Menurut Kolb dalam Cox, 2013 gaya belajar dibagi menjadi 4 jenis yakni sebagai berikut:
1. Akomodator Accommodators
Mereka atau mahasiswa ini mencari makna dalam pengalaman belajar dan mempertimbangkan apa yang bisa mereka lakukan dan juga apa yang telah
dilakukan orang lain sebelumnya. Peserta didik atau mahasiswa ini senang dengan kompleksitas dan dapat melihat hubungan antara aspek-aspek dari
sebuah sistem. 2.
Asimilator Assimilators Mereka atau mahasiswa ini suka akurat dengan pengiriman informasi yang
terorganisir dan mereka cenderung respek terhadap ilmu pengetahuan yang sulit. Mereka tidak nyaman menjelajahi sistem secara acak dan mereka ingin
mendapatkan jawaban yang tepat untuk setiap masalah. 3.
Konverger Convergers Mereka atau mahasiswa ini termotivasi untuk menemukan relevansi atau
bagaimana dari situasi. Aplikasi dan kegunaan informasi meningkat dengan pemahaman informasi rinci tentang sistem operasi.
4. Diverger Divergers
Siswa-siswa ini termotivasi untuk menemukan relevansi atau mengapa dari sebuah situasi. Mereka ingin alasan dari sesuatu yang konkret, informasi
tertentu dan untuk mengeksplorasi system apa yang ditawarkan, dan mereka lebih memilih untuk memiliki informasi yang disajikan kepada mereka secara
rinci, sistematis, dan beralasan.
Dari ketiga jenis gaya belajar yang dikemukakan oleh para ahli, peneliti menggunakan jenis gaya belajar model Grasha dan Riechmann, dikarenakan jenis-
jenis gaya belajar yakni independent, avoidant, collaborative, dependent, competitive
dan participant
learning style
dapat diterapkan dalam perguruan tinggi dibanding kedua model lain yang hanya mencakup siswa menengah artinya sangat
tepat untuk sampel dalam penelitian ini yang mempunyai latarbelakang mahasiswa Baykul, Gursel, Sulak, Ertekin, Yazici, Dulger, Aslan Buyukkarci,
2010.
2.3.3. Pengukuran Gaya Belajar
Berdasarkan jurnal penelitian terdahulu, peneliti menemukan tiga alat untuk mengukur gaya belajar, yaitu sebagai berikut:
1. The Grasha-Riechmann Student Learning Style Scales GRSLSS yang
dikembangkan oleh Grasha dan Riechmann pada tahun 1996. Alat ukur ini memiliki 60 item dan digunakan untuk mengidentifikasi preferensi
pembelajaran pelajar dalam gaya belajar mahasiswa. Alat ukur ini ideal digunakan pada sampel mahasiswa dalam tingkat perguruan tinggi yang
berdasarkan enam jenis gaya belajar, yakni independent, avoidant, collaborative, dependent, competitive
dan participant. Alat ukur ini telah dipakai oleh Uzuntiryaki pada tahun 2007 di Negara Turki. Reliabilitas alat
ukur ini mencapai koefisien alpha sebesar dari 0.89 Baykul, Gursel, Sulak, Ertekin, Yazici, Dulger, Aslan Buyukkarci, 2010.
2. The Index of Learning Style ILS yang dibuat oleh Felder dan Solomon
pada tahun 1991, yang berisi 44 item pertanyaan yang dirancang untuk
menilai preferensi pada empat jenis model gaya belajar Felder-Silverman, seperti active and reflective learners, sensing and intuitive learners, visual
and verbal learners dan sequential and global learners. Alat ukur ini pernah
dipakai dalam penelitian Felder Spurlin pada tahun 2005. Reliabilitas alat ukur ini mencapai koefisien alpha mulai dari 0.56-0.77 Litzinger, Lee
Wise, 2005. 3.
Learning Style Inventory LSI yang dibuat oleh Kolb pada tahun 1985 yang berisi 12 kalimat dengan empat pernyataan masing-masing dan digunakan
untuk mengevaluasi preferensi belajar mahasiswa pada empat jenis gaya belajar, yaitu accommodators, assimilators, convergers dan divergers. Alat
ukur ini pernah dipakai oleh Damavandi pada tahun 2011 di Negara Malaysia dan dalam penelitian Cox pada tahun 2013 di Universitas Florida
Negara Amerika. Reliabilitas alat ukur ini mencapai koefisien alpha sebesar dari 0.73 Alsa, Widhiarso Susetyo, 2010.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Grasha dan Riechmann yang bernama The Grasha-Riechmann Student
Learning Style Scales GRSLSS. Peneliti memilih alat ukur ini dikarenakan alat
ukur tersebut memiliki tingkat keandalan yang lebih tinggi dibanding dengan The Index of Learning Style
dan Learning Style Inventory, yakni mencapai koefisien alpha 0.89. Dengan demikian, maka akan membantu signifikansi hasil penelitian
mengenai pengaruhya terhadap prestasi akademik.
2.4. Penyesuain Diri Di Perguruan Tinggi 2.4.1. Definisi Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi
Istilah “penyesuaian” digunakan secara bergantian dengan kata adaptasi untuk menyimpulkan keberhasilan transisi ke perguruan tinggi. Menurut Schlossberg
dalam Garcia, 2005 adaptasi terjadi ketika seorang individu mampu memadukan transisi atau perubahan ke dalam hidupnya.
Zea, Jarama, dan Bianchi dalam Garcia, 2005 mendefinisikan keberhasilan adaptasi ke perguruan tinggi yaitu sebagai:
“being socially integrated with other students, participating in campus activities,responding to academic requirements, and being attached and
committed to theeducational institution” Artinya keberhasilan adaptasi ke perguruan tinggi adalah dapat memadukan perubahan secara sosial dengan
mahasiswa lain, berpartisipasi dalam kegiatan kampus, menanggapi persyaratan akademik, dan melekat serta berkomitmen untuk lembaga pendidikan.
Sependapat dengan pendapat para ahli diatas, menurut Baker dan Siryk dalam Otlu, 2010 college adjustment adalah mahasiswa yang berhasil
menanggapi tuntutan akademik, memiliki interaksi sosial dengan staf fakultas, mengambil bagian dalam kehidupan kampus, dan melekat serta berkomitmen
untuk universitas. Penyesuaian diri di perguruan tinggi, seperti yang didefinisikan oleh
Hurtado, Carter, dan Spuler dalam Garcia, 2005 melibatkan resolusi tekanan psikologis dan trauma transisi.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi adalah sebuah bentuk usaha pada seorang
individu dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan kampus atau perguruan tinggi untuk terciptanya keselarasan dalam proses belajar atau
perkuliahannya.
2.4.2. Teori Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai penyesuaian diri di perguruan tinggi, peneliti mendeskripsikan terlebih dahulu beberapa teori tentang penyesuaian yang
dirujuk dari tesis yang diteliti oleh Otlu 2010, yaitu sebagai berikut: a.
Culture learning theory Dalam teori belajar budaya, adaptasi menurut Argyle dan Zhou dalam Otlu,
2010 adalah saling terorganisir dan terampil dalam kinerjanya dan pendatang perlu belajar keterampilan sosial budaya yang relevan untuk bertahan hidup
dan berkembang dalam pengaturan baru mereka. Variabel budaya tertentu seperti jarak budaya, kompetensi bahasa atau komunikasi, dan pengetahuan
budaya yang saling berhubungan. b.
Stress, coping, and adjustment theory Dalam perspektif stres dan coping, menurut Lazarus dan Folkman dalam
Otlu, 2010 penyesuaian dipandang sebagai perubahan kehidupan yang penuh stres dan pendatang perlu mengembangkan strategi coping tertentu untuk
mengatasi stres baik secara personal kepribadian dan perubahan hidup maupun situasional dukungan sosial.