Dari gambar 4.3 berarti t
hitung
tidak berada pada daerah penerimaan H
. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H ditolak dan H
1
diterima dengan taraf signifikansi 5. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes
kemampuan memberi alasan logis siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi pemecahan masalah working backward lebih tinggi
daripada rata-rata hasil tes kemampuan memberi alasan logis siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi konvensional.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil pengujian hipotesis terdapat perbedaan rata-rata kemampuan memberi alasan logis siswa antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan strategi pemecahan masalah working backward lebih baik dari pada
pembelajaran dengan strategi konvensional. Hal ini dikarenakan strategi pemecahan masalah working backward memuat beberapa langkah
penyelesaian yang dapat mengembangkan kemampuan memberi alasan logis siswa. Selain itu, pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah working
backward lebih berpusat pada siswa student centered, guru menjadi fasilitator yang berperan sebagai pembimbing dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas. Sedangkan pembelajaran dengan strategi konvensional
= 0,05
1,67 2,67
Gambar 4.4 Kurva Uji Perbedaan Data Kelompok Eksperimen dan Kelompok
Kontrol
berpusat pada guru teacher centered, siswa hanya menerima apa yang disampaikan guru sehingga kemampuan memberi alasan logis.
Temuan penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lia Kurniawati 2006 tentang
“Pembelajaran Dengan Pendekatan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemahaman Dan Penalaran Matematika Siswa SMP” yang mengungkapkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pemecahan
masalah memiliki skor rata-rata yang lebih besar dalam semua aspek baik pemahaman, penalaran, maupun secara keseluruhan dari pada siswa yang
pembelajarannya secara biasakonvensional. Penelitian yang dilakukan Yanto Permana dan Utari Sumarmo 2007 tentang
“Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah ” diperoleh hasil bahwa ternyata kemampuan penalaran
matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Kemudian
penelitian yang dilakukan oleh Sukayasa tentang ”Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Fase-Fase Polya untuk Meningkatkan Kompetensi
Penalaran Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah Matematika”, dijelaskan bahwa dari penelitian ini menghasilkan suatu model pembelajaran berbasis
fase-fase Polya untuk meningkatkan kompetensi siswa SMP dalam memecahkan masalah matematika lalu dengan mengimplementasikan model
pembelajaran ini maka guru dapat memotivasi siswanya untuk berpikir kreatif, mengemukakan idegagasan dan meningkatkan kemampuan bernalarnya.
Kelas VII-7
terpilih sebagai
kelompok eksperimen
yang pembelajarannya menggunakan strategi pemecahan masalah working
backward. Pada kelompok eksperimen setiap pertemuan masing-masing kelompok siswa diberikan Lembar Kerja Siswa LKS yang didalamnya
memuat langkah-langkah penyelesaian masalah dengan strategi pemecahan masalah working backward. Soal-soal yang terdapat dalam LKS harus
diselesaikan dengan cara berdiskusi kelompok.