Bagian 1 : Manajemen Perkara
75
Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI - Tahun 2013
78
Bagian 2 : Akses Terhadap Keadilan
79
KSES TERHADAP KEADILAN
I. KOMITMEN PENGUATAN AKSES TEHADAP KEADILAN
A. Cetak Biru Pembaruan Peradilan tentang Akses Terhadap Keadilan
Penguatan akses terhadap keadilan merupakan salah satu komitmen yang ingin diwujudkan oleh Mahkamah Agung RI. Hal itu tercermin
dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. Halaman 33 Cetak Biru Pembaruan Peradilan menyebutkan bahwa tujuan penguatan
akses terhadap keadilan adalah: a Memberi kemudahan akses isik kepada pencari keadilan; dan b Meringankan beban biaya berperkara
untuk masyarakat miskin.
Lebih lanjut, Cetak Biru juga menegaskan bahwa langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mewujudkan penguatan akses terhadap
keadilan tersebut adalah melalui cara peningkatan efektivitas sidang keliling dan penyediaan bantuan hukum pro bono bagi masyarakat
miskin dan termarjinalkan.
Meskipun upaya peningkatan akses masyarakat miskin terhadap keadilan sebenarnya sudah dilakukan oleh institusi pengadilan sejak
dahulu, tetapi usaha lebih signiikan yang dijalankan oleh Mahkamah Agung RI adalah sejak terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung RI
SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
Sekadar kilas balik, SEMA Nomor 10 Tahun 2010 yang kini sedang dalam proses revisi tersebut, menyebutkan empat bentuk mekanisme
pemberian bantuan kepada masyarakat miskin dan termarjinalkan, yaitu: 1 Penyediaan Pos Bantuan Hukum Posbakum di Pengadilan,
2 Pemberian bantuan jasa advokat, 3 Pembebasan biaya perkara melalui fasilitas prodeo, dan 4 Pelaksanaan sidang keliling dan
penyediaan tempat sidang diluar kantor pengadilan zittingplaats.
Sejak tahun 2011 sampai dengan 2013, upaya peningkatan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan
seperti yang ditentukan melalui SEMA Bantuan Hukum dapat dikatakan sukses. Namun untuk tahun 2013, program penyediaan
Posbakum di pengadilan dan pemberian bantuan jasa advokat tidak dapat dijalankan. Hal ini terjadi karena proses transisi peralihan
pengelolaan dana bantuan hukum antara Kementerian Hukum dan HAM Kemenkumham dengan Mahkamah Agung RI tidak berjalan
A
Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI - Tahun 2013
80 mulus menyusul diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang ini mengamanatkan pengelolaan dana bantuan hukum oleh Kemenkumham RI.
B. Program Prioritas 2013
Untuk lebih fokus menangani program akses terhadap keadilan, Mahkamah Agung RI memiliki Kelompok Kerja Pokja Akses terhadap
Keadilan. Ada empat kluster utama yang menjadi prioritas dalam peningkatan akses terhadap keadilan untuk tahun 2013. Keempat
fokus utama itu adalah:
1 Terbentuknya prosedur hukum yang lebih sensitif terhadap masyarakat miskin marjinal dan mampu menciptakan pengadilan
yang lebih responsif. 2 Mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik pada
Mahkamah Agung RI dan empat peradilan di bawahnya. 3
Implementasi kebijakan keterbukaan informasi pada pengadilan. 4
Mengkomunikasikan kebijakan akses terhadap keadilan melalui strategi komunikasi yang inklusif.
Secara lebih spesiik, program prioritas Mahkamah Agung RI dalam meningkatkan akses terhadap keadilan pada tahun 2013 ditujukan
untuk: 1 Mengentaskan keterbatasan isik, melalui program bantuan
hukum dan sidang keliling; dan 2
Mengembalikan kepercayaan publik, dengan cara menyediakan dan meningkatkan efektivitas mediasi dan pembentukan Small
Claim Court.
II. KEBIJAKAN AKSES TERHADAP KEADILAN
A. Perubahan Kebijakan Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan
Bantuan Hukum di Pengadilan pada tahun sebelumnya dilaksanakan dengan mengacu pada SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pelayanan Bantuan Hukum di Pengadilan. Akan tetapi sangat disayangkan, pada tahun 2013 kinerja bantuan hukum terutama
yang terkait dengan Pos Bantuan Hukum di pengadilan tidak sesuai harapan. Ketiadaan anggaran untuk Pos Bantuan Hukum di tahun
2013 merupakan salah satu sebabnya.
Bagian 2 : Akses Terhadap Keadilan
81 Kegiatan Posbakum, pembebasan biaya perkara dan sidang di luar
gedung pengadilan selama ini menjadi kegiatan prioritas Mahkamah Agung RI dalam memberikan pelayanan akses terhadap keadilan.
Oleh karena itu Mahkamah Agung RI berkewajiban untuk tetap menghidupkan dan mengembangkan kegiatan tersebut pada tahun-
tahun berikutnya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, ada beberapa hal yang mendesak untuk diatur
dan diperjelas mengenai fungsi dan kewenangan pengadilan terkait layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan, yaitu :
• Menyesuaikan kebijakan Mahkamah Agung RI dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2011 agar tidak terjadi tumpang tindih dan memperjelas kewenangan masing-masing lembaga atas
penyelenggaraan layanan bantuan hukum.
• Memperjelas pengaturan tentang pembebasan biaya perkara,
sidang keliling zittingplaatz dan Posbakum yang masih menjadi wewenang pengadilan.
Sejatinya Mahkamah Agung RI dan badan peradilan di bawahnya mengemban amanat pemenuhan
hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung
biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Hal ini merujuk pada ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Noor 49 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Maka untuk dapat melaksanankan amanat Undang-Undang tersebut, Ketua Mahkamah Agung RI telah membentuk Kelompok Kerja
dengan Surat Keputusan No. 267AKMASKX2013 tertanggal 7 Oktober 2013 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan
Kebijakan Pemberian Layanan Hukum Pengadilan. Selain berfokus pada perubahan SEMA No. 102010, Pokja ini juga mengkaji berbagai
kebijakan lainnya terkait bantuan hukum bagi masyarakat.
Pokja ini telah berhasil membuat rancangan PERMA Peraturan Mahkamah Agung RI sebagai pengganti dari SEMA No. 102010.
Beberapa materi penting yang diatur dalam rancangan PERMA tersebut adalah sebagai berikut:
Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI - Tahun 2013
82
1. Pembebasan Biaya Perkara
Program pembebasan biaya dimaksudkan sebagai pengganti prodeoyang sebelumnya diatur dalam SEMA 10 Tahun 2010.
Karena merupakan bantuan terhadap biaya perkara, maka hanya diperlukan pemeriksaan administratif terhadap kelengkapan
persyaratan penerima layanan. pelayanan pembebasan biaya perkara adalah di lingkungan peradilan umum, peradilan agama
dan peradilan TUN.
2. Pos Bantuan HukumPosbakum
Layanan Posbakum di pengadilan hanya sebatas advis dan konsultasi hukum. Namun apabila diperlukan, pengadilan dapat
memberikan informasi mengenai daftar advokat dan Organisasi Bantuan Hukum OBH yang bisa memberi pendampingan
cuma-cuma apabila diperlukan pendampingan litigasi. Dalam hal ini penyedia layanan adalah dari universitas. Pengadilan tidak
membayar layanan advis dan konsultasi hukum dari OBH yang telah terveriikasi oleh Kemenkumham.
3. Sidang di Luar Gedung Pengadilan
Kegiatan sidang di luar gedung pengadilan merupakan induk kegiatan sidang keliling dan zittingplaatz. Sidang di luar gedung
pengadilan dapat mengikutsertakan petugas posbakum, dan sangat dimungkinkan pelayanan satu atap dan koordinasi dengan
pemerintah daerah atau instansi lain sebagai cerminan proses penyelesaian perkara yang lebih sederhana.
B. Mediasi
Sudah lebih dari lima tahun mediasi secara resmi dilembagakan dalam proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan, melalui
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 yang ditetapkan pada tanggal 31 Juli 2008. Perma ini merupakan hasil evaluasi dari
pelaksanaan prosedur mediasi di pengadilan yang diatur berdasarkan Perma Nomor 2 Tahun 2003. Sebelumnya bahkan ada Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 tentang Lembaga Perdamaian.
Jadi jika dirunut ke belakang, Mahkamah Agung RI sudah sepuluh tahun lebih berusaha sekuat tenaga untuk mengoptimalkan mediasi
di pengadilan. Meskipun hukum acara yang berlaku seperti Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg sudah mendorong para pihak untuk menempuh
Bagian 2 : Akses Terhadap Keadilan
83 proses perdamaian, tetapi dilembagakannya mediasi menjadi proses
tersendiri dalam rangkaian penyelesaian sengketa. Mediasi dipercaya merupakan salah satu proses penyelesaian
sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian
sengketa yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi juga diyakini sebagai mekanisme penyelesaian sengketa dan konlik
yang bersifat win-win solution. Para pihak yang bersengketa tidak merasa dikalahkan karena keduanya merasa menang.
Setelah sepuluh tahun lebih regulasi tentang mediasi oleh Mahkamah Agung RI diberlakukan, ada tiga pertanyaan mendasar yang
mengemuka. 1 Apakah mediasi di pengadilan court-annexed mediation sudah efektif dijalankan? 2 Apakah penumpukan perkara
sudah berhasil diatasi atau paling tidak dikurangi dengan adanya mediasi? 3 Apakah memang lembaga pengadilan sudah memainkan
perannya untuk memperkuat dan memaksimalkan fungsi penyelesaian sengketa via mediasi?
Berdasarkan studi terkini yang dilakukan oleh IICT Indonesian Institute for Conlict Transformation bekerja sama dengan Mahkamah
Agung RI dan AIPJ pada kurun September – November 2013 lalu, ditemukan fakta yang cukup mengecewakan terkait efektivitas mediasi
di pengadilan. Beberapa temuan IICT adalah: •
Tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan sangat kecil sekali; •
Mediasi belum dilaksanakan secara maksimal di pengadilan; •
Mediasi belum secara signiikan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.
Beberapa faktor penghambat kegagalan mediasi di pengadilan menurut hasil studi IICT adalah:
• Belum semua hakim memperoleh pelatihan mediasi sehingga
pemahaman mereka tentang mediasi belum seragam; •
Jumlah hakim di beberapa daerah masih terbatas sehingga mereka lebih fokus untuk menyelesaikan perkara secara litigasi;
• Kurangnya pengetahuan para pihak yang berperkara tentang
keuntungan penyelesaian perkara melalui mediasi; •
Adanya peran pengacara yang menghambat proses mediasi karena akan berimbas pada
inancial fee yang mereka dapatkan dari para klien;
• Sebagian hakim masih memandang mediasi sebagai penambahan
beban pekerjaan mereka dalam memutus perkara;