Sistem mata pencaharian hidup
106 Di Indonesia masih terdapat penduduk yang hidup sebagai pemburuh dan
peramu hasil hutan, antara lain penduduk di Lembah Baliem Irian Jaya dan di sekitar daerah danau di Paniai Irian Jaya, dan suku Anak Dalam atau orang
Kubu di Sumatera. Mereka belum mengenal bercocok tanam, dan hidup berkelompok dalam jumlah yang tidak banyak. Bersama-sama dengan
penduduk yang masih hidup sebagai peladang berpindah-pindah slash and burn agriculture seperti orang Togutil di Halmahera Tengah; mereka sering
diklasifikasikan sebagai masyarakat “terasing”. Kategori ini, disamping mereka itu tinggal di suatu lokasi yang jauh dari jangkauan alat transportasi,
juga didasarkan atas tingkat kesejahteraan dan kemajuan, terutama yang berkaitan dengan proses akulturasi dan sikap mereka terhadap inovasi.
Selain itu ada juga orang Laut yang mengembara di sepanjang laut kepulauan Riau dan Bajo di kawasan pantai Sulawesi Utara, orang Badui di
Banten Jawa Barat, orang Donggo di pedalaman pegunungan Sumbawa Timur, orang Amma Toa di Sulawesi Tengah Hari Poerwanto, 1997:122-
123. Suku-suku bangsa peramu sagu di Papua memiliki konsepsi yang tegas
mengenai hutan-hutan sagu, yaitu bagian mana yang menjadi milik sendiri, milik kerabat ibu dan lain-lain, yang tidak demikian saja berani mereka
langgar. Hewan buruan yang utama di Irian Jaya adalah babi dan buaya, namun
jarang sekali penduduk Irian Jaya yang memiliki keahlian berburuh buaya, sehingga umumnya mereka hanya sebagai pengendali perahu atau
pembantu pemburu. Sedangkan pemburu buaya pada umumnya berasal dari luar Irian Jaya, yaitu Ternate, Maluku Buton dan tempat-tempat lain di
Sulawesi. Setelah Perang Dunia Ke-2, penduduk pantai Irian Jaya mulai mengenal
bercocok tanam di ladang. Namun ini dilakukan secara sambilan, sebab hanya dilakukan terutama pada musim-musim kurang menguntungkan bagi
nelayan untuk pergi melaut. Perahu yang digunakan para nelayan tradisional, umumnya berbentuk
perahu lesung, yaitu batang pohon kayu yang ditinggikan sisinya dengan papan. Untuk menjaga keseimbangan perahu dilengkapi dengan cadik pada
salah satu sisi atau semua sisinya. Kadang-kadang perahu juga dilengkapi
107 dengan layar. Bentuk perahu dengan ukuran yang lebih besar menggunakan
konstruksi lunas, dengan kerangka yang dibuat dari balok-balok. Sistem berladang juga masih banyak diterapkan di Indonesia. Di pulau
Jawa berladang memang hampir jarang ditemukan lagi, tetapi di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Tengah, kepulauan Maluku, Nusa Tenggara
dan Papua berladang merupakan kegiatan bercocok tanam yang umum. Sistem kesatuan kerja dalam kegiatan berladang adalah keluarga inti,
namun tidak menutup kemungkinan juga keluarga luas. Tenaga tambahan juga kadang-kadang diperlukan. Pada suku bangsa Sumbawa Barat tenaga
tambahan itu disebut basiru tidak ada pembayaran jasa, saleng tulong pengembalian jasanya suatu saat di kemudian hari dan nulong
pembayaran tunailangsung. Mata pencaharian penduduk di Indonesia dengan cara bercocok tanam
menetap, dibagi atas bercocok tanam tanpa bajak hand agriculture, hoe agriculture atau horticulture dan bercocok tanam dengan bajak plough
agriculture. Perhitungan musim juga diperlukan dalam bercocok tanam. Pada suku
Batak ada 4, yaitu : si paha onom September=musim hujan, si paha pitu, si paha valu Oktober-Nopember= mengerjakan mengolah sawah, si paha sia
Desember=penaburan benih dan dilakukan upacara boras pan initano yaitu agar padi terhindar dari serangan hama dan si paha tolu Juni=memanen
secara gotong royong. Saat itu kesempatan para pemuda dan gadis untuk menemukan jodohnya.