Cetak Biru Pembaruan Peradilan tentang Akses Terhadap Keadilan

Bagian 2 : Akses Terhadap Keadilan 83 proses perdamaian, tetapi dilembagakannya mediasi menjadi proses tersendiri dalam rangkaian penyelesaian sengketa. Mediasi dipercaya merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi juga diyakini sebagai mekanisme penyelesaian sengketa dan konlik yang bersifat win-win solution. Para pihak yang bersengketa tidak merasa dikalahkan karena keduanya merasa menang. Setelah sepuluh tahun lebih regulasi tentang mediasi oleh Mahkamah Agung RI diberlakukan, ada tiga pertanyaan mendasar yang mengemuka. 1 Apakah mediasi di pengadilan court-annexed mediation sudah efektif dijalankan? 2 Apakah penumpukan perkara sudah berhasil diatasi atau paling tidak dikurangi dengan adanya mediasi? 3 Apakah memang lembaga pengadilan sudah memainkan perannya untuk memperkuat dan memaksimalkan fungsi penyelesaian sengketa via mediasi? Berdasarkan studi terkini yang dilakukan oleh IICT Indonesian Institute for Conlict Transformation bekerja sama dengan Mahkamah Agung RI dan AIPJ pada kurun September – November 2013 lalu, ditemukan fakta yang cukup mengecewakan terkait efektivitas mediasi di pengadilan. Beberapa temuan IICT adalah: • Tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan sangat kecil sekali; • Mediasi belum dilaksanakan secara maksimal di pengadilan; • Mediasi belum secara signiikan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Beberapa faktor penghambat kegagalan mediasi di pengadilan menurut hasil studi IICT adalah: • Belum semua hakim memperoleh pelatihan mediasi sehingga pemahaman mereka tentang mediasi belum seragam; • Jumlah hakim di beberapa daerah masih terbatas sehingga mereka lebih fokus untuk menyelesaikan perkara secara litigasi; • Kurangnya pengetahuan para pihak yang berperkara tentang keuntungan penyelesaian perkara melalui mediasi; • Adanya peran pengacara yang menghambat proses mediasi karena akan berimbas pada inancial fee yang mereka dapatkan dari para klien; • Sebagian hakim masih memandang mediasi sebagai penambahan beban pekerjaan mereka dalam memutus perkara; Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI - Tahun 2013 84 • Adanya keengganan hakim untuk mengoptimalkan mediasi karena ketiadaan sistem rewards and punishments dalam pelaksanaan mediasi. Berdasarkan data terakhir pada tahun 2013, tingkat keberhasilan mediasi di lingkungan peradilan umum adalah 21,4,yaitu sebanyak 1.194 perkara dari total 5.573 perkara yang dimediasi. Sedangkan untuk lingkungan peradilan agama, tingkat keberhasilan mediasi adalah 17,08 dengan jumlah 25.318 perkara dari keseluruhan 148.241 perkara yang dimediasi. Kondisi demikian mendorong inisiatif Mahkamah Agung RI untuk membentuk Kelompok Kerja Alternatif Penyelesaian Sengketa Mahkamah Agung RI berdasarkan SK Ketua MA No.123KMASK VII2013. Pokja ini mengemban amanat mengkaji efektivitas penerapan kebijakan terkait mediasi yang berlaku termasuk untuk menghasilkan rekomendasi. Kegiatan ini turut didukung oleh program Australia- IndonesiaPartnership for Justice AIPJ-AUSAID.

C. Pelayanan Terpadu Hak Identitas Hukum

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas pada tahun 2012, terdapat 24 juta anak Indonesia yang tidak memiliki akta kelahiran, bahkan angka tersebut menjadi 40 juta jika termasuk mereka yang tidak dapat menunjukkan akta kelahiran. Belum lama ini, AIPJ Australia-Indonesia Partnership for Justice bekerja sama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak PUSKAPA Universitas Indonesia merilis hasil studi awal tentang identitas hukum. Hasil survei diantaranya menyebut bahwa 64 responden yang disurvei memandang negatif terhadap akta kelahiran yang hanya mencantumkan nama ibu. Keberadaan akta kelahiran sangat berkaitan erat dengan adanya bukti perkawinan buku nikah dan bukti perceraian akta cerai. Meski tidak menyebut angka pasti, survei diatas juga menyebut banyaknya jumlah pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan pernikahan mereka di KUA atau Kantor Catatan Sipil sehingga berimbas kepada anak-anak mereka yang kesulitan memperoleh akta kelahiran yang mencantumkan nama kedua orang tua mereka. Berdasarkan kondisi tersebut, Mahkamah Agung RI bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun dan membahas Peraturan Bersama tentang Pelayanan Terpadu terkait pemenuhan hak-hak identitas hukum dalam bidang