Lingkungan Lokal Studi Model Pengelolaan Sampah Perkotaan Yang Pernah Dilakukan

Schübeler et al., 1996 ; EPIC,2000 ; JICA, 2003 ; Stypka, 2004 ; Nie et al., 2004 ; Prawiradinata, 2004 ; EHC, 2005 ; EMTS, 2005 dapat disarikan menjadi :

2.2.1. Aspek Lingkungan

a. Lingkungan Lokal

Aspek lingkungan yang perlu diperhatikan dari SPSP dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yang terdiri atas : 1 lingkungan lokal dan 2 lingkungan global. 1. Jika SP perkotaan tidak ditata dengan suatu SPSP yang baik maka dapat menyebabkan gangguan seperti JICA, 2003 : Gangguan kesehatan misalnya: Kumpulan sampah dapat menjadi tempat pembiakan lalat, dan lalat ini mendorong penularan infeksi 2. Sampah tersebut dapat menimbulkan penyakit yang terkait dengan tikus, seperti pes, leptospirosis, salmonelosis, tikus endemic, demam gigitan tikus, dan beberapa infeksi arboviral. Pada kejadian pasca banjir di Jakarta tahun 2002, jumlah kasus leptospirosis tercatat meningkat akibat tertimbunnya sampah di beberapa wilayah di Jakarta. 3. Penanganan sampah yang tidak baik dapat menyebabkan timbunan sampah yang dapat menjadi sumber kebakaran dan bahaya kesehatan yang serius bagi anak-anak yang bermain di dekatnya, 4. Dapat menutup saluran air sehingga meningkatkan masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan banjir dan tanah-tanah yang tergenang air. 5. Sebanyak 20 sampah yang dihasilkan dibuang ke badan air secara sembarangan dapat menyumbang sekitar 60 - 70 pencemaran sungai. Disebabkan hampir semua TPA di Indonesia tidak ada yang tidak beroperasi secara Open Dumping Wibowo dan Djajawinata, 2004, Universitas Sumatera Utara akibatnya dapat terjadi : pencemaran tanah, air, dan udara; kesehatan masyarakat bahkan bencana yang dapat menimbulkan korban jiwa. Tabel 2.4. Perkiraan Timbulan Sampah Gigagram 2000-2007 Kementerian Negara Lingkungan Hidup KNLH, 2008 merealese hasil perkiraan total sampah yang dihasilkan oleh seluruh provinsi di Indonesia. Total timbulan sampah dari seluruh provinsi di Indonesia secara lengkap disajikan pada Tabel 2.4. berikut. Sumber KNLH, 2008

b. Lingkungan Global

No. Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 NAD 1,10 1,11 1,11 1,12 1,13 1,13 1,14 1,14 2 Sumatera Utara 3,26 3,31 3,35 3,40 3,44 3,49 3,53 3,57 3 Sumatera Barat 1,19 1,20 1,21 1,22 1,22 1,23 1,24 1,25 4 Riau 1,39 1,45 1,51 1,58 1,64 1,71 1,78 1,86 5 Jambi 0,67 0,69 0,70 0,72 0,73 0,74 0,76 0,77 6 Sumatera Selatan 1,74 1,77 1,80 1,83 1,86 1,89 1,92 1,95 7 Bengkulu 0,41 0,42 0,43 0,43 0,44 0,45 0,46 0,47 8 Lampung 1,88 1,92 1,95 1,98 2,01 2,04 2,07 2,10 9 Bangka Belitung 0,25 0,26 0,26 0,26 0,27 0,27 0,28 0,28 10 DKI Jakarta 2,34 2,36 2,38 2,40 2,42 2,44 2,45 2,47 11 Jawa Barat 10,00 10,19 10,37 10,56 10,75 10,94 11,13 11,32 12 Jawa Tengah 8,74 8,78 8,82 8,86 8,89 8,93 8,96 8,99 13 DI Yogyakarta 0,87 0,88 0,89 0,90 0,91 0,92 0,93 0,94 14 Jawa Timur 9,73 9,78 9,82 9,87 9,91 9,95 9,99 10,04 15 Banten 2,27 2,33 2,40 2,47 2,54 2,61 2,68 2,75 16 Bali 0,88 0,90 0,91 0,92 0,93 0,95 0,96 0,97 17 NTB 1,12 1,14 1,16 1,18 1,20 1,22 1,24 1,26 18 NTT 1,07 1,09 1,10 1,12 1,14 1,16 1,17 1,19 19 Kalimantan Barat 1,12 1,15 1,17 1,19 1,21 1,23 1,25 1,27 20 Kalimantan Tengah 0,52 0,54 0,55 0,57 0,58 0,60 0,62 0,63 21 Kalimantan Selatan 0,84 0,85 0,86 0,88 0,89 0,91 0,92 0,94 22 Kalimantan Timur 0,69 0,71 0,73 0,75 0,77 0,79 0,81 0,83 23 Sulawesi Utara 0,56 0,57 0,58 0,58 0,59 0,60 0,61 0,62 24 Sulawesi Tengah 0,61 0,62 0,63 0,65 0,66 0,67 0,69 0,70 25 Sulawesi Selatan 2,25 2,28 2,31 2,33 2,36 2,38 2,41 2,44 26 Sulawesi Tenggara 0,51 0,52 0,54 0,55 0,57 0,58 0,60 0,61 27 Gorontalo 0,23 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,25 0,25 28 Maluku 0,33 0,33 0,34 0,34 0,35 0,35 0,36 0,36 29 Maluku Utara 0,23 0,23 0,24 0,24 0,25 0,25 0,25 0,26 30 Papua 0,62 0,64 0,65 0,67 0,69 0,71 0,72 0,74 57,44 58,22 59,01 59,79 60,59 61,38 62,17 62,97 Indonesia Setiap produk yang dikonsumsi oleh penduduk bumi yang menghasilkan sampah perkotaan memberikan kontribusi terhadap GRK USEPA,2002a. Berdasarkan life cycle assesment yang dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara USEPA diketahui bahwa setiap tahapan produksi untuk menghasilkan suatu produk yang dimulai dari : 1 Ekstraksi dan pemerosesan bahan mentah; 2 proses produksi; 3 transportasi dan distribusi; 4 konsumsi dan 5 pembuangan - akan berdampak terhadap GRK. Oleh sebab itu manajemen pengelolaan “limbah“ yang baik akan berdampak terhadap pengurangan GRK. Aktifitas produksi yang berdampak terhadap GRK diantaranya USEPA, 2002a; 2003; 2006 : 1 Konsumi bahan bakar fosil pada setiap tahapan proses produksi; 2 Emisi CO 2 yang dihasilkan oleh proses produksi; 3 Gas CH 4 yang diemisikan oleh TPA; 4 Penebangan pohon. Temuan USEPA tersebut memberikan gambaran bahwa ternyata sampah perkotaan turut memberikan kontribusi terhadap GRK. Ironisnya lagi Gas Methane CH4 yang dihasilkan oleh sampah memiliki kekuatan hingga 21 kali lipat jika diekivalenkan dengan Gas CO 2 Gitonga, 2005; USEPA, 2003; 2003a; 2006; . Fenomena GRK Gupta et al., 2007 yang saat ini telah menjadi perhatian dunia bermula dari lahirnya Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim UNFCCC yang dilaksanakan di Jepang pada tanggal 11 Desember 1997. Konvensi ini melahirkan sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisipengeluaran karbondioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan. Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. KNLH 2008 juga merealease perkiraan emisi CH 4 pada seluruh provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2000 hingga 2007 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5. Perkiraan Emisi CH4 Gigagram tahun 2000 - 2007 Sumber : KNLH, 2008 Meskipun persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005, pada tanggal 28 Juli 2004, negara Indonesia menerbitkan UU No 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Protokol Kyoto RI,2004 namun hingga tahun 2009 sudah 183 negara telah menandatangani dan meratifikasi protokol termasuk Indonesia, bahkan Amerika Serikat yang bukan non-anggota Protokol juga telah ikut menandatangani UNFCCC United Nation Framework Convention on Climate Change. Emisi CH4 dari Indonesia sendiri diperkirakan mencapai 410 Gg pada 2007, lebih tinggi dari tahun 2006 yang berjumlah 405.69 Gg. Emisi CH4 yang dihasilkan dari proses pengomposan sampah diperkirakan mencapai 63 Gg pada tahun 2007 KNLH,2008. No. Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 NAD 7,18 7,22 7,26 7,30 7,34 7,38 7,41 7,44 2 Sumatera Utara 21,27 21,57 21,87 22,16 22,46 22,75 23,03 23,31 3 Sumatera Barat 7,76 7,82 7,88 7,93 7,99 8,04 8,09 8,14 4 Riau 9,04 9,45 9,86 10,28 10,71 11,16 11,64 12,13 5 Jambi 4,40 4,49 4,58 4,67 4,76 4,85 4,95 5,04 6 Sumatera Selatan 11,35 11,54 11,75 11,95 12,14 12,34 12,55 12,75 7 Bengkulu 2,66 2,72 2,78 2,84 2,90 2,95 3,01 3,08 8 Lampung 12,30 12,50 12,71 12,91 13,12 13,32 13,52 13,72 9 Bangka Belitung 1,64 1,67 1,70 1,72 1,75 1,77 1,80 1,83 10 DKI Jakarta 15,28 15,40 15,52 15,65 15,78 15,89 16,00 16,10 11 Jawa Barat 65,27 66,47 67,68 68,90 70,13 71,37 72,62 73,89 12 Jawa Tengah 57,04 57,30 57,54 57,79 58,03 58,26 58,47 58,68 13 DI Yogyakarta 5,70 5,76 5,82 5,87 5,94 5,99 6,05 6,11 14 Jawa Timur 63,52 63,81 64,10 64,38 64,67 64,95 65,21 65,49 15 Banten 14,80 15,22 15,66 16,10 16,54 17,01 17,49 17,97 16 Bali 5,76 5,84 5,92 6,01 6,09 6,17 6,25 6,33 17 NTB 7,32 7,45 7,58 7,70 7,83 7,96 8,08 8,21 18 NTT 6,98 7,10 7,21 7,32 7,43 7,54 7,65 7,75 19 Kalimantan Barat 7,34 7,47 7,61 7,75 7,89 8,03 8,17 8,30 20 Kalimantan Tengah 3,39 3,49 3,59 3,70 3,80 3,91 4,01 4,12 21 Kalimantan Selatan 5,45 5,54 5,64 5,73 5,83 5,92 6,01 6,11 22 Kalimantan Timur 4,48 4,61 4,74 4,87 5,00 5,14 5,27 5,41 23 Sulawesi Utara 3,66 3,71 3,76 3,81 3,86 3,91 3,96 4,01 24 Sulawesi Tengah 3,98 4,06 4,14 4,22 4,31 4,39 4,48 4,56 25 Sulawesi Selatan 14,71 14,88 15,04 15,21 15,39 15,52 15,73 15,89 26 Sulawesi Tenggara 3,33 3,42 3,52 3,61 3,71 3,81 3,91 4,01 27 Gorontalo 1,52 1,54 1,55 1,57 1,58 1,59 1,61 1,62 28 Maluku 2,13 2,16 2,20 2,24 2,27 2,31 2,35 2,38 29 Maluku Utara 1,49 1,51 1,54 1,57 1,60 1,63 1,65 1,68 30 Papua 4,04 4,16 4,27 4,38 4,49 4,60 4,71 4,82 374,78 379,88 385,02 390,16 395,33 400,49 405,69 410,90 Indonesia Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Aspek Ekonomi

1. Aspek ekonomi pengelolaan sampah perkotaaan sangat berkaitan erat dengan layanan jasa yang harus diberikan sebagai akibat dari adanya aktivitas ekonomi, efektivitas biaya sistem pengelolaan sampah perkotaan, dimensi makro-ekonomi dari penggunaan sumber daya dan konservasi serta pendapatan yang diperoleh dari layanan jasa yang diberikan Schubler et al., 1996. Keterkaitan ini disebabkan karena : 2. Jumlah timbulan sampah serta permintaan layanan pengelolaan yang terus meningkat serta bersinergi dengan meningkatnya ekonomi. 3. Rendahnya biaya pelayanan yang diberikan akan berdampak kepada menurunnya kualitas lingkungan. Efektivitas SPSP sangat bergantung pada biaya siklus hidup fasilitas dan peralatan jangka panjang serta dampak ekonomi terhadap layanan yang diberikan. Oleh karenanya, evaluasi ekonomi merupakan masukan yang penting untuk perencanaan strategis dan investasi bagi SPSP. 1. Lebih lanjut Schubler et al. 1996 mengelompokkan aspek ekonomi dari SPSP ke dalam beberapa item seperti yang dijabarkan sebagai berikut: Penganggaran dan sistem akuntansi biaya 2. Penganggaran yang memadai, akuntansi biaya, serta evaluasi keuangan sangat penting bagi manajemen pengelolaan sampah perkotaan. Di banyak kota, ditemukan bahwa banyak pejabat yang bertanggung jawab tidak memiliki informasi yang akurat tentang biaya riil dari pengelolaan sampah yang dilaksanakan. Oleh karena itu dan analisis keuangan harus dilakukan untuk dapat meningkatkan akuntabilitas. Mobilisasi sumber daya sebagai modal investasi pilihan utama bagi pemerintah daerah untuk pembiayaan dalam mengelola sampah perkotaan biasanya bersumber dari anggaran lokal, pinjaman dari perantara keuangan dan atau pinjaman atau hibah khusus dari pemerintah pusat. Di beberapa negara, obligasi mungkin bisa dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan. Pilihan lainnya adalah Universitas Sumatera Utara melalui sektor swasta, yang semakin tertarik untuk mengelola sampah perkotaan. Di banyak negara, biasanya pemerintah pusat akan terus menjadi sumber dana utama untuk pengelolaan sampah perkotaan. 3. Biaya operasional 4. Ada tiga pilihan utama untuk yang bisa dilakukan untuk menutupi biaya operasional SPSP, diantaranya : retribusi, pajak daerah dan transfer antar pemerintah daerah. Langkah yang paling sering ditempuh untuk menutupi biaya operasi adalah melalui retribusi. Pendapatan retribusi ini biasanya akan masuk ke kas Pemerintah Kota dan cenderung digunakan kembali untuk menutupi biaya operasional bukan ditujukan untuk mengelola limbah. Hal ini tentunya akan melemahkan akuntabilitas lembaga pengelola sampah perkotaan. Pengurangan biaya dan kontrol mekanisme terbaik untuk mengurangi biaya operasional adalah dengan mengadopsi pola “ doing more with less” . Biaya operasional pengelolaan sampah perkotaan dapat direduksi melalui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan limbah padat lokal. Biasanya hal ini melibatkan sektor informal, dengan cara ini biaya operasional layanan dapat ditekan sekaligus dapat mengurangi volume limbah yang dibuang ke TPA. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sampah perkotaan yang efisien dan efektif ditinjau dari aspek ekonomi, sebenarnya dapat dicapai dengan cara: 1. meningkatkan 2. pengembangan dan produktivitas ekonomi melalui ketetapan biaya dari jasa pengumpulan sampah yang efisien dan sesuai dengan kemampuan membayar para konsumen. mewujudkan 3. proses pengelolaan yang berwawasan lingkungan dari produksi sampah yang dihasilkan. memastikan efektivitas manajemen pengelolaan melalui dengan cara melakukan analisis biaya dan manfaat Universitas Sumatera Utara 4. mendorong aktivitas meminimalisasi sampah, konservasi materi, serta melakukan efisiensi ekonomi dengan cara menerapkan prinsip siapa membuang dia membayar. Aspek teknis SPSP berkaitan erat dengan perencanaan, pelaksanaan, perawatan, pengumpulan, sistem transfer, pemulihan limbah, pembuangan akhir serta pengelolaan limbah berbahaya. Untuk mengoptimalkan performance SPSP maka hal yang perlu diperhatikan adalah :

2.2.3. Aspek Teknis

1. Secara teknis fasilitas dan peralatan harus dirancang sesuai dengan karakteristik operasi, kinerja, pemeliharaan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan diharapkan persyaratan serta mengimbangkan biaya perawatan. Schublerr et al., 1996 2. Perhatian harus diberikan kepada pencegahan pemeliharaan, perbaikan dan ketersediaan suku cadang. 3. Rancangan fasilitas transfer dan peralatan harus sesuai dengan karakteristik lokal dan kapasitas TPA yang tersedia. Sistem pengumpulan harus dirancang untuk dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat. 4. Sektor informal yang mendaur ulang sampah harus didukung dengan mendesain SPSP yang dapat meningkatkan produktivitas sektor tersebut. Keterlibatan pihak swasta untuk mengelola SP perkotaan juga harus dipertimbangkan. 5. Metode pembuangan akhir di negara-negara berkembang pada umumnya menggunakan TPA. Untuk meminimalisasi dampak lingkungan maka pemilihan TPA harus dilakukan secara seksama serta didesain untuk dapat beroperasi dengan baik. 6. Sumber bahan limbah berbahaya harus teridentifikasi, terdaftar agar dapat dikelola dengan baik. Universitas Sumatera Utara Teknologi Pengelolaan sampah berkembang sejalan dengan perkembangan jenis sampah yang akan dikelola. Beberapa cara pengelolaan akhir sampah yang dilakukan masyarakat adalah : Naria, 1996; PPS-IPB, 2003 1. Penimbunan : Sampah yang telah dikumpulkan pada penampungan sementara diangkut kesuatu area tempat pembuangan sampah akhir TPA, kemudian sampah tersebut ditimbun dan diratakan. Penimbunan sampah seperti ini menimbulkan bau busuk, tempat berkembangnya bibit penyakit, serta dapat mengakibatkan terganggunya kualitas air tanah. 2. Pengomposan : Sampah-sampah organik diolah dengan cara pengomposan. Ada beberapa keuntungan dari sistem pengomposan antara lain : pupuk yang dihasilkan bersifat ekologistidak merusak lingkungan, masyarakat dapat membuat sendiri, serta tidak memerlukan peralatan dan instalasi yang mahal. 3. Pembakaran Sampah : Pembakaran sampah dapat dilakukan pada tempat pembuangan sampah sementara, atau pembakaran dilakukan dengan insenerator. Proses insenerator ini mampu mereduksi limbah hingga 90, meskipun panas yang ditimbulkannya dapat digunakan sebagai sumber energi, namun penggunaannya dapat menimbulkan pencemaran udara tersendiri. 4. Penghancuran : Sampah yang telah dikumpulkan dipotong-potong menjadi ukuran kecil-kecil sehingga volumenya bertambah kecil, penghancuran yang demikian akan membantu proses pembusukan. 5. Pemanfaatan Ulang : Sampah-sampah yang telah dikumpulkan dipilih sesuai dengan bahan pembuatnya seperti kertas, kaca, plastik, besi, karton, aluminium dan dijual untuk dimanfaatkan kembali 6. Dumping : Pengelolaan sampah secara dumping dengan menumpuk sampah pada suatu area, pengelolaan yang demikian akan menimbulkan penurunan estetika lingkungan. Jenis dumping yang lain dan sering dilakukan masyarakat dalam mengelola sampah adalah dumping in Universitas Sumatera Utara water dimana sampah dibuang ke dalam badan air misalnya sungai, laut, saluran air lainnya Naria, 1996 Untuk menanggulangi sampah perkotaan yang jumlah semakin hari semakin bertambah maka sistem pengolahan sampah yang harus dilakukan juga semakin kompleks. Oleh karenanya USEPA 2002a, 2003a, 2006 membuat suatu hirarki pengelolaan sampah berwawasan lingkungan yang digambarkan dalam bentuk piramida Gambar 2.3 . Gambar 2.3. Piramida Pengelolaan Sampah Dari piramida tersebut dapat diketahui bahwa untuk mengelolah sampah padat dimulai dari : Pengurangan dari sumber merupakan level tertinggi A yang diikuti oleh proses pemakaian kembali dan daur ulang. Setelah tahapan tersebut tidak lagi memadai untuk menangani jumlah timbulan sampah yang ada maka proses selanjutnya yang dapat dilakukan adalah proses Recovery Energy, sisa dari hasil proses ini baru kemudian dilakukan proses penimbunan landfilling atau pembakaran Beberapa negara yang telah menggunakan teknologi pengelolaan sampah dengan basis energi recovery diantaranya adalah Setyaningrum, 2006 :

1. Vietnam

Pemanfaatan landfill gas di Vietnam masih terbatas hanya pada proses pengumpulannya saja tetapi belum dimanfaatkan sebagai energi listrik. Universitas Sumatera Utara Setelah tahun 2002 Vietnam meratifikasi Kyoto Protocol, studi kelayakan untuk pemanfaatan gas landfill telah dilakukan untuk Khanh Son on Landfill 17 ha di Da Nang City yang menampung sampah sebanyak 200.000 ton per tahun. Tujuan dilakukannya pemanfaatan gas ini adalah menstabilkan landfill dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan global warming. Total emisi gas rumah kaca dalam 10 tahun adalah ekivalen dengan 409.000 ton CO 2

2. Swedia

dimulai tahun 2008. Teknik gas recovery sistem meliputi pipa pengumpulan gas, gas scrubbers, gas engine generator dan fuel gas treatment facility. Pemanfaatan gas di Swedia baik yang berasal dari biogas digester atau dari landfill sudah dilakukan sejak lama, bahkan di setiap landfill. Kondisi tersebut merupakan standar landfill yang harus dilakukan oleh setiap operator landfill sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara- negara Eropa Council Directive 199931EC On The Landfill. Dengan komposisi organik yang relatif rendah 35 , namun masih memiliki kandungan gas 10-30 m 3

3. Beijing-China

tontahun landfill di Helsinberg, pengumpulan gas tetap dilakukan dan dimanfaatkan sebagai energi listrik. Teknik gas recovery system meliputi pipa pengumpulan gas, penyimpanan gas, fasilitas pengolahan gas, fasilitas power generation dan aksesoris-aksesoris Pengumpulan gas landfill di kota Beijing China sudah dilakukan sejak lama dan menjadi standar operasi landfill, namun gas yang terkumpul hanya dibakar melalui flare flaring system yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Beijing dengan penduduk 15 juta jiwa memiliki 6 lokasi landfill, salah satu landfill tersebut adalah Beishinshu Landfill luas 35 ha. Sampah yang dibuang ke lokasi landfill adalah hanya berupa residu karena telah dilakukan proses pemilahan sampah di lokasi transfer station setiap radius 8 km memilki 1 transfer Universitas Sumatera Utara station. Termasuk sebagian besar organik telah dipilah dan dikirim ke instalasi produksi kompos ada 2 unit, kapasitas 200 dan 400 tonhari. Uraian tersebut secara transparan memberikan gambaran bahwa dengan semakin bertambahnya jumlah timbulan sampah sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya teknologi serta diimplementasikannya protokol Kyoto, peran teknologi pengelolaan sampah sudah harus menjadi perhatian utama bagi para pengelola SP. Terlebih lagi bagi Indonesia yang turut menandatangani protol Kyoto, dimana hampir 100 pengelolaan sampah masih dilakukan secara opendumping dan sanitary landfill. Dengan berlakunya UUPS yang disahkan pada tanggal 7 Mei 2008, menyebabkan seluruh pemerintah kotakabupaten harus bertindak secara tepat untuk dapat mengimplementasikan proses pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Hal ini disebabkan karena pada Pasal 44 tentang Ketentuan peralihan dinyatakan : 1 Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 satu tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini serta ; 2 Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 lima tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini RI, 2008. Kebijakan yang relatif sama dengan aturan yang tertuang pada Pasal 44 dari UUPS telah dimulai oleh negara Uni Eropa sejak tahun 1999. Pada tahun 1999 tersebut, negara Uni Eropa telah merancang aturan terhadap penanganan sampah yang secara spesifik terhadap lokasi TPA Landfill Directive - 199931EC of 26 April 1999. Arahan ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengurangi efek samping dari lokasi penimbunan limbah di lingkungan, khususnya di permukaan air, tanah, tanah, udara dan kesehatan manusia. Universitas Sumatera Utara Pada tanggal 16 Juli 2001 arahan ini harus telah diimplementasikankan dan diamandemenkan menjadi UU Eroupean Council EC No 18822003 EC,2009. Dari berbagai studi yang dilakukan terkait dengan teknologi pengolahan SP dapat disarikan beberapa kategori teknologi pengelolaan yang terdiri dari RISE-AT, 2000; Mclanaghan 2002; SPL, 2002; Gendebien et al., 2003; GET, 2003; Pacey et al., 2003; Dubois et al., 2004; Godley et al,. 2004; Grobbin, 2004; Ostrem, 2004; RBC, 2004; Chair, 2005; Weidemeier, 2005; WES, 2005; Ylijoki et al., 2005; Cali et al., 2007; Clarissa, 2007; Mahar et al., 2008; GBB, 2008; Last, 2008 : 1 Biological yang terbagi atas 2 kategori: a Anaerobic Digestion dan b Composting; 2 Mechanical - Material Recover Facilities MRF ; 3 Thermal yang terbagi atas 2 katergori: a Advance Thermal Treatment ; b Inceneration serta 4 Hybrid-Bio Mechanical Treatment. Untuk dapat memberikan gambaran secara komprehensif tentang berbagai teknologi tersebut, maka kompilasi informasi dan spesifikasi teknis setiap alternatif teknologi tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini Mclanaghan,2002; Klein, 2002; Münnich et al, 2006; Last, 2008, Economopoulos,2009:

1. Biological

ANAEROBIC DIGESTION Anaerobik Digestion AD, adalah teknologi yang memiliki proses seperti proses pengomposan. Untuk mengelola limbah yang dapat terurai, teknologi ini sangat bergantung pada proses alami biologis bantuan bakteri, tetapi dengan satu pengecualian yaitu tanpa adanya oksigen. Proses ini menghasilkan biogas campuran seperti CH4 dan CO2, serta H2S, N2, NH4. Biogas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar minyak diesel. Proses AD memerlukan kondisi yang stabil : 1 mesophilic sekitar 35 ° C atau 2 thermophilic kelembaban suhu sekitar 55 ° C dengan kelembapan di atas 60. Cairan tersuspensi yang mengandung endapan juga dihasilkan dari proses ini, yang dapat digunakan sebagai pupuk. Pengolahan ini hanya membutuhkan waktu yang singkat 1-2 minggu . KAPASITAS 5 - 100 kton per tahun Universitas Sumatera Utara BIAYA CAPEX : 10 Ktonthn = rata-rata: £3.85M Separate digestion metode kering 20 Ktonthn =rata-rata: £5,00 31 Ktonthn = £4.5M Co-digestion metode basah 45 Ktonthn = £10,1M OPEXt : rata-rata: £4,7t Separate digestion metode kering rata-rata: £12t £4-9t Co-digestion metode basah KEUNTUNGAN KERUGIAN • proses pengomposan di TPA berlangsung cepat. 21 hari pencernaan, 21 hari penyimpanan untuk metode kering-3 hari untuk metode basah • menghasilkan sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan bakar kendaraan dll. • proses tidak memerlukan input material dan energi. • • hanya dapat memproses limbah biodegradable, sehingga dibutuhkan peralatan pemisahan; • memerlukan lokasi tambahan untuk penggunaan biogas dan penyimpanan kompos selama dua bulan sebelum dapat diaplikasikan JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber terpisah Dipisahkan secara Mekanik Sumber Sampah SP X √ Komersil X √ Industri X X Fraksi sampah biogradable terpisah Kertaskarton √beberapa Sampah dapur Sumber terpisah Dipisahkan secara Mekanik Sampah dedaunan √beberapa √beberapa Tekstil X? X? Kayu X? X? Fraksi sampah non biogradable terpisah Metal X X Besi X X Non-Besi X X Kaca X X Plastik X X Lainnya X X Universitas Sumatera Utara SUMBER DAYA TERBARUKAN: Nutrients berat 100 akan menghasilkan kompos N, K dan P. Sumber SP yang terpisah Mendekati 100 SP yang dipisahkan secara mekanik Materials berat Kompos : 80-85 Kompos : 50-60 Energi MJton Biogas: 2,500 to 4,000 MJt tergantung pada keringnya keadaan Produksi gas dapat ditinggikan jika kertaskarton turut dimasukkan ke sistem, MASALAH KESEHATAH MASALAH LAIN • kesehatan karyawan : membutuhkan tindakan pencegahan di tempat bekerja; • lalat dan hama diminimalisir; • arus lalu lintas. • kesadaran masyarakat yang kurang terhadap teknologi ini dan selalu mengaitkannya dengan teknologi pengomposan. DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN DAMPAK NEGATIP THD- LINGKUNGAN • AD menawarkan teknologi pengelolaan satu atap • Hasil pengolahan SP hampir 100 berguna bagi nutrisi tanah, selain adanya energi listrik bersih dan panas. • CO 2 biogenik hasil dari pembakaran biogas,menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dan berbasis karbon • Sisa produk akhir dari proses komposting anaerob yang dipisahkan secara mekanis masih memerlukan area sebagai TPA. Gambar 2.4. Material Balance : Anaerobic Digestion 1 Ton SO Sampah Perkotaan 230 kg SO 770 kg kg ANAEROBIC DIGESTION Material RDF = setara 419,35 KWh Kompos = 170 Kg organik Energi Biogas setara = 5,04 KWh POST TREATMENT Air buangan = 205 kg Universitas Sumatera Utara COMPOSTING Pengomposan adalah suatu teknologi pengelolaan sampah yang menggunakan proses degradasi aerobik yang dikontrol oleh senyawa organik. Proses ini dapat mengurangi jumlah limbah biodegradable di TPA. Dengan adanya proses ini, biomassa yang hilang dapat dikembalikan serta memiliki nilai ekonomi KAPASITAS 20-250 Ktonthn+ Ukuran kapasitas pengelolaan efektif 15-20 Ktonthn PEMBIAYAAAN CAPEX £M1 50 Ktonthn= £2,0-2.4 M rata-rata: £2,2M Windrow 20 Ktonthn £0.8-4.8M rata-rata: 2.8M In-vessel 50 Ktonthn £2.64-10.0M rata-rata: £6.64M OPEXt1 £4-7t Windrow £7-7,8t rata-rata:£7,4 In-vessel £18-20t rata-rata £10,5 JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber terpisah Penyaringan SP Sumber Sampah SP X √ Komersil X √ Industri X X Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton √beberapa X sampah dapur X X sampah dedaunan X √beberapa Tekstil X X? Kayu X X? Sumber non-biodegradable terpisah Metal X X Besi X X Non-Besi X X Kaca X X Plastik X X Lainnya X X KEUNTUNGAN KERUGIAN • limbah yang distabilkan membatasi potensi terjadinya lindi • pengurangan volume limbah secara signifikan • Materi patogen hilang, serta menghasilkan materi dan dapat digunakan sebagai bio-filter • persepsi pasar terhadap kualitas produk masih belum pasti • nilai produk yang rendah saat. • Windrow memerlukan lahan yang luas serta waktu yang lama dua bulan untuk penyimpanan. Universitas Sumatera Utara SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients berat output 1 N, 2-3 P, 3-5 K Materials berat output 60-80 Sumber terpisah 50-60 Penyaringan mixed SP. Energi MJton sampah Tidak dapat dijadikan bahan bakar MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN • bio-aerosol yang dihasillkan akan mempengaruhi proses pemilihan lokasi. • kesehatan karyawan harus diperhatikan dan perlu tindakan pencegahan • lalat dan hama harus diminimalisir diminimalisir dengan sistem di-kapal yaitu akses terbatas, meskipun hal ini tidak menjadi masalah bagi limbah dedaunan • Ditemukan berbagai masalah seperti: bio-aerosol, debu, bau, kebisingan dan arus lalu lintas. • Masyarakat lokal bisa saja menunjukkan retensi atas kegiatan ini DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN • kompos dapat digunakan sebagai kondisioner tanah • penggunaan kompos mengurangi emisi gas rumah kaca dari landfill • bio-aerosol yang dihasilkan harus harus memperhatikan tingkat sensitivitas masyarakat disekitar lokasi • Adanya bau dan kebisingan • Windrow memerlukan lahan luas Gambar 2.5. Material Balance: Windrow Composting Gambar 2.6. Material Balance: In-vessel Composting 1 Ton SO Sampah Perkotaan IN VESSEL COMPOSTING Emisi CO 2 penguapan : 250 Kg Kompos = 550kg Landfill 175 kg Air Buangan 100 kg resirkulasi 1 Ton SO Sampah Perkotaan WINDROW COMPOSTING Emisi CO 2 penguapan : 250 Kg Kompos = 625 kg Landfill 175 kg Air Buangan Universitas Sumatera Utara

2. Mechanical

MATERIAL RECOVERY FACILITIES MRF Fasilitas Daur Ulang Dua kategori utama : • Bersih proses CMRFs relatif bersih dan kering karena sumber sampah telah dipisahkan dari sumbernya. • Kotor proses DMRFs realatif kotor karena input sampah yang bercampur dari segala sumber. DMRFs perlu digabungkan dengan pengolahan sekunder untuk mengolah sisa SP seperti RDF, kompos, atau AD . KAPASITAS CMRFs : 5 Ktonthn-50 Ktonthn; • DMRFs : sampai 200 Ktonthn menguntungkan dari sisi ekonomi skala jika digabungkan dengan fasilitas terpusat PEMBIAYAAN CAPEX: • dan £ 5M 150 Ktonthn. termasuk tanah • Biaya keseluruhan dapat ditekan jika ada bangunan yang dapat dimanfaatkan OPEXt CMRF £ 12-18t KEUNTUNGAN KERUGIAN DMRFs • Penggunaan infrastruktur yang ada koleksi SP; CMRFs • Recovery volume tinggi, kualitas yang lebih baik untuk dijual. • Proses peningkatan fleksibilitas untuk memasok pasar berubah dengan pulih recyclates kering; DMRFs • Potensi kontaminasi pada pengolahan dengan kapasitas yang besar. • Penggunaan DMRFs tidak mendorong masyarakat untuk melakukan pemilahan di sumber. • limbah sisa membutuhkan perawatan sekunder dan pengolahan e.g. kompos CMRFs • akan meningkatkan biaya pengumpulan sampah. • Nilai ekonomi dari sampah daur ulang tidak akan tercapai secara maksimal • JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber terpisah Penyaringan SP Sumber Sampah SP X √ Komersil X √ Industri X X Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton √ X sampah dapur X X sampah dedaunan X X Tekstil √ X Universitas Sumatera Utara Kayu X √ X Sumber non-biodegradable terpisah Metal √ X Besi √ X Non-Besi √ X Kaca X √ X Plastik √ X Lainnya X X SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients berat input CMRF DMRF Materials berat input 90-95+ kering 40-50 kering Energi MJton sampah n.a n.a Meskipun RDF dapat dihasilkan dari pasca-pemisahan residu sampah yang telah kering MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN • Diperlukan biofilter untuk menganstisipasi masalah bau dan udara di sekitar pengolahan • Sering dipersepsikan dengan daerah kumuh DAMPAK POSITIF LINGKUNGAN DAMPAK NEGATIF LINGKUNGAN DMRFs • tidak ada partisipasi langsung dari masyarakat thd proses daur ulang • dampak pada kualitas udara setempat; CMRFs • partisipasi langsung dari masyarakat dalam memisahkan sampah • kualitas dan kuantitas sampah daur uulang lebih baik. DMRFs • rendahnya produk daur ulang, membutuhkan lokasi untuk pengolahan lanjutan MRFs Bersih • ritasi pengiriman sampah yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya kualitas udara Gambar 2.7. Material Balance : DRMF 1 Ton Sampah Perkotaan MATERIAL RECOVERY FACILITIES DRMF Ke Treatment Lain =865 kg Mix SDU = 135 kg Metal = 50 Kg Mix SDU = 85 Kg Universitas Sumatera Utara

3. Thermal ADVANCED THERMAL TREATMENT ATT

Pirolisis Gasifikasi Gasifikasi dan pirolisis adalah jenis proses pengelolaan dengan menggunakan teknologi panas tingkat lanjut ATT. Teknologi lebih diminati sebagai alternatif teknologi mas-burn incineration MBI yang umum dilakukan. PIROLISIS Ketiadaan proses endotermik dari suatu unsur oksidasi air atau oksigen pada bahan dasar karbon menyebabkan terjadinya proses pembusukan secara kimia. Pirolisis dikenal juga sebagai “destilasi destruktif”, “cracking”, atau termolisi”, proses ini berlangsung pada suhu 400-800 o • lambat atau karbonisasi;

C. Ada tiga sistem utama pirolisis :

• konvensional, dan • cepat kilat vakum, fluidised-bed dan gasifikasi. Pirolisis akan menghasilkan wujud gas, cair dan padat, pada proporsi tertentu yang tergantung pada jenis proses yang digunakan: faktor penentu utama yang mengendalikan suhu dan waktu bukaan pada temperatur tersebut. Lama terkena suhu rendah memaksimalkan produksi arang, sedangkan flash pirolisis paparan singkat 1 detik menghasilkan sampai 80 dari berat cairan. GASIFIKASI Gasifikasi adalah sebuah proses termokimia yang melibatkan konversi bahan padat atau cair menjadi gas melalui proses oksidasi parsial menggunakan udara yang kaya oksigen dalam kondisi panas. Proses ini akan menghasilkan bahan bakar gas serta bahan cair dan padat yang sedikit. Gasifiers mengkonversi bahan baku karbon menjadi produk gas bersuhu dan tekanan bertekanan tinggi. Gasifikasi bukanlah teknologi baru dan telah digunakan sejak awal 1800-an KAPASITAS 20 Ktonthn untuk 360 Ktonthn +; PEMBIAYAAN CAPEX: £ 116M 400 Ktonthn pabrik. OPEXt: Kisaran £ 15-21 t. KEUNTUNGAN: KERUGIAN: • pirolisis dan gasifikasi memiliki fleksibilitas recovery energi dibandingkan dengan MBI tradisional; • gasifikasi dan pirolisis dapat mengubah sampah menjadi: materi blok, senyawa untuk sektor petrokimia: limbah ban dan plastik untuk bahan digunakan kembali dan pemulihan energi. Secara teori, gas, minyak dan arang padat dapat diperoleh - terutama dari pirolisis - dan dapat digunakan sebagai bahan bakar. • saat ini dianggap setara dengan pemulihan energi dalam hirarki limbah: sehingga tidak berkontribusi terhadap kepada proses daur ulang. • teknologi terutama pirolisis memerlukan sinergi yang kuat dengan mainstream petro-kimia dan sektor pengolahan lainnya untuk menentukan pasar • Dalam era anti-insinerator penggunaan teknologi ini sering dianggap hanya sebagai pengganti nama dari teknologi insenerator. Universitas Sumatera Utara JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Termo select SWERF Compact Power TOPs Sumber Sampah SP √ √ √ √ Komersil √ √ √ √ Industri √ √ √ √ Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton √ √ √ √ sampah dapur √ √ √ √ sampah dedaunan √ √ √ √ Tekstil √ √ √ √ Kayu √ √ √ √ Sumber non-biodegradable terpisah Metal √ √ X √ Besi √ √ X √ Non-Besi √ √ X √ Kaca √ √ X √ Plastik √ √ √ √ Lainnya √ √ √ √ SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients berat output Materials berat output 5-20 Energy MJton sampah 9.000-10.000 MJtonne MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN: Tidak ada risiko kesehatan signifikan yang diharapkan. masalah utama berkaitan dengan dampak emisi udara terutama dioksin terhadap kesehatan. DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN: • kedua teknologi dapat membantu menggantikan bahan baku dan fosil - bahan bakar. Prolisis menyediakan bahan baku kimia, energi recovery • gasifikasi dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah dan efisiensi termal lebih tinggi dari limbah pembakaran langsung. • memerlukan perawatan untuk memisahkan air dari bahan bakar cair yang dihasilkan; Pyrolysis • oksigen yang digunakan dalam proses dan gasification syngas sendiri sekarang berisiko terhadap kesehatan Gasification Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8. Material Balance Pyrolisis Gambar 2.9. Material Balance Gasification INCINERATION TECHNOLOGY Insinerasi, pembakaran masa insinerasi MBI, energi dari limbah Proses pembakaran limbah telah dilakukan manusia sejak satu abad. Proses ini sangat bergantung pada proses eksotermik dimana kehadiran oksigen berbasis materi karbon akan membusuk, meninggalkan residu abu. Insinerasi atau energi dari limbah sering disingkat menjadi energy from waste efw. Fluidised-bed Technology Fluidised-bed technology merupakan alternatif pendekatan bagi teknologi insinerasi dan terbukti baik untuk aplikasi pengolaah non-SP pengelolaan lumpur Manfaat utama dari penerapan teknik ini adalah terjadinya pengurangan emisi, penghematan biaya yang cukup besar untuk biaya perawatan gas buang seperti yang tejadi atas MBI serta tidak memerlukan pra-pengolahan limbah. Refuse Derived Fuel Refuse Derived Fuel RDF adalah residu dari sisa pengolahan yang biasanya berbentuk pelletized yang dihasilkan dari pengolahan BMT. Pengolahan BMT tersebut menghilangkan sampah besi, kaca, pasir, dan bahan lain yang tidak mudah terbakar. Materi ini dapat dijual sebagai RDF. 1 Ton Sampah Perkotaan GASIFIKASI with RDF Plant Energi oe = ~781KWh Material SDU Metal = 25,7Kg Kaca = 24,8 Alumunium = 9,4 Kg Abu ke landfill = 245 kg Energi ie =~ 135 KWh 1 Ton Sampah Perkotaan PYROLYSIS Emisi CO 2 dan NOx Synthetic SynGas = 380kg Material Metal = 60 Kg Abu = 240 kg materi batubata Air buangan = 220 kg Universitas Sumatera Utara KAPASITAS 26-600 Ktonthn PEMBIYAAN CAPEX: Capacity Ktonthn Capex Range £M Rata-rata Capex £M 50 18-20 19 100 30-36 33 150 46-50 48 200 54-58 55 400 100 –105 102 500 110 –120 115 KEUNTUNGAN KERUGIAN: • “state-of-the-art” bagi pengolahan limbah, dan mendapat pengawasn yang ketat dari EU; • penelitian menunjukkan bahwa meskipun proses daur ulang akan mengurangi jumlah limbah pada pengelolaan akhir di TPA, nilai kalori dari residu pada umumnya tetap tidak berubah. • Meniadakan proses daur ulang dianggap; • ROI 10-20 tahun • Energi yang dihasilkan dari tidak memenuhi syarat untuk di kelompokkan sebagai energi yang diterbarukan • JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH Sumber Sampah SP √ Komersil √ Industri X √ Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton √ sampah dapur √ sampah dedaunan √ Tekstil √ Kayu √ Sumber non-biodegradable terpisah Metal X Besi X Non-Besi X Kaca X Plastik X Lainnya √ Universitas Sumatera Utara SUMBER DAYA TERBARUKAN Nutrients berat output 0 kg Materials berat output 225 kg materi bhn konstruksi; 35-50 kg Ferrous; sd. 10 kg non Ferrous Energi MJton sampah 8,000-9,500MJt 550 KWh listrik dengan 22 efesiensi panas. 18,000MJt RDF MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN • Emisi yang dilepaskan harus sesuai dengan standar kontrol yang telah ditetapkan • risiko kesehatan dari sisa logam berat, dioksin dan furan • diprotes oleh Greenpeace DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN DAMPAK NEGATIF THD LINGKUNGAN: • Energi dari proses daur ulang bahan sekunder dapat memaksimalkan proses pengelolaan. MBI harus memiliki ukuran yang besar untuk dapat menampung sisa input. Gambar 2.10. Material Balance: Mass Burn Incineration

4. Hybrid

MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT MBT TECHNOLOGY Pabrikan : Ecodeco Italy; Herhof-Umwelttechnik GmbH Germany, KUM- technology dll Pengolahan limbah dengan cara Bio-mekanik BMT adalah nama generik untuk berbagai proses gabungan dari beberapa teknologi pengolah sampah akhir BMT umumnya terdiri dari 3 tahapan: 1 Pengeringan secara Biologi: setelah pengiriman ke pabrik lalu di tutup sepenuhnya, limbah dipotong-potong kemudian dikeringkan selama 12 hari Mikro-organisme mencerna sampah organik, Emisi udara terbatas pada uap air ditambah sedikit CO2 biogenik. Atap harus dipasang bio-filter guna mengendalikan bau. 2 Pemisahan bahan: berbagai jenis peralatan yang digunakan untuk memisahkan besi dan logam non-Besi untuk daur ulang; kaca, batu dan pasir. 1 Ton Sampah Perkotaan MASS BURN INCENERATION Energi ie = ~175 KWh Energi oe = ~640 KWh Material Metal =~ 37,5 kg Flyash Filter Cake = ~52,5 Kg Boiler Ash = ~ 9 Kg Slag Arang besi= 255 Kg Universitas Sumatera Utara KAPASITAS 36-270 Ktonthn ada pabrik sampai dengan 400 Ktonthn; PEMBIAYAAN CAPEX: Capacity Ktonthn Rata-rata Capex £M 50 7.6-10,5 60 9,5 85-100 11.0-16.0 120 18,85 200 20,0 220 29,5 KEUNTUNGAN: KERUGIAN: • sebagai alternatif teknologi untuk TPA. • pembakaran sisa SP, mendatangkan lebih banyak fleksibilitas bagi pihak berwenang setempat; • berpotensi sebagai bagian dari pendekatan SP terpadu, • efisiensi pabrik biasanya 30 dibandingkan dengan massa-bakar c.22 10, hingga 50 + dalam siklus gabungan. • tidak ada pasar yang siap pakai untuk menggunakan RDF JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH X √ Sumber Sampah SP √ Komersil √ Industri √ Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton √ sampah dapur √ sampah dedaunan √ Tekstil √ Kayu √ Sumber non-biodegradable terpisah Metal X Besi X Non-Besi X Kaca X Plastik X Lainnya X Universitas Sumatera Utara MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN • Bau • lalu lintas; • pembakaran dengan RDF dapat dilihat sebagai Insinerasi dengan nama lain DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN: DAMPAK NEGATIF THD LINGKUNGAN • produksi gas TPA dapat dikurangi secara signifikan hingga 90. produksi lindi di TPA juga sangat berkurang • Jika proses stabilisasi biologis dapat menghasilkan kompos, maka dapat mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pertanian untuk mau menggunakan kompos tersebut Gambar 2.11. Material Balance MBT

2.2.4. Aspek Sosial

1. Aspek sosial SPSP harus mencakup pola penanganan limbah rumah tangga dan sumber lainnya, pengelolaan sampah berbasis masyarakat serta memperhatikan kondisi sosial para pekerja yang menangani SP: Timbulan sampah sangat ditentukan oleh sikap masyarakat serta kondisi sosial-ekonomi mereka. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap 1 Ton Sampah Perkotaan AN AEROB DIGESTION MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT AD - MBT Energi ie = 54 KWh Energi Biogas setara = 66 KWh GRK 0 001033 MTCEKWh Material SDU Metal = 25,7Kg Plastik = 157,3 Kg Kaca = 24,8 Alumunium = 9,4 Kg Kertas = 164,7 Kg Penguapan = 31,1 Kg Kompos = 121 Kg organik Landfill = 314,1 kg Air buangan : 125,1 kg Universitas Sumatera Utara sampah yang dihasilkan dapat dilakukan melalui upaya ”kampanye” dan pendidikan. 2. 3. Pada daerah yang berpendapatan rendah, solusi terbaik untuk mengatasi masalah persampahan adalah dengan pola pengelolaan berbasis masyarakat. Meskipun demikian, hubungan fungsional antara kegiatan berbasis masyarakat harus tetap dipertahankan. 4. Meskipun sistem pengelolaan sampah telah tersedia, partisipasi masyarakat tetap memiliki peranan yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi. Para pekerja sampah, termasuk sektor informal yang biasanya hidup dengan kondisi yang tidak layak sangat mudah untuk terserang penyakit. Untuk itu diperlukan dukungan seperti jaminan sosial dan lain sebagainya. Kondisi sosial masyarakat dalam mengelola sampah sangat bergantung kepada regulasi yang diterapkan oleh pemangku kebijakan. Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terhadap permasalahan sampah akan menambah beban pelaksana dalam mengelola sampah. Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan. Gardner dan Stern 1996 dalam Ho, 2002 menyoroti empat intervensi yang bisa untuk menigkatkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan yang terdiri dari :1 intervensi kontrol moral dan agama; 2 intervensi pendidikan; 3 hukum dan 4 insentif pemerintah. Masalah utama yang harus dihadapi dalam pengelolaan SP terdapat pada tahap pemisahan limbah. Seharusnya limbah sampah terlebih dahulu harus dipisahkan dengan benar, baru selanjutnya dibuang dengan cara yang ramah lingkungan. Namun hingga saat ini, terutama di negara-negara berkembang hal tersebut sepertinya sulit ditemukan. Padahal semestinya masyarakat sebagai produsen limbah dapat maju kedepan untuk memecahkan masalah ini. Hal ini dapat dilakukan dengan memisahkan sampah berdasarkan kategorinya. Universitas Sumatera Utara Lebih lanjut Gardner dan Stern 1996 dalam Ho, 2002 juga berpendapat bahwa karena ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka solusi yang baik adalah dengan cara menggabungkan intervensi yang berbeda secara bersamaan karena akan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik daripada hanya menggunakan satu intervensi saja.

2.2.5. Aspek Kelembagaan

1. Aspek kelembagaan SPSP secara spesifik mencakup struktur kelembagaan dan manajemen SPSP termasuk didalamnya adanya aturan tentang pengelolaan sampah perkotaan. Aspek kelembagaan ini dapat dielaborasi lebih lanjut dengan adanya : 2. Distribusi fungsi, tanggung jawab serta kewenangan antara kelembagaan lokal, regional dan pemerintah pusat desentralisasi. 3. Struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk SPSP, termasuk adanya koordinasi antara SPSP dengan sektor lainnya. 4. Prosedur dan metode yang digunakan untuk perencanaan dan pengelolaan 5. Kapasitas lembaga yang bertanggung jawab atas SPSP termasuk didalamnya kapabilatas para staf yang menjadi bagian dari SPSP. Keterlibatan sektor swasta, partisipasi masyarakat dan kelompok pengguna.

2.2.6. Aspek Kebijakan

1. Aspek kebijakan dalam SPSP adalah segala aspek yang mencakup perumusan tujuan , prioritas, penetapan peran, wilayah yuridis, kerangka hukum dan peraturan. Aspek kebijakan ini sangat berpengaruh pada keberlanjutan SPSP, oleh sebab itu perlu diperhatikan: Tujuan serta prioritas yang berkaitan dengan pengawasan lingkungan serta pemerataan akses pelayanan. Kedua hal tersebut harus jelas Universitas Sumatera Utara diartikulasikan untuk dapat memobilisasi dukungan masyarakat serta sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. 2. 3. Untuk menjamin keberlanjutan SPSP, diperlukan definisi yang jelas tentang yurisdiksi dan peran pengelola SPSP. Rencana Strategis yang matang akan sangat membantu untuk menempatkan pengelola SPSP serta pihak lain yang terkait. Jumlah aturan perundang-undangan yang diterbitkan tidak banyak, jelas, tidak bertolak belakang serta dapat dipertanggung jawabkan. Dalam sebuah sistem, kebijakan merupakan tahapan akhir yang ditempuh untuk dapat mengatasi masalah yang akan dihadapi. Gary Brewer dan Peter DeLeon 1983 menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik sebagai berikut: Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi. Tahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik. Penyusunan kebijakan adalah proses berkelanjutan, sebagai sebuah struktur yang memiliki siklus. Walt 1994 menyajikan empat tahap proses kebijakan: 1 Identifikasi masalah dan pengenalan isu ; 2 Formulasi kebijakan; 3 Implementasi kebijakan; 4 Evaluasi kebijakan.

2.3. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan Kota Medan

Untuk menjalankan SPSP, Pemerintah Kota Medan menunjuk Dinas Kebersihan Kota Medan DKKM sebagai lembaga yang bertanggung jawab secara formal untuk mengelola sampah perkotaan di Kota Medan. Pengelolaan sampah kota Medan juga melibatkan SI yang dalam keseharian turut mereduksi sampah perkotaan melalui aktifitas perdagangan SDU kota Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun gambaran tentang kondisi SPSP kota Medan berdasarkan aspek pengelolaan SP yang dijabarkan sebagai berikut : Rahman, 2004

2.3.1. Aspek Lingkungan

SPSP kota Medan yang dilaksanakan oleh DKKM masih belum ramah lingkungan, hal ini ditandai dengan tidak adanya perlakukan terhadap SP yang pada TPA Sedangkan SP yang dapat diangkut kemudian didistribusikan ke 2 TPA yakni : 1 TPA Namo Bintang, berlokasi di Kelurahan Namo Bintang ; Kecamatan Tuntungan dengan luas 17 Ha. TPA ini mampu menampung 60 dari total sampah yang dapat diangkut, 2 TPA Terjun, berlokasi di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Labuhan dengan luas 14 Ha dan kapasitas penampungan sebesar 40 dari total timbulan sampah domestik kota Medan. Wibowo dan Djajawinata, 2004; Rahman, 2004. Selain tingkat kemampuan daya angkut SP yang dilaksanakan oleh DKKM masih berkisar 69.8 Rahman, 2004 dari jumlah SP yang mencapai 1265 tonhari. Hal ini menandakan bahwa masih ada sekitar 382 ton SP setiap harinya yang bertebaran diberbagai sudut kota Medan. Berdasarkan karakteristiknya SP kota Medan memiliki rasio perbandingan antara sampah organik dengan sampah anorganik sebesar 2.21 : 1 Zulfi, 2000. Untuk sampah anorganik yang memiliki nilai ekonomis dan menjadi bagian dari aktifitas SI terbagi kedalam 9 jenis seperti yang tertera pada Tabel 2.6 berikut. Tabel 2.6. Jenis Sampah Anorganik Kota Medan No Jenis Sampah Anorganik Tonbulan 1 kertas 29.64 2 karton 34.77 3 besi tua 41.64 4 plastik 32.02 5 atom 28.39 6 kaca 19.64 Universitas Sumatera Utara No Jenis Sampah Anorganik Tonbulan 7 aluminium 26.65 8 kuningan 21.39 9 karung 20.27 Jumlah 234.14 Sumber : Rahman, 2004 Tabel 2.6 memperlihatkan bahwa SI mampu mengelola 234,14 ton perbulan dari SP yang berjenis anorganik, jika dibandingkan dengan jumlah total SP kota Medan perhari maka sampah anorganik yang dikelola ini masih senilai 150.5 kali dari jumlah total SP kota Medan.

2.3.2. Aspek Ekonomi

Dari sisi pembiayaan operasional SPSP, DKKM memperoleh dana dari Pemerintah Kota Medan PKM. Selain itu juga PKM memberikan mandat kepada DKKM untuk mengumpulkan retribusi dari masyarakat kota Medan. Adapun teknis pengumpulan retribusi dapat dilihat pada Gambar 2.12 berikut. Gambar 2.12. Aliran Dana Retribusi Sampah Rahman, 2004 Dari Gambar 2.12 terlihat bahwa sebenarnya DKKM telah memperoleh margin keuntungan sebesar 5 yang mereka peroleh dari PKM sebagai imbalan atas kegiatan pemungutan biaya retribusi yang mereka lakukan. Meskipun demikian ternyata nilai retribusi ini masih kecil nilainya dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD DKKM setiap tahunnya seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.7. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.7. Target dan Realisasi pemasukan dari Sampah Septictank Kota Medan No Sumber Tahun Target Rp Realisasi Rp 1. Sampah 2002 2003 5.368.000.000,- 12.500.000.000,- 3.780.738.742,- 70,43 11.033.664.083,- 88,26 2. Septictank 2002 2003 132.000.000,- 198.000.000,- 195.055.000,- 147 270.900.000,- 136 Sumber: DKKM, 2003 Tabel 2.8. APBD Dinas Kebersihan Kota Medan Tahun Anggaran 2002- 2003 No Uraian Tahun AnggaranRp Realisasi Rp A. Belanja Rutin 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja Pemeliharaan 4.Belanja Lain-lain Belanja Pembangunan Pengadaan sarana 2002 8.379.712.000,- 1.374.900.000,- 5.190.575.000,- 5.555.886.000,- 1.261.684.000,- 8.304.265.849,- 1.006.914.390,- 4.414.567.999,- 5.392.470.000,- 1.259.858.716,- Total 21.762.757.000,- 20.378.076.954,- B. Belanja Rutin 1.Belanja pegawai 2.Belanja barang 3.Belanja Pemeliharaan 4.Belanja Lain-lain Belanja Pembangunan Pengadaan sarana 2003 11.971.356.000,- 2.100.000.000,- 6.737.544.000,- 11.831.900.000,- 1.275.000.000,- 11.880.045.561,- 1.905.331.381,- 6.438.857.301,- 11.686.249.280,- 1.272.200.000,- Total 33.915.800.000,- 33.182.683.523,- Sumber: DKKM, 2003 Dari Tabel 2.7 dan 2.8 terlihat bahwa DKKM harus memberikan tambahan biaya sebesar lebih kurang Rp 16.4 milyar untuk tahun 2002 dan Rp. 21.8 milyar untuk tahun 2003. Kontradiksi dengan apa yang dialami DKKM, pengelolaan SP yang dilakukan oleh SI melalui kegiatan daur ulang Universitas Sumatera Utara ternyata menghasilkan nilai ekonomi yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Dari aktivitas kegiatan ini, ternyata SI mampu mentransformasikan sampah menjadi materi yang memiliki nilai ekonomi. Hal ini terlihat dari nilai pendapatan yang diperoleh oleh SF yang jumlahnya mencapai Rp. Rp. 3.957.616.800 pertahunnya. Sedangkan rata nilai ekonomi sampah anorganik kota Medan berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9. Harga rata-rata Sampah Anorganik dan Penghasilan yang diperoleh Pemulung di Kota Medan setiap bulan No Komponen Jumlah Responden Harga Rupiah Hasil Rupiah 1 kertaskg 87 457,4 39.793,0 2 kartonkg 90 524,1 47.168,0 3 besi tuakg 87 983,1 85.533,0 4 plastikkg 84 838,1 70.404,0 5 atomkg 74 1.035,7 76.645,0 6 kacakg 53 634,8 33.647,0 7 aluminiumkg 78 1.198,9 93.510,5 8 kuningankg 74 1.189,3 88.011,0 9 karungbuah 86 362,4 31.167,5 Sumber : Rahman, 2004

2.3.3. Aspek Teknis

SP yang diangkut oleh DKKM ke TPA hingga saat ini masih belum memperoleh perlakukan pengolahan. Hingga saat ini kegiatan yang dilaksanakan DKKM masih dalam taraf menyediakan sarana transportasi bagi SP kota Medan ke TPA. Untuk DKKM memiliki armada pengangkutan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Armada dan Kapasitas daya Angkut DKKM Vol. Jumlah Truk yang Ritasi Vol.sampah No. Jenis Kendaraan Truk Operasihrunit hr Terangkut tonhr m Ton 3 2002 2003 2004 trip 2002 2003 2004 1 Typer Truk 6 1.5 80 80 85 2 240 240 255 Universitas Sumatera Utara Vol. Jumlah Truk yang Ritasi Vol.sampah No. Jenis Kendaraan Truk Operasihrunit hr Terangkut tonhr m Ton 3 2002 2003 2004 trip 2002 2003 2004 2 Arm Roll Truk 6 1.5 3 3 3 6 27 27 27 3 Arm Roll Truk 10 2.5 15 15 15 7 263 263 263 4 Dump Truk sewa 8 2 24 18 18 2.5 120 90 90 5 Typer Truk PD Pasar 6 1.5 3 3 3 2 9 9 9 6 Compactor Truk sewa 16 4 5 28 30 2 40 224 240 Total 52 13 130 147 154 21.5 699 853 884 Sumber : DKKM, 2003-Keterangan : Faktor konversi 1 ton = 4 m 3

2.3.4. Aspek Sosial

Peranan masyarakat kota Medan dalam membantu pengelolaan SP tentunya mutlak diperlukan. Masyarakat kota Medan memang memberikan penilaian yang kurang baik terhadap kinerja DDKM dalam menjaga kebersihan kota Medan, hanya sayangnya ternyata tingkat kesadaran masyarakat kota Medan untuk menjaga kebersihan juga masih kurang. Hal ini dapat dilihat bahwa 64.8 masyarakat kota Medan kurang aktif berperan serta dalam menjaga lingkungan sekitar mereka Rahman, 2004. Perananan SI dalam menciptakan tenaga kerja ternyata tidak dapat dianggap sebelah mata. Hasil studi terdahulu memperlihatkan bahwa untuk mengelola sampah organik yang nilainya masih 150.5 kali dari jumlah total SP kota Medan, SI mampu menyerap lapangan kerja sebanyak 1350 orang Rahman, 2004.

2.3.5. Aspek Kelembagaan

Untuk melaksanakan SPSP kota Medan, PKM membentuk DKKM. Dalam memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat Kota Medan DKKM didukung oleh sumber daya manusia SDM sebanyak 1802 orang yang terdiri atas 23 orang pejabat struktural, 223 orang tenaga administrasi Universitas Sumatera Utara serta 1556 orang petugas lapangan. Selain itu juga DDKM diperlengkapi dengan armada truk pengangkut sampah yang berupa ; 7 unit truk tinja, 2 unit buldozer, 3 unit whelloader, 2 unit bobcat, 10 unit pickup, 1 unit truk servis serta 107 unit bak kontainer sampah yang berfungsi sebagai TPS. Gambaran lengkap tentang jumlah sarana dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota Medan disajikan pada Tabel 2.10 . Tabel 2.10. Sarana dan Sumber Daya Manusia yang dimiliki Dinas Kebersihan hingga tahun 2004 No. Sarana dan SDM Jumlah Kendaraan unit 1 Typer Truck 85 2 Arm Roll Truck 3 3 Arm Roll Truck 15 4 Dump Truk sewa 18 5 Typer Truk PD Pasar 3 6 Compactor Truk sewa 30 7 Truk Tinja 7 8 Bulldozer 2 8 Whell Loader 3 9 Bobcat 2 10 Pick-up 10 11 Truk servis 1 12 Kontainer sampah TPS 107 Total 188 Sumber Daya Manusia orang 1 Pejabat struktural 23 2 Tenaga Administrasi 233 3 Petugas Lapangan 1556 Total 1802 Sumber : DKKM, 2003 dalam Rahman, 2004

2.3.6. Aspek Kebijakan

Mengacu pada kebijakan Nasional Pembangunan Bidang Persampahan yang telah disepakati dalam Lokakarya Nasional Peringatan Hari Habitat Dunia, 3 Oktober 2005, ada beberapa kebijakan yang berkaitan dengan paradigma yang menyatakan sampah sebagai sumber daya. Adapun kebijakan tersebut terdiri atas : Setyaningrum, 2006 Universitas Sumatera Utara 1. Kebijakan Pertama, Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan dengan mengedepankan reduksi sampah semaksimal mungkin dari sumbernya dan peningkatan cakupan pelayanan serta perbaikan kualitas pelayanan.

2. Kebijakan kedua, Memisahkan dan memperkuat fungsi regulator dan operator

untuk meningkatkan kinerja kelembagaan penyelenggaraan pengelolaan sampah melalui pembenahan dan perkuatan beberapa aspek penting yaitu aspek hukum, lembaga pengelola di daerah, serta peningkatan kualitas SDM.

3. Kebijakan Ketiga, Meningkatkan kapasitas pembiayaan untuk

menjamin pelayanan dengan pemulihan biaya secara bertahap untuk pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana persampahan, melalui bantuan teknis, sosialisasikonsultasi guna mendapatkan komitmen daerah, penerapan tarif persampahan secara cost recovery dengan mengurangi subsidi secara bertahap, serta menerapkan pola insentif bagi masyarakat dan swasta yang berhasil mengurangi volume sampah secara mandiri. 4. Kebijakan Keempat, Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan pengelolaan persampahan melalui pendidikan dan kampanye nasional gerakan reduksi sampah serta mendorong pengembangan kemitraan pengelolaan sampah skala kota dan regional. 5. Kebijakan Kelima, Perkuatan dan penerapan hukum dalam pengelolaan sampah melalui penegakan hukum dan review, evaluasi serta penyusunan produk hukum di bidang persampahan.

6. Kebijakan Energi, Mengacu pada action plan pembangunan

berkelanjutan di Indonesia, kebijakan energi yang ada cukup mendukung untuk mendorong upaya penggunaan enargi terbarukan. Secara keseluruhan kebijakan energi meliputi : • Mengurangi subsidi energi secara bertahap. • Mempromosikan penggunaan energi terbarukan. Universitas Sumatera Utara • Mendorong penerapan penggunaan energi secara efisien. • Mendukung teknologi konsumsi bersih dan efisien dibidang industri dan perdagangan. • Restrukturisasi harga untuk berbagai jenis energi DKKM sebagai unsur pelaksana PKM dalam mengelola kebersihan kota Medan memiliki visi “Terwujudnya Medan Besih yang Berwawasan Lingkungan”. dan memberikan pelayanan sampah yang meliputi kegiatan : 1. Membersihkan sampah di jalan umum. 2. Mengumpulkan timbulan sampah dari sumbernya ke Tempat Pembuangan Sementara TPS. 3. Menyediakan Tempat Pembuangan Sementara TPS untuk pelayanan umum. 4. Mengangkut sampah dari Tempat Pembuangan Sementara TPS ke Tempat Pembuangan Akhir TPA. 5. Menyediakan Tempat Pembuangan Akhir untuk pemusnahan sampah. 6. Melakukan penyedotan, pengangkutan limbah tinja manusia dari septictank ke Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja IPLT DKKM, 2003. Dari penjabaran visi tersebut maka misi dari Dinas Kebersihan Kota Medan dirumuskan sebagai berikut : 1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur, guna membentuk aparatur Dinas Kebersihan yang berdedikasi tinggi dan profesional dalam pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan sarana dan prasarana kebersihan yang berteknologi, berdaya guna dan berhasil guna dalam penyapuan, pengumpulan, pewadahan, pengangkutan dan pemusnahan sampah serta pengolahan pemanfaatan sampah menjadi bernilai ekonomis guna meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kebersihan kota yang berwawasan lingkungan. Universitas Sumatera Utara 3. Meningkatkan pendapatan asli daerah PAD dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk membayar retribusi pelayanan kebersihan guna meningkatkan kualitas pelayanan kebersihan Dinas Kebersihan,2002. Untuk melaksanakan visi dan misi tersebut maka dibuatlah kebijakan dalam bentuk peraturan-perturan yang mengatur hak dan kewajiban bagi setiap stakeholder terkait dalam SPSP kota Medan. Peraturan tersebut diantaranya adalah : DKKM, 2003 1. Peraturan Daerah Kota Medan No 4 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah di Lingkungan Kota Medan. 2. Peraturan Daerah Kota Medan No. 8 tahun 2002 tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan yang sekaligus mencabut SK. Walikotamadya KDH Tingkat II Medan No. 9703011993 tanggal 30 Desember 1993 tentang Tarip Pelayanan Kebersihan PKM, 2002. 3. Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 24 tahun 2001 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Medan. 4. Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2002 tentang Tugas dan Fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan. 5. Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 5391306K2002 tanggal 1 Juli 2002 tentang Pembekuan Pelayanan Umum Kebersihan Kota Medan oleh PD Kebersihan, yang sepenuhnya dialihkan menjadi tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota Medan. Aturan yang dibuat oleh PKM ini tentunya mengacu kepada berbagai aturan lain yang berlaku di negara kesatuan Republik Indonesia NKRI ini. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya : 1. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Universitas Sumatera Utara 2. Undang-Undang Nomor 4 tabun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. 3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian. 4. Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun. 5. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan: • Pasal 6 butir c : Pembangunan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan kelestarian budaya dan mutu kualitas lingkungan 6. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman 7. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan 8. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang • Pasal 1 ayat 2: Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. • Pasal 3 ayat 3 butir d dan e: Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk: 1. mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah sertamenanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. 2. mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. • Pasal 5 ayat 1: Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang. • Pasal 14 ayat 1 butir b: Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang . 9. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah • Pasal 3 tentang Asas Pengelolaan Sampah: Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Universitas Sumatera Utara • Pasal 6 tentang Tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah: Tugas Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas: a. menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah; b. melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan sampah; c. memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah; d. melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah; e. mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah; f. memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan g. melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah. • Pasal 19 tentang Penyelenggaraan Pegelolaan Sampah : Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas: a. pengurangan sampah; dan b. penanganan sampah. • Pasal 20 tentang Pengurangan Sampah : 1. Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi kegiatan: a. pembatasan timbulan sampah; b. pendauran ulang sampah; danatau c. pemanfaatan kembali sampah. Universitas Sumatera Utara 2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sebagai berikut: a. menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu; b. memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan; c. memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan; d. memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; dan e. memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang. 3. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, danatau mudah diurai oleh proses alam. 4. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, danatau mudah diurai oleh proses alam. • Pasal 44 tentang Ketentuan Peralihan: 1. Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 satu tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini. 2. Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 lima tahun terhitung sejak berlakunya Undang- Undang ini. 10. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. • Pasal 1 ayat 1: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia Universitas Sumatera Utara dan perilakunya, yang mempengaruhi kelang sungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. • Pasal 1 ayat 2: Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. • Pasal 1 ayat 3: Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. • Pasal 1 ayat 8: Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi danatau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. • Pasal 1 ayat 14: Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. • Pasal 1 ayat 19: Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. • Pasal 1 ayat 20: Limbah adalah sisa suatu usaha danatau kegiatan • Pasal 20 ayat 1: Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup • Pasal 20 ayat 2: Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia. Universitas Sumatera Utara • Pasal 20 ayat 4 : Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat 1 hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri. Dengan diberlakukannya Otonomi Pemerintahan Daerah maka tentunya akan ada peraturan yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan SPSP diantaranya adalah Undang-undang nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah : RI, 2004a 1. Pasal 13 ayat 1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi meliputi : a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupatenkota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupatenkota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengahtermasuk lintas kabupatenkota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupatenkota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 2. Pasal 14 ayat 1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupatenkota merupakan urusan yang berskala kabupatenkota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; l. pelayanan administrasi umum Universitas Sumatera Utara pemerintahan; m. pelayanan administrasi penanaman modal; n. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 17 ayat 1. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 4 dan ayat 5 meliputi: a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. 4. Pasal 22. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan; e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; h. mengembangkan sistem jaminan sosial; i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah; k. melestarikan lingkungan hidup; l. mengelola administrasi kependudukan; m. melestarikan nilai sosial budaya; n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk meyeragamkan pengelolaan persampahan maka Departemen Pekerjaan Umum dan Badan Standarisasi Nasional BSN membuat standar yang berhubungan dengan pengelolaan persampahan yaitu: 1. SK-SNI. S-04-1991-03, tentang Spesifikasi Timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang di Indonesia. Standar ini mengatur tentang Universitas Sumatera Utara Jenis sumber sampah, besaran timbulan sampah berdasarkan komponen sumber sampah serta besaran timbulan sampah berdasarkan klasifikasi kota. 2. SNI 19-2454-1991, tentang Tata cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan Standar ini mengatur tentang Persyaratan Teknis yang meliputi: a. Teknik operasional; b. Daerah pelayanan; c. Tingkat pelayanan ; d. Pewadahan sampah ; e. Pengumpulan sampah ; f. Pemindahan sampah ; g. Pengangkutan sampah ; h. Pengolahan ; i. Pembuangan akhir Kriteria penentuan kualitas operasional pelayanan adalah: 1 Penggunaan jenis peralatan ; 2 Sampah terisolasi dari lingkungan ; 3 Frekuensi pelayanan ; 4 Frekuensi penyapuan ; 5 Estetika ; 6 Tipe kota ; 7 Variasi daerah pelayanan ; 9 Pendapatan dari retribusi ; 10 Timbulan sampah musiman. 3. SNI 03-3241-1994, tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Standar ini mengatur tentaang ketentuan pemilihan lokasi TPA, kriteria pemilihan lokasi yang meliputi kriteria regional dan kriteria penyisih. 4. SNI 19-3964-1994, tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Standar ini mengatur tentang tata cara pengambilan dan pengukuran contoh timbulan sampah yang meliputi Lokasi, cara pengambilan, jumlah contoh, frekuensi pengambilan serta pengukuran dan perhitungan.

2.4. Studi Model Pengelolaan Sampah Perkotaan Yang Pernah Dilakukan

Sebagian besar model pengelolaan sampah yang telah dikembangkan selalu melibatkan aspek ekonomi dan aspek lingkungan dan aspek sosial. Morrissey dan Browne 2004 dalam Luoranen 2009 mengkategorikan model pengelolaan sampah ke dalam tiga kategori : 1 Cost Benefit Universitas Sumatera Utara Analysis CBA; 2 Life Cycle Analysis LCA; 3 · Multi-Criteria technique MC. Finnveden et al. 2007 menjabarkan sederetan metode dan pendekatan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah seperti : 1 Environmental Impact Assessment procedural method; 2 Strategic Environmental Assessment procedural method; 3 Cost-effectiveness Analysis analytical method; 4 Life-cycle Costing analytical method; 5 Risk Assessment; 6 Material Flow Accounting; 7 Substance Flow Analysis; 8 Energy Analysis; 9 Energy Analysis; 10 Entropy Analysis; 11 Environmental Management Systems procedural method; 12 Environmental Auditing. McDougall et al. 2001 telah mengembangkan model IWM-II, yang berbasis pada prinsip Integrated Waste Management IWM. Pada model ini variabel energi recovery dari SP telah tercakup di sistem. Dengan menerapkan pendekatan secara holistic yang dimulai dari proses sumber timbulan sampah, pengumpulan, penanganan dan pembuangan, seluruhnya dioptimasi agar memberikan dampak positif terhadap lingkungan, ekonomi serta di terima masyarakat. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa suatu SPS baru dapat dikatakan berkelanjutan jika sistem tersebut : 1 berwawasan lingkungan; 2 terjangkau secara ekonomis; 3 diterima masyarakat. Tabel 2.11 menjabarkan studi tentang pengelolaan sampah perkotaan yang pernah dilakukan Tabel 2.11. Studi Yang Berkaitan Dengan Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan No. Referensi Model - Metode Keterangan 1 Abeliotis et al. 2009 ReFlow : Model yang dikembangkan pada MATLAB, menerapkan skenario unit pricing pendauran ulang yang berbasis pada derajat ekspansi serta skema pengumpulan sampah di Yunani. Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 2 Abou Najm El-Fadel 2004 Program linier spreadsheet untuk mengoptimasi biaya pengelolaan sampah 3 Al-Salem et al. 2009 LCA dari status SPSP di Kuwait 4 Asiedu 2001 Sistem dinamis : SPSP berkelanjutan terhadap fasilitas lingkungan perkotaan - subsistem terdiri atas populasi dan ekonomi, 5 Badran El-Haggar 2006 MPL V.4.2 Software Memodelkan bilangan bulat campuran untuk pengelolaan sampah di Port Said, Mesir. Analisis biaya dan laba. 6 Barata 2002 SPSP di Portugal : satu model input- output lingkungan Portugal ; analisis interdependesi antara kegiatan ekonomi dan jumlah sampah yang dihasilkan 7 Bartelings 2003 General Eqilibrium Analysis : masalah sampah perkotaan yang berkaitan dengan penetapan unit pricing 8 Beigl Salhofer 2004 LCA :menggunakan skenario dan perbandingan biaya dari berbagai alternatif pengelolaan sampah. Analisis alternatif daur ulang bagi sampah rumah tangga. 9 Beigl et al. 2004a LCA : hubungan kuantitas dan kualitas lingkungan yang relevan dengan output aktivitas manusia dan karakteristik regional untuk perencanaan pembangunan berkelanjutan. Membutuh data berkala selama 32 tahun dari 55 kota di Eropa dan di 32 negara. Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 10 Berglund 2003 Studi tentang efesisensi ekonomi pengelolaan sampah 11 Bovea Powell 2006 LCA : menggunakan skenario untuk mengoptimasi alternatif pengelolaan sampah rumah tangga 12 Budiartha et al. 2000 Simulasi perdagangan Carbon dari SPSP di Malaysia 13 Cali et al. 2007 Studi analisisi Landfill Gas-El Navarro Landfill 14 Calvo et al. 2007 Penggunaan indeks lingkungan untuk menentukan dampak lingkungan TPA di Chile 15 Chang Chang 1998 Mengintegrasikan gagasan untuk prinsip penghematan biaya, energi dan persyaratan materi pemulihan di kawasan metropolitan Taipei Taiwan 16 Clarissa 2007 Dampak Incenarator terhadap Global Warming 17 Dahbo et al. 2007 LCIA, SLCC Analisis komparasi pengelolaan sampah media cetak di Finlandia. Penelitian menyatukan LCA dengan analisis ekonomi siklus hidup sosial SLCC. 18 Daskalopoulos et al. 1998 Model komputer untuk pengelolaan SP. Model yang dihasilkan terarah pada aspek ekonomis. 19 Diaz Warith 2006 WASTED Menggunakan software untuk mengevaluasi Dampak lingkungan dari SP. DSS untuk mengambil kebijakan 20 Döberl et al. 2002 CBA : analisis dampak jangka panjang dari SP sampah di Austria. Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 21 Donald 2001 Studi tentang potensi pendidikan untuk meningkatkan SPS di Vietnam: Hanoi 22 Dornburg et al. 2006 Menggunakan software untuk mengoptimasi biomasa dari pengelolaan sampah. Hasil analisis berupa data yang berkaitan dengan energi yang diperoleh dari sampah . 23 Dubois et al. 2004 SPSP di EU 24 EPIC 2000 Analisis biaya dan Analisis Lingkungan SPSP 25 Eriksson et al. 2002 ORWARE model komputer yang menghitung aliran substansi, dampak lingkungan, dan biaya pengelolaan sampah. 26 Eriksson et al. 2005 ORWARE Analisis komparasi dari 4 kota dalam mengelola SP yang meliputi energi, dampak lingkungan dan biaya lingkungan. 27 Harding 2002 Studi SPSP untuk Hawai`i 28 ERC -Eunomia Research Consulting 2000 Analisis Ekonomi untuk mengelola sampah SP yang Biodegradable 29 GBB 2008 Kajian Teknologi Pengolaan SP 30 Gendebien et al. 2003 Studi prospek bahan bakar yang berasal dari sampah RDF 31 GET 2003 Kajian teknologi pengelolaan hijau SP– MBT alternative lain dari Incinerator 32 Godley et al. 2004 Kajian SP yang biogradable Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 33 Grobbin 2004 Kajian teknologi alternatif baru untuk pengelolaan Sampah 34 Horng et al. 2004 STELLA Sistem dinamis : emisi GRK dari SPSP di Taiwan 35 Huang, et al. 2001 Model stokastik interval fuzzy yang dapat digunakan oleh pemerintah kota untuk pengelolaan sampah. Meminimalisasi biaya sistem dalam rentang perencanaan. 36 Hudson et al. 1985 Studi alternatif biaya TPA 37 Kirkeby et al. 2006 EASEWASE LCA : mengevaluasi keseluruhan konsumsi dan dampak lingkungan dari SPSP di Aarhus : Denmark. 38 Korhonen et al. 2004 Sebuah penelitian yang mengembangkan indikator untuk menganalisis skenario manajemen pengelolaan sampah pada industri ekologi IE. 39 Kum et al. 2004 Vensim Sistem dinamis : untuk perencanaan keuanganan SPSP di Phnom Penh 40 Lapp et al. 2007 studi pemodelan pengelolaan sampah yang berkaitan Iklim dan ekonomi 41 Liamsanguan et al 2004 LCA : menggunakan dua metoda SPSP di Phuket, landfilling tanpa pemulihan energi dan incenerator dengan pemulihan energi, 42 Luoranen 2009 Kajian SPSP berkelanjutan menggunakan SISMan Simple Integrated sistem Management-aliran massa, energi dan finansial serta MEFLO Mass, Energy, Financial, Legislation Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 43 Mahar et al 2008 Kajian Pratreatment Biologi pada di TPA 44 Marchettini et al. 2007 Evaluasi pengumpulan penanganan dan pilihan pembuangan SPmelalui dua Indikator : perbandingan hasil lingkungan EYR dan Net energy. 45 Mclanaghan 2002 Kajian peranan teknologi pengelolaan sampah menyambut Landfill Directive di EU 46 Minciardi et al. 2007 Program Nonlinear, model pengambilan-keputusan multi-objektif pengelolaan SP, mencakup minimalisasi empat objektif yang berhubungan dengan biaya ekonomi, sampah yang tidak didaur ulang unrecycled pembuangan pada sanitary landfill serta emisi insenerator. 47 Miranda et al. 1996 Studi litertaur Unit Pricing SPSP 48 Mohit 2000 Partisipasi masyarakat dalam SPSP di kota kalabagan : Dhaka- Bangladesh 49 Mull 2005 Sistem dinamis : SPSP yang berkelanjutan di kota Sahakaranagar 50 Nie et al. 2004 Studi Model Analisis Biaya Optimal dan penerapannya pada SPSP dikota kecil : Cina 51 Ostrem 2004 Studi teknologi AD untuk megolah SP organik 52 Özeler et al. 2006 LCA :Pengembangan dan perbandingan alternatif pengelolaan SPdi kota Ankara. Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 53 Pacey et al. 2003 Bioreactor landfill - satu inovasi teknogi PS 54 Pongrácz 2002 Studi konseptual tentang pengelolaan sampah yang melibatkan teori-teori tentang pengelolaan sampah 55 Prawiradinata 2004 GAMS Model SPSP yang terintegrasi: Kasus distrik ohio pusat-penetapan unit pricing 56 Rahman, et al. 2009 PowerSims Studi teknologi Pengelolaan Sampah Optimum 57 Ramachandra et al. 2003 Studi evaluasi penerapan ISWM pengelolaan sampah yang berkelanjutan di Bangalore, India. 58 Rathi 2007 Model ekonometrik SPSP di Mumbai : India. 59 RBC 2004 Studi kelayakan Anaerobic Digestion 60 Reghunandan 2004 Studi kebijakan SPSP melaui transfer teknologi di Kerala 61 Reich 2005 ORWARE Kajian ekonomi pengelolaan SP, berisiunsur penetapan biaya siklus hidup LCC dan LCA. 62 Rendek et al. 2006 Studi penyerapan CO 2 63 dari aktifitas Incenerator pada pengolahan SP RISE-AT 1998 Evaluasi status AD untuk pengelolaan SP 64 Rodríguez et al. 2003 IWM-1 LCA : based Integrated Waste Management IWM-1 model untuk meramalkan keseluruhan beban lingkungan dan dampak ekonomis SPSP. Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 65 Sahlin et al. 2002 HEATSPOT Studi dampak insenerasi di Swedia. 66 Sheehan 2009 LCA : siklus emisi GRK dengan peningkatan penggunaan Biofuel 67 Shi et al. 2009 Studi tentang potensi Biofuel SP 68 Sliwa 2006 STELLA Sistem Dinamis : Pengelolaan sampah di Puebla : Meksiko - potensi daur ulang yang dikaitkan dengan nilai ekonomi dan beban TP 69 Solano et al. 2002 LCA : mengintegrasikan model SPSP untuk proses identifikasi alternatif strategi SPSP yang berkaitan dengan biaya, energi, dan emisi lingkungan. 70 Stave 2008 Simulasi dinamis : Zero Waste 2030 - keterlibatan stakeholder di Los Angeles dalam perencanaan SPSP yang berkaitan dengan ketahanan produk, sampah dari produk, daur ulang produk, tingkat daur ulang produk, konsumsi, laju diversi konsumen, diversi kapasitas pemrosesan, kapasitas pembuangan alternatif dan 6 luaran simulasi : sampah di TPA, materi yang dikonversikan, GRK relatif, biaya relatif, dan usaha relatif. 71 Stypka 2004 Studi tentang penerapan SPSP sebagai alat untuk mendukung pembangunan berkelanjutan ; berkaitan dengan ekonomi, energi dan landfill. Universitas Sumatera Utara No. Referensi Model - Metode Keterangan 72 Sufian et al 2006 STELLA Sistem dinamis : Pemodelan sistem SPSP : di Kota Dhaka. model terdiri dari dua sektor : sumber timbulan sampah dan SPS. 73 Sumiani et al. 2009 LCA-Strategi pengelolaan lingkungan utk TPA disertai studi GIS 74 Tanskanen 2000a,2000b HMA Model Helsinki Metropolitan area HMA penelitian sistem koleksi sampah yang dipisahkan dari sumber dan proses recovery 75 Vego et al. 2007 PROMETHEE, GAIA Studi efisiensi pengelolaan SPdi empat provinsi yang mencakup aspek Ekologis, ekonomi, sosial dan fungsional. 76 Venkat 2005 Vensim Sistem dinamis : model daur ulang 77 Wager et al. 2002 Studi tentang peranan simulasi DSS bagi pengelolaan sampah 78 Weidemeier 2005 Studi MBT untuk mengolah SP yang dapat mengurangi limbah di TPA 79 Wellinger 2005 Studi tentang produks dan penggunaan Biogas 80 Wilson 2002a, 2002b LCI Live Cycle Inventory model untuk mengevaluasi beban lingkungan yang disebabkan oleh SPSP. 81 Ylijoki et al. 2005 Studi SP yang Biodegradabe 82 Amurwaraharja 2001 AHP + PowerSIM Pemilihan Teknologi Pengelolaan Sampah Incenerator, Sanitary Landfiil, Pengomposan secara AHP dan simulasi Willingness to Pay WTP Sumber : Kompilasi Daftar Pustaka Universitas Sumatera Utara Berbagai studi, pemodelan dan software telah dikembangkan untuk mengkaji SPSP seperti yang disajikan pada Tabel 2.11. Hasil dan interpretasi sebuah model akan sangat tergantung kepada batasan, asumsi serta data yang digunakan dalam perhitungan. Selain itu dibutuhkan juga tingkat pemahaman yang komprehensif terhadap seluruh proses yang akan dimodelkan, karena software pada dasarnya hanya digunakan untuk menghitung hasil yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Untuk dapat melihat skala prioritas pengambilan keputusan dari beberapa alternatif teknologi pengelolaan sampah perkotaan yang melibatkan berbagai aspek pengelolaan sampah perkotaan yang akan disimulasi dengan pendekatan sistem dinamis dapat dilakukan dengan metode Analytic Network Process ANP.