Kesimpulan ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG

160 dimensi ekonomi, kelembagaan, dan teknologi, nilai indeks keberlanjutan hortikultura sayuran lebih besar dari hortikultura buah-buahan. Hal ini tergambarkan pada diagram layang-layang, dimana kurva tanaman sayuran lebih besar pada tiga dimensi ekonomi, kelembagaan, dan teknologi, sedangkan tanaman Buah-buahan kurvanya lebih besar pada dimensi ekologi dan dimensi sosial Gambar 32. Gambar 32. Diagram layang-layang analisis indeks dan status keberlanjutan sistem usahatani hortikultura buah-buahan dan sayuran di hulu DAS Jeneberang.

8.4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan : Indeks keberlanjutan untuk sistem usahatani hortikultura buah- buahan berkisar antara 41,90 sampai 54,41. Dimensi ekologi 54,41, dimensi ekonomi 51,40, dan dimensi kelembagaan 43,77, termasuk status cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial 43,77 dan dimensi teknologi 41,90 masuk status kurang berkelanjutan. Atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem usahatani hortikultura buah-buahan sebanyak 9 atribut. 20 40 60 80 100 Ekologi Ekonomi Kelembagaan Sosial Teknologi Sayur Buah 161 Atribut sensitif meliputi tingkat erosi yang terjadi, kondisi penutupan lahan, tingkat kemiringan lereng, produktivitas tanaman hortikultura, pengelolaan lahan, komoditas unggulan, intensitas penyuluhan dan pelatihan mengenai teknologi ramah lingkungan, intensitas pertemuan kelompok tani, teknik penggunaa mulsa dan teknologi konservasi tanah dan air. Komoditas pisang yang tingkat keberlanjutannya paling rendah dan komoditas rambutan yang tingkat keberlanjutannya cukup. Indeks keberlanjutan untuk sistem usahatani hortikultura sayuran berkisar antara 39,58 sampai 64,85. Dimensi ekologi 48,17, dimensi ekonomi 64,85, dimensi kelembagaan 56,47, dan dimensi teknologi 56,71 termasuk status cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial 39,58 masuk status kurang berkelanjutan. Atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem usahatani hortikultura sayuran sebanyak 23 atribut. Atribut sensitif meliputi tingkat erosi yang terjadi, ketersediaan bahan organik, kualitas hasil tanaman hortikultura, produktivitas tanaman hortikultura, pengelolaan lahan, komoditas unggulan tanaman hortikultura, harga produk komoditas hortikultura, kontribusi terhadap pendapatan petani, pengelolaan hasil pertanian hortikultura, luas lahan garapan, ketersediaan pemasaran, intensitas penyuluhan dan pelatihan mengenai teknologi ramah lingkungan, adopsi teknologi konservasi tanah, eksistensi layanan Pemerintah, pengetahuan masyarakat tentang lingkungan, persepsi masyarakat tentang partisipatori, persepsi masyarakat terhadap upaya konservasi tanah, keberadaan kelompok tani, intensitas pertemuan kelompok tani, teknik penggunaan mulsa, penggunaan pupuk organik dan biofertilizer, teknologi pembuatan pupuk organik, intensitas penggunaan pestisida, dan teknologi pembuatan biopestisida. Komoditas wortel yang tingkat keberlanjutannya paling rendah dan komoditas sawi dan kentang yang tingkat keberlanjutannya cukup. 162 Komoditas hortikultura sayuran status keberlanjutan lebih tinggi dibandingkan komoditas buah-buahan, kecuali pada dimensi ekologi. 163 IX. DISAIN MODEL PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 9.1. Pendahuluan Komoditas hortikultura merupakan salah satu sumber akselerasi pertumbuhan sektor pertanian karena sifat permintaannya yang elastis terhadap pendapatan. Seiring dengan laju pertambahan jumlah penduduk, yang dibarengi dengan peningkatan pendapatan, dan berkembangnya pusat kota-industri-wisata, serta liberalisasi perdagangan merupakan faktor potensial bagi peningkatan permintaan produk hortikultura. Namun demikian potensi pasar tersebut belum mampu dimanfaatkan para pelaku agribisnis hortikultura secara optimal. Potensi ketersediaan sumberdaya lahan untuk komoditas hortikultura masih memungkinkan dikembangkan pada skala yang lebih luas. Potensi lahan untuk pengembangan komoditas hortikultura di hulu DAS Jeneberang mencakup lahan ladang 7,20 km 2 , lahan kebun 32,21km 2 , lahan tegalan 30,52 km 2 , lahan yang sementara tidak diusahakan bera seluas 17,91 km 2 Said, 2001. Potensi produksi yang besar ini juga belum mampu dikelola secara optimal, karena petani menghadapi kendala dalam pemasaran, yang terkait dengan ketidakpastian pasar dan rendahnya harga pada musim panen. Sifat komoditas hortikultura yang mudah rusak, dan mengalami susut yang besar merupakan permasalahan yang dialami petani dan juga pedagang, dimana dapat menimbulkan resiko fisik dan harga bagi pelaku agribisnis hortikultura. Kualitas produk hortikultura yang rendah berkaitan erat dengan sistem produksi, sistem panen, penanganan pasca panen, sistem distribusi dan pemasaran. Konsekuensinya, agar dapat memenuhi permintaan pasar dan preferensi konsumen, maka masalah efisiensi, produktivitas, dan kualitas harus mendapatkan perhatian khusus. Hulu DAS Jeneberang di Kabupaten Gowa merupakan salah satu sentra penghasil tanaman hortikultura yang cukup berpotensi di Sulawesi Selatan, namun produktivitasnya baik kualitas maupun kuantitas masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain. Produktivitas kentang di Sulawesi Selatan tahun 2009 adalah 8,24 tonha, kubis 16,79 tonha, wortel 8,68 tonha, dan bawang daun 5,70 tonha sedangkan produktivitas kentang di Jawa Barat mencapai 20,89 tonha 164 dan bawang daun 13,84 tonha, kubis di Sumatera Barat mencapai 31,39 tonha, wortel di Sumatera Utara mencapai 21,20 tonha BPS, 2010. Permasalahan hasil hortikultura di Sulawesi Selatan adalah hasilnya rendah, kontinuitasnya tidak terjamin, pada waktu tertentu hasilnya berlimpah dan pada saat dibutuhkan hasil rendah. Disamping itu teknologi dan inovasi baru hasil penelitian para peneliti belum menyentuh kebutuhan petani dan pemasaran hasil masih dikuasai oleh tengkulak dan padagang pengumpul dan pedang besar yang tidak memihak pada petani sehingga keuntungan yang diperoleh kecil dan kehidupan petani menjadi termarginalkan. Produksi tanaman hortikultura mengalami fluktuasi yang sangat besar. Beberapa kasus yang dialami petani di lapangan, dimana petani memberikan pupuk tidak berdasarkan anjuran dan rekomendasi, sehingga mereka cenderung memupuk dalam jumlah tinggi dan tidak berdasarkan pada analisis tanah setempat, sehingga pemberian pupuk tidak efektif dan efisien. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan hasil tanaman hortikultura Effendi, 2002. Menurut Ditjen Hortikultura 2004 dalam Rencana Strategis Pengembangan Hortikultura Indonesia, ciri-ciri sistem produksi hortikultura pada sebagian besar petani kecil Indonesia adalah: 1 skala usaha kecil, bersifat sampingan, belum merupakan usaha komersial atau agribisnis; 2 pola tanam campuran, varietas yang ditanam belum seragam; 3 pengelolaan tanaman belum menerapkan teknologi maju, masih tradisional, mengakibatkan produksi dan mutu hasil belum optimal, atau rendah; 4 pemanenan dan penanganan pasca panen belum optimal; 5 lokasi produksi pada umumnya tidak merupakan hamparan luas, sering terpencil dengan sarana transportasi minimal, atau berada pada wilayah non optimal; 6 cara pemasaran hasil secara ijon atau tebasan masih sering diterapkan. Hulu DAS Jeneberang memiliki potensi besar di satu pihak, tetapi di pihak lain juga menghadapi kendala dalam pengembangan usaha hortikultura, yang dapat digolongkan menjadi kendala substansi dan kendala organisasikelembagaan. Kendala substansi terdiri dari: 1 relatif sempitnya pemilikan atau penguasaan lahan untuk usaha hortikultura; 2 terbatasnya diversifikasi produk-produk agribisnis dan agroindustri hortikultura, sehingga kurang mampu memenuhi pasar; 3 kualitas beberapa produk hortikultura masih 165 belum mampu menyesuaikan dengan tuntutan pasar; 4 kelangkaan kualitas sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan memadai dalam menajamen agribisnis, teknologi pengolahan serta pengetahuan manajemen mutu; 5 belum maksimalnya dukungan pihak perbankan terhadap pengembangan agribisnis hortikultura, baik dari aspek permodalan maupun suku bunga; 6 kurangnya kegiatan dan pengetahuan untuk menyiasati pasar market intelligence; 7 kurangnya dukungan pemerintah untuk merangsang dan mempermudah akses pasar. 9.2. Metode Penelitian 9.2.1.