15
tanggungjawab dan kewajiban masyarakat untuk mengambil peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari; dan 7 sebagai lokasi penelitian
dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut bagi masyarakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Terdapat 3 fungsi kunci yang harus
dipenuhi oleh suatu area perlindungan laut: 1 melindungi biodiversitas laut; 2 menjaga produktivitas dan 3 kontribusi kesejahteraan sosial dan ekonomi
United Nations Environmental Program 1995; McManus et al. 1998. Kawasan konservasi laut digunakan untuk menunjang bentuk tradisional lain dari
pengelolaan sumberdaya laut, seperti misalnya pengelolaan perikanan, di mana metode-metode tersebut telah terbukti tidak efektif Agardy 2000.
2.4.2 Metode Pengelolaan DPL-BM
Berdasarkan panduan yang disusun oleh Tulungen et al. 2002, pembentukan dan pengelolaan DPL-BM harus dilakukan bersama antara
masyarakat, pemerintah setempat, dan para pemangku kepentingan lain yang ada di desa. Pemerintah setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam
proses penentuan lokasi dan aturan DPL-BM, pengembangan dan pendidikan masyarakat, serta memberikan bantuan teknis dan keuangan bagi pengelolaan
DPL. Tanggungjawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL- BM ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis pendanaan dan
persetujuan terhadap peraturan yang dibuat ditetapkan oleh pemerintah atas persetujuan dan kesepakatan dengan masyarakat. Masyarakat dan pemerintah
dapat juga bekerja sama dengan pihak lain seperti LSM atau pihak swasta untuk membentuk dan mengelola DPL-BM.
Penetapan daerah perlindungan laut meningkat karena kepentingan manusia dalam rangka memerangi over-eksploitasi sumberdaya kelautan dan menjaga
keberlangsungan keragaman laut. Saat ini terdapat lebih dari 1 300 DPL yang penentuan dan tanggungjawabnya merupakan otorisasi masing-masing negara,
namun hal yang penting untuk diperhatikan adalah perlindungan lingkungan laut skala besar, karena hal ini biasanya menyangkut kepentingan beberapa negara
yang daerahnya memiliki aeal laut Boersma dan Parrish 1999. Dalam mendesain sistem dalam rangka mengelola biaya dan resiko yang berhubungan
dengan sumberdaya kelautan, tujuannya adalah memaksimumkan perubahan
16
pendapatan dalam kesejahteraan dari keadaan status quo. Pengambilan keputusan yang ideal dalam rezim pengelolaan sistem perlindungan laut harus diperhatikan
secara berkesinambungan.Sangat mungkin untuk memilih sistem perlindungan untuk meminimalisasi biaya yang cocok untuk standar lingkungan tetapi tidak ada
jaminan bahwa standar yang digunakan dapat optimal secara sosial. Dalam rangka mengeksplorasi tradeoff, sangat disarankan untuk memperhatikan kisaran
standar lingkungan lain dan mendapatkan konsep biaya minimum sistem zonasi untuk setiap standar. Hal ini merupakan kunci penting dalam bernegosiasi
terhadap sistem yang akan diimplementasikan Lawson dan Gooday 2000. Daerah perlindungan laut merupakan investasi kapital alami dengan
maksud memperbesar stok ikan dengan membiarkan daerah tersebut berkembang secara alami. Jika usaha perikanan tangkap dapat dikelola berkelanjutan secara
ekonomi, bersamaan dengan perangkat-perangkat kebijakan lain, maka daerah perlindungan bukanlah cara yang paling efisien untuk mengatasi masalah over-
eksploitasi Carter 2003. Penelitian mengenai prospek co-manajemen di daerah perlindungan laut di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan dan
kesempatan dalam mencapai co-manajemen yang lebih baik pada daerah taman nasional di Indonesia Clifton 2003.
2.4.3 Lokasi dan Ukuran DPL
Menurut Tulungan et al. 2003 DPL-BM dapat dibuat dan ditemukan dalam berbagai bentuk dan ukuran. DPL-BM dapat dibentuk di sekitar pulau-
pulau kecil atau juga di sepanjang pesisir pulau-pulau besar. Penetapan kawasan DPL dapat dimulai dari garis pantai menuju kawasan lepas pantai. Meskipun
tidak ada aturan tentang ukuran yang ideal dari suatu DPL-BM, namun para ilmuwan lebih menyukai kawasan yang berukuran besar. Para ahli menyepakati
bahwa DPL-BM sebaiknya berukuran antara 10-20 dari luas terumbu karang yang ada di suatu desa. Di beberapa negara, luasan DPL-BM ditetapkan antara 5-
50 ha. Di Filipina, DPL-BM yang berukuran antara 6-10 ha dimanfaatkan sebagai lokasi pariwisata, seperti yang dibentuk pada Apo Island dan Sumilon
Island Marten 2007. DPL-BM yang telah dibentuk dibagi menjadi dua zona, yaitu zona inti
dan penyangga. Zona inti adalah suatu areal yang didalamnya tidak diperkenankan
17
adanya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya. Demikian pula kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona ini
seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu diatas terumbu karang juga dilarang. Zona lainnya adalah zona
penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan dapat dilakukan seperti penangkapan
ikan. Kegiatan penangkapan yang diperbolehkan adalah penangkapan ramah lingkungan atau dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing,
memanah dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba atau snorkelling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan
penangkapan ikan secara komersial seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap
dilarang dalam zona penyangga ini.
Gambar 2. Contoh DPL-BM yang dibuat di sekitar pulau kecil Tulungan et al. 2003.
2.5 Keberhasilan Program DPL
Laporan PISCO 2008 menyatakan bahwa dari 80 daerah perlindungan marive reserve laut yang dikaji telah memberikan dampak positif terhadap
perbaikan sumberdaya laut, yaitu:
18
Terjadi peningkatan densitas ataupun jumlah individu sebesar 2.4 kali lebih besar.
Terjadi peningkatan bimas atau berat hewan 5.5 kali lebih besar. Terjadi peningkatan ukuran badan 1.3 kali lebih besar, dan
Terjadi peningkatan densistas atau jumlah spesies 1.2 kali lebih besar.
Nelayan lokal di New Zealand juga melaporkan bahwa setelah pembentukan daerah perlindungan laut terjadi peningkatan hasil tangkapan di luar
daerah DPL dibandingkan sebelum adanya DPL. Jenis tangkapan yang mengalami peningkatan secara dramatis adalah lobster baik dalam hal densitas
maupun ukuran yang ditangkap di sekitar DPL Robert dan Hawkins 2000. Manfaat utama dari DPL adalah meningkatkan kemampuan dalam hal spawning
stock di dalam DPL yang selanjutnya menjadi larva juvenil yang masuk ke
kawasan penangkapan. DPL menyediakan strategi pengelolaan kehati-hatian untuk mengurangi veriabel yang berasosiasi dengan interakasi antara aktivitas
perikanan dan lingkungan Ward et al. 2001. Perlindungan spawning stock melalui pengembangan DPL akan menghasilkan lebih banyak rekruitmen, yang
selanjutnya akan meningkatkan stok sumberdaya ikan. Perlindungan terhadap garis pantai alami dan perikanan karang yang saling
berhubungan, akan menjadi faktor yang lebih penting daripada menetapkan pengganti habitat karang. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wilson et al. di
Hongkong, struktur karang buatan lebih rendah daripada di habitat aslinya, di dalam mendukung keberadaan perikanan karang komersil. Sehingga akan
memperburuk keadaan over-fishing Wilson et al. 2002. Usaha pembuatan karang buatan bukannya tanpa hambatan. Beberapa nelayan usaha kecil akan
menantang usaha ini, jika daerah usaha diperluas sehingga mencapai area ‘tidak bertuan’.
Dalam hubungannya dengan sektor perikanan, kawasan konservasi laut menjadi penyedia berbagai keuntungan bagi reproduksi, pemijahan dan beberapa
keterlibatan sumberdaya laut hayati lainnya LMR. Suatu habitat kawasan konservasi laut mengalami kerusakan fisik yang disebabkan oleh alat tangkap
ikan, atau kebisingan, pergerakan dan bayang-bayang akibat benda di permukaan air seperti dok, kapal atau transek. Kawasan konservasi laut di daerah estuari
biasanya mengalami dampak kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan migas dan