dari sikap-sikap yang tenang, lemah lembut, dan bukan dari sikap-sikap yang kasar, yang menggambarkan amarah. Hal semacam itu tercermin dari ungkapan seperti, “sura,
dira, jayaningrat, lebur dening pangastuti”, yang kurang lebih artinya adalah bahwa sikap dan perilaku yang kasar, kejam, keangkaramurkaan dan semacamnya, pada
akhirnya akan kalah dengan sikap yang lemah lembut. Dalam dunia pewayangan sikap yang lemah lembut itu digambarkan dalam figure “satria” dengan tubuhnya yang
ramping, wajah menunduk, dan gaya bicara yang halus. Karakter semacam itu dikontraskan dengan figer raksasa atau “buta” yang digambarkan dengan tubuhnya yang
besar, wajah yang menyeramkan, serta bicaranya yang kasar. Namun dalam peperangan yang terjadi diantarakeduanya raksasa itu akhirnya kalah oleh satria.
Warna semacam itu dalam kehidupan politik nampak dari pemikiran dan sikap yang menghendaki untuk sesedikit mungkin digunakan cara-cara kekerasan dalam
menangani masalah. Kendatipun karena desakan kepentingan sesaat hal semacam itu sering nampak sebatas wacana dan tidak benar-benar diwujudkan dalam kenyataan.
Kuatnya rasa kebersamaan sharing menjadikan seseorang kurang memiliki kedirian. Dengan nilai budaya semacam itu, orang lebih suka meleburkan diri dalam
kebersamaan dan kurang berani menunjukkan kedirian sebagai pribadi. Keadaan semacam itu juga nampak dari ketidaksukaannya untuk “tampil beda”, karena keadaan
yang berbeda dari yang kebanyakan dipersepsi sebagai sebuah keganjilan walaupun sesungguhnya yang hendak dilakukan justru lebih baik dari orang-orang lain.
Kebersamaan itu juga dalam hal tanggung jawab, dimana orang cenderung untuk
berbagi tanggung jawab dengan orang-orang lain, dan kurang berani untuk mengambil tanggung jawab sendiri atas sesuatu yang dilakukannya. Kecenderungan untuk berbagi
tanggung jawab juga dalam tindakan yang bersifat negative seperti korupsi, misalnya. Tindakan semacam itu biasanya tidak dilakukan dan inikmati sendiri akan
tetapi secara bersama-sama, karena dalam kebersamaan itu merekabisa berbagi beban dan tanggung jawab barangkali juga berbagi rasa berdosa.
Disamping nilai-nilai budaya tersebut diatas, yang juga sangat nampak adalah menonjolnya “ewuh prekewuh”, sehingga orang cenderung untuk tidak menyatakan
segala sesuatu secara terus terang. Dalam budaya Jawa ungkapan “sanepa” atau perumpamaan sering digunakan dalam pembicaraan, dengan maksud untuk menghindari
pengungkapan sesuatu secara terus terang yang dikhawatirkan akan menyinggung perasaan pihak lain. Dalam wacana politik hal itu nampak sekali ketika kita
memperhatikan pernyataan yang dilontarkan oleh elit politik, pejabat dan lain-lain. Pernyataan yang mereka lontarkan seringkali tidak cukup kalau kita hanya menangkap
maknanya secara lugas tanpa mencermati makna yang tersirat. Begitu juga dalam menanggapi kritik. Dalam budaya poltik Indonesia kritik memang bukan sesuatu yang
ditabukan. Akan tetapi kritik hendaknya tidak disampaikan secara terang-terangan, melainkan dikemas dengan ungkapan yang halus dan tidak terlalu “vulgar” agar tidak
menyinggung perasaan.
C. Latihan
Indentifikasikan pengaruh budaya jawa dalam budaya politik Indonesia, dengan menampilkan sikap, perilaku, atau kebiasaan-kebiasaan yang terdapat pada pejabat-
pejabat publik atau tokoh- tokoh politik. D. Lembar Kegiatan Mahasiswa
Ciri-ciri budaya politik Indonesia antara lain adalah masih kuatnya ikatan primordial, partenalisme dan patrimonial, serta dilemma antara introduksi modernisasi
dengan nilai-nilai tradisional. Berikan ilustrasi perwujudan ciri-ciri tersebut dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan di Indonesia.
MODUL PLPG 2014 | PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
405
E. Rangkuman
Budaya politik adalah seperangkat sikap, kepercayaan, dan perasaan warga negara terhadap system politik dan symbol-simbol yang dimilikinya. Sjamsuddin, N,
1993:90. Pendapat yang lain menyatakan bahwa budaya politik adalah orientasi yang khas dari warga negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya. Almond
Verba dalam: Sjamsuddin, 1993: 79. Morton R. Davies and Vaughan A. Lewis dalam bukunya “Model of Political Syistem” mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut:
a Budaya Politik Parokial Parochial Political Culture Budaya politik parokial terdapat
pada masyarakat yang masih tradisional, yang antara lain ditandai adanya spesialisasi dalam masyarakat yang sangat kecil, diferensiasi terbatas, orientasi
politik sempit dari warga masyarakat, dan aktor politik sekaligus menjalankan berbagai peran yang lain.
b Budaya Politik Kaula Subject Political Culture Budaya politik kaula terdapat dalam masyarakat yang sudah beranjak maju dari
kehidupan yang tradisional. Dalam budaya politik politik yang demikian warga masyarakat telah memiliki perhatian dan kesadaran di bidang politik, namun
terutama baru ditujukan pada segi output. Masyarakat telah memilikin harapan- harapan tertentu dari sistem politiknya, akan tetapi harapan itu hanya diarahkan pada
terwujunya kebijakan pemerintah yang dianggap baik. Masyarakat kerasa hanya bisa menerima output tanpa dapat mempengaruhi atau mengubah system.
c Budaya Politik Partisipan Participant Political Culture Budaya politik partisipan terdapat dalam masyarakat yang sudah maju dan
modern. Dalam budaya politik yang demikian setiap orang menganggap dirinya dan orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan poltik. Setiap orang sadar akan hak
dan kewajibantanggung jawabnya, dan setiap orang dapat memberikan penilaian secara menyeluruh atas system politiknya. Masyarakat dengan budaya politik partisipan
memiliki orientasi terhadap sistem politik dalam keseluruhannya, baik menyangkut segi input, proses, dan output.
Ada beberapa variabel yang dapat dianggap sebagai ciri budaya politik Indonesia. Variabel tersebut adalah sebagai berikut:
1. Konfigurasi sub kultur, yang artinya bahwa budaya politik Indonesia diwarnai oleh keanekaragaman sub budaya politik
2. Budaya politik Indonesia bersifat parochial-kaula disatu pihak, dan budaya politik partisipan dipihak lain. Artinya bahwa disatu segi massa masih ketinggalan dalam
menggunakan hak-hak dan memikul tanggung jawab politik, sedangkan dipihak lain elit politiknya merupakan partisipan yang aktif.
3. Masih kuatnya ikatan primordial, yang dapat dikenali dari kuatnya sentiment kedaerahan, kesukuan, keagamaan dan sebagainya.
4. Masih kuatnya partenalisme dan patrimonial, yang nampak dari sikap bapakisme dan asal bapak senang.
5. Adanya dilemma antara introduksi modernisasi dengan nilai-nilai tradisional, dimana modernisasi dipersepsi sebagai westernisasi.Di antara budaya politik
kedaerahan yang ada di Indonesia, budaya Jawa memiliki pengaruh yang lebih dominant dibandingkan dengan budaya daerah lainnya. Budaya jawa antara lain
ditandai oleh adanya ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama Cenderung tidak berada dalam situasi konflik, Kedua Menjunjung tinggi ketenangan sikap
Ketiga Kuatnya rasa kebersamaan sharing.
MODUL PLPG 2014 | PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
406
F. Tes Formatif 1. Budaya politik parokial ditandai oleh hal-hal sebagai berikut, kecuali: