58
Apabila kontribusi yang diberikan berada di atas rata-rata kontribusi secara keseluruhan berarti bagi hasil pajak tersebut potensial, dan jika
berada di bawah rata-rata berarti bagi hasil pajak tersebut tidak potensial.
c. Analisis Tingkat Efektivitas
Definisi efektivitas adalah untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan dengan tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu
yang ditetapkan dengan menggunakan sumber daya dan sarana yang ada. Untuk mengukur tingkat efektivitas dana bagi hasil pajak PBB, BPHTB,
dan PPh Orang Pribadi terhadap penerimaan daerah pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Tangerang digunakan formulasi sebagai
berikut Dwirandra, 2008:8: EDBHP = Realisasi Penerimaan Pajak X 100
Target Penerimaan Pajak Keterangan :
EDBHP = Efektivitas Dana Bagi Hasil Pajak
Tabel 3.2 Nilai dan Kriteria Tingkat Efektivitas
NILAI KRITERIA
100 91 - 99
81 - 90 61 - 80
≤ 60 Sangat Efektif
Efektif Cukup Efektif
Kurang Efektif Tidak Efektif
Sumber : Kepmendagri No.690.900-327 yang disederhanakan
2. Analisis Deskriptif Kualitatif
Metode analisis yang kedua adalah dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu dengan menjelaskan mengenai tingkat pertumbuhan,
kontribusi, dan tingkat efektivitas penerimaan dana bagi hasil pajak PBB,
59
BPHTB dan PPh Orang Pribadi pada Kabupaten Tangerang periode 2005- 2009.
E. OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Variabel pada dasarnya adalah sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang
hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan Sugiyono, 2009:3. Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini ialah pajak bumi dan bangunanPBB,
bea perolehan hak atas tanah dan bangunanBPHTB, pajak penghasilan PPh orang pribadi.
60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Tangerang
1. Sejarah Singkat Kabupaten Tangerang
Kabupaten Tangerang sejak ratusan tahun lalu sudah menjadi daerah perlintasan perniagaan, perhubungan sosial dan interaksi
antardaerah lain. Hal ini disebabkan letak daerah ini yang berada di dua poros pusat perniagaan Jakarta-Banten.
Berdasarkan catatan sejarah, daerah ini sarat dengan konflik kepentingan perniagaan dan kekuasaan wilayah antara Kesultanan Banten
dengan penjajah Belanda. Secara tutur-tinular, masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah dataran ini
adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat
perkampungan pertahanan di Tangerang. Ketiga maulana itu adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan
Santika. Konon, basis pertahanan mereka berada di garis pertahanan ideal yang kini disebut kawasan Tigaraksa dan membentuk suatu pemerintahan.
Oleh karena itu, menurut legenda rakyat cikal-bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksa sebutan Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan
kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan = tiangtiga = Tigaraksa. Pemerintahan ketiga maulana ini, pada akhirnya dapat
ditumbangkan dan seluruh wilayah pemerintahannya dikuasai Belanda,
61
yang berdasarkan catatan sejarah terjadi tahun 1684. Berdasarkan catatan pada masa ini pun, lahir sebutan kota Tangerang. Sebutan Tangerang lahir
ketika Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun tugu prasasti di bagian barat Sungai
Cisadane kini diyakini berada di kampung Gerendeng. Tugu itu disebut masyarakat pada waktu itu dengan Tangerang
bahasa Sunda = tanda. Tugu itu memuat prasasti dalam bahasa Arab Gundul Jawa Kuno, Bismillah peget Ingkang GustiDiningsun juput
parenah kala SabtuPing Gangsal Sapar Tahun WauRengsenaperang netek NangeranBungas wetan Cipamugas kilen CidurianSakabeh
Angraksa Sitingsun Parahyang Arti tulisan prasasti itu adalah Dengan nama Allah tetap Yang
Maha KuasaDari kami mengambil kesempatan pada hari SabtuTanggal 5 Sapar Tahun WauSesudah perang kita memancangkan tuguUntuk
mempertahankan batas timur Cipamugas Cisadae dan barat Cidurian Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Diperkirakan sebutan Tangeran, lalu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang. Desakan pasukan Belanda semakin menjadi-
jadi di Banten sehingga memaksa dibuatnya perjanjian antar kedua belah pihak pada 17 April 1684 yang menjadikan daerah Tangerang seluruhnya
masuk kekuasaan penjajah Belanda. Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda pun membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Banten
dengan dibawah pimpinan seorang bupati.
62
Para bupati yang sempat memimpin Kabupaten Tangerang periode tahun 1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan
Aria Soetadilaga dinilai tak mampu lagi memerintah kabupaten Tangerang dengan baik, akhirnya penjajah Belanda menghapus pemerintahan di
daerah ini dan memindahkan pusat pemerintahan ke Jakarta. Lalu, dibuat kebijakan sebagian tanah di daerah itu dijual kepada orang-orang kaya di
Jakarta, sebagian besarnya adalah orang-orang Cina kaya sehingga lahir masa tuan tanah di Tangerang.
Pada 8 Maret 1942, pemerintahan penjajah Belanda berakhir digantikan pemerintahan penjajah Jepang. Namun terjadi serangan sekutu
yang mendesak Jepang di berbagai tempat. Oleh karena itu, pemerintahan militer Jepang mulai memikirkan pengerahan pemuda-pemuda Indonesia
guna membantu usaha pertahanan mereka sejak kekalahan armadanya di dekat Mid-way dan Kepulauan Solomon.
Kemudian pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi militer, diantaranya yang terpenting ialah Keibodan barisan
bantu polisi dan Seinendan barisan pemuda. Disusul pemindahan kedudukan pemerintahan Jakarta Ken ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo
M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera. Adapun Tangerang pada waktu itu masih
berstatus Gun atau kewedanan berstatus ken kabupaten. Berdasarkan Po No. 342604 yang menyangkut pemindahan
Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang, maka terbentuknya pemerintahan di
63
Kabupaten Tangerang pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten
Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984. Saat itu, pertumbuhan perekonomian Kabupaten Tangerang yang
berfungsi sebagai daerah lintasan dan berdekatan dengan Ibukota negara Jakarta melesat pesat. Apalagi setelah diterbitkannya Inpres No.13 Tahun
1976 tentang pengembangan Jabotabek, di mana kabupaten Tangerang menjadi daerah penyanggah DKI Jakarta.
Tanggal 28 Februari 1993 terbit Undang-Undang No. 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang. Berdasarkan undang-undang
ini wilayah kota administratif Tangerang dibentuk menjadi daerah otonomi Kota Tangerang, yang lepas dari Kabupaten Tangerang. Berkaitan itu
terbit pula Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1995 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Dati II Tangerang dari wilayah Kotamadya Dati II
Tangerang ke kecamatan Tigaraksa. Akhirnya, pada awal tahun 2000, pusat pemerintahan Kabupaten
Tangerang pun dipindahkan Bupati H. Agus Djunara ke Ibukota Tigaraksa. Pemindahan ini dinilai strategis dalam upaya memajukan
daerah karena bertepatan dengan penerapan otonomi daerah, seperti diberlakukannya perimbangan keuangan pusat dan daerah, adanya revisi
pajak dan retribusi daerah, serta terbentuknya Provinsi Banten.
64
2. Kondisi Geografis dan Demografis