aspek sumber daya insani, yakni kesiapan sumber daya insani operator, user, aspek keuangan, yakni kesiapan serta kesesuaian pendanaan, misalnya Aspek Psikososial dalam Transportasi Tinjauan studi-studi terdahulu tentang pengelolaan transp

Ketiga sistem di atas dengan karakteristik serta keterkaitannya juga dipengaruhi oleh keberadaan serta kesiapan sistem kelembagaan yang terdiri atas Dardak, 2006 :

a. Aspek legal, yakni kesiapan serta kesesuaian UU, PP, kebijakan, RTRW, dsb;

misalnya kebijakan walikota untuk lebih mementingkan pembangunan plaza pusat perbelanjaan tanpa melihat pada sisi kemacetan mengakibatkan perubahan guna lahan perumahan menjadi pusat perbelanjaan; penerapan sistem setoran dibandingkan dengan sistem gaji bulanan mengakibatkan kemacetan akibat sopir angkutan umum mengejar setoran tanpa menghiraukan ketertiban serta rambu- rambu lalu-lintas.

b. Aspek organisasi, yakni kesiapan serta kejelasan pembagian tugas, tanggung

jawab, serta koordinasi intra dan antar unit-unit organisasi pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat; contohnya adalah kemacetan yang ditimbulkan akibat buruknya koordinasi antar sektor dalam masalah klasik gali-tutup lubang jalan untuk listrik, air minum, telepon.

c. aspek sumber daya insani, yakni kesiapan sumber daya insani operator, user,

non-user, regulator, dsb. misalnya pelanggaran RTRW karena ketidaksiapan sumber daya insani pengawasan pengendalian.

d. aspek keuangan, yakni kesiapan serta kesesuaian pendanaan, misalnya

terlambatnya pembangunan jalan layang karena adanya masalah pencairan dana pinjaman luar negeri.

2.7. Aspek Psikososial dalam Transportasi

Berbagai permasalahan yang juga berpotensi besar menimbulkan kemacetan transportasi di perkotaan adalah dalam aspek psikososial diantaranya Tamin, 2000 sbb:  Perbaikan dan pemeliharaan jaringan utilitas yang tidak terjadwal dari berbagai instansi yang mengakibatkan berkurangnya kapasitas jalan. Hal ini dapat menimbulkan citra pekerjaan gali tutup lobang yang tidak kunjung selesai. Harus ada sistem koordinasi yang baik antara instansi terkait sehingga penggalian dapat dilakukan secara terjadwal dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan instansi sekaligus Tamin, 2000.  Ketidakdisiplinan selalu merupakan alasan utama terjadinya permasalahan transportasi perkotaan. Saling serobot dan tidak mengindahkan pengemudi kendaraan lain akan mengakibatkan bertambah panjangnya kemacetan lalulintas.  Kendaraan yang diparkir di badan jalan akan mengurangi kapasitas jaringan jalan sehingga tidak sesuai lagi dengan kapasitas rencana semula.  Pedagang kaki lima yang menggunakan bahu jalan untuk berjualan, yang mengakibatkan para pejalan kaki terpaksa menggunakan badan jalan, akan menimbulkan kemacetan lalu lintas disebabkan karena berkurangnya kapasitas jalan.

2.8. Pencemaran Lingkungan Akibat Transportasi

Pembangunan fisik kota dan berdirinya pusat-pusat industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan bermotor, mengakibatkan peningkatan kepadatan lalu-lintas dan hasil produksi sampingannya yang merupakan salah satu sumber pencemaran udara. Konsentrasi pencemaran udara di beberapa kota besar dan daerah industri Indonesia menyebabkan adanya gangguan pernafasan, iritasi pada mata dan telinga, serta timbulnya penyakit tertentu. Selain itu juga mengakibatkan gangguan jarak pandang visibilitas yang sering menimbulkan kecelakaan lalu-lintas terutama lalulintas di udara dan laut Soedomo, 2001 Pencemaran udara akibat kegiatan transportasi yang sangat penting adalah akibat kendaraan bermotor di darat. Kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara yaitu dengan dihasilkannya gas CO, NO x , Hidrokarbon, SO 2 , dan tetraethyl lead, yang merupakan bahan logam timah yang ditambahkan ke dalam bensin berkualitas rendah untuk meningkatkan nilai oktan guna mencagah terjadinya letupan pada mesin. Parameter-parameter penting akibat aktivitas ini adalah CO, Partikulat, NO x , HC, Pb dan SO x Soedomo, 2001 Menurut Soedomo Soedomo, 2001 jenis pencemaran udara dilihat dari ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa:  Partikel debu, aerosol, timah hitam  Gas CO, NO x , SO x , H 2 S, hidrokarbon  Energi suhu dan kebisingan

2.8.1. Dampak pencemaran udara

Udara yang tercemar dengan partikel dan gas ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang berbeda tingkatan dan jenisnya, tergantung dari macam, ukuran dan komposisi kimiawinya. Gangguan tersebut terutama terjadi pada fungsi faal dari organ tubuh seperti paru-paru dan pembuluh darah, atau menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. Pencemaran udara karena partikel debu biasanya menyebabkan penyakit pernafasan kronis, emfiesma paru, asma bronchial dan bahkan kanker paru. Sedangkan bahan pencemar gas yang terlarut dalam udara dapat langsung masuk ke dalam tubuh sampai ke paru-paru yang pada akhirnya diserap oleh sistem peredaran darah. Kadar timah Pb yang tinggi di udara dapat mengganggu pembentukan sel darah merah. Gejala keracunan dini mulai ditunjukkan dengan terganggunya fungsi enzim untuk pembentukan sel darah merah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan lainnya seperti anemia, kerusakan ginjal dan lain-lain. Sedangkan keracunan Pb bersifat akumulatif Soedomo, 2001. Keracunan gas CO timbul sebagai akibat terbentuknya karboksihemoglobin COHb dalam darah. Afinitas CO yang lebih besar dibandingkan oksigen O 2 terhadap Hb menyebabkan fungsi Hb untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh menjadi terganggu. Berkurangnya penyediaan oksigen ke seluruh tubuh ini akan membuat sesak napas dan dapat menyebabkan kematian, pabila tidak segera mendapat udara segar kembali. Sedangkan bahan pencemar udara seperti SO x NO x , H 2 S dapat merangsang saluran pernapasan yang mengakibatkan iritasi dan peradangan Soedomo, 2001.

2.8.2. Macam-Macam Pencemar Udara

Lapisan udara yang mengelilingi bumi merupakan suatu campuran gas yang komposisinya selalu berubah ubah, beberapa diantaranya yang konsentrasinya paling bervariasi adalah H 2 O dan CO 2 . Konsentrasi CO 2 di udara selalu rendah, yaitu sekitar 0,03. Konsentrasi ini kadang kadang sedikit lebih tinggi pada tempat tempat pembusukan sampah tanaman yang menghasilkan CO 2 , pembakaran, atau di tempat kumpulan manusia dalam suatu ruang tertutup. Proses fotosintesis pada tanaman juga menyerap CO 2 sehingga ditempat tempat yang ‘hijau’ konsentrasi CO 2 relatif lebih rendah. CO 2 juga larut di dalam air sehingga udara yang baru melewati lautan konsentrasi CO 2 nya juga rendah Fardiaz, 1992. Komposisi udara kering dimana semua uap air telah dihilangkan relatif konstan. Komposisi udara kering yang bersih yang dikumpulkan di sekitar laut dapat dilihat pada Tabel 10. Konsentrasi gas dinyatakan dalam persen atau per sejuta ppm=part per million, tetapi untuk gas yang konsentrasinya sangat kecil biasanya dinyatakan dalam ppm. Selain gas –gas yang tercantum dalam Tabel 10 masih ada gas-gas lain yang mungkin terdapat di udara tetapi jumlahnya sangat kecil, yaitu kurang dari 1 ppm Fardiaz, 2001. Tabel 10 Komposisi udara kering dan bersih Komponen Formula Persen Volume ppm Nitrogen Oksigen Argon Karbon dioksida Neon Helium Metana Kripton N 2 O 2 Ar CO 2 Ne He CH 4 Kr 78,08 20,95 0,934 0,0314 0,00182 0,000524 0,0002 0,000114 780.800 209.500 9.340 314 18 5 2 1 Sumber: Stoker dan Seager dalam Fardiaz 1992 Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali Fardiaz, 1992. Proses-proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan dan sebagainya dapat melepas beberapa gas seperti SO 2 , H 2 S dan CO ke udara sebagai produk sampingan. Selain itu partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin, letusan vulkanik atau gangguan alam lainnya. Selain disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara juga daat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pabrik dan transportasi. Polutan udara primer, yaitu polutan yang mencakup 90 dari jumlah polutan udara seluruhnya dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok sbb: 1. Karbon monoksida CO 2. Nitrogen oksida NO x 3. Hidrocarbon HC 4. Sulfur dioksida SO 2 5. Partikel SPM Menurut Fardiaz 1992 sumber polusi utama berasal dari transportasi, 60 diantaranya adalah karbon monoksida dan 15 terdiri dari hidrokarbon. Sumber- sumber polusi lainnya misalnya pembakaran, proses industri, pembuangan limbah, dan lain-lain. Polutan yang utama adalah karbon monoksida yang mencapai hampir setengah dari seluruh polutan yang ada. Tingkat toksisitas dari polutan tersebut berbeda-beda seperti tertera dalam Tabel 11. Tabel 11 Toksisitas relatif polutan udara Polutan Level toleransi ppm ugm 3 Toksisitas relatif CO HC SO X NO X Partikel 32,0 40.000 - 19.300 0,50 1.430 0,25 514 - 375 1,00 2,07 28,0 77,80 106,70 Sumber: Babcock 1971 dalam Fardiaz 1992

2.8.3. Kebisingan

Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan KepMenLH No.48 Tahun 1996 atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran KepMenNaker No.51 Tahun 1999. Menurut Poernomosidhi 1995, umumnya ada tiga sumber kebisingan : a. Kebisingan lalu lintastransportasi b. Kebisingan pekerjaan atau industri c. Kebisingan pendudukpermukiman Semua kebisingan tersebut dapat menghasilkan kerusakan fisik dan psikologis. Kebisingan lalu lintas adalah konstan dan menyebar luas, karena itu menimbulkan masalah-masalah yang lebih serius. Pada umumnya kecepatan kendaraan yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat kebisingan yang lebih tinggi pula, dan permukaan jalan yang makin kasar juga akan menghasilkan kebisingan yang makin tinggi. Bunyi yang paling keras ditimbulkan di daerah persimpangan intersection area dengan adanya kendaraan yang berhenti atau mengerem, serta kendaraan yang mulai berjalan. Diantara pencemaran lingkungan yang lain, pencemaranpolusi kebisingan dianggap istimewa dalam hal : 1 penilaian pribadi dan subjektif sangat menentukan untuk mengenali suara sebagai pencemaran kebisingan atau tidak, 2 kerusakannya setempat dan sporadis dibandingkan dengan pencemaran udara dan pencemaran air, bising pesawat merupakan pengecualian. Apabila bel dibunyikan, seseorang menangkap ‘nyaring’, ‘tinggi’ dan ‘nada’ suara yang dipancarkan. Ini merupakan suatu tolok ukur yang menyatakan mutu sensorial dari suara dan dikenal sebagai ‘tiga unsur suara’. Ukuran fisik ‘kenyaringan’, ada amplitudo dan tingkat tekanan suara. Untuk ‘tinggi’ suara adalah frekuensi dan ‘nada’ adalah sejumlah besar ukuran fisik. Kecenderungan saat ini adalah menggabungkan segala yang merupakan sifat dari suara, termasuk tingginya, nyaringnya dan distribusi spectral sebagai ‘nada’. Decibel dB adalah ukuran energi bunyi atau kuantitas yang dipergunakan sebagai unit-unit tingkat tekanan suara berbobot A. Yang dilakukan untuk mensederhanakan plot-plot multipel seperti pada gambar dan untuk secara kira-kira menyebandingkan kuantitas logaritmik dari stimulus untuk stimulus akustik yang diterima telinga manusia dari luar. Pengukuran tingkat kebisingan diperlukan untuk menghitung bertambah atau berkurangnya tingkat tekanan suara berbobot A rata-rata. Meskipun pengaruh suara banyak kaitannya dengan faktor-faktor psikologis dan emosional, ada kasus-kasus dimana akibat-akibat serius seperti kehilangan pendengaran terjadi karena tingginya tingkat kenyaringan suara pada tekanan suara berbobot A dan karena lamanya telinga terpapar kebisingan itu Susanto, 2006. Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan KepMenLH No.48 Tahun 1996. Pada Tabel 12 dapat dilihat jenis jenis dari akibat kebisingan yang diderita oleh seseorang akibat terpapar kebisingan dalam waktu yang cukup lama: Tabel 12 Akibat fisik dan psikologis dari kebisingan Tipe Uraian Akibat lahiriah Kehilangan pendengaran Perubahan ambang batas sementara akibat kebisingan, perubahan ambang batas permanen akibat kebisingan Akibat fisiologis Rasa tidak nyaman atau stress meningkat, tekanan darah meningkat, sakit kepala, bunyi dering Akibat psikologis Gangguan emosional Kejengkelan, kebingungan Gangguan gaya hidup Gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi waktu bekerja, membaca dan sebagainya. Gangguan pendengaran Merintangi kemampuan mendengarkan TV, radio, percakapan, telpon dan sebagainya. Sumber: Susanto A. 2006 Baku mutu tingkat kebisingan untuk berbagai lokasi dapat dilihat pada Tabel 13 sesuai Keputusan Gubernur KDKI Jakarta no.5871980 tanggal 7 Juni 1980. Tabel 13 Kriteria ambien kebisingan Peruntukan Derajat Kebisingan dbA Maksimum yang diinginkan Maksimum yang diperkenankan Perumahan IndustriPerkantoran Pusat Perdagangan Rekreasi Campuran Perumahan Industri 45 70 75 50 50 60 70 85 60 50 Sumber: Keputusan Gubernur KDKI Jakarta no.5871980 Kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dBA KepMenNaker No.51 1999, KepMenKes No.1405 Tahun 2002. Lampiran 2 KepMenNaker No.51 Tahun 1999, NAB dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Batas kebisingan yang masih dapat diterima oleh tenaga kerja Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dBA 8 Jam 85 4 88 2 91 1 94 30 Menit 97 15 100 7.5 103 3.75 106 1.88 109 0.94 112 28.12 Detik 115 14.06 118 7.03 121 3.52 124 1.76 127 0.88 130 0.44 133 0.22 136 0.11 139 Tidak boleh terpapar lebih dari 140 dBA walaupun sesaat Sumber: KepMenNaker No.51 Tahun 1999 Agar kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan perlu diambil tindakan seperti penggunaan peredam pada sumber bising, penyekatan, pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan bukit buatan ataupun pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.

2.9. Tinjauan studi-studi terdahulu tentang pengelolaan transportasi perkotaan

Medawati 1996 dalam penelitiannya mengenai pengembangan model pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman mengemukakan bahwa karakteristik emisi pencemar udara di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya ditentukan oleh besarnya sektor-sektor yang menggunakan bahan bakar dan sektor yang paling dominan di ke tiga kota tersebut adalah sector transportasi. Kontribusi pencemar CO, HC, NO x , SPM dan SO x dari sektor transportasi tidak saja ditentukan oleh volume lalu lintas dan jumlah kendaraan, tetapi juga oleh pola lalu lintas dan sirkulasinya di dalam kota, khususnya di daerah pusat kota dan perdagangan. Pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman dapat dilakukan dengan pohon angsana, bougenvile dan flamboyan. Emisi CO dapat lebih diserap oleh kerimbunan tanaman-tanaman tersebut dibandingkan dengan emisi SO x . Santoso et al. 2001 dalam penelitiannya mengenai “tinjauan aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan, studi kasus kota Semarang” meneliti tentang aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan dan perbedaan aksesibilitas antara perumahan yang satu dengan yang lain. Pengambilan data dilakukan dengan cara survei wawancara terhadap 179 responden rumah tangga dari 4 lokasi perumahan yang dipilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesibilitas transportasi perumahan yang satu tidak sama dengan yang lain, hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik perumahan maupun karakteristik penghuninya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aksesibilitas transportasi perumahan adalah pemilikan sepeda motor dalam keluarga, pemilikan mobil dalam keluarga, tingkat kemudahan mendapatkan angkutan umum dan kondisi jalan. Avianto 2002 dalam penelitiannya tentang transportation green house gases emisi gas buang kendaraan dan akibatnya pada pencemaran udara yang berpotensi mengurangi kunjungan wisatawan ke kota Bandung mengemukakan bahwa dari 4 alternatif kebijakan yang ada yaitu basic tanpa perubahan, urban greening penghijauan kota, parking area penyediaan parkir dan public transportation angkutan umum, dengan simulasi system dynamics diperoleh hasil bahwa alternatif kebijakan terbaik adalah alternatif 4, yaitu peningkatan pertumbuhan angkutan umum dan pengurangan kendaraan pribadi. Menurut model yang dibuat oleh peneliti, kebijakan tersebut akan membuat pertumbuhan wisatawan di kota Bandung berkelanjutan dan mengurangi pencemaran udara secara siknifikan. Purwaamijaya 2005 dalam penelitiannya mengenai pola perubahan lingkungan yang disebabkan oleh prasarana dan sarana jalan mengemukakan bahwa pola perubahan lingkungan yang disebabkan oleh prasarana dan sarana jalan mengenali 3 tahap pembangunan dan operasional jalan yang pengelolaan dan pemantauan lingkungannya harus mempertimbangkan peningkatan ekonomis wilayah, mengurangi perubahan bentang alam, mengurangi penurunan kualitas lingkungan, mengurangi keresahan masyarakat, dan mengurangi penurunan keaneka ragaman hayati. Pertimbangan prinsip-prinsip ekonomis, ekologis dan sosial politis dalam pembangunan dan opersional jalan akan mendukung pembangunan berkelanjutan. Umadevi 2006, dalam penelitiannya mengenai “system dynamics modeling for land use transport interaction” meneliti tentang interaksi antara tataguna lahan dan transportasi serta alternatif kebijakan untuk pengelolaan transportasi dari suatu kawasan tataguna lahan di kota metropolitan. Penelitian ini membagi pengelolaan transportasi dari suatu tataguna lahan menjadi 3 tiga sub model yaitu: sub model population, sub model land use dan sub model transportation. Hasil dari penelitian ini, dengan peningkatan peran dari “public transport” dan pengawasan pada penggunaan tataguna lahan akan diperoleh penurunan bangkitan perjalanan dari 4621 menjadi 2017 turun lebih kurang 50. Wismadi 2008 dalam penelitiannya tentang “studi tipologi land use sebagai pendekatan input bangkitan dan tarikan perjalanan pada pemodelan transportasi, studi kasus di Yogyakarta” melakukan perhitungan estimasi volume lalu lintas jalan dengan memperhatikan dinamika aktivitas tataguna lahan dari sisi tata ruang. Penelitian ini menghasilkan model generik yang diharapkan dapat diimplementasikan di kota atau daerah lain. Variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut harus dikalibrasi dengan kondisi setempat sebelum model ini dapat dimanfaatkan dan menghasilkan nilai prediksi yang tepat. Abeto 2008 dalam penelitiannya mengenai tingkat kemacetan di kota Bandar Lampung mengemukakan bahwa dari hasil analisis dan pembahasan perilaku derajat kejenuhan jalan di kota Bandar Lampung dengan menggunakan metodologi system dynamics, diperoleh hasil bahwa kebijakan yang cocok dipakai untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi di kota Bandar Lampung adalah dengan penerapan skenario kebijakan pengembangan sistem angkutan umum massal, kebijakan pembatasan umur kendaraan bermotor dan dengan pembuatan lajur khusus sepeda motor. Masri 2009 dalam penelitiannya mengenai “kajian perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan, studi kasus: Kawasan Bandung Utara” mengemukakan bahwa dari analisis spasial zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan di Kawasan Budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan perumahan di kawasan Bandung Utara menunjukkan bahwa 68,22 dari total luas lahan untuk perumahan berada di zona buruk untuk perumahan, sedangkan hasil analisis spasial evaluasi lokasi untuk perumahan eksisting menunjukkan bahwa 45,90 luas terbangun berada di zona buruk untuk perumahan dengan faktor pembatas: drainase buruk sampai sangat buruk, kepekaan terhadap erosi sedang sampai berat, bencana banjir jarang sampai sangat sering, kemiringan lereng berbukit sampai sangat curam, tekstur tanah halus sampai agak halus, batuan dan kerikil banyak sampai sangat banyak, kedalaman efektif tanah dalam sampai sedang. Hasil analisis spasial menunjukkan telah terjadi konversi lahan di kawasan lindung menjadi kawasan perumahan. Seluas 78,49 kawasan perumahan berada di daerah hutan lindung, dan 21,51 nya berada di daerah konservasi. Tabel 15. Matriks Beberapa Penelitian Yang Pernah Dilakukan Tentang Transportasi dan Pencemaran Udara di Perkotaan No Nama Peneliti Tahun Penelitian Tujuan dan Sasaran Penelitian Ruang Lingkup Hasil Penelitian Kaitan dengan Penelitian ini 1. 2. 3. 4. Medawati Santoso et al Avianto Purwa ami jaya 1996 2001 2002 2005 Pengembang an model pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman Tinjauan aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan, studi kasus kota Semarang Penelitian tentang Gas Rumah Kaca yang disebabkan oleh transportasi Meneliti pola perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh prasarana dan sarana jalan. Penelitian mengenai karakteristik emisi pencemar udara di perkotaan dari sektor transportasi dan rumah tangga, serta pengendaliannya dengan menggunakan tanaman hijau. Penelitian tentang aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan dan perbedaan aksesibilitas antara perumahan yang satu dengan yang lain. Penelitian tentang gas rumah kaca yang disebabkan olh transportasi dan pengaruhnya terhadap kunjungan wisatawan di Bandung Penelitian tentang pola perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan prasarana jalan pada tahap perencanaan, pembangunan dan operasionalisasi jalan .  Kontribusi pencemar CO, HC, NOx, SPM dan SOx dari sektor transportasi tidak saja ditentukan oleh volume lalu lintas dan jumlah kendaraan, tetapi juga oleh pola lalu lintas dan sirkulasinya di dalam kota, khususnya di daerah pusat kota dan perdagangan  Pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman dapat dilakukan dengan pohon Angsana, Bougenvile dan Flamboyan. Emisi CO dapat lebih diserap oleh kerimbunan tanaman-tanaman tersebut dibandingkan dengan emisi SOx. Aksesibilitas transportasi perumahan yang satu tidak sama dengan yang lain, hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik perumahan maupun karakteristik penghuninya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aksesibilitas transportasi perumahan adalah pemilikan sepeda motor dalam keluarga, pemilikan mobil dalam keluarga, tingkat kemudahan mendapatkan angkutan umum dan kondisi jalan. Kebijakan terbaik adalah peningkatan pertumbuhan angkutan umum dan pengurangan kendaraan pribadi. Menurut model yang dibuat oleh peneliti, kebijakan tersebut akan membuat pertumbuhan wisatawan di kota Bandung berkelanjutan dan mengurangi pencemaran udara secara siknifikan. Pertimbangan prinsip-prinsip ekonomis, ekologis dan sosial politis dalam pembangunan dan opersional jalan akan mendukung pembangunan berkelanjutan. Hanya meneliti tentang pencemaran akibat transportasi dan sistem tataguna lahan, tidak membahas tentang sistem pergerakan, sistem jaringan dan sistem sarana transportasi. Penelitian tentang transportasi, tidak membahas pencemaran udara. Membahas tentang sistem sarana transportasi kendaraan dan pencemaran udara. Tidak membahas sistem Tataguna lahan, Sistem pergerakan dan sistem jaringan jalan Penelitian tentang pencemaran udara dan air akibat transportasi perkotaan, tidak membahas tentang tataguna lahan, sistem pergerakan, sistem jaringan jalan dan sistem sarana kendaraan. No Nama Peneliti Tahun Penelitian Tujuan dan Sasaran Penelitian Ruang Lingkup Hasil Penelitian Kaitan dengan Penelitian ini 5. 6. 7. 8. Umadevi Wismadi Abeto M. Masri 2006 2008 2008 2009 Merancang model sistem dinamik untuk interaksi antara tataguna lahan dengan transportasi Melakukan Studi tipologi land use sebagai pendekatan input bangkitan dan tarikan perjalanan pada pemodelan transportasi , studi kasus di Yogyakarta Menganalis is tingkat kemacetan di kota Bandar Lampung Mengkaji perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan dengan studi kasus: kawasan Bandung Utara. Meneliti tentang interaksi antara tataguna lahan dan transportasi serta alternatif kebijakan untuk pengelolaan transportasi dari suatu kawasan tataguna lahan di kota metropolitan. Melakukan perhitungan estimasi volume lalu lintas jalan dengan memperhatikan dinamika aktivitas tataguna lahan dari sisi tata ruang. Menganalisis dan membahas perilaku derajat kejenuhan jalan di kota Bandar Lampung dengan menggunakan metodologi system dynamic Analisis spasial zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan di kawasan budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan perumahan di kawasan Bandung Utara Dengan peningkatan peran dari “public transport” dan pengawasan pada penggunaan tataguna lahan akan diperoleh penurunan bangkitan perjalanan dari 4621 menjadi 2017 turun lebih kurang 50. Model generik yang diharapkan dapat diimplementasikan di kota atau daerah lain. Dimana variabel- variabel yang terdapat dalam model tersebut harus dikalibrasi dengan kondisi setempat sebelum model ini dapat dimanfaatkan dan menghasilkan nilai prediksi yang tepat. Penerapan kebijakan pengembangan sistem angkutan umum massal dan kebijakan pembatasan umur kendaraan bermotor dan pembuatan lajur khusus sepeda motor, yang bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi di kota Bandar Lampung. Terjadi konversi lahan di kawasan lindung menjadi kawasan perumahan. Seluas 78,49 kawasan perumahan berada di daerah hutan lindung, dan 21,51 nya berada di daerah konservasi. Penelitian tentang interaksi antara tata guna lahan dengan transportasi tidak membahas tentang pencemaran udara. Penelitian tentang transportasi tataguna lahan, tidak membahas sistem jaringan jalan, sistem pergerakan dan sistem sarana. Penelitian tentang sistem tataguna lahan, sistem pergerakan, sistem jaringan jalan dan sistem sarana, tidak membahas tentang pencemaran udara. Penelitian tentang pencemaran udara, pencemaran air dan kesesuaian lahan untuk perumahan di pinggiran kota. Tidak secara khusus membahas sistem jaringan jalan, sistem pergerakan dan tataguna lahan.

III. KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN

3.1. Metropolitan Bandung

Perkembangan kota Bandung yang dari tahun ke tahun semakin pesat baik dalam hal penduduk, sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasarana maupun perluasan fisik perkotaan menyebabkan perkembangan tersebut melintasi batas- batas administrasinya. Hal ini dapat dilihat di daerah perbatasan yang sudah membaur menjadi perkotaan. Daya tarik Kota Bandung yang kuat dari sisi ekonomi dan ketersediaan fasilitas menyebabkan kota-kota lain disekitarnya beraglomerasi dengan kota Bandung. Kecepatan perkembangan tersebut menjadi tidak terkendali sehingga diperlukan suatu perencanaan Kota Bandung dengan wilayah sekitarnya secara terpadu dalam konteks wilayah Metropolitan Bandung Dardak, 2006. Berdasarkan RTRWP Jawa Barat Tahun 2010, Metropolitan Bandung terdiri dari 5 lima wilayah administratif setelah pemekaran Kabupaten Bandung yaitu: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sumedang. Gambar 4 Beberapa wilayah yang termasuk dalam wilayah metropolitan Bandung LOKASI STUDI