67 dengan yang lainnya, sehingga mudah ditarik kesimpulan
sebagai jawaban dari setiap permasalahan yang ada.
G. Teknik Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul tahapan selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap keabsahan data
dengan menggunakan teknik trianggulasi data. Teknik trianggulasi data merupakan salah satu cara dalam memperoleh data atau
informasi dari satu pihak yang harus dicek kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber data lain, Trianggulasi data
yang digunakan adalah trinaggulasi sumber data yaitu untuk menguji kembali kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek
data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber dan trianggulasi teknik yaitu untuk menguji kredibitilatas data dilakukan dengan
cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
Tujuan dari trianggulasi data ini adalah untuk mengetahui sejauh mana temuan-temuan lapangan benar-benar representatif.
Teknik trianggulasi sumber data adalah peneliti mengutamakan check-recheck, cross-recheck antar sumber informasi satu dengan
lainnya. Dalam penelitian ini triangulasi data dilakukan dengan cara
membandingkan data hasil pengamatan dan mengecek informasi data hasil yang diperoleh dari:
68 1.
Wawancara dengan hasil observasi, demikian pula sebaliknya. 2.
Membandingkan apa yang dikatakan pengurus, jama’ah, dan tokoh masyarakat kampung Jogokariyan.
3. Membandingkan hasil observasi, wawancara dan dokumentasi
yang berkaitan dengan penelitian. 4.
Melakukan pengecekan data dengan pengurus dan jama’ah masjid Jogokariyan.
Tujuan akhir dari triangulasi adalah dapat membandingkan informasi tentang hal yang sama, yang diperoleh dari beberapa
pihak agar ada jaminan kepercayaan data dan menghindari subyektivitas dari peneliti serta mengcroscek data diluar subyek.
69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Masjid Jogokariyan 1.
Deskripsi Sejarah Berdirinya Masjid Jogokariyan
Menurut hasil wawancara dengan Bapak “Tj” selaku sekretaris takmir masjid Jogokariyan menjelaskan bahwa keberadaan kampung
Jogokariyan tidak dapat dipisahkan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Nama Jogokariyan sendiri diambil dari salah satu prajurit
Keraton yaitu: “Pasukan Jogokaryo”. Pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, kampung Jogokariyan memiliki peran yang tidak sedikit
bagi perlawanan fisik melawan penjajah. Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia sekitar tahun 1960-1965, dimana komunis tumbuh subur di
Indonesia khususnya pulau Jawa, di wilayah masyarakat Jogokariyan juga terjadi perebutan pengaruh ideologi. Sebagian kecil masyarakat
menginginkan komunis hangus dari Indonesia, sedangkan sebagian besar masyarakat yang lain menginginkan komunis tetap hidup di Indonesia.
Sebagain kecil masyarakat yang tidak menginginkan keberadaan komunis di tanah air adalah umat Islam. Hal tersebut dikarenakan landasan komunis
yakni teori yang tidak percaya pada mitos takhayul dan agama. Bagi para komunis agama dianggap sebagai “candu”, yakni zat
yang membuat orang berangan-angan, yang membatasi rakyatnya dari pemikiran ideologi lain karena dianggap tidak rasional serta keluar dari hal
yang nyata kebenaran materi. Hal tersebut membawa faham Atheisme
70 ketidak percayaan terhadap institusi agama. Oleh karena itu
dikhawatirkan para komunis akan memperluas paham atheisme kepada masyarakat. Sedangkan alasan kaum pribumi yang mengikuti aliran
komunisme dikarenakan tindakan-tindakannya yang melawan kaum kapitalis dan pemerintah. Mereka mengharapkan kemerdekaan melalui
gerakan para komunis melalui Partai Komunis Indonesia PKI. Pertenangan ideologi ini sering menimbulkan konflik fisik, dengan
puncaknya yaitu peristiwa G-30-SPKI. Di Yogyakarta, umat Islam kampung Jogokariyan, dibantu oleh umat Islam kampug Karangkajen
saling bahu membahu untuk melawan komunis yang ada pada saat itu dan cukup kuat pendukungnya di Jogokariyan dan akhirnya perjuangan
tersebut membuahkan hasil, ajaran komunis dilarang oleh Negara pada tahun 1966.
Akan tetapi faham dan ajaran komunis telah meracuni sebagian umat Islam masyarakat Jogokariyan, kekhawatiran akan hidup
kembalinya bibit-bibit PKI yang memusuhi Islam terus menghantui tokoh- tokoh Islam Jogokariyan pada waktu itu. Salah satu upaya untuk menjaga
ideologi mereka termasuk anak-cucu adalah dengan cara umat Islam Jogokariyan harus memiliki masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah
dan sumber aktifitas sosial lainnya. Sebagaimana penuturan Bapak “Tj” berikut: “Pada zaman itu kami khawatir sama ideologi PKI Mbak.
Masalahnya akidah masyarakat kecil pada saat itu masih belum kuat. Jadi mudah terpengaruh”.