program APL Pulau Harapan. Oleh karena itu, pengembangan APL Pulau Harapan ini relatif kurang mendapat dukungan dari institusi setempat.
c. Partisipasi masyarakat
Pada awalnya, masyarakat yang berpartisipasi dalam program ini cukup banyak, namun karena manfaat yang didapatkan dari program ini dianggap kurang
memenuhi harapan seperti yang diutarakan pada saat sosialiasi program, menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah. Saat ini, hanya sebagian
anggota badan pengelola yang masih memiliki kepedulian terhadap program APL Pulau Harapan.
4. Kelembagaan
a. Kapasitas institusi setempat
Kapasitas institusi setempat dilihat dari kemampuan institusi pengelola APL Pulau Harapan. APL Pulau Harapan saat ini telah memiliki perangkat
pengelola yang juga disebut Badan Pengelola APL. Sayangnya perangkat pengelola ini belum bekerja secara optimal. Kemampuan ini dilihat dari
kemampuan mempromosikan program APL kepada pihak luar dan kemampuan badan pengelola menyusun proposal untuk mendapatkan bantuan dari pihak luar
untuk membiayai program APL ini. Hasil wawancara dengan ketua badan pengelola, diketahui bahwa anggota badan pengelola belum memiliki kapasitas
yang memadai untuk menyusun proposal mendapatkan bantuan dari institusi lain. Katersediaan aturan pengelolaan APL Pulau Harapan juga menjadi indikator
dalam menilai kapasitas institusi APL Pulau Harapan. Aturan-aturan pengelolaan APL ini sudah dibuat, namun karena belum ada legalitas program ini, maka aturan
ini belum diimplementasikan dengan baik.
b. Penguatan SDM
Program penguatan SDM juga menjadi faktor penentu keberlanjutan program APL Pulau Harapan. Sejauh mana persiapan yang dilakukan selama
pengembangan APL Pulau Harapan ini akan menentukan prospek keberlanjutan program ini. Program pendampingan yang dilakukan selama pengembangan
program ini, hanya dilakukan pada saat pendirian APL, setelah program ini berdiri sudah tidak dilakukan pendampingan. Penguatan SDM melalui pelatihan juga
dilakukan hanya beberapa kali, sehingga dirasakan oleh masyarakat penguatan SDM masih rendah.
c. Hubungan dengan donor lain
Berbeda dengan DPL yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga non pemerintah, program APL Pulau Harapan yang diinisiasi oleh pemerintah daerah
ini tidak memiliki hubungan dengan lembaga donor lainnya. Padahal, banyak lembaga-lembaga lain yang memiliki prospek memberikan bantaun bagi
pengembangan APL ini khususnya lembaga-lembaga swasta yang bergerak dalam bidang pariwisata. Lembaga-lembaga ini memiliki kepentingan terhadap
perlindungan ekosistem terumbu karang yang merupakan objek wisata bahari yang diandalkan di kawasan Kepulauan Seribu. Ringkasan penilaian
keberlanjutan APL Pulau Harapan disajikan pada Lampiran 7.
5.3.2 Indeks Keberlajutan Pengembangan DPL
Hasil penentuan skor untuk setiap atribut dari aspek ekologi dan lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, kebijakan setempat dan kelembagaan
seperti disajikan pada Tabel 17 sebelumnya, yang kemudian diolah dengan metode Rapsmile Rapid Apraisal of Small Island Development menunjukkan
bahwa ketiga program Daerah Perlindungan Laut memiliki prospek kebelanjutan yang berbeda-beda, sebagai mana ditunjukkan oleh Indeks Keberlanjutan DPL
IB-DPL. Seperti yang disajikan pada Tabel 18 dibawah IB-DPL tertinggi dimiliki oleh DPL Pulau Sebesi, yaitu 72.41 pada skala keberlanjutan 0-100. DPL
Desa Blongko memiliki nilai IB-DPL sebesar 63.83. Adapun APL Pulau Harapan memiliki Indeks Keberlanjutan sebesar 36.30. Hasil penilaian terhadap 32 atribut
yang terdiri dari 4 aspek atau dimensi, yaitu aspek ekologi dan lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, kebijakan setempat, dan kelembagaan memperlihatkan
bahwa Program DPL Pulau Sebesi dan DPL Desa Blongko memiliki prospek keberlajutan yang sedang 50.01-75.00 berdasarkan kelas keberlanjutan yang
dimodifikasi dari Susilo 2003. Hasil analisis keberlanjutan ketiga DPL disajikan pada Gambar 10.