V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kesesuaian Lingkungan Ekologis Ternak Itik
Hasil penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak itik menunjukkan bahwa seluruh areal studi wilayah Kabupaten HSU sesuai secara
ekologis. Menurut Juarini dan Sumanto 1999, Ardhani 2008 kesesuaian lahan untuk ternak menggambarkan kondisi lahan yang dapat digunakan untuk bidang
usaha peternakan. Luas lahan yang sesuai untuk kelompok unggas dapat dikatakan mencapai 100, karena pada umumnya ternak unggas dapat hidup
pada semua kondisi lahan yang ada, baik lahan yang berair maupun kering. Itik termasuk golongan unggas air, oleh karena itu itik memerlukan
penyediaan air. Akan tetapi itik tidak selalu membutuhkan kolam asalkan ada air yang dapat digunakan untuk mencelupkan kepala atau air untuk membasahkan
bulunya. Pencelupan kepala itu adalah salah satu hal yang penting agar mata dan lubang hidung itik selalu bersih. Kalau tidak maka dapat timbul berbagai
gangguan atau penyakit pada mata ataupun pada saluran pernapasan Blakely dan Bade, 1991. Usaha peternakan itik sangat cocok dikembangkan di
Kabupaten HSU, Itik yang berasal dari kabupaten ini yaitu Itik Alabio. Habitatnya di daerah rawa yang memiliki kelembaban tinggi.
Pemeliharaan itik secara tradisional umumnya terbatas pada daerah- daerah yang memungkinkan seperti daerah rawa, danau, pinggiran sungai atau
persawahan yang
luas yang
sangat tergantung
pada lahan-lahan
penggembalaan. Ternak itik juga bisa dibudidayakan secara intensif yaitu itik yang dikandangkan secara terus menerus dengan kolam air atau kering tanpa
kolam air. Penelitian oleh Suharno dan Amri 2010 mengenai pemeliharaan itik secara intensif yang dikurung dalam kandang dengan kolam air atau tanpa kolam
air menunjukkan bahwa walaupun konsumsi makanannya hampir sama, pemeliharaan itik tanpa kolam air menghasilkan produksi telur lebih tinggi 65
dibandingkan dengan itik yang dipelihara dalam kandang dengan kolam air 55. Keunggulan ini terutama dalam hal jumlah maupun berat telur yang
dihasilkan. Artinya, itik yang dipelihara intensif dalam kurungan tanpa disediakan kolam menghasilkan jumlah telur lebih banyak dan lebih besar. Hal ini
membuktikan bahwa itik sebenarnya tidak mutlak memerlukan air untuk berenang, hal terpenting justru air minum yang harus tersedia sepanjang waktu.
Tingginya produksi telur pada ternak itik yang dikurung tanpa kolam air karena jika disediakan kolam itik lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain
air. Di Kabupaten HSU, usaha peternakan untuk penghasil telur konsumsi
umumnya dilakukan secara intensif, yaitu sistem pemeliharaan secara dikandangkan. Kandang umumnya dengan bentuk panggung yang dibangun di
atas rawa. Sementara untuk usaha peternakan penghasil telur tetas, telur berasal dari itik betina yang dibuahi itik jantan. Telur tetas yang dihasilkan lebih baik
berasal dari itik yang digembalakan bersama pejantan atau yang dipelihara dengan kolam yang menggunakan pejantan. Karena itik hanya mau kawin kalau
ada air maka pemeliharaan untuk menghasilkan telur tetas ini harus dilengkapi dengan kolam khusus yang berisi air Suharno dan Amri, 2010. Menurut
Rohaeni dan Wasito 1994 telur-telur yang dihasilkan dari itik yang dipelihara dengan digembalakan memberikan daya tunas dan daya tetas yang lebih baik,
Hal ini disebabkan dengan dilepasnya di rawaair, secara naluri keinginan itik untuk melakukan perkawinan cukup tinggi, dengan media air tingkat keberhasilan
dalam pembuahan juga baik. Dengan demikian telur-telur yang dihasilkan mempunyai daya tunas baik. Selain itu dengan dilepas di rawa yang banyak
mengandung sumber makanan bergizi, secara naluri itik memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menghasilkan daya tetas yang tinggi.
Usaha pembesaran ternak itik di Kabupaten HSU umumnya dilakukan dengan digembalakan, ternak itik digembalakan pada umur kurang lebih dua
bulan sampai dengan umur 6 bulan yaitu pada saat itik sudah mulai berproduksi. Penggembalaan ternak merupakan usaha peternak untuk mengurangi biaya
pakan, karena keuntungan yang diperoleh tidak langsung, berbeda dengan usaha peternakan untuk penghasil telur yang memperoleh biaya penggantian
pakan dari penjualan telur. Terkonsentrasinya pemeliharaan itik di daerah tertentu terjadi karena
pengaruh pola pemeliharaan secara tradisional. Pemeliharaan itik secara tradisional sangat tergantung pada tersedianya lahan-lahan penggembalaan
Suharno dan Amri, 2010. Perkembangan peternakan itik di Kabupaten HSU selain sesuai dengan potensi alam yaitu daerah rawa dan kebiasaan masyarakat
sebagai usaha turun temurun dalam beternak.
5.2 Kesesuaian Lahan Pakan Ternak Itik 5.2.1 Kesesuaian Lahan untuk Sagu