataniaga rumput laut masih sangat terbatas, oleh karena itu terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait tataniaga beberapa komoditi yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Penelitian mengenai aktivitas tataniaga berbagai komoditi agribisnis umumnya melakukan pengukuran terhadap efisiensi dari pelaksanaan sistem tataniaga suatu komoditi tertentu. Berbagai pendekatan yang digunakan dalam mengukur efisiensi adalah melalui marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran yang dikeluarkan.

Beberapa penelitian yang terkait dengan aktivitas tataniaga/pemasaran diantaranya Zulham (2007) menganalisis tentang risiko dan marjin pemasaran pada rumput laut di Gorontalo, Firdaus dan Wagiono (2009) melakukan penelitian mengenai dayasaing dan sistem pemasaran manggis Indonesia serta Puspitasari (2010) yang menganalisis mengenai efisiensi tataniaga pada komoditi ikan lele di Kecamatan Ciawi.

2.3. Kajian mengenai Konsep dan Penentuan Efisiensi Tataniaga

Zulham (2007), Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) menggunakan data primer dan sekunder pada masing - masing penelitian. Data primer diperoleh menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian Zulham (2007) serta Firdaus dan Wagiono (2009) adalah melakukan penelitian lebih dari satu


(15)

lokasi yang menjadi sentra pengembangan dari masing – masing komoditi yang dijadikan objek penelitian. Penentuan petani responden dilakukan dengan

purposive sampling dan selanjutnya digunakan metode snowball sampling dalam melakukan penelusuran terhadap lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga dari setiap komoditi yang diteliti.

Penelitian Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) mempertimbangkan beberapa hal yang menjadi penilaian kualitatif dalam aktivitas pemasaran/tataniaga yang dikaji meliputi analisis struktur, analisis saluran dan perilaku lembaga pemasaran/tataniaga yang terlibat. Sementara itu dalam penilaian kuantitatif Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) menggunakan analisis terhadap nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Sementara itu pada penelitian Zulham (2007) digunakan penilaian terhadap share harga dan marjin pemasaran dalam melakukan kajian terhadap aktivitas pemasaran serta menghitung nilai expected

keuntungan untuk mengetahui peluang dan risiko yang dihadapi oleh petani rumput laut di wilayah Gorontalo.

Penilaian kualitatif terhadap sistem tataniaga salah satunya dilakukan melalui analisis perilaku pasar. Puspitasari (2010) melakukan analisis terhadap perilaku pasar melalui beberapa pendekatan seperti praktik pembelian dan penjualan, pada pendekatan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara petani (pembudidaya) dengan pedagang pengumpul atau lembaga tataniaga telah tercipta hubungan kepercayaan yang baik sehingga pedagang pengumpul telah menjadi pembeli langganan dari petani, begitu juga halnya antara pedagang pengumpul dengan lembaga tataniaga selanjutnya, namun para pelaku tataniaga bebas menentukan pembeli yang menjadi tujuan penjualan dan tidak ada kontrak atau perjanjian yang mengikat antar pelaku tataniaga. Selain itu, Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) juga melakukan pendekatan dari sistem penentuan harga untuk menganalisis perilaku pasar dalam sistem tataniaga. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa posisi tawar dari petani/pembudidaya cenderung lemah karena keterbatasan modal, lemahnya akses pasar dan keterbatasan informasi yang dimiliki oleh petani sehingga harga cenderung ditentukan oleh lembaga tataniaga yang lebih tinggi tingkatannya. Berbeda dengan lembaga


(16)

tataniaga yang berada lebih tinggi tingkatannya daripada petani. Para pelaku ini menetapkan harga dengan sistem tawar - menawar karena adanya pengetahuan terhadap informasi pasar dari para pelaku yang setingkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi pasar yang diterima oleh pelaku tataniaga maka posisi dalam penentuan harga akan semakin kuat. Zulham (2007) mengidentifikasi bahwa informasi harga rumput laut dari wilayah Gorontalo dari lini akhir hingga lini awal berjalan dengan baik sehingga tidak terdapat distorsi harga yang merugikan setiap pelaku bisnis rumput laut.

Pendekatan marjin pemasaran pada umumnya menjadi salah satu indikator dalam penentuan efisiensi suatu aktivitas pemasaran/tataniaga. Begitu pula halnya dengan ketiga penelitian yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Zulham (2007) dan Puspitasari (2010) menganalisis marjin pada setiap saluran yang terbentuk maupun marjin di masing – masing lembaga yang terlibat dalam aktivitas tataniaga. Sementara itu Firdaus dan Wagiono (2009) melihat marjin yang terbentuk secara keseluruhan di setiap pola saluran tataniaga.

Puspitasari (2010) mengidentifikasi empat saluran tataniaga yang diterapkan dalam tataniaga komoditi ikan lele. Penilaian efisiensi melalui pendekatan nilai marjin tataniaga yang dilakukan oleh Puspitasari (2010) menunjukkan bahwa tidak selalu saluran dengan marjin tataniaga yang bernilai tinggi menunjukkan bahwa saluran tersebut tidak efisien. Penelitian Puspitasari (2010) menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingginya marjin adalah akibat adanya pelaksanaan aktivitas pengolahan yang meningkatkan biaya tataniaga sebagai upaya penambahan kegunaan bentuk yang akan diperoleh konsumen hal ini menunjukkan bahwa terjadi pemenuhan kepuasan yang diterima oleh konsumen yang merupakan tujuan dari pelaksanaan sistem tataniaga. Namun Puspitasari (2010) tetap menjadikan indikator bahwa saluran dengan marjin terkecil dinilai relatif lebih efisien karena melibatkan sedikit lembaga tataniaga sehingga produk dinilai akan lebih cepat sampai ke tangan konsumen.

Sementara itu pada penelitian Zulham (2007) dilakukan perhitungan terhadap share harga di masing – masing lembaga yang terlibat dalam tataniaga rumput laut di Gorontalo. Zulham (2007) menganalisis nilai marjin yang diperoleh yang dihubungkan dengan expected keuntungan di setiap lembaga


(17)

yang selanjutnya dapat menggambarkan peluang dan risiko yang akan dihadapi masing – masing lembaga dalam aktivitas pemasaran/tataniaga rumput laut. Penelitian Zulham (2007) juga menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingginya marjin tataniaga adalah faktor jarak dalam pendistribusian produk yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pemasaran yang dikeluarkan. Zulham (2007) juga memberikan gambaran bahwa semakin kecil marjin menunjukkan semakin kecil pula expected keuntungan dari sistem tataniaga yang dijalankan sehingga risiko yang mungkin dihadapi juga akan lebih kecil.

Penentuan efisiensi pada suatu aktivitas tataniaga tidak hanya dilakukan melalui pendekatan dari besarnya marjin yang terbentuk. Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010) dilakukan pula pendekatan melalui nilai farmer’s share dan nilai rasio keuntungan biaya. Puspitasari (2010) menentukan efisiensi pada saluran tataniaga juga didasarkan pada nilai marjin tataniaga yang kecil serta tingkat farmer’s share yang tinggi, selain itu Firdaus dan Wagiono (2009) juga menyatakan bahwa kriteria tersebut juga menjadi indikator untuk penentuan saluran pemasaran yang paling menguntungkan. Sementara itu, nilai rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan nilai keuntungan yang diterima oleh produsen setiap satu rupiah biaya tataniaga yang dikeluarkan.

2.4.Hasil Penelitian Terdahulu tentang Rumput Laut

Beberapa penelitian terkait dengan komoditi rumput laut diantaranya membahas mengenai skala usaha dan efisiensi ekonomi relatif dalam usahatani rumput laut serta daya saing rumput laut. Sobari (1993) melakukan penelitian mengenai usaha usaha dan efisiensi ekonomi relatif usahatani rumput laut dengan mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Pada penelitian tersebut, peneliti melihat hubungan antara skala usaha petani dengan tingkat efisiensi yang dicapai dari masing – masing skala usaha tersebut. Peneliti mengambil 130 responden yang diambil secara acak dengan membagi ke dalam tiga skala usaha berdasarkan luas lahan usaha budidaya rumput laut, yaitu skala usaha kecil (≤ 250 m2), skala usaha sedang (251 – 500 m2) dan skala usaha besar ( ≥ 500 m2). Hubungan luas lahan dengan efisiensi ekonomi dilakukan dengan menggunakan model analisis fungsi keuntungan dan dengan asumsi fungsi produksi dalam bentuk Cobb – Douglas.


(18)

Sobari (1993) menyebutkan ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan dan dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan usahatani rumput laut, yaitu kondisi alam yang meliputi salinitas, arus, gelombang, suhu, dasar perairan dan kedalaman laut; ketersediaan dan penerapan teknologi yang sudah dilakukan oleh petani rumput laut; dan faktor yang ketiga adalah kondisi sosial ekonomi yang meliputi struktur sosial, kelembagaan (bank, koperasi) dan pasar (penawaran, permintaan dan harga). Hasil yang diperoleh dalam penelitian Sobari (1993) menunjukkan bahwa secara ekonomis semakin besar skala usaha maka akan semakin efisien usaha yang dijalankan tersebut. Selain itu juga diperoleh variabel yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan usahatani rumput laut yaitu luas lahan, modal investasi dan pengalaman usaha.

Rajagukguk (2009) membahas mengenai daya saing rumput laut di Indonesia guna mengkaji pangsa pasar ekspor rumput laut di pasar internasional. Pada penelitian tersebut, analisis dilakukan berdasarkan negara tujuan ekspor yang diurutkan berdasarkan nilai ekspor terbesar. Selain itu, pada penelitian tersebut dilakukan analisis mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan pangsa pasar ekspor rumput laut dan pengaruhnya terhadap pangsa pasar ekspor rumput laut di negara tujuan.

Rajagukguk (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan data sekunder. Pada analisis faktor – faktor yang mempengaruhi pangsa pasar ekspor rumput laut, dilakukan dengan menggunakan metode Pooled OLS, metode Fixed Effect dan metode Random Effect. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari lima faktor yang diduga mempengaruhi pangsa pasar ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan yaitu volume ekspor rumput laut Indonesia ke negara tujuan, harga ekspor rumput laut Indonesia, nilai tukar, GDP per kapita negara tujuan ekspor dan produksi nasional rumput laut Indonesia, maka variabel yang dinyatakan berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan adalah volume ekspor ke negara tujuan, nilai tukar dan GDP per kapita negara tujuan.

2.5.Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu diantaranya


(19)

adalah metode penentuan responden yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode purposive sampling dan snowball sampling. Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis efisiensi dari penerapan sistem tataniaga seperti penelitian yang dilakukan oleh Firdaus dan Wagiono (2009) dan Puspitasari (2010). Pengukuran efisiensi tataniaga dilakukan melalui pendekatan nilai marjin tataniaga yang terbentuk, nilai farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya pada pola saluran tataniaga yang terbentuk. Kesamaan lain dari penelitian ini adalah pemilihan lebih dari satu lokasi yang merupakan sentra pengembangan budidaya sebagai studi kasus seperti yang dilakukan oleh Zulham (2007) dan Firdaus dan Wagiono (2009).

Sementara itu perbedaan penelitian ini dari penelitian terdahulu terletak dari pemilihan komoditi dan lokasi yang dijadikan sebagai objek penelitian. Penelitian ini memfokuskan pada analisis tataniaga rumput laut yang dibudidayakan di wilayah Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Selain itu, perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah mengkaji dua lokasi budidaya yang terletak dalam satu wilayah kecamatan yang dijadikan sentra pengembangan rumput laut serta menganalisis adanya perbedaan pengelolaan sistem tataniaga rumput laut di tingkat petani melalui ada atau tidaknya peranan kelompok tani. Pada penelitian ini juga dilakukan upaya pemberian alternatif saluran tataniaga melalui peningkatan kualitas rumput laut yang mampu meningkatkan efisiensi sistem tataniaga.


(20)

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Sistem Tataniaga

Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat kaitannya dengan kegiatan pemasaran. Tataniaga disebut juga pemasaran atau marketing merupakan salah satu bagian dari ilmu pengetahuan ekonomi (Limbong dan Sitorus 1985). Pemasaran adalah proses yang mengakibatkan aliran produk melalui suatu sistem dari produsen ke konsumen (Downey dan Erickson 1992).

Hanafiah dan Saefuddin (2006) menjelaskan bahwa aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan. Asmarantaka (2009) menyebutkan bahwa pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah :

1) Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis yang meliputi aliran dari barang dan jasa dari petani sebagai titik awal kegiatan usahatani hingga barang dan jasa tersebut sampai ke tangan konsumen akhir (Kohls dan Uhl 2002).

2) Tataniaga pertanian merupakan serangkaian tahapan, fungsi yang diperlukan untuk memperlihatkan pergerakan input atau produk dari tingkat produksi primer (usahatani) hingga konsumen akhir. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi ataupun hubungan antara lembaga tataniaga yang terlibat (Hammond and Dahl 1977).

3) Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan kegiatan produktif sebagai proses meningkatkan atau menciptakan nilai (value added) yaitu nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility),

waktu (time utility) dan kepemilikan (possession utility) (Asmarantaka 2009). Petani/peternak dalam proses produksi merubah input-input pertanian menjadi output produk pertanian (nilai guna bentuk dan kepemilikan). Pedagang pengumpul, mengumpulkan produk dan mengemas, kemudian


(21)

menjual (nilai guna kepemilikan dan tempat). Pabrik penggilingan tepung dan pembuat kue kemudian menjual kue (nilai guna bentuk dan tempat). Pabrik pengolah memanfaatkan output dari petani sebagai bahan baku (gandum) menjadi tepung dikemas dan kemudian menjual tepung ke grosir (nilai guna bentuk dan kepemilikan), grosir ke pedagang eceran (nilai guna tempat dan waktu) yang akhirnya ke pabrik roti (nilai guna bentuk) dan konsumen akhir (kepuasan). Dari proses tataniaga ini banyak nilai guna yang terjadi dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

4) Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sistem dari sistem agribisnis yaitu sub-sistem : sarana produksi pertanian, usahatani (produksi primer), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan sub-sistem penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan, kebijakan tataniaga). Pelaksanaan aktivitas tataniaga merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari pelaksanaan sistem agribisnis.

Sementara itu tataniaga dapat dipandang dari sisi makro dan mikro (Asmarantaka 2009). Dari sisi makro tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses aliran produk dari produsen primer ke konsumen. Sementara itu dari sisi mikro, tataniaga/pemasaran dipandang sebagai upaya masing – masing individu untuk memperoleh keuntungan yang salah satunya ditempuh melalui pelaksanaan bauran pemasaran. Analisis terhadap suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Pada masing – masing pendekatan akan menunjukkan perspektif secara nyata dan pelaksanaan proses dari aktivitas pemasaran/tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu sistem tataniaga diantaranya :

1) Pendekatan Fungsi

Fungsi dalam aktivitas tataniaga dapat diartikan sebagai spesialisasi aktivitas yang dilakukan dalam upaya menyempurnakan sistem tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui beragam fungsi tataniaga yang diterapkan pada suatu sistem tataniaga dalam upaya menciptakan efisiensi pemasaran serta mencapai suatu tujuan yaitu


(22)

meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian, penjualan dan fungsi pengumpulan; fungsi fisik yang terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi, fungsi keuangan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran. Melalui pendekatan fungsi juga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan biaya tataniaga pada beragam komoditi agribisnis.

2) Pendekatan Kelembagaan

Merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui para pelaku serta pihak – pihak yang terlibat dalam suatu sistem tataniaga. Para pelaku yang terlibat dalam aktivitas tataniaga dikelompokkan dalam kelembagaan tataniaga. Kelembagaan tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan/mengembangkan aktivitas bisnis berupa kegiatan – kegiatan produktif yang diwujudkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Melalui pendekatan ini dapat diketahui peranan lembaga – lembaga yang terlibat dalam penanganan suatu komoditi mulai dari tingkat produsen hingga konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Sementara itu Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa pendekatan kelembagaan ini sekaligus menjawab “siapa” dan “apa” yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan dalam sistem tataniaga. Para pelaku dalam aktivitas tataniaga terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization). 3) Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem dalam aktivitas tataniaga dilakukan untuk mengetahui efisiensi serta kontinuitas dari pelaksanaan suatu sistem tataniaga (Asmarantaka 2009). Pemahaman aktivitas tataniaga dalam konteks sebagai suatu sistem merupakan perpaduan antara ilmu ekonomi dengan aktivitas fisik serta penerapan ilmu teknologi (Kohls dan Uhl 2002). Seperti yang telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu sistem


(23)

tataniaga terdapat berbagai pelaku/lembaga tataniaga yang terlibat. Para pelaku/lembaga tataniaga dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang digunakan dalam membuat suatu keputusan khususnya yang terkait dengan kegiatan pemasaran/tataniaga dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari

input-output system, power system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal-external change.

3.1.2. Fungsi Tataniaga

Tataniaga merupakan suatu kegiatan produktif yang mencakup proses pertukaran serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan produk baik berupa barang ataupun jasa dalam upaya menciptakan dan meningkatkan nilai guna (Asmarantaka 2009). Beragam kegiatan produktif yang terdapat di dalam sistem tataniaga disebut dengan fungsi tataniaga. Pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga akan menetukan efisiensi dari pelaksanaaan suatu sistem tataniaga.

Tujuan dari pelaksanaan fungsi tataniaga adalah untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuaskan keinginan konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna bentuk yaitu bagaimana menciptakan produk memiliki nilai guna misalnya dengan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi; nilai guna waktu yaitu membuat produk tersedia pada waktu yang tepat sesuai dengan keinginan konsumen; nilai guna tempat yaitu menyediakan produk di tempat yang sesuai bagi konsumen yang membutuhkan; serta nilai guna kepemilikan yaitu bagaimana produk bisa untuk dimiliki serta digunakan oleh konsumen.

Fungsi tataniaga dapat digolongkan pada tiga kelompok fungsi utama (Limbong dan Sitorus 1985; Asmarantaka 2009), fungsi tataniaga tersebut adalah sebagai berikut :

1) Fungsi Pertukaran

Fungsi Pertukaran merupakan aktivitas yang terkait dengan pemindahan hak milik atas barang (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002). Aktivitas pertukaran juga disesuaikan pada utilitas yang diharapkan para konsumen, yaitu menyangkut tempat, waktu dan bentuk barang/jasa yang


(24)

dibutuhkan. Fungsi pertukaran terdiri atas dua fungsi yaitu fungsi penjualan dan pembelian (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).

- Fungsi penjualan, merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah dari produk tersebut. Fungsi penjualan diperlukan untuk melakukan penjualan produk yang sesuai dengan yang diinginkan konsumen dilihat dari jumlah, bentuk dan mutu pada tempat dan waktu yang tepat.

- Fungsi pembelian terhadap produk – produk pertanian dilatarbelakangi oleh beragam kebutuhan konsumen diantaranya pembelian untuk konsumsi langsung ataupun pembelian untuk bahan baku produksi seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang siap pakai.

2) Fungsi Fisik

Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan pengertian fungsi fisik sebagai seluruh aktivitas yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga memiliki nilai kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Sementara itu Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan bahwa fungsi fisik menyangkut aktivitas penanganan, perpindahan serta perubahan fisik dari suatu komoditi. Fungsi fisik terdiri atas tiga fungsi yaitu fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, dan fungsi pengolahan (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).

- Fungsi pengangkutan, yaitu pemindahan barang-barang dari tempat produksi/tempat penjualan ke tempat dimana barang - barang tersebut akan dipakai. Proses pengangkutan akan menciptakan nilai guna tempat dan waktu. Dalam fungsi ini tentunya aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh pelaku tataniaga adalah penggunaan alternatif sarana pengangkutan yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pengangkutan. Besarnya biaya pengangkutan yang dikeluarkan akan berdampak pada penentuan dari harga produk tersebut ketika sampai di tangan konsumen. Proses pengangkutan juga sangat bergantung pada efektifitas dalam


(25)

informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi yang ada sehingga efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai.

- Fungsi penyimpanan, berarti menahan barang – barang selama jangka waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan mengingat produk – produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang bersifat musiman namun terkadang produk – produk ini dikonsumsi sepanjang tahun. Pelaksanaan fungsi penyimpanan dapat memperkecil terjadinya fluktuasi harga antara musim panen dan musim paceklik.

- Fungsi pengolahan, merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang dalam rangka memperkuat daya tahan barang maupun sebagai upaya untuk meningkatkan nilai produk. Fungsi ini menciptakan nilai guna bentuk pada suatu produk. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan penyimpanan khususnya pada produk yang sifatnya musiman. Misalnya saja pada produk mangga yang sifatnya musiman, ketika sedang musim mangga, perusahaan jus dapat melakukan pengolahan terdapat buah mangga segar menjadi bentuk pasta dalam rangka menjaga ketersediaan bahan baku jus mangga pada waktu buah mangga tidak pada musimnya. 3) Fungsi Fasilitas/Pelancar merupakan aktivitas yang memperlancar fungsi

pertukaran dan fungsi fisik (Kohls dan Uhl 2002). Fungsi ini meliputi kegiatan standarisasi dan grading produk, informasi pasar, fungsi keuangan/pembiayaan serta fungsi penangulangan risiko.

- Standarisasi dan grading

Standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa dan kriteria yang lain (Limbong dan Sitorus 1985). Standarisasi kualitas adalah sifat umum yang diterima oleh konsumen serta membuat diferensiasi dari nilai produk (Asmarantaka 2009).


(26)

Grading adalah klasifikasi atau menggolongkan produk/ hasil pertanian berdasarkan suatu standarisasi kualitas tertentu dan pemilahan dari produk-produk yang kategorinya tidak seragam menjadi seragam.

Menurut Downey dan Erickson (1992), penggolongan mutu produk pertanian ke dalam kelas atau golongan standar sangat mempermudah proses usaha pembelian dan penjualan serta membantu sistem pemasaran bekerja lebih efisien.

- Informasi pasar

Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi tersebut. Informasi mengenai pasar erat kaitannya dengan keputusan yang akan diambil oleh pelaku tataniaga. Misalnya terkait dengan perubahan harga di pasar, bagaimana pendistribusian serta penanganan produk di mata konsumen.

- Penanggulangan risiko

Dalam pemasaran suatu produk khususnya produk pertanian, kemungkinan dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnis ini cukup besar. Risiko yang terjadi di dalam proses pemasaran dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu risiko fisik dan risiko ekonomi atau risiko penurunan harga (Limbong dan Sitorus 1985). Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko kerusakan produk karena produk pertanian bersifat bulky,voluminous dan

perishable; risiko fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat musiman. Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian dan penjualan serta melalui mekanisme hedging pada future market.

3.1.3. Lembaga dan Saluran Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga sehingga barang/produk bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah dan Saeffudin, 2002). Keberadaan lembaga – lembaga tataniaga dimulai ketika produk dihasilkan oleh produsen primer hingga suatu produk siap dikonsumsi oleh konsumen.

Lembaga tataniaga menunjukkan keberagaman pada organisasi bisnis yang memiliki peranan dalam pengembangan sistem tataniaga atau pemasaran


(27)

(Kohls dan Uhl 2002). Sementara itu Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan lembaga tataniaga adalah suatu badan yang menyelenggarakan kegiatan tataniaga atau pemasaran, dan mengelempokkan lembaga tataniaga/pemasaran menurut fungsinya serta menurut penguasaan terhadap barang.

Limbong dan Sitorus (1985) menyebutkan pengelompokkan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan dapat dibedakan menjadi :

1) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga – lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengangkut/transportasi.

2) Lembaga perantara tataniaga adalah suatu lembaga khusus yang melakukan fungsi pertukaran.

3) Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga yang menjalankan fungsi fasilitas seperti Bank, Lembaga Perkreditan Desa, KUD.

Selain itu Limbong dan Sitorus (1985) juga mengelompokkan lembaga tataniaga menurut penguasaan terhadap barang, yang terdiri dari :

1) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya agen, perantara dan broker. Badan – badan ini menjalankan fungsinya untuk mempertemukan atau menyampaikan produk dari produsen ke konsumen. Penguasaan terhadap barang dimaksudkan bahwa perantara tidak berhak atas barang namun ia boleh menyimpan, mengadakan sortasi serta melakukan pengepakan kembali. Sementara Kohls dan Uhl (2002) menyampaikan definisi terkait pengelompokkan lembaga tataniaga yang serupa dengan klasifikasi ini sebagai pengertian dari agent middlemen yaitu lembaga yang termasuk sebagai perantara dalam aktivitas tataniaga. Kelompok agen perantara melaksanankan fungsi tataniaga tertentu dengan menerima komisi sebagai balas jasa. Agen perantara adalah pelaku yang umumnya hanya mewakili lembaga tataniaga lain. Agen perantara tidak memiliki hak untuk memiliki barang yang diperdagangkan (Kohls dan Uhl 2002). Agen perantara biasanya dikelompokkan menjadi dua yaitu commission dan brokers (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). Broker merupakan perantara yang dalam pelaksanaan fungsi tataniaga tidak melakukan penanganan fisik tertentu terhadap produk yang diterima. Sedangkan commission merupakan perantara


(28)

yang melakukan aktivitas penanganan fisik terhadap produk yang diterima dan memperoleh pendapatan berupa komisi.

2) Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir/importir. Badan yang tergolong pada kelompok ini menjalankan fungsinya untuk memiliki dan menguasai barang dengan cara membeli barang tersebut terlebih dahulu sebelum dijual kembali. Badan ini akan menanggung risiko ekonomi maupun teknis.

3) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, yaitu badan yang menjalankan fungsi sebagai fasilitas pengangkutan, pergudangan, asuransi dan lain – lain.

Produsen merupakan pihak yang berperan sebagai penyedia produk baik produk sebagai bahan konsumsi ataupun produk yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri terkait. Kemudian terdapat pedagang perantara yang fungsinya menyalurkan produk dari produsen ke konsumen apabila terdapat jarak dan ketiadaan akses bagi produsen untuk menyalurkan produknya secara langsung kepada konsumen. Para pelaku dalam sistem tataniaga yang dapat digolongkan sebagai pedagang perantara adalah pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailer) dan pedagang grosir (wholesalers) (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Pedagang grosir memiliki volume usaha yang relatif lebih besar daripada pedagang eceran. Pedagang eceran adalah pedagang yang menjual produknya langsung untuk konsumen akhir.

Sementara itu, ada juga yang disebut sebagai spekulator. Spekulator adalah pedagang perantara yang membeli/menjual suatu produk dan memanfaatkan serta mencari keuntungan dari adanya pergerakan harga pada komoditi/produk tersebut. Lembaga lain yang berperan dalam aktivitas tataniaga adalah pengolah dan pabrikan. Kelompok ini berfungsi dalam merubah suatu produk yang merupakan bahan baku sehingga menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir yang siap untuk dikonsumsi. Organisasi juga bisa menjadi lembaga/pelaku dalam tataniaga, misalnya pemerintah yang dalam hal ini berupaya menciptakan kebijakan serta peraturan yang terkait dengan aktivitas


(29)

tataniaga dan perdagangan. Selain itu keterlibatan asosiasi eksportir dan importir juga dapat dikategorikan sebagai lembaga tataniaga.

Penyaluran produk dari produsen hingga ke tangan konsumen yang telah melibatkan berbagai lembaga tataniaga akan membentuk suatu saluran tataniaga (marketing channel). Saluran pemasaran dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu sehingga berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Downey dan Erickson (1992) saluran pemasaran adalah jejak penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir.

Panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui tergantung pada beberapa faktor (Hanafiah dan Saefuddin 2002) diantaranya adalah :

1) Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh suatu produk. 2) Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus

segera diterima konsumen, dan oleh karena itu diperlukan saluran yang pendek dan cepat.

3) Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, dan dinilai tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Pada kondisi ini kehadiran pedagang perantara diharapkan sehingga saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.

4) Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung akan memperpendek saluran tataniaga. Produsen yang posisi keuangan kuat akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga.

3.1.4. Struktur Pasar

Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan definisi industri dan perusahaan, atau pabrik dalam suatu pasar, distribusi perusahaan atau pabrik dengan berbagai ukuran “size and consentration”, deskripsi produk dan


(30)

diferensiasi produk serta syarat – syarat untuk memasuki pasar ( Limbong dan Sitorus, 1985). Menurut Asmarantaka (2009), struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang diartikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar.

Struktur pasar yang terbentuk akan mempengaruhi perilaku pasar serta keragaan pasar. Hammond dan Dahl (1977) menyebutkan terdapat empat karakteristik dalam struktur pasar yang satu sama lain saling menentukan perilaku yang berlaku di seluruh pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan/unit usaha yang terlibat, sifat dari produk yang diperjualbelikan, kondisi keluar dan masuk pasar terkait hambatan yang mungkin dihadapi oleh para pelaku pasar, dan arus informasi pasar antara pelaku – pelaku yang terlibat meliputi informasi biaya, harga dan kondisi pasar.

Tabel 8. Struktur Pasar pada Sistem Pangan dan Serat

Karakteristik Struktural Struktur Pasar

Jumlah

Perusahaan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli

Banyak Banyak Sedikit Sedikit Satu

Standarisasi Diferensiasi Standarisasi Diferensiasi

Unik

Persaingan Sempurna Monopolistic Competition

Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi

Monopoli

Persaingan Sempurna Monopsonistic Competition

Oligopsoni Murni Oligopsoni Diferensiasi

Monopsoni

Sumber : Hammond dan Dahl (1977)

Penentuan struktur pasar dapat dilakukan melalui pengukuran rasio konsentrasi (CR4). Namun, pengukuran ini dilakukan pada kondisi industri yaitu dengan mengukur pangsa pasar dari empat perusahaan terbesar. Dilana (2012) menyatakan bahwa struktur pasar didefinisikan oleh rasio konsentrasi pasar. Konsentrasi pasar diperoleh dari pengukuran pangsa pasar. Pangsa pasar adalah persentase dari suatu pasar (perusahaan) yang diukur baik dari jumlah unit maupun pendapatan yang diterima terhadap suatu kesatuan yang spesifik (industri) selain itu pangsa pasar dapat dijadikan sebagai indikator seberapa baik suatu perusahaan menghadapi persaingan dengan pesaingnya ( Farris et all, 2007).


(31)

Pada situasi pasar monopoli, CR4 akan bernilai 100 persen, sedangkan untuk pasar persaingan sempurna CR4 akan mendekati nilai 0 (nol), hal tersebut dikarenakan perusahaan – perusahaan dengan output terbesar pun mempunyai proporsi yang sangat kecil pada industri (Subanidja dalam Hapsari 2011).

3.1.5. Perilaku Pasar

Asmarantaka (2009) mendefinisikan perilaku pasar sebagai seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli dalam mencapai tujuan masing – masing. Perilaku pasar merupakan kumpulan hubungan antara pembeli dan penjual. Tiga cara yang digunakan dalam mengenal perilaku, yaitu :

1) Penentuan harga dan setting level of output; harga yang ditetapkan bisa tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama – sama antar penjual atapun penetapan berdasarkan pemimpin harga.

2) Product promotion policy; yaitu melalui kegiatan promosi seperti pameran dan iklan yang mengatasnamakan perusahaan.

3) Predatory and exclusivenary tactics; strategi ini bersifat ilegal karena bertujuan mendorong pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi yang dilakukan adalah dengan menetapkan harga di bawah biaya marginal atau dengan cara melakukan integrasi vertikal melalui penguasaan bahan baku.

Menurut Hammond dan Dahl (1977) perilaku pasar menunjukkan pola perilaku yang diikuti oleh perusahaan dalam hubungannya dengan pasar yang dihadapi. Pola perilaku ini meliputi cara – cara yang digunakan oleh sekelompok perusahaan dalam menentukan harga dan produk yang dihasilkan, kebijakan dalam promosi penjualan, kebijakan yang berkaitan dengan pengubahan sifat produk yang dijual serta beragam taktik penjualan yang digunakan untuk meraih pasar tertentu.

3.1.6. Farmer’s Share

Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Kohls dan Uhl (2002) menyatakan farmer’s share merupakan bagian yang


(32)

diterima petani dari nilai uang yang dibayarkan oleh konsumen, nilai farmer’s share biasa dinyatakan dalam persentase. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaga. Semakin tinggi nilai marjin tataniaga menunjukkan semakin kecil bagian yang diterima petani dalam melaksanakan suatu aktivitas tataniaga. Alternatif perhitungan nilai farmer’s share diperoleh dari rasio antara harga di tingkat usahatani terhadap harga di tingkat pengecer dari suatu komoditi. Secara matematis, farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut (Asmarantaka 2009) :

%

Keterangan :

Fs : Persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat konsumen akhir 3.1.7. Marjin Tataniaga

Tomek dan Robinson (1990) memberikan alternatif definisi marjin tataniaga (pemasaran) yaitu perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang didapatkan oleh produsen (petani), selain itu marjin pemasaran juga dapat didefinisikan sebagai harga dari kumpulan jasa – jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran terhadap jasa – jasa tersebut. Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (petani) (Pf) dengan harga ditingkat retailer atau konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga dapat dirumuskan dengan MT = Pr – Pf (Hammond dan Dahl 1977). Limbong dan Sitorus (1985) menyampaikan bahwa besarnya marjin tataniaga (MT) pada suatu saluran tataniaga merupakan penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga pemasaran (Mi). Marjin juga didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem tataniaga. Sementara itu Asmarantaka (2009) menyatakan pengertian marjin yang lebih luas yaitu sebagai cerminan dari aktivitas-aktivitas bisnis atau fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan dalam suatu sistem tataniaga. Artinya marjin merupakan kumpulan balas jasa karena adanya kegiatan produktif


(33)

berupa penambahan dan penciptaan nilai guna dalam mengalirkan produk-prduk agribisnis dari tingkat petani sampai ke tangan retailer ataupun konsumen akhir.

 

Keterangan :

Pr : Harga di tingkat pabrik pengolah atau pedagang eceran

Pf : Harga di tingkat petani

PD1 : Primary Demand 1 PD2 : Primary Demand 2 DD1 : Derived Demand 1 DD2 : Derived Demand 2 PS1 : Primary Supply 1 PS2 : Primary Supply 2 DS1 : Derived Supply 1 DS2 : Derived Supply 2

Q1 : Jumlah produk yang diminta/ditawarkan pada kondisi awal

Q2 : Jumlah produk yang diminta/ditawarkan setelah ada perubahan

: Kondisi awal

: Kondisi setelah ada perubahan

Gambar 3. Kurva Pembentukan Marjin Tataniaga

Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa marjin merupakan selisih harga di tingkat pengecer (retail) dengan harga yang diterima di tingkat petani (farm). Harga di tingkat petani terbentuk sebagai pertemuan antara kurva primary supply

dengan kurva derived demand. Primary supply menggambarkan penawaran yang ada di tingkat petani dari komoditi yang diusahakan dalam kegiatan usahatani. Bentuk dari primary supply dalam sistem agribisnis dapat digambarkan sebagai penawaran yang dilakukan petani terhadap komoditi yang dihasilkan dan biasanya digunakan sebagai bahan baku oleh industri pengolahan. Misalkan penawaran Margin

Pr

Pf

DS1

PS1

PD1

DD1

Price

Quantity Q1

DD2

PD2

DS2

PS2


(34)

petani cabai terhadap produk cabai yang dihasilkan kepada pabrik pengolahan sambal botolan. Sementara itu, derived demand menggambarkan permintaan di tingkat pedagang perantara atau pabrik pengolah terhadap produk yang dihasilkan oleh petani. Derived demand merupakan turunan dari primary demand. Derived demand dalam aktivitas agribisnis dapat dicontohkan melalui permintaan cabai oleh pabrik pengolahan sambal botolan kepada petani yang membudidayakan komoditi cabai. Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak petani (PS1) dan terdapat juga permintaan dari pihak pabrik pengolah ataupun pedagang eceran (DD1) maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat petani (Pf).

Harga di tingkat pengecer terbentuk sebagai pertemuan antara kurva

primary demand dengan kurva derived supply. Primary demand menggambarkan permintaan yang ada di tingkat konsumen kepada pedagang pengecer atau pabrik pengolahan. Misalnya permintaan konsumen terhadap produk sambal botolan yang dihasilkan oleh pabrik pengolah sambal botolan. Sedangkan derived supply

merupakan turunan dari primary supply yang menggambarkan penawaran yang dilakukan pada tingkat pedagang perantara ataupun pabrik pengolah. Bentuk dari

derived supply dapat dicontohkan sebagai penawaran yang dilakukan oleh pabrik pengolahan sambal botolan kepada konsumen yang biasa mengkonsumsi sambal. Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak pabrik pengolah ataupun pedagang eceran (DS1) dan terdapat juga permintaan dari pihak konsumen (PD1) maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat pedagang eceran ataupun pabrik pengolah (Pr).

Penetapan harga di tingkat petani cabai dan harga sambal botolan di tingkat pabrik pengolahan tentunya akan menghasilkan penetapan harga yang berbeda. Perbedaan penetapan harga di tingkat petani cabai (farm) dengan harga sambal di tingkat pabrik pengolahan (retail) menunjukkan adanya marjin dalam tataniaga komoditi cabai, sehingga terbukti bahwa marjin tataniaga terbentuk dari selisih harga di tingkat petani (farm) dengan harga di tingkat pengecer/pabrik pengolah (retail) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Perubahan kondisi pasar dapat mempengaruhi jumlah produk yang diminta/ditawarkan, seperti adanya perubahan jumlah penduduk ataupun perubahan selera di tingkat konsumen. Misalnya saja adanya peningkatan jumlah


(35)

penduduk maka hal ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah yang diminta oleh konsumen. Peningkatan jumlah tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 3 sebagai perubahan jumlah yang diminta yaitu dari Q1 akan berubah menjadi Q2. Perubahan jumlah ini tentunya akan mempengaruhi kurva permintaan dan kurva penawaran di pasar. Apabila terjadi pergeseran dari DD1 menjadi DD2 yang

dipengaruhi oleh perubahan lebih awal pada primary demand yang bergeser dari

PD1 ke kurva PD2. Hal ini dikarenakan derived demand merupakan turunan dari

primary demand. Peningkatan pada primary demand yaitu permintaan di tingkat konsumen tentunya akan mengakibatkan respon dari derived supply yaitu pihak pedagang pengecer akan berupaya meningkatkan penawaran produk sehingga mampu memenuhi kuantitas yang diinginkan oleh konsumen. Kurva derived supply akan bergeser dari DS1 ke DS2. Adanya peningkatan penawaran di tingkat

pengecer menimbulkan peluang bagi petani sebagai pemasok produk primer kepada pengecer. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran pada kurva

primary supply yang bergeser dari PS1 ke PS2. Perubahan yang terjadi pada

kuantitas produk dari Q1 ke Q2 ternyata tidak mempengaruhi besarnya marjin yang berlaku. Kondisi ini sesuai dengan Hammond dan Dahl (1977) yang menyatakan bahwa marjin tataniaga tidak dipengaruhi oleh volume produk yang dipasarkan. 3.1.8. Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga

Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) dalam Puspitasari (2010) menyatakan bahwa semakin merata penyebaran rasio keuntungan dan biaya tataniaga, maka dari segi (teknis) operasional sistem tataniaga tersebut akan semakin efisien. Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa dalam pengukuran efisiensi operasional salah satu indikator yang dapat digunakan adalah menggunakan rasio antara keuntungan terhadap biaya tataniaga. Hal ini dikarenakan keuntungan merupakan


(36)

3.1.9. Efisiensi Tataniaga

Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input.

Kohls and Uhl (2002) menyatakan efisiensi dapat diukur sebagai rasio output terhadap input. Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu :

1) Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi merupakan upaya peningkatan rasio output terhadap input, menurut Downey dan Erickson (1992), peningkatan efisiensi dapat dilakukan melalui salah satu dari empat cara berikut ini :

a) Menurunkan masukan/input tanpa merubah total output yang dihasilkan. b) Meningkatkan total output tanpa merubah total masukan/input yang

digunakan

c) Meningkatkan output disertai dengan peningkatan total masukan/input yang digunakan dengan tambahan total output lebih besar dari tambahan input.

d) Menurunkan penggunaan masukan/input yang disertai dengan penurunan total output yang dihasilkan namun penurunan output lebih kecil dari penurunan input.


(37)

Keluaran per jam kerja merupakan salah satu rasio produktivitas yang biasanya digunakan sebagai tolak ukur efisiensi operasional (Downey dan Erickson 1992, Kohls dan Uhl 2002).

2) Efisiensi harga menekankan kemampuan sistem tataniaga dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh proses dalam sistem tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen serta memaksimumkan output ekonomi.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra pembudidayaan rumput laut di wilayah Kabupaten Badung. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan tentang aktivitas tataniaga pada dua lokasi yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa. Rumput laut merupakan komoditi dengan tujuan pasar ekspor. Perbedaan penetapan harga di tingkat ekspor dengan harga di tingkat usahatani menunjukkan adanya marjin dalam tataniaga rumput laut. Hal tersebut menimbulkan permasalahan yaitu rendahnya harga yang diterima oleh petani khususnya para petani yang melakukan penjualan rumput laut secara individu. Hal ini diakibatkan pada fluktuasi hasil produksi yang dihasilkan yang diakibatkan oleh faktor alam serta rendahnya kesadaran petani untuk memenuhi ketetapan standar kualitas rumput laut ekspor misalnya pada syarat kadar air pada rumput laut kering yang dipasarkan. Posisi petani yang sebagian besar sebagai price taker menunjukkan lemahnya posisi tawar petani dalam hal penentuan harga. Keberadaan lembaga – lembaga tataniaga tentunya dapat membantu petani khususnya dalam meningkatkan aktivitas tataniaga/pemasaran rumput laut. Apabila para petani berada dalam suatu wadah yang mampu menaungi kepentingan dari para petani tentunya permasalahan – permasalahan seperti penentuan harga yang tidak sesuai di kalangan petani dapat teratasi.

Para petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh telah tergabung dalam wadah kelompok tani. Keberadaan wadah kelompok tani diharapkan dapat memperkuat posisi petani rumput laut khususnya dalam penerimaan harga.


(38)

Rumput laut sebagai komoditi dengan tujuan pasar ekspor tentunya memiliki standar kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Kelompok tani dalam hal ini berperan sebagai pengatur standarisasi dari rumput laut yang dihasilkan. Pengelolaan kegiatan usaha rumput laut di wilayah Desa Kutuh juga dikelola secara perorangan oleh beberapa petani setempat. Hal serupa juga diterapkan oleh para petani rumput laut di wilayah Kelurahan Benoa. Pemberlakuan standarisasi pada wadah kelompok tani membuat beberapa petani memilih untuk melakukan aktivitas usaha budidaya rumput laut secara mandiri. Perbedaan sistem pengelolaan usaha diantara petani tentunya akan mempengaruhi tingkat harga yang akan diterima oleh petani. Perbedaan tingkat harga ini juga akan berpengaruh pada fungsi tataniaga (pemasaran) yang diterapkan. Perbedaan fungsi yang dijalankan tentunya akan berpengaruh pada saluran dan lembaga tataniaga yang terlibat serta tingkat efisiensi tataniaga rumput laut yang berlaku di masing – masing pihak petani yang berkelompok maupun tidak tergabung dalam kelompok tani. Lembaga tataniaga sebagai pelaksana dari fungsi tataniaga perlu menjalankan perannya dalam upaya pemenuhan kepuasan konsumen. Berbagai kegiatan produktif yang dilakukan dalam rangka pemberian nilai tambah terhadap komoditi rumput laut seperti upaya penyediaan rumput laut dengan kualitas mutu yang baik. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari fungsi – fungsi tataniaga dalam pemasaran komoditi rumput laut. Kegiatan tataniaga dari pembudidaya, lembaga tataniaga dan konsumen akan membentuk tingkat harga tertentu dari suatu produk.

Marjin tataniaga menunjukkan perbedaan tingkat harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima di tingkat petani. Farmer’s share

digunakan untuk membandingkan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Sementara itu, rasio keuntungan dan biaya tataniaga digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing – masing lembaga tataniaga. Marjin tataniaga,

farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya tataniaga dapat menjadi indikator dalam mengukur efisiensi dari suatu sistem tataniaga. Sistem tataniaga yang efisien tentunya akan memberikan alternatif mengenai saluran tataniaga yang efisien yang mampu meningkatkan pendapatan petani tanpa mengabaikan


(1)

Jadi, biaya tataniaga di tingkat pedagang pengumpul pada saluran II setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 82,95/kg

2. Biaya Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul pada Saluran III Marjin pada kondisi awal = Biaya Tataniaga Awal Marjin setelah Peningkatan Kualitas Biaya Tataniaga Baru 200 = 56,41

163 X X = (163 x 56,41)/200 = 45,97

Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran III setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 45,97/kg

Perhitungan Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir

Ketika terjadi peningkatan kualitas yang lebih tinggi pada saluran II dan III maka harga beli di tingkat eksportir juga akan lebih tinggi, sehingga akan menimbulkan marjin yang ada di tingkat eksportir akan semakin rendah karena terjadi pengurangan biaya tataniaga dari pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga. Pengurangan biaya tersebut akibat adanya pelaksanaan fungsi tataniaga di tingkat petani. Oleh karena itu, setelah peningkatan kualitas maka :

Harga beli di tingkat eksportir di saluran II

= Harga beli di tingkat pedagang pengumpul + Marjin Baru = Rp 8.540 + Rp 409

= Rp 8.949

Harga beli di tingkat eksportir di saluran III

= Harga beli di tingkat pedagang pengumpul + Marjin Baru = Rp 8.540 + Rp 163


(2)

129  

1. Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir pada Saluran II

Marjin pada kondisi awal = Biaya Tataniaga Awal Marjin setelah Peningkatan Kualitas Biaya Tataniaga Baru 2.427,5 = 1.025

978,5 X

X = (978,5 x 1.025)/2.427,5 = 413,16

Jadi, biaya tataniaga di tingkat eksportir pada saluran II setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 413,16/kg

2. Biaya Tataniaga di Tingkat Eksportir pada Saluran III

Marjin pada kondisi awal = Biaya Tataniaga Awal Marjin setelah Peningkatan Kualitas Biaya Tataniaga Baru 2.727,5 = 1.025

1.224,5 X X = (1.224,5 x 1.025)/1.025 = 460,16

Jadi, marjin di tingkat pedagang pengumpul pada saluran III setelah terjadi peningkatan kualitas adalah sebesar Rp 460,16/kg


(3)

Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian

       

       

        

         

        

 

   

 

Gambar 1. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii

Gambar 2. Proses pengikatan bibit rumput laut

Gambar 3. Petani menggunakan alat bantu

jukung untuk penanaman dan pemanenan di

tengah pantai

Gambar 4. Areal penanaman rumput laut Euchema cottonii

Gambar 5. Pembudidayaan rumput laut

Eucheuma cottonii dengan menggunakan

tali sebagai alat bantu.

Gambar 6. Proses pengeringan rumput laut yang dilakukan oleh para petani.


(4)

131  

      

       

      

       

     

   

 

Gambar 7. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii dalam kondisi kering

Gambar 8. Pengemasan rumput laut di tingkat Kelompok Tani

Gambar 9. Kegiatan sortasi yang dilakukan di tingkat Eksportir

Gambar 10. Pengemasan yang dilakukan di tingkat Eksportir

Gambar 11. Pengangkutan yang dilakukan oleh Eksportir


(5)

RINGKASAN

NI PUTU AYUNING WULAN PRADNYANI MAHAYANA. Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RATNA WINANDI)

Rumput laut merupakan salah satu komoditi subsesktor budidaya laut yang mendukung upaya kebijakan industrialisasi perikanan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rumput laut menjadi komoditi unggulan dengan total produksi terbesar dengan total produksi mencapai 3,3 juta ton pada tahun 2010. Selain itu, rumput laut juga merupakan komoditi ekspor yang memiliki volume dan nilai ekspor yang meningkat setiap tahunnya pada tahun 2006 – 2010. Bali merupakan salah satu provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Salah satu sentra pembudidayaan rumput laut di Provinsi Bali adalah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Berdasarkan data mengenai pendekatan nilai ekspor dan nilai produksi rumput laut diketahui terdapat marjin dalam penetapan harga rumput laut ekspor di Indonesia serta terdapat data mengenai adanya fluktuasi harga di tingkat petani. Oleh karena itu dinilai perlu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pemasaran rumput laut melalui pendekatan analisis tataniaga. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui serta menganalisis pelaksanaan si.stem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, (2) mengkaji peranan kelompok tani dalam tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan, (3) menganalisis efisiensi sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali selama bulan Februari hingga Maret 2012. Responden penelitian terdiri dari petani responden yang berjumlah 35 orang dan lima orang lembaga tataniaga. Penarikan responden petani dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling sedangkan responden lembaga tataniaga dilakukan dengan metode snowball sampling. Responden lembaga tataniaga merupakan lembaga yang menjadi tujuan pemasaran responden petani pada periode penjualan sesuai dengan waktu penelitian ini dilakukan. Analisis data pada penelitian ini terdiri dari pendekatan analisis saluran dan lembaga tataniaga, analisis fungsi tataniaga, analisis struktur pasar dan analisis perilaku pasar yang dianalisis secara deskriptif. Selain itu juga dilakukan analisis kuantitatif melalui pendekatan nilai marjin tataniaga, farmer’s share, analisis rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga dan analisis efisiensi tataniaga.

Sistem tataniaga rumput laut pada penelitian ini membentuk tiga pola saluran tataniaga yang melibatkan petani, kelompok tani, pedagang pengumpul, agen perantara dan eksportir. Pengelolaan aktivitas tataniaga di tingkat petani dikelola secara individu dan melibatkan peranan kelompok tani. Saluran tataniaga I melibatkan kelompok tani, agen perantara dan eksportir (Surabaya). Saluran tataniaga II melibatkan petani, pedagang pengumpul A dan eksportir (Bali). Saluran III melibatkan petani, pedagang pengumpul B dan eksportir (Bali). Setiap lembaga tataniaga menjalankan fungsi tataniaga masing – masing sebagai upaya


(6)

dihadapi oleh petani rumput laut cenderung berhadapan dengan struktur pasar bersaing. Jumlah petani cenderung lebih banyak dibandingkan lembaga tataniaga yang berperan sebagai pembeli. Produk yang dihasilkan cenderung homogen yaitu berupa rumput laut kering yang terstandarisasi. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul rumput laut dan agen perantara cenderung pada struktur pasar tidak bersaing baik dari sisi sebagai penjual maupun pembeli. Pedagang pengumpul di Kecamatan Kuta Selatan tidak berjumlah banyak. Berdasarkan fakta yang terlihat di lapangan, terdapat perbedaan penetapan harga jual di masing – masing pedagang pengumpul. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kekuatan diantara pedagang pengumpul. Sementara itu pihak eksportir cenderung menghadapi struktur pasar bersaing dilihat dari sisi eksportir sebagai penjual karena adanya persaingan antar eksportir yang cukup ketat misalnya saja dengan sesama eksportir yang berasal dari wilayah Surabaya serta adanya kepatuhan terhadap standarisasi yang telah ditetapkan terhadap rumput laut yang akan diekspor sedangkan jika dilihat dari sisi eksportir sebagai pembeli maka struktur pasar yang dihadapi cenderung struktur pasar tidak bersaing. Sedangkan pada perhitungan pangsa pasar rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan diperoleh nilai pangsa pasar sebesar 20,9 persen pada tahun 2009 dan 21,88 persen pada tahun 2010 karena nilai berada pada kisaran 20 – 50 persen maka nilai tersebut menunjukkan bahwa tataniaga rumput laut yang dihasilkan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan cenderung menghadapi struktur pasar oligopoli ketat.

Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa dalam tataniaga rumput laut dalam penelitian ini aktivitas penjualan dan pembelian dilakukan secara bebas dan tidak ada kontrak khusus yang mengikat masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat. Pada proses penetapan harga secara umum lembaga tataniaga yang memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung memiliki kekuatan dalam penentuan harga. Sistem pembayaran yang berlaku terdiri atas beberapa macam yaitu pembayaran melalui sistem tunai, transfer dan pembayaran kemudian.

Penelitian ini terdiri dari dua analisis kuantitatif yaitu analisis terhadap kondisi riil di lapangan serta analisis terhadap skenario. Skenario dilakukan karena adanya dugaan perbedaan kualitas standar kadar air rumput laut pada saluran I dengan saluran II dan III. Skenario dilakukan dengan melakukan penyetaraan standar kualitas rumput laut pada kadar air sebesar 35 persen. Hasil analisis marjin baik analisis terhadap kondisi riil di lapangan maupun analisis terhadap skenario yang dilakukan menunjukkan bahwa saluran I memiliki nilai marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 1.333,00 per kilogram rumput laut kering. Pada analisis farmer’s share juga menunjukkan bahwa saluran I memiliki

nilai farmer’s share tertinggi yaitu sebesar 88,23 persen. Analisis rasio

keuntungan terhadap biaya tataniaga menunjukkan bahwa saluran I relatif lebih efisien sebagai alternatif saluran tataniaga rumput laut. Saluran I memang bukan saluran dengan nilai rasio tertinggi, namun pada saluran ini mampu menghasilkan biaya terendah sementara mampu menghasilkan rumput laut dengan standar kualitas yang telah ditentukan yaitu sebesar 35 persen dan hal ini dinilai mampu memenuhi permintaan eksportir sebagai konsumen akhir dalam sistem tataniaga rumput laut di Kecamatan Kuta Selatan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas kadar air pada rumput laut mampu meningkatkan efisiensi pelaksanaan sistem tataniaga khususnya di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa.