Schübeler et al., 1996 ; EPIC,2000 ; JICA, 2003 ; Stypka, 2004 ; Nie et al., 2004 ; Prawiradinata, 2004 ; EHC, 2005 ; EMTS, 2005 dapat disarikan
menjadi :
2.2.1. Aspek Lingkungan
a. Lingkungan Lokal
Aspek lingkungan yang perlu diperhatikan dari SPSP dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yang terdiri atas : 1 lingkungan lokal dan
2 lingkungan global.
1. Jika SP perkotaan tidak ditata dengan suatu SPSP yang baik maka
dapat menyebabkan gangguan seperti JICA, 2003 : Gangguan kesehatan misalnya:
Kumpulan sampah dapat menjadi tempat pembiakan lalat, dan lalat ini mendorong penularan infeksi
2. Sampah tersebut dapat menimbulkan penyakit yang terkait dengan tikus,
seperti pes, leptospirosis, salmonelosis, tikus endemic, demam gigitan tikus, dan beberapa infeksi arboviral. Pada kejadian pasca banjir di
Jakarta tahun 2002, jumlah kasus leptospirosis tercatat meningkat akibat tertimbunnya sampah di beberapa wilayah di Jakarta.
3. Penanganan sampah yang tidak baik dapat menyebabkan timbunan
sampah yang dapat menjadi sumber kebakaran dan bahaya kesehatan yang serius bagi anak-anak yang bermain di dekatnya,
4. Dapat menutup saluran air sehingga meningkatkan masalah-masalah
kesehatan yang berkaitan dengan banjir dan tanah-tanah yang tergenang air.
5. Sebanyak 20 sampah yang dihasilkan dibuang ke badan air secara
sembarangan dapat menyumbang sekitar 60 - 70 pencemaran sungai.
Disebabkan hampir semua TPA di Indonesia tidak ada yang tidak beroperasi secara Open Dumping Wibowo dan Djajawinata, 2004,
Universitas Sumatera Utara
akibatnya dapat terjadi : pencemaran tanah, air, dan udara; kesehatan masyarakat bahkan bencana yang dapat menimbulkan korban jiwa.
Tabel 2.4. Perkiraan Timbulan Sampah Gigagram 2000-2007 Kementerian Negara Lingkungan Hidup KNLH, 2008 merealese
hasil perkiraan total sampah yang dihasilkan oleh seluruh provinsi di Indonesia. Total timbulan sampah dari seluruh provinsi di Indonesia secara
lengkap disajikan pada Tabel 2.4. berikut.
Sumber KNLH, 2008
b. Lingkungan Global
No. Provinsi
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
1 NAD 1,10
1,11 1,11
1,12 1,13
1,13 1,14
1,14 2
Sumatera Utara 3,26
3,31 3,35
3,40 3,44
3,49 3,53
3,57 3
Sumatera Barat 1,19
1,20 1,21
1,22 1,22
1,23 1,24
1,25 4
Riau 1,39
1,45 1,51
1,58 1,64
1,71 1,78
1,86 5
Jambi 0,67
0,69 0,70
0,72 0,73
0,74 0,76
0,77 6
Sumatera Selatan 1,74
1,77 1,80
1,83 1,86
1,89 1,92
1,95 7
Bengkulu 0,41
0,42 0,43
0,43 0,44
0,45 0,46
0,47 8
Lampung 1,88
1,92 1,95
1,98 2,01
2,04 2,07
2,10 9
Bangka Belitung 0,25
0,26 0,26
0,26 0,27
0,27 0,28
0,28 10 DKI Jakarta
2,34 2,36
2,38 2,40
2,42 2,44
2,45 2,47
11 Jawa Barat 10,00 10,19 10,37 10,56 10,75 10,94 11,13 11,32
12 Jawa Tengah 8,74
8,78 8,82
8,86 8,89
8,93 8,96
8,99 13 DI Yogyakarta
0,87 0,88
0,89 0,90
0,91 0,92
0,93 0,94
14 Jawa Timur 9,73
9,78 9,82
9,87 9,91
9,95 9,99
10,04 15 Banten
2,27 2,33
2,40 2,47
2,54 2,61
2,68 2,75
16 Bali 0,88
0,90 0,91
0,92 0,93
0,95 0,96
0,97 17 NTB
1,12 1,14
1,16 1,18
1,20 1,22
1,24 1,26
18 NTT 1,07
1,09 1,10
1,12 1,14
1,16 1,17
1,19 19 Kalimantan Barat
1,12 1,15
1,17 1,19
1,21 1,23
1,25 1,27
20 Kalimantan Tengah 0,52
0,54 0,55
0,57 0,58
0,60 0,62
0,63 21 Kalimantan Selatan
0,84 0,85
0,86 0,88
0,89 0,91
0,92 0,94
22 Kalimantan Timur 0,69
0,71 0,73
0,75 0,77
0,79 0,81
0,83 23 Sulawesi Utara
0,56 0,57
0,58 0,58
0,59 0,60
0,61 0,62
24 Sulawesi Tengah 0,61
0,62 0,63
0,65 0,66
0,67 0,69
0,70 25 Sulawesi Selatan
2,25 2,28
2,31 2,33
2,36 2,38
2,41 2,44
26 Sulawesi Tenggara 0,51
0,52 0,54
0,55 0,57
0,58 0,60
0,61 27 Gorontalo
0,23 0,24
0,24 0,24
0,24 0,24
0,25 0,25
28 Maluku 0,33
0,33 0,34
0,34 0,35
0,35 0,36
0,36 29 Maluku Utara
0,23 0,23
0,24 0,24
0,25 0,25
0,25 0,26
30 Papua 0,62
0,64 0,65
0,67 0,69
0,71 0,72
0,74
57,44 58,22 59,01 59,79 60,59 61,38 62,17 62,97 Indonesia
Setiap produk yang dikonsumsi oleh penduduk bumi yang menghasilkan sampah perkotaan memberikan kontribusi terhadap GRK
USEPA,2002a. Berdasarkan life cycle assesment yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
USEPA diketahui bahwa setiap tahapan produksi untuk menghasilkan suatu produk yang dimulai dari : 1 Ekstraksi dan pemerosesan bahan mentah; 2
proses produksi; 3 transportasi dan distribusi; 4 konsumsi dan 5 pembuangan - akan berdampak terhadap GRK. Oleh sebab itu manajemen
pengelolaan “limbah“ yang baik akan berdampak terhadap pengurangan GRK.
Aktifitas produksi yang berdampak terhadap GRK diantaranya USEPA, 2002a; 2003; 2006 : 1 Konsumi bahan bakar fosil pada setiap
tahapan proses produksi; 2 Emisi CO
2
yang dihasilkan oleh proses produksi; 3 Gas CH
4
yang diemisikan oleh TPA; 4 Penebangan pohon. Temuan USEPA tersebut memberikan gambaran bahwa ternyata
sampah perkotaan turut memberikan kontribusi terhadap GRK. Ironisnya lagi Gas Methane CH4 yang dihasilkan oleh sampah memiliki kekuatan
hingga 21 kali lipat jika diekivalenkan dengan Gas CO
2
Gitonga, 2005; USEPA, 2003; 2003a; 2006; . Fenomena GRK Gupta et al., 2007 yang
saat ini telah menjadi perhatian dunia bermula dari lahirnya Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi kerangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim UNFCCC yang dilaksanakan di Jepang pada tanggal 11 Desember 1997.
Konvensi ini melahirkan sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini
berkomitmen untuk mengurangi emisipengeluaran karbondioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika
mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan. Protokol
Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.
KNLH 2008 juga merealease perkiraan emisi CH
4
pada seluruh provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2000 hingga 2007 seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5. Perkiraan Emisi CH4 Gigagram tahun 2000 - 2007
Sumber : KNLH, 2008
Meskipun persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005, pada
tanggal 28 Juli 2004, negara Indonesia menerbitkan UU No 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Protokol Kyoto RI,2004 namun hingga tahun 2009
sudah 183 negara telah menandatangani dan meratifikasi protokol termasuk Indonesia, bahkan Amerika Serikat yang bukan non-anggota Protokol juga
telah ikut menandatangani UNFCCC United Nation Framework Convention on Climate Change. Emisi CH4 dari Indonesia sendiri
diperkirakan mencapai 410 Gg pada 2007, lebih tinggi dari tahun 2006 yang berjumlah 405.69 Gg. Emisi CH4 yang dihasilkan dari proses
pengomposan sampah diperkirakan mencapai 63 Gg pada tahun 2007 KNLH,2008.
No. Provinsi
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
1 NAD 7,18
7,22 7,26
7,30 7,34
7,38 7,41
7,44 2
Sumatera Utara 21,27 21,57 21,87 22,16 22,46 22,75 23,03 23,31
3 Sumatera Barat
7,76 7,82
7,88 7,93
7,99 8,04
8,09 8,14
4 Riau
9,04 9,45
9,86 10,28 10,71 11,16 11,64 12,13
5 Jambi
4,40 4,49
4,58 4,67
4,76 4,85
4,95 5,04
6 Sumatera Selatan
11,35 11,54 11,75 11,95 12,14 12,34 12,55 12,75 7
Bengkulu 2,66
2,72 2,78
2,84 2,90
2,95 3,01
3,08 8
Lampung 12,30 12,50 12,71 12,91 13,12 13,32 13,52 13,72
9 Bangka Belitung
1,64 1,67
1,70 1,72
1,75 1,77
1,80 1,83
10 DKI Jakarta 15,28 15,40 15,52 15,65 15,78 15,89 16,00 16,10
11 Jawa Barat 65,27 66,47 67,68 68,90 70,13 71,37 72,62 73,89
12 Jawa Tengah 57,04 57,30 57,54 57,79 58,03 58,26 58,47 58,68
13 DI Yogyakarta 5,70
5,76 5,82
5,87 5,94
5,99 6,05
6,11 14 Jawa Timur
63,52 63,81 64,10 64,38 64,67 64,95 65,21 65,49 15 Banten
14,80 15,22 15,66 16,10 16,54 17,01 17,49 17,97 16 Bali
5,76 5,84
5,92 6,01
6,09 6,17
6,25 6,33
17 NTB 7,32
7,45 7,58
7,70 7,83
7,96 8,08
8,21 18 NTT
6,98 7,10
7,21 7,32
7,43 7,54
7,65 7,75
19 Kalimantan Barat 7,34
7,47 7,61
7,75 7,89
8,03 8,17
8,30 20 Kalimantan Tengah
3,39 3,49
3,59 3,70
3,80 3,91
4,01 4,12
21 Kalimantan Selatan 5,45
5,54 5,64
5,73 5,83
5,92 6,01
6,11 22 Kalimantan Timur
4,48 4,61
4,74 4,87
5,00 5,14
5,27 5,41
23 Sulawesi Utara 3,66
3,71 3,76
3,81 3,86
3,91 3,96
4,01 24 Sulawesi Tengah
3,98 4,06
4,14 4,22
4,31 4,39
4,48 4,56
25 Sulawesi Selatan 14,71 14,88 15,04 15,21 15,39 15,52 15,73 15,89
26 Sulawesi Tenggara 3,33
3,42 3,52
3,61 3,71
3,81 3,91
4,01 27 Gorontalo
1,52 1,54
1,55 1,57
1,58 1,59
1,61 1,62
28 Maluku 2,13
2,16 2,20
2,24 2,27
2,31 2,35
2,38 29 Maluku Utara
1,49 1,51
1,54 1,57
1,60 1,63
1,65 1,68
30 Papua 4,04
4,16 4,27
4,38 4,49
4,60 4,71
4,82
374,78 379,88 385,02 390,16 395,33 400,49 405,69 410,90 Indonesia
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Aspek Ekonomi
1. Aspek ekonomi pengelolaan sampah perkotaaan sangat berkaitan erat
dengan layanan jasa yang harus diberikan sebagai akibat dari adanya aktivitas ekonomi, efektivitas biaya sistem pengelolaan sampah perkotaan,
dimensi makro-ekonomi dari penggunaan sumber daya dan konservasi serta pendapatan yang diperoleh dari layanan jasa yang diberikan Schubler et al.,
1996. Keterkaitan ini disebabkan karena :
2. Jumlah timbulan sampah serta permintaan layanan pengelolaan yang
terus meningkat serta bersinergi dengan meningkatnya ekonomi.
3. Rendahnya biaya pelayanan yang diberikan akan berdampak kepada
menurunnya kualitas lingkungan. Efektivitas SPSP sangat bergantung pada biaya siklus hidup fasilitas dan
peralatan jangka panjang serta dampak ekonomi terhadap layanan yang diberikan. Oleh karenanya, evaluasi ekonomi merupakan masukan yang
penting untuk perencanaan strategis dan investasi bagi SPSP.
1. Lebih lanjut Schubler et al. 1996 mengelompokkan aspek ekonomi
dari SPSP ke dalam beberapa item seperti yang dijabarkan sebagai berikut: Penganggaran dan sistem akuntansi biaya
2. Penganggaran yang memadai, akuntansi biaya, serta evaluasi keuangan
sangat penting bagi manajemen pengelolaan sampah perkotaan. Di banyak kota, ditemukan bahwa banyak pejabat yang bertanggung jawab
tidak memiliki informasi yang akurat tentang biaya riil dari pengelolaan sampah yang dilaksanakan. Oleh karena itu dan analisis keuangan harus
dilakukan untuk dapat meningkatkan akuntabilitas. Mobilisasi sumber daya sebagai modal investasi
pilihan utama bagi pemerintah daerah untuk pembiayaan dalam mengelola sampah perkotaan biasanya bersumber dari anggaran lokal,
pinjaman dari perantara keuangan dan atau pinjaman atau hibah khusus dari pemerintah pusat. Di beberapa negara, obligasi mungkin bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan. Pilihan lainnya adalah
Universitas Sumatera Utara
melalui sektor swasta, yang semakin tertarik untuk mengelola sampah perkotaan. Di banyak negara, biasanya pemerintah pusat akan terus
menjadi sumber dana utama untuk pengelolaan sampah perkotaan. 3. Biaya operasional
4. Ada tiga pilihan utama untuk yang bisa dilakukan untuk menutupi biaya
operasional SPSP, diantaranya : retribusi, pajak daerah dan transfer antar pemerintah daerah. Langkah yang paling sering ditempuh untuk
menutupi biaya operasi adalah melalui retribusi. Pendapatan retribusi ini biasanya akan masuk ke kas Pemerintah Kota dan cenderung digunakan
kembali untuk menutupi biaya operasional bukan ditujukan untuk mengelola limbah. Hal ini tentunya akan melemahkan akuntabilitas
lembaga pengelola sampah perkotaan. Pengurangan biaya dan kontrol
mekanisme terbaik untuk mengurangi biaya operasional adalah dengan mengadopsi pola “ doing more with less” . Biaya operasional
pengelolaan sampah perkotaan dapat direduksi melalui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan limbah padat lokal. Biasanya hal ini
melibatkan sektor informal, dengan cara ini biaya operasional layanan dapat ditekan sekaligus dapat mengurangi volume limbah yang dibuang
ke TPA.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sampah perkotaan yang efisien dan efektif ditinjau dari aspek ekonomi, sebenarnya
dapat dicapai dengan cara: 1. meningkatkan
2. pengembangan dan produktivitas ekonomi melalui
ketetapan biaya dari jasa pengumpulan sampah yang efisien dan sesuai dengan kemampuan membayar para konsumen.
mewujudkan
3. proses pengelolaan yang berwawasan lingkungan dari
produksi sampah yang dihasilkan. memastikan efektivitas manajemen pengelolaan melalui dengan cara
melakukan analisis biaya dan manfaat
Universitas Sumatera Utara
4. mendorong aktivitas meminimalisasi sampah, konservasi materi, serta
melakukan efisiensi ekonomi dengan cara menerapkan prinsip siapa membuang dia membayar.
Aspek teknis SPSP berkaitan erat dengan perencanaan, pelaksanaan, perawatan, pengumpulan, sistem transfer, pemulihan limbah, pembuangan
akhir serta pengelolaan limbah berbahaya. Untuk mengoptimalkan performance SPSP maka hal yang perlu diperhatikan adalah :
2.2.3. Aspek Teknis
1. Secara teknis fasilitas dan peralatan harus dirancang sesuai dengan karakteristik operasi, kinerja, pemeliharaan sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan diharapkan persyaratan serta mengimbangkan biaya perawatan.
Schublerr et al., 1996
2. Perhatian harus diberikan kepada pencegahan pemeliharaan, perbaikan dan ketersediaan suku cadang.
3. Rancangan fasilitas transfer dan peralatan harus sesuai dengan karakteristik lokal dan kapasitas TPA yang tersedia. Sistem
pengumpulan harus dirancang untuk dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
4. Sektor informal yang mendaur ulang sampah harus didukung dengan mendesain SPSP yang dapat meningkatkan produktivitas sektor tersebut.
Keterlibatan pihak swasta untuk mengelola SP perkotaan juga harus dipertimbangkan.
5. Metode pembuangan akhir di negara-negara berkembang pada umumnya menggunakan TPA. Untuk meminimalisasi dampak
lingkungan maka pemilihan TPA harus dilakukan secara seksama serta didesain untuk dapat beroperasi dengan baik.
6. Sumber bahan limbah berbahaya harus teridentifikasi, terdaftar agar dapat dikelola dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Teknologi Pengelolaan sampah berkembang sejalan dengan perkembangan jenis sampah yang akan dikelola. Beberapa cara pengelolaan
akhir sampah yang dilakukan masyarakat adalah : Naria, 1996; PPS-IPB, 2003
1. Penimbunan : Sampah yang telah dikumpulkan pada penampungan sementara diangkut kesuatu area tempat pembuangan sampah akhir
TPA, kemudian sampah tersebut ditimbun dan diratakan. Penimbunan sampah seperti ini menimbulkan bau busuk, tempat berkembangnya
bibit penyakit, serta dapat mengakibatkan terganggunya kualitas air tanah.
2. Pengomposan : Sampah-sampah organik diolah dengan cara pengomposan. Ada beberapa keuntungan dari sistem pengomposan
antara lain : pupuk yang dihasilkan bersifat ekologistidak merusak lingkungan, masyarakat dapat membuat sendiri, serta tidak memerlukan
peralatan dan instalasi yang mahal. 3. Pembakaran Sampah : Pembakaran sampah dapat dilakukan pada tempat
pembuangan sampah sementara, atau pembakaran dilakukan dengan insenerator. Proses insenerator ini mampu mereduksi limbah hingga
90, meskipun panas yang ditimbulkannya dapat digunakan sebagai sumber energi, namun penggunaannya dapat menimbulkan pencemaran
udara tersendiri. 4. Penghancuran : Sampah yang telah dikumpulkan dipotong-potong
menjadi ukuran kecil-kecil sehingga volumenya bertambah kecil, penghancuran yang demikian akan membantu proses pembusukan.
5. Pemanfaatan Ulang : Sampah-sampah yang telah dikumpulkan dipilih sesuai dengan bahan pembuatnya seperti kertas, kaca, plastik, besi,
karton, aluminium dan dijual untuk dimanfaatkan kembali 6. Dumping : Pengelolaan sampah secara dumping dengan menumpuk
sampah pada suatu area, pengelolaan yang demikian akan menimbulkan penurunan estetika lingkungan. Jenis dumping yang lain dan sering
dilakukan masyarakat dalam mengelola sampah adalah dumping in
Universitas Sumatera Utara
water dimana sampah dibuang ke dalam badan air misalnya sungai, laut, saluran air lainnya Naria, 1996
Untuk menanggulangi sampah perkotaan yang jumlah semakin hari semakin bertambah maka sistem pengolahan sampah yang harus dilakukan
juga semakin kompleks. Oleh karenanya USEPA 2002a, 2003a, 2006 membuat suatu hirarki pengelolaan sampah berwawasan lingkungan yang
digambarkan dalam bentuk piramida Gambar 2.3 .
Gambar 2.3. Piramida Pengelolaan Sampah
Dari piramida tersebut dapat diketahui bahwa untuk mengelolah sampah padat dimulai dari : Pengurangan dari sumber merupakan level
tertinggi A yang diikuti oleh proses pemakaian kembali dan daur ulang. Setelah tahapan tersebut tidak lagi memadai untuk menangani jumlah
timbulan sampah yang ada maka proses selanjutnya yang dapat dilakukan adalah proses Recovery Energy, sisa dari hasil proses ini baru kemudian
dilakukan proses penimbunan landfilling atau pembakaran Beberapa negara yang telah menggunakan teknologi pengelolaan
sampah dengan basis energi recovery diantaranya adalah Setyaningrum, 2006
:
1. Vietnam
Pemanfaatan landfill gas di Vietnam masih terbatas hanya pada proses pengumpulannya saja tetapi belum dimanfaatkan sebagai energi listrik.
Universitas Sumatera Utara
Setelah tahun 2002 Vietnam meratifikasi Kyoto Protocol, studi kelayakan untuk pemanfaatan gas landfill telah dilakukan untuk Khanh
Son on Landfill 17 ha di Da Nang City yang menampung sampah sebanyak 200.000 ton per tahun.
Tujuan dilakukannya pemanfaatan gas ini adalah menstabilkan landfill dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan global
warming. Total emisi gas rumah kaca dalam 10 tahun adalah ekivalen dengan 409.000 ton CO
2
2. Swedia
dimulai tahun 2008. Teknik gas recovery sistem meliputi pipa pengumpulan gas, gas scrubbers, gas engine
generator dan fuel gas treatment facility. Pemanfaatan gas di Swedia baik yang berasal dari biogas digester atau
dari landfill sudah dilakukan sejak lama, bahkan di setiap landfill. Kondisi tersebut merupakan standar landfill yang harus dilakukan oleh
setiap operator landfill sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara- negara Eropa Council Directive 199931EC On The Landfill. Dengan
komposisi organik yang relatif rendah 35 , namun masih memiliki kandungan gas 10-30 m
3
3. Beijing-China
tontahun landfill di Helsinberg, pengumpulan gas tetap dilakukan dan dimanfaatkan sebagai energi
listrik. Teknik gas recovery system meliputi pipa pengumpulan gas, penyimpanan gas, fasilitas pengolahan gas, fasilitas power generation
dan aksesoris-aksesoris
Pengumpulan gas landfill di kota Beijing China sudah dilakukan sejak lama dan menjadi standar operasi landfill, namun gas yang terkumpul
hanya dibakar melalui flare flaring system yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Beijing dengan penduduk 15 juta
jiwa memiliki 6 lokasi landfill, salah satu landfill tersebut adalah Beishinshu Landfill luas 35 ha. Sampah yang dibuang ke lokasi landfill
adalah hanya berupa residu karena telah dilakukan proses pemilahan sampah di lokasi transfer station setiap radius 8 km memilki 1 transfer
Universitas Sumatera Utara
station. Termasuk sebagian besar organik telah dipilah dan dikirim ke instalasi produksi kompos ada 2 unit, kapasitas 200 dan 400 tonhari.
Uraian tersebut secara transparan memberikan gambaran bahwa dengan semakin bertambahnya jumlah timbulan sampah sebagai akibat dari
bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya teknologi serta diimplementasikannya protokol Kyoto, peran teknologi pengelolaan sampah
sudah harus menjadi perhatian utama bagi para pengelola SP. Terlebih lagi bagi Indonesia yang turut menandatangani protol Kyoto, dimana hampir
100 pengelolaan sampah masih dilakukan secara opendumping dan sanitary landfill.
Dengan berlakunya UUPS yang disahkan pada tanggal 7 Mei 2008, menyebabkan seluruh pemerintah kotakabupaten harus bertindak secara
tepat untuk dapat mengimplementasikan proses pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Hal ini disebabkan karena pada Pasal 44 tentang
Ketentuan peralihan dinyatakan : 1 Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang
menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 satu tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini serta ; 2 Pemerintah
daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 lima tahun
terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini RI, 2008. Kebijakan yang relatif sama dengan aturan yang tertuang pada Pasal
44 dari UUPS telah dimulai oleh negara Uni Eropa sejak tahun 1999. Pada tahun 1999 tersebut, negara Uni Eropa telah merancang aturan terhadap
penanganan sampah yang secara spesifik terhadap lokasi TPA Landfill Directive - 199931EC of 26 April 1999. Arahan ini dimaksudkan untuk
mencegah atau mengurangi efek samping dari lokasi penimbunan limbah di lingkungan, khususnya di permukaan air, tanah, tanah, udara dan kesehatan
manusia.
Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 16 Juli 2001 arahan ini harus telah diimplementasikankan dan diamandemenkan menjadi UU Eroupean
Council EC No 18822003 EC,2009. Dari berbagai studi yang dilakukan terkait dengan teknologi
pengolahan SP dapat disarikan beberapa kategori teknologi pengelolaan yang terdiri dari RISE-AT, 2000; Mclanaghan 2002; SPL, 2002;
Gendebien et al., 2003; GET, 2003; Pacey et al., 2003; Dubois et al., 2004; Godley et al,. 2004; Grobbin, 2004; Ostrem, 2004; RBC, 2004; Chair,
2005; Weidemeier, 2005; WES, 2005; Ylijoki et al., 2005; Cali et al., 2007; Clarissa, 2007; Mahar et al., 2008; GBB, 2008; Last, 2008 : 1 Biological
yang terbagi atas 2 kategori: a Anaerobic Digestion dan b Composting; 2 Mechanical - Material Recover Facilities MRF ; 3 Thermal yang
terbagi atas 2 katergori: a Advance Thermal Treatment ; b Inceneration serta 4 Hybrid-Bio Mechanical Treatment.
Untuk dapat memberikan gambaran secara komprehensif tentang berbagai teknologi tersebut, maka kompilasi informasi dan spesifikasi teknis
setiap alternatif teknologi tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini Mclanaghan,2002; Klein, 2002; Münnich et al, 2006; Last, 2008,
Economopoulos,2009:
1. Biological
ANAEROBIC DIGESTION
Anaerobik Digestion AD, adalah teknologi yang memiliki proses seperti proses pengomposan. Untuk mengelola limbah yang dapat terurai,
teknologi ini sangat bergantung pada proses alami biologis bantuan bakteri, tetapi dengan satu pengecualian yaitu tanpa adanya oksigen.
Proses ini menghasilkan biogas campuran seperti CH4 dan CO2, serta H2S, N2, NH4. Biogas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar minyak
diesel. Proses AD memerlukan kondisi yang stabil : 1 mesophilic sekitar 35 ° C atau 2 thermophilic kelembaban suhu sekitar 55 ° C
dengan kelembapan di atas 60. Cairan tersuspensi yang mengandung endapan juga dihasilkan dari proses ini, yang dapat digunakan sebagai
pupuk. Pengolahan ini hanya membutuhkan waktu yang singkat 1-2 minggu
.
KAPASITAS
5 - 100 kton per tahun
Universitas Sumatera Utara
BIAYA CAPEX :
10 Ktonthn = rata-rata: £3.85M Separate digestion metode kering
20 Ktonthn =rata-rata: £5,00 31 Ktonthn = £4.5M
Co-digestion metode basah 45 Ktonthn = £10,1M
OPEXt :
rata-rata: £4,7t Separate digestion metode kering
rata-rata: £12t £4-9t
Co-digestion metode basah
KEUNTUNGAN KERUGIAN
• proses pengomposan di TPA berlangsung cepat. 21 hari
pencernaan, 21 hari penyimpanan untuk metode kering-3 hari untuk
metode basah
• menghasilkan sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas yang
dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan bakar
kendaraan dll.
• proses tidak memerlukan input material dan energi.
• • hanya dapat memproses limbah
biodegradable, sehingga dibutuhkan peralatan pemisahan;
• memerlukan lokasi tambahan untuk penggunaan biogas dan
penyimpanan kompos selama dua bulan sebelum dapat diaplikasikan
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH
Sumber terpisah Dipisahkan
secara Mekanik
Sumber Sampah SP
X √
Komersil X
√
Industri X
X
Fraksi sampah biogradable terpisah Kertaskarton
√beberapa
Sampah dapur
Sumber terpisah Dipisahkan
secara Mekanik
Sampah dedaunan
√beberapa √beberapa
Tekstil X?
X? Kayu
X? X?
Fraksi sampah non biogradable terpisah
Metal X
X Besi
X X
Non-Besi X
X Kaca
X X
Plastik X
X Lainnya
X X
Universitas Sumatera Utara
SUMBER DAYA TERBARUKAN:
Nutrients berat
100 akan menghasilkan kompos
N, K dan P. Sumber SP yang
terpisah Mendekati 100
SP yang dipisahkan secara mekanik
Materials berat Kompos : 80-85
Kompos : 50-60 Energi
MJton Biogas: 2,500 to 4,000
MJt tergantung pada keringnya keadaan
Produksi gas dapat ditinggikan jika
kertaskarton turut dimasukkan ke sistem,
MASALAH KESEHATAH MASALAH LAIN
• kesehatan karyawan : membutuhkan tindakan
pencegahan di tempat bekerja; • lalat dan hama diminimalisir;
• arus lalu lintas. • kesadaran masyarakat yang kurang
terhadap teknologi ini dan selalu mengaitkannya dengan teknologi
pengomposan.
DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN
DAMPAK NEGATIP THD- LINGKUNGAN
• AD menawarkan teknologi pengelolaan satu atap
• Hasil pengolahan SP hampir 100 berguna bagi nutrisi
tanah, selain adanya energi listrik bersih dan panas.
• CO
2
biogenik hasil dari pembakaran
biogas,menggantikan penggunaan bahan bakar fosil
dan berbasis karbon • Sisa produk akhir dari proses
komposting anaerob
yang dipisahkan secara mekanis masih
memerlukan area sebagai TPA.
Gambar 2.4. Material Balance : Anaerobic Digestion 1 Ton SO
Sampah Perkotaan
230 kg SO 770 kg kg
ANAEROBIC DIGESTION
Material RDF = setara 419,35
KWh
Kompos = 170 Kg organik
Energi Biogas setara = 5,04 KWh
POST TREATMENT
Air buangan = 205 kg
Universitas Sumatera Utara
COMPOSTING
Pengomposan adalah suatu teknologi pengelolaan sampah yang menggunakan proses degradasi aerobik yang dikontrol oleh senyawa organik. Proses ini dapat
mengurangi jumlah limbah biodegradable di TPA. Dengan adanya proses ini, biomassa yang hilang dapat dikembalikan serta memiliki nilai ekonomi
KAPASITAS
20-250 Ktonthn+ Ukuran kapasitas pengelolaan efektif 15-20 Ktonthn
PEMBIAYAAAN CAPEX £M1
50 Ktonthn= £2,0-2.4 M rata-rata: £2,2M
Windrow
20 Ktonthn £0.8-4.8M rata-rata:
2.8M In-vessel
50 Ktonthn £2.64-10.0M rata-rata:
£6.64M
OPEXt1
£4-7t Windrow
£7-7,8t rata-rata:£7,4 In-vessel
£18-20t rata-rata £10,5
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH
Sumber terpisah Penyaringan
SP
Sumber Sampah SP
X √
Komersil X
√
Industri X
X
Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton
√beberapa X
sampah dapur X
X
sampah dedaunan X
√beberapa Tekstil
X X?
Kayu X
X?
Sumber non-biodegradable terpisah
Metal X
X Besi
X X
Non-Besi X
X Kaca
X X
Plastik X
X Lainnya
X X
KEUNTUNGAN KERUGIAN
• limbah yang distabilkan membatasi potensi terjadinya
lindi • pengurangan volume limbah
secara signifikan • Materi patogen hilang, serta
menghasilkan materi dan dapat digunakan sebagai bio-filter
• persepsi pasar terhadap kualitas produk masih belum pasti
• nilai produk yang rendah saat. • Windrow memerlukan lahan yang luas
serta waktu yang lama dua bulan untuk penyimpanan.
Universitas Sumatera Utara
SUMBER DAYA TERBARUKAN
Nutrients berat output 1 N, 2-3 P, 3-5 K
Materials berat output 60-80 Sumber terpisah 50-60
Penyaringan mixed SP. Energi MJton sampah
Tidak dapat dijadikan bahan bakar
MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN
• bio-aerosol yang dihasillkan akan mempengaruhi proses pemilihan
lokasi. • kesehatan karyawan harus
diperhatikan dan perlu tindakan pencegahan
• lalat dan hama harus diminimalisir diminimalisir dengan sistem di-kapal
yaitu akses terbatas, meskipun hal ini tidak menjadi masalah bagi
limbah dedaunan • Ditemukan berbagai masalah
seperti: bio-aerosol, debu, bau, kebisingan dan arus lalu lintas.
• Masyarakat lokal bisa saja menunjukkan retensi atas kegiatan
ini
DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN
DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN
• kompos dapat digunakan sebagai
kondisioner tanah
• penggunaan kompos mengurangi
emisi gas rumah kaca dari landfill
• bio-aerosol yang dihasilkan harus harus memperhatikan tingkat
sensitivitas masyarakat disekitar lokasi
• Adanya bau dan kebisingan • Windrow memerlukan lahan luas
Gambar 2.5. Material Balance: Windrow Composting
Gambar 2.6. Material Balance: In-vessel Composting 1 Ton SO
Sampah Perkotaan
IN VESSEL COMPOSTING
Emisi CO
2
penguapan : 250 Kg Kompos = 550kg
Landfill 175 kg Air Buangan 100 kg
resirkulasi 1 Ton SO
Sampah Perkotaan
WINDROW COMPOSTING
Emisi CO
2
penguapan : 250 Kg Kompos = 625 kg
Landfill 175 kg Air Buangan
Universitas Sumatera Utara
2. Mechanical
MATERIAL RECOVERY FACILITIES MRF
Fasilitas Daur Ulang
Dua kategori utama :
• Bersih proses CMRFs relatif bersih dan kering karena sumber sampah telah dipisahkan dari sumbernya.
• Kotor proses DMRFs realatif kotor karena input sampah yang bercampur dari segala sumber. DMRFs perlu digabungkan dengan pengolahan sekunder
untuk mengolah sisa SP seperti RDF, kompos, atau AD .
KAPASITAS
CMRFs : 5 Ktonthn-50 Ktonthn; • DMRFs : sampai 200 Ktonthn menguntungkan dari sisi ekonomi skala jika
digabungkan dengan fasilitas terpusat PEMBIAYAAN
CAPEX:
• dan £ 5M 150 Ktonthn. termasuk tanah
• Biaya keseluruhan dapat ditekan jika ada bangunan
yang dapat dimanfaatkan
OPEXt CMRF £ 12-18t
KEUNTUNGAN KERUGIAN
DMRFs
• Penggunaan infrastruktur yang ada koleksi SP;
CMRFs • Recovery volume tinggi,
kualitas yang lebih baik untuk dijual.
• Proses peningkatan fleksibilitas untuk memasok
pasar berubah dengan pulih recyclates kering;
DMRFs
• Potensi kontaminasi pada pengolahan dengan kapasitas yang besar.
• Penggunaan DMRFs tidak mendorong masyarakat untuk melakukan pemilahan di
sumber. • limbah sisa membutuhkan perawatan
sekunder dan pengolahan e.g. kompos
CMRFs
• akan meningkatkan biaya pengumpulan sampah.
• Nilai ekonomi dari sampah daur ulang tidak akan tercapai secara maksimal
• JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH
Sumber terpisah
Penyaringan SP
Sumber Sampah SP
X √
Komersil X
√
Industri X
X
Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton
√ X
sampah dapur X
X
sampah dedaunan X
X Tekstil
√ X
Universitas Sumatera Utara
Kayu X
√ X
Sumber non-biodegradable terpisah Metal
√ X
Besi √
X Non-Besi
√ X
Kaca X
√ X
Plastik √
X Lainnya
X X
SUMBER DAYA TERBARUKAN
Nutrients berat input CMRF
DMRF Materials berat input
90-95+ kering
40-50 kering Energi MJton sampah
n.a n.a
Meskipun RDF dapat dihasilkan dari pasca-pemisahan residu
sampah yang telah kering
MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN
• Diperlukan biofilter untuk menganstisipasi masalah bau dan
udara di sekitar pengolahan
• Sering dipersepsikan dengan daerah kumuh
DAMPAK POSITIF LINGKUNGAN
DAMPAK NEGATIF LINGKUNGAN DMRFs
• tidak ada partisipasi langsung dari masyarakat thd proses daur ulang
• dampak pada kualitas udara
setempat; CMRFs
• partisipasi langsung dari masyarakat dalam memisahkan
sampah
• kualitas dan kuantitas sampah
daur uulang lebih baik. DMRFs
• rendahnya produk daur ulang, membutuhkan lokasi untuk pengolahan
lanjutan
MRFs Bersih
• ritasi pengiriman sampah yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya
kualitas udara
Gambar 2.7. Material Balance : DRMF
1 Ton Sampah
Perkotaan MATERIAL RECOVERY
FACILITIES DRMF Ke Treatment
Lain =865 kg
Mix SDU = 135 kg
Metal = 50 Kg Mix
SDU = 85 Kg
Universitas Sumatera Utara
3. Thermal ADVANCED THERMAL TREATMENT ATT
Pirolisis Gasifikasi
Gasifikasi dan pirolisis adalah jenis proses pengelolaan dengan menggunakan teknologi panas tingkat lanjut ATT. Teknologi lebih diminati sebagai alternatif
teknologi mas-burn incineration MBI yang umum dilakukan.
PIROLISIS
Ketiadaan proses endotermik dari suatu unsur oksidasi air atau oksigen pada bahan dasar karbon menyebabkan terjadinya proses pembusukan secara kimia.
Pirolisis dikenal juga sebagai “destilasi destruktif”, “cracking”, atau termolisi”, proses ini berlangsung pada suhu 400-800
o
• lambat atau karbonisasi;
C. Ada tiga sistem utama pirolisis :
• konvensional, dan • cepat kilat vakum, fluidised-bed dan gasifikasi.
Pirolisis akan menghasilkan wujud gas, cair dan padat, pada proporsi tertentu yang tergantung pada jenis proses yang digunakan: faktor penentu utama yang
mengendalikan suhu dan waktu bukaan pada temperatur tersebut. Lama terkena suhu rendah memaksimalkan produksi arang, sedangkan flash pirolisis paparan
singkat 1 detik menghasilkan sampai 80 dari berat cairan.
GASIFIKASI
Gasifikasi adalah sebuah proses termokimia yang melibatkan konversi bahan padat atau cair menjadi gas melalui proses oksidasi parsial menggunakan udara
yang kaya oksigen dalam kondisi panas. Proses ini akan menghasilkan bahan bakar gas serta bahan cair dan padat yang sedikit. Gasifiers mengkonversi bahan
baku karbon menjadi produk gas bersuhu dan tekanan bertekanan tinggi. Gasifikasi bukanlah teknologi baru dan telah digunakan sejak awal 1800-an
KAPASITAS
20 Ktonthn untuk 360 Ktonthn +;
PEMBIAYAAN CAPEX:
£ 116M 400 Ktonthn pabrik. OPEXt:
Kisaran £ 15-21 t.
KEUNTUNGAN: KERUGIAN:
• pirolisis dan gasifikasi memiliki fleksibilitas
recovery energi
dibandingkan dengan MBI tradisional;
• gasifikasi dan pirolisis dapat mengubah sampah menjadi: materi
blok, senyawa untuk sektor
petrokimia: limbah ban dan plastik untuk bahan digunakan kembali
dan pemulihan energi. Secara teori, gas, minyak dan arang padat dapat
diperoleh - terutama dari pirolisis - dan dapat digunakan sebagai bahan
bakar. • saat ini dianggap setara dengan
pemulihan energi dalam hirarki limbah: sehingga tidak berkontribusi
terhadap kepada proses daur ulang. • teknologi terutama pirolisis
memerlukan sinergi yang kuat dengan mainstream petro-kimia dan sektor
pengolahan lainnya untuk menentukan pasar
• Dalam era anti-insinerator penggunaan teknologi ini sering
dianggap hanya sebagai pengganti nama dari teknologi insenerator.
Universitas Sumatera Utara
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH
Termo select
SWERF Compact
Power TOPs
Sumber Sampah SP
√ √
√ √
Komersil
√ √
√ √
Industri
√ √
√ √
Sumber biodegradable terpisah
Kertaskarton
√ √
√ √
sampah dapur
√ √
√ √
sampah dedaunan
√ √
√ √
Tekstil √
√ √
√ Kayu
√ √
√ √
Sumber non-biodegradable terpisah
Metal
√ √
X √
Besi √
√ X
√ Non-Besi
√ √
X √
Kaca √
√ X
√ Plastik
√ √
√ √
Lainnya √
√ √
√ SUMBER DAYA TERBARUKAN
Nutrients berat output Materials berat output
5-20 Energy MJton sampah
9.000-10.000 MJtonne
MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN:
Tidak ada risiko kesehatan signifikan yang diharapkan.
masalah utama berkaitan dengan dampak emisi udara terutama dioksin terhadap
kesehatan.
DAMPAK POSITIP THD LINGKUNGAN
DAMPAK NEGATIP THD LINGKUNGAN:
• kedua teknologi dapat membantu menggantikan bahan baku dan
fosil - bahan bakar. Prolisis menyediakan bahan baku kimia,
energi recovery
• gasifikasi dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah dan
efisiensi termal lebih tinggi dari limbah pembakaran langsung.
• memerlukan perawatan untuk memisahkan air dari bahan bakar cair
yang dihasilkan; Pyrolysis
• oksigen yang digunakan dalam proses dan gasification syngas sendiri sekarang
berisiko terhadap kesehatan Gasification
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Material Balance Pyrolisis
Gambar 2.9. Material Balance Gasification
INCINERATION TECHNOLOGY
Insinerasi, pembakaran masa insinerasi MBI, energi dari limbah Proses pembakaran limbah telah dilakukan manusia sejak satu abad. Proses ini
sangat bergantung pada proses eksotermik dimana kehadiran oksigen berbasis materi karbon akan membusuk, meninggalkan residu abu. Insinerasi atau energi
dari limbah sering disingkat menjadi energy from waste efw. Fluidised-bed Technology
Fluidised-bed technology merupakan alternatif pendekatan bagi teknologi insinerasi dan terbukti baik untuk aplikasi pengolaah non-SP pengelolaan
lumpur Manfaat utama dari penerapan teknik ini adalah terjadinya pengurangan emisi, penghematan biaya yang cukup besar untuk biaya perawatan gas buang
seperti yang tejadi atas MBI serta tidak memerlukan pra-pengolahan limbah. Refuse Derived Fuel
Refuse Derived Fuel RDF adalah residu dari sisa pengolahan yang biasanya berbentuk pelletized yang dihasilkan dari pengolahan BMT. Pengolahan BMT
tersebut menghilangkan sampah besi, kaca, pasir, dan bahan lain yang tidak mudah terbakar. Materi ini dapat dijual sebagai RDF.
1 Ton Sampah
Perkotaan GASIFIKASI
with RDF Plant Energi oe = ~781KWh
Material SDU Metal = 25,7Kg
Kaca = 24,8 Alumunium = 9,4 Kg
Abu ke landfill = 245 kg Energi ie
=~ 135 KWh 1 Ton
Sampah Perkotaan
PYROLYSIS Emisi CO
2
dan NOx Synthetic SynGas =
380kg Material
Metal = 60 Kg Abu = 240 kg materi
batubata Air buangan = 220 kg
Universitas Sumatera Utara
KAPASITAS
26-600 Ktonthn
PEMBIYAAN CAPEX:
Capacity Ktonthn
Capex Range £M
Rata-rata Capex £M
50 18-20
19 100
30-36 33
150 46-50
48 200
54-58 55
400 100 –105
102 500
110 –120 115
KEUNTUNGAN KERUGIAN:
• “state-of-the-art” bagi pengolahan limbah, dan mendapat pengawasn yang ketat dari EU;
• penelitian menunjukkan bahwa meskipun proses daur ulang akan mengurangi jumlah
limbah pada pengelolaan akhir di TPA, nilai kalori dari residu pada umumnya tetap tidak
berubah. • Meniadakan proses daur
ulang dianggap; • ROI 10-20 tahun
• Energi yang dihasilkan dari tidak memenuhi
syarat untuk di kelompokkan sebagai
energi yang diterbarukan
• JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH
Sumber Sampah SP
√
Komersil
√
Industri X
√
Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton
√
sampah dapur
√
sampah dedaunan
√ Tekstil
√ Kayu
√
Sumber non-biodegradable terpisah Metal
X Besi
X Non-Besi
X Kaca
X Plastik
X Lainnya
√
Universitas Sumatera Utara
SUMBER DAYA TERBARUKAN
Nutrients berat output 0 kg
Materials berat output 225 kg materi bhn konstruksi;
35-50 kg Ferrous; sd. 10 kg non Ferrous
Energi MJton sampah 8,000-9,500MJt 550 KWh
listrik dengan 22 efesiensi panas.
18,000MJt RDF
MASALAH KESEHATAN: MASALAH LAIN
• Emisi yang dilepaskan harus sesuai dengan standar kontrol yang telah ditetapkan
• risiko kesehatan dari sisa logam berat, dioksin dan
furan • diprotes oleh Greenpeace
DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN DAMPAK NEGATIF THD
LINGKUNGAN: • Energi dari proses daur ulang bahan
sekunder dapat memaksimalkan proses pengelolaan.
MBI harus memiliki ukuran yang
besar untuk dapat
menampung sisa input.
Gambar 2.10. Material Balance: Mass Burn Incineration
4. Hybrid
MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT MBT TECHNOLOGY Pabrikan :
Ecodeco Italy; Herhof-Umwelttechnik GmbH Germany, KUM- technology dll
Pengolahan limbah dengan cara Bio-mekanik BMT adalah nama generik untuk berbagai proses gabungan dari beberapa teknologi pengolah sampah akhir
BMT umumnya terdiri dari 3 tahapan: 1 Pengeringan secara Biologi: setelah pengiriman ke pabrik lalu di tutup
sepenuhnya, limbah dipotong-potong kemudian dikeringkan selama 12 hari Mikro-organisme mencerna sampah organik, Emisi udara terbatas pada uap
air ditambah sedikit CO2 biogenik. Atap harus dipasang bio-filter guna mengendalikan bau.
2 Pemisahan bahan: berbagai jenis peralatan yang digunakan untuk memisahkan besi dan logam non-Besi untuk daur ulang; kaca, batu dan pasir.
1 Ton Sampah
Perkotaan MASS BURN
INCENERATION Energi ie
= ~175 KWh Energi oe = ~640 KWh
Material Metal =~ 37,5 kg
Flyash Filter Cake = ~52,5 Kg
Boiler Ash = ~ 9 Kg
Slag Arang besi= 255 Kg
Universitas Sumatera Utara
KAPASITAS
36-270 Ktonthn ada pabrik sampai dengan 400 Ktonthn;
PEMBIAYAAN CAPEX:
Capacity Ktonthn
Rata-rata Capex £M
50 7.6-10,5
60 9,5
85-100 11.0-16.0
120 18,85
200 20,0
220 29,5
KEUNTUNGAN: KERUGIAN:
• sebagai alternatif teknologi untuk TPA.
• pembakaran sisa SP, mendatangkan lebih banyak fleksibilitas bagi pihak
berwenang setempat; • berpotensi sebagai bagian dari
pendekatan SP terpadu, • efisiensi pabrik biasanya 30
dibandingkan dengan massa-bakar c.22 10, hingga 50 + dalam siklus
gabungan.
• tidak ada pasar yang siap pakai untuk menggunakan RDF
JENIS SAMPAH YANG DAPAT DIOLAH X
√
Sumber Sampah SP
√
Komersil
√
Industri
√
Sumber biodegradable terpisah Kertaskarton
√
sampah dapur
√
sampah dedaunan
√ Tekstil
√ Kayu
√
Sumber non-biodegradable terpisah Metal
X Besi
X Non-Besi
X Kaca
X Plastik
X Lainnya
X
Universitas Sumatera Utara
MASALAH KESEHATAN MASALAH LAIN
• Bau • lalu lintas;
• pembakaran dengan RDF dapat dilihat sebagai Insinerasi dengan
nama lain
DAMPAK POSITIF THD LINGKUNGAN:
DAMPAK NEGATIF THD LINGKUNGAN
• produksi gas TPA dapat dikurangi secara signifikan hingga 90.
produksi lindi di TPA juga sangat berkurang
• Jika proses stabilisasi biologis dapat menghasilkan kompos, maka
dapat mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pertanian
untuk mau menggunakan kompos tersebut
Gambar 2.11. Material Balance MBT
2.2.4. Aspek Sosial
1. Aspek sosial SPSP harus mencakup pola penanganan limbah rumah
tangga dan sumber lainnya, pengelolaan sampah berbasis masyarakat serta memperhatikan kondisi sosial para pekerja yang menangani SP:
Timbulan sampah sangat ditentukan oleh sikap masyarakat serta kondisi sosial-ekonomi mereka. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
1 Ton Sampah
Perkotaan AN AEROB DIGESTION
MECHANICAL BIOLOGICAL TREATMENT
AD - MBT Energi ie
= 54 KWh Energi Biogas setara = 66
KWh GRK 0 001033 MTCEKWh
Material SDU Metal = 25,7Kg
Plastik = 157,3 Kg Kaca = 24,8
Alumunium = 9,4 Kg Kertas = 164,7 Kg
Penguapan = 31,1 Kg Kompos = 121 Kg organik
Landfill = 314,1 kg Air buangan : 125,1 kg
Universitas Sumatera Utara
sampah yang dihasilkan dapat dilakukan melalui upaya ”kampanye” dan pendidikan.
2.
3. Pada daerah yang berpendapatan rendah, solusi terbaik untuk mengatasi
masalah persampahan adalah dengan pola pengelolaan berbasis masyarakat. Meskipun demikian, hubungan fungsional antara kegiatan
berbasis masyarakat harus tetap dipertahankan.
4. Meskipun sistem pengelolaan sampah telah tersedia, partisipasi
masyarakat tetap memiliki peranan yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi.
Para pekerja sampah, termasuk sektor informal yang biasanya hidup dengan kondisi yang tidak layak sangat mudah untuk terserang penyakit.
Untuk itu diperlukan dukungan seperti jaminan sosial dan lain sebagainya.
Kondisi sosial masyarakat dalam mengelola sampah sangat bergantung kepada regulasi yang diterapkan oleh pemangku kebijakan.
Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terhadap permasalahan sampah akan menambah beban pelaksana dalam mengelola sampah.
Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan. Gardner dan Stern 1996
dalam Ho, 2002 menyoroti empat intervensi yang bisa untuk menigkatkan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan yang terdiri dari :1
intervensi kontrol moral dan agama; 2 intervensi pendidikan; 3 hukum dan 4 insentif pemerintah.
Masalah utama yang harus dihadapi dalam pengelolaan SP terdapat pada tahap pemisahan
limbah. Seharusnya limbah sampah terlebih dahulu harus dipisahkan dengan benar, baru selanjutnya dibuang dengan cara yang ramah lingkungan.
Namun hingga saat ini, terutama di negara-negara berkembang hal tersebut sepertinya sulit ditemukan. Padahal semestinya masyarakat sebagai
produsen limbah dapat maju kedepan untuk memecahkan masalah ini. Hal ini dapat dilakukan dengan memisahkan sampah berdasarkan kategorinya.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Gardner dan Stern 1996 dalam Ho, 2002 juga berpendapat bahwa karena ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka solusi yang baik adalah dengan cara menggabungkan intervensi yang berbeda secara
bersamaan karena akan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik daripada hanya menggunakan satu intervensi saja.
2.2.5. Aspek Kelembagaan
1. Aspek kelembagaan SPSP secara spesifik mencakup struktur
kelembagaan dan manajemen SPSP termasuk didalamnya adanya aturan tentang pengelolaan sampah perkotaan. Aspek kelembagaan ini dapat
dielaborasi lebih lanjut dengan adanya :
2. Distribusi fungsi, tanggung jawab serta kewenangan antara kelembagaan
lokal, regional dan pemerintah pusat desentralisasi.
3. Struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab
untuk SPSP, termasuk adanya koordinasi antara SPSP dengan sektor lainnya.
4. Prosedur dan metode yang digunakan untuk perencanaan dan
pengelolaan
5. Kapasitas lembaga yang bertanggung jawab atas SPSP termasuk
didalamnya kapabilatas para staf yang menjadi bagian dari SPSP. Keterlibatan sektor swasta, partisipasi masyarakat dan kelompok
pengguna.
2.2.6. Aspek Kebijakan
1. Aspek kebijakan dalam SPSP adalah segala aspek yang mencakup
perumusan tujuan , prioritas, penetapan peran, wilayah yuridis, kerangka hukum dan peraturan. Aspek kebijakan ini sangat berpengaruh pada
keberlanjutan SPSP, oleh sebab itu perlu diperhatikan: Tujuan serta prioritas yang berkaitan dengan pengawasan lingkungan
serta pemerataan akses pelayanan. Kedua hal tersebut harus jelas
Universitas Sumatera Utara
diartikulasikan untuk dapat memobilisasi dukungan masyarakat serta sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
2.
3. Untuk menjamin keberlanjutan SPSP, diperlukan definisi yang jelas
tentang yurisdiksi dan peran pengelola SPSP. Rencana Strategis yang matang akan sangat membantu untuk menempatkan pengelola SPSP
serta pihak lain yang terkait. Jumlah aturan perundang-undangan yang diterbitkan tidak banyak, jelas,
tidak bertolak belakang serta dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam sebuah sistem, kebijakan merupakan tahapan akhir yang ditempuh untuk dapat mengatasi masalah yang akan dihadapi. Gary Brewer
dan Peter DeLeon 1983 menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik sebagai berikut:
Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi. Tahap ini
adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau
beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak
memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik.
Penyusunan kebijakan adalah proses berkelanjutan, sebagai sebuah struktur yang memiliki siklus. Walt 1994 menyajikan empat tahap proses
kebijakan: 1 Identifikasi masalah dan pengenalan isu ; 2 Formulasi kebijakan; 3 Implementasi kebijakan; 4 Evaluasi kebijakan.
2.3. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan Kota Medan
Untuk menjalankan SPSP, Pemerintah Kota Medan menunjuk Dinas Kebersihan Kota Medan DKKM sebagai lembaga yang bertanggung
jawab secara formal untuk mengelola sampah perkotaan di Kota Medan. Pengelolaan sampah kota Medan juga melibatkan SI yang dalam keseharian
turut mereduksi sampah perkotaan melalui aktifitas perdagangan SDU kota
Universitas Sumatera Utara
Medan. Adapun gambaran tentang kondisi SPSP kota Medan berdasarkan aspek pengelolaan SP yang dijabarkan sebagai berikut : Rahman, 2004
2.3.1. Aspek Lingkungan
SPSP kota Medan yang dilaksanakan oleh DKKM masih belum ramah lingkungan, hal ini ditandai dengan tidak adanya perlakukan terhadap
SP yang pada TPA
Sedangkan SP yang dapat diangkut kemudian didistribusikan ke 2 TPA yakni : 1 TPA Namo Bintang, berlokasi di Kelurahan Namo Bintang
; Kecamatan Tuntungan dengan luas 17 Ha. TPA ini mampu menampung 60 dari total sampah yang dapat diangkut, 2 TPA Terjun, berlokasi di
Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Labuhan dengan luas 14 Ha dan kapasitas penampungan sebesar 40 dari total timbulan sampah domestik
kota Medan. Wibowo dan Djajawinata, 2004; Rahman, 2004. Selain
tingkat kemampuan daya angkut SP yang dilaksanakan oleh DKKM masih berkisar 69.8 Rahman, 2004 dari jumlah SP yang mencapai 1265
tonhari. Hal ini menandakan bahwa masih ada sekitar 382 ton SP setiap harinya yang bertebaran diberbagai sudut kota Medan.
Berdasarkan karakteristiknya SP kota Medan memiliki rasio perbandingan antara sampah organik dengan sampah anorganik sebesar 2.21
: 1 Zulfi, 2000. Untuk sampah anorganik yang memiliki nilai ekonomis dan menjadi bagian dari aktifitas SI terbagi kedalam 9 jenis seperti yang
tertera pada Tabel 2.6 berikut. Tabel 2.6. Jenis Sampah Anorganik Kota Medan
No Jenis Sampah Anorganik
Tonbulan
1 kertas
29.64 2
karton 34.77
3 besi tua
41.64 4
plastik 32.02
5 atom
28.39 6
kaca 19.64
Universitas Sumatera Utara
No Jenis Sampah Anorganik
Tonbulan
7 aluminium
26.65 8
kuningan 21.39
9 karung
20.27
Jumlah 234.14
Sumber : Rahman, 2004
Tabel 2.6 memperlihatkan bahwa SI mampu mengelola 234,14 ton perbulan dari SP yang berjenis anorganik, jika dibandingkan dengan jumlah
total SP kota Medan perhari maka sampah anorganik yang dikelola ini masih senilai 150.5 kali dari jumlah total SP kota Medan.
2.3.2. Aspek Ekonomi
Dari sisi pembiayaan operasional SPSP, DKKM memperoleh dana dari Pemerintah Kota Medan PKM. Selain itu juga PKM memberikan
mandat kepada DKKM untuk mengumpulkan retribusi dari masyarakat kota Medan. Adapun teknis pengumpulan retribusi dapat dilihat pada Gambar
2.12 berikut.
Gambar 2.12. Aliran Dana Retribusi Sampah Rahman, 2004
Dari Gambar 2.12 terlihat bahwa sebenarnya DKKM telah memperoleh margin keuntungan sebesar 5 yang mereka peroleh dari PKM
sebagai imbalan atas kegiatan pemungutan biaya retribusi yang mereka lakukan. Meskipun demikian ternyata nilai retribusi ini masih kecil nilainya
dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD DKKM setiap tahunnya seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7. Target dan Realisasi pemasukan dari Sampah Septictank Kota Medan
No
Sumber Tahun
Target Rp Realisasi Rp
1. Sampah
2002 2003
5.368.000.000,- 12.500.000.000,-
3.780.738.742,- 70,43
11.033.664.083,- 88,26
2. Septictank
2002 2003
132.000.000,- 198.000.000,-
195.055.000,- 147 270.900.000,- 136
Sumber: DKKM, 2003
Tabel 2.8. APBD Dinas Kebersihan Kota Medan Tahun Anggaran 2002- 2003
No Uraian
Tahun AnggaranRp
Realisasi Rp
A. Belanja Rutin
1.Belanja pegawai 2.Belanja barang
3.Belanja Pemeliharaan
4.Belanja Lain-lain Belanja
Pembangunan Pengadaan sarana
2002 8.379.712.000,-
1.374.900.000,- 5.190.575.000,-
5.555.886.000,-
1.261.684.000,- 8.304.265.849,-
1.006.914.390,- 4.414.567.999,-
5.392.470.000,-
1.259.858.716,-
Total 21.762.757.000,-
20.378.076.954,-
B. Belanja Rutin
1.Belanja pegawai 2.Belanja barang
3.Belanja Pemeliharaan
4.Belanja Lain-lain Belanja
Pembangunan Pengadaan sarana
2003 11.971.356.000,-
2.100.000.000,- 6.737.544.000,-
11.831.900.000,- 1.275.000.000,-
11.880.045.561,- 1.905.331.381,-
6.438.857.301,- 11.686.249.280,-
1.272.200.000,-
Total 33.915.800.000,-
33.182.683.523,-
Sumber: DKKM, 2003
Dari Tabel 2.7 dan 2.8 terlihat bahwa DKKM harus memberikan tambahan biaya sebesar lebih kurang Rp 16.4 milyar untuk tahun 2002 dan
Rp. 21.8 milyar untuk tahun 2003. Kontradiksi dengan apa yang dialami DKKM, pengelolaan SP yang dilakukan oleh SI melalui kegiatan daur ulang
Universitas Sumatera Utara
ternyata menghasilkan nilai ekonomi yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Dari aktivitas kegiatan ini, ternyata SI mampu
mentransformasikan sampah menjadi materi yang memiliki nilai ekonomi. Hal ini terlihat dari nilai pendapatan yang diperoleh oleh SF yang jumlahnya
mencapai Rp. Rp. 3.957.616.800 pertahunnya. Sedangkan rata nilai ekonomi sampah anorganik kota Medan berdasarkan jenisnya dapat dilihat
pada Tabel 2.9. Tabel 2.9. Harga rata-rata Sampah Anorganik dan Penghasilan yang
diperoleh Pemulung di Kota Medan setiap bulan
No Komponen
Jumlah Responden
Harga Rupiah
Hasil Rupiah
1 kertaskg
87 457,4
39.793,0 2
kartonkg 90
524,1 47.168,0
3 besi tuakg
87 983,1
85.533,0 4
plastikkg 84
838,1 70.404,0
5 atomkg
74 1.035,7
76.645,0 6
kacakg 53
634,8 33.647,0
7 aluminiumkg
78 1.198,9
93.510,5 8
kuningankg 74
1.189,3 88.011,0
9 karungbuah
86 362,4
31.167,5
Sumber : Rahman, 2004
2.3.3. Aspek Teknis
SP yang diangkut oleh DKKM ke TPA hingga saat ini masih belum memperoleh perlakukan pengolahan. Hingga saat ini kegiatan yang
dilaksanakan DKKM masih dalam taraf menyediakan sarana transportasi bagi SP kota Medan ke TPA. Untuk DKKM memiliki armada pengangkutan
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Armada dan Kapasitas daya Angkut DKKM
Vol. Jumlah Truk yang Ritasi
Vol.sampah No.
Jenis Kendaraan Truk
Operasihrunit hr
Terangkut tonhr m
Ton
3
2002 2003 2004 trip 2002 2003 2004
1 Typer Truk 6 1.5 80
80 85
2 240 240
255
Universitas Sumatera Utara
Vol. Jumlah Truk yang Ritasi
Vol.sampah No.
Jenis Kendaraan Truk
Operasihrunit hr
Terangkut tonhr m
Ton
3
2002 2003 2004 trip 2002 2003 2004
2 Arm Roll Truk 6 1.5
3 3
3 6
27 27
27 3 Arm Roll Truk
10 2.5 15 15
15 7
263 263 263
4 Dump Truk sewa 8
2 24
18 18
2.5 120
90 90
5 Typer Truk PD Pasar 6 1.5
3 3
3 2
9 9
9 6
Compactor Truk sewa
16 4
5 28
30 2
40 224
240
Total 52 13
130 147
154 21.5
699 853
884
Sumber : DKKM, 2003-Keterangan : Faktor konversi 1 ton = 4 m
3
2.3.4. Aspek Sosial
Peranan masyarakat kota Medan dalam membantu pengelolaan SP tentunya mutlak diperlukan. Masyarakat kota Medan memang memberikan
penilaian yang kurang baik terhadap kinerja DDKM dalam menjaga kebersihan kota Medan, hanya sayangnya ternyata tingkat kesadaran
masyarakat kota Medan untuk menjaga kebersihan juga masih kurang. Hal ini dapat dilihat bahwa 64.8 masyarakat kota Medan kurang aktif
berperan serta dalam menjaga lingkungan sekitar mereka Rahman, 2004. Perananan SI dalam menciptakan tenaga kerja ternyata tidak dapat dianggap
sebelah mata. Hasil studi terdahulu memperlihatkan bahwa untuk mengelola sampah organik yang nilainya masih 150.5 kali dari jumlah total SP kota
Medan, SI mampu menyerap lapangan kerja sebanyak 1350 orang Rahman, 2004.
2.3.5. Aspek Kelembagaan
Untuk melaksanakan SPSP kota Medan, PKM membentuk DKKM. Dalam memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat Kota Medan
DKKM didukung oleh sumber daya manusia SDM sebanyak 1802 orang yang terdiri atas 23 orang pejabat struktural, 223 orang tenaga administrasi
Universitas Sumatera Utara
serta 1556 orang petugas lapangan. Selain itu juga DDKM diperlengkapi dengan armada truk pengangkut sampah yang berupa ; 7 unit truk tinja, 2
unit buldozer, 3 unit whelloader, 2 unit bobcat, 10 unit pickup, 1 unit truk servis serta 107 unit bak kontainer sampah yang berfungsi sebagai TPS.
Gambaran lengkap tentang jumlah sarana dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan Kota Medan disajikan pada Tabel 2.10 .
Tabel 2.10. Sarana dan Sumber Daya Manusia yang dimiliki Dinas Kebersihan hingga tahun 2004
No. Sarana dan SDM
Jumlah
Kendaraan unit 1
Typer Truck 85
2 Arm Roll Truck
3 3
Arm Roll Truck 15
4 Dump Truk sewa
18 5
Typer Truk PD Pasar 3
6 Compactor Truk sewa
30 7
Truk Tinja 7
8 Bulldozer
2 8
Whell Loader 3
9 Bobcat
2 10 Pick-up
10 11 Truk servis
1 12 Kontainer sampah TPS
107 Total
188 Sumber Daya Manusia orang
1 Pejabat struktural
23 2
Tenaga Administrasi 233
3 Petugas Lapangan
1556 Total
1802
Sumber : DKKM, 2003 dalam Rahman, 2004
2.3.6. Aspek Kebijakan
Mengacu pada kebijakan Nasional Pembangunan Bidang Persampahan yang telah disepakati dalam Lokakarya Nasional Peringatan
Hari Habitat Dunia, 3 Oktober 2005, ada beberapa kebijakan yang
berkaitan dengan paradigma yang menyatakan sampah sebagai sumber daya.
Adapun kebijakan tersebut terdiri atas : Setyaningrum, 2006
Universitas Sumatera Utara
1. Kebijakan Pertama, Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan dengan mengedepankan reduksi sampah semaksimal mungkin dari
sumbernya dan peningkatan cakupan pelayanan serta perbaikan kualitas pelayanan.
2. Kebijakan kedua, Memisahkan dan memperkuat fungsi regulator dan operator
untuk meningkatkan kinerja kelembagaan penyelenggaraan pengelolaan sampah melalui pembenahan dan perkuatan beberapa
aspek penting yaitu aspek hukum, lembaga pengelola di daerah, serta peningkatan kualitas SDM.
3. Kebijakan Ketiga, Meningkatkan kapasitas pembiayaan untuk
menjamin pelayanan dengan pemulihan biaya secara bertahap untuk pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana persampahan,
melalui bantuan teknis, sosialisasikonsultasi guna mendapatkan komitmen daerah, penerapan tarif persampahan secara cost recovery
dengan mengurangi subsidi secara bertahap, serta menerapkan pola insentif bagi masyarakat dan swasta yang berhasil mengurangi
volume sampah secara mandiri. 4. Kebijakan Keempat, Meningkatkan peran serta masyarakat dan
swasta dalam penyelenggaraan pengelolaan persampahan melalui
pendidikan dan kampanye nasional gerakan reduksi sampah serta mendorong pengembangan kemitraan pengelolaan sampah skala kota
dan regional. 5. Kebijakan Kelima, Perkuatan dan penerapan hukum dalam
pengelolaan sampah melalui penegakan hukum dan review, evaluasi
serta penyusunan produk hukum di bidang persampahan.
6. Kebijakan Energi, Mengacu pada action plan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia, kebijakan energi yang ada cukup mendukung untuk mendorong upaya penggunaan enargi terbarukan.
Secara keseluruhan kebijakan energi meliputi :
• Mengurangi subsidi energi secara bertahap. • Mempromosikan penggunaan energi terbarukan.
Universitas Sumatera Utara
• Mendorong penerapan penggunaan energi secara efisien. • Mendukung teknologi konsumsi bersih dan efisien dibidang industri
dan perdagangan. • Restrukturisasi harga untuk berbagai jenis energi
DKKM sebagai unsur pelaksana PKM dalam mengelola kebersihan kota Medan memiliki visi “Terwujudnya Medan Besih yang Berwawasan
Lingkungan”. dan memberikan pelayanan sampah yang meliputi kegiatan : 1. Membersihkan sampah di jalan umum.
2. Mengumpulkan timbulan sampah dari sumbernya ke Tempat Pembuangan Sementara TPS.
3. Menyediakan Tempat Pembuangan Sementara TPS untuk pelayanan umum.
4. Mengangkut sampah dari Tempat Pembuangan Sementara TPS ke Tempat Pembuangan Akhir TPA.
5. Menyediakan Tempat Pembuangan Akhir untuk pemusnahan sampah. 6. Melakukan penyedotan, pengangkutan limbah tinja manusia dari
septictank ke Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja IPLT DKKM, 2003.
Dari penjabaran visi tersebut maka misi dari Dinas Kebersihan Kota Medan dirumuskan sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur, guna membentuk aparatur Dinas Kebersihan yang berdedikasi tinggi dan profesional dalam
pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan sarana dan prasarana kebersihan yang berteknologi,
berdaya guna dan berhasil guna dalam penyapuan, pengumpulan, pewadahan, pengangkutan dan pemusnahan sampah serta pengolahan
pemanfaatan sampah menjadi bernilai ekonomis guna meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kebersihan kota yang berwawasan
lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
3. Meningkatkan pendapatan asli daerah PAD dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk membayar retribusi pelayanan kebersihan
guna meningkatkan kualitas pelayanan kebersihan Dinas
Kebersihan,2002. Untuk melaksanakan visi dan misi tersebut maka dibuatlah kebijakan
dalam bentuk peraturan-perturan yang mengatur hak dan kewajiban bagi setiap stakeholder terkait dalam SPSP kota Medan. Peraturan tersebut
diantaranya adalah : DKKM, 2003 1. Peraturan Daerah Kota Medan No 4 tahun 2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah di Lingkungan Kota Medan. 2. Peraturan Daerah Kota Medan No. 8 tahun 2002 tentang Retribusi
Pelayanan Kebersihan yang sekaligus mencabut SK. Walikotamadya KDH Tingkat II Medan No. 9703011993 tanggal 30 Desember 1993
tentang Tarip Pelayanan Kebersihan PKM, 2002. 3. Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 24 tahun 2001 tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah di
Lingkungan Pemerintah Kota Medan. 4. Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2002 tentang Tugas
dan Fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan. 5. Surat Keputusan Walikota Medan Nomor 5391306K2002 tanggal 1
Juli 2002 tentang Pembekuan Pelayanan Umum Kebersihan Kota Medan oleh PD Kebersihan, yang sepenuhnya dialihkan menjadi
tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota Medan.
Aturan yang dibuat oleh PKM ini tentunya mengacu kepada berbagai aturan lain yang berlaku di negara kesatuan Republik Indonesia NKRI ini.
Peraturan-peraturan tersebut diantaranya : 1. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan.
Universitas Sumatera Utara
2. Undang-Undang Nomor 4 tabun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian. 4. Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun.
5. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan: • Pasal 6 butir c : Pembangunan objek dan daya tarik wisata dilakukan
dengan memperhatikan kelestarian budaya dan mutu kualitas lingkungan
6. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
7. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan 8. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang
• Pasal 1 ayat 2: Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
• Pasal 3 ayat 3 butir d dan e: Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
1. mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah sertamenanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
2. mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
• Pasal 5 ayat 1: Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang.
• Pasal 14 ayat 1 butir b: Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pengelolaan secara terpadu berbagai
sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang . 9. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
• Pasal 3 tentang Asas Pengelolaan Sampah: Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas
berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai
ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
• Pasal 6 tentang Tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah: Tugas Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 terdiri atas: a. menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam pengelolaan sampah; b. melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan,
dan penanganan sampah; c. memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya
pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah; d. melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan
prasarana dan sarana pengelolaan sampah; e. mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil
pengolahan sampah; f. memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang
berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
g. melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan
sampah. • Pasal 19 tentang Penyelenggaraan Pegelolaan Sampah : Pengelolaan
sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas:
a. pengurangan sampah; dan b. penanganan sampah.
• Pasal 20 tentang Pengurangan Sampah : 1. Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf a meliputi kegiatan: a. pembatasan timbulan sampah;
b. pendauran ulang sampah; danatau c. pemanfaatan kembali sampah.
Universitas Sumatera Utara
2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sebagai berikut:
a. menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu;
b. memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan; c. memfasilitasi penerapan label produk yang ramah
lingkungan; d. memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang;
dan e. memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.
3. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menggunakan bahan produksi yang
menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, danatau mudah diurai oleh proses alam.
4. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menggunakan bahan yang
dapat diguna ulang, didaur ulang, danatau mudah diurai oleh proses alam.
• Pasal 44 tentang Ketentuan Peralihan: 1. Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan
tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 satu tahun terhitung sejak
berlakunya Undang-Undang ini. 2. Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir
sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 lima tahun terhitung sejak berlakunya Undang-
Undang ini. 10. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. • Pasal 1 ayat 1: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda,daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia
Universitas Sumatera Utara
dan perilakunya, yang mempengaruhi kelang sungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.
• Pasal 1 ayat 2: Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.
• Pasal 1 ayat 3: Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang
memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. • Pasal 1 ayat 8: Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi danatau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
• Pasal 1 ayat 14: Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi danatau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
• Pasal 1 ayat 19: Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia
sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang
teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. • Pasal 1 ayat 20: Limbah adalah sisa suatu usaha danatau kegiatan
• Pasal 20 ayat 1: Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang
melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup • Pasal 20 ayat 2: Setiap orang dilarang membuang limbah yang
berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
• Pasal 20 ayat 4 : Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat 1 hanya dapat dilakukan
di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
Dengan diberlakukannya Otonomi Pemerintahan Daerah maka tentunya akan ada peraturan yang harus diperhatikan dalam kaitannya
dengan SPSP diantaranya adalah Undang-undang nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah : RI, 2004a
1. Pasal 13 ayat 1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi meliputi : a. perencanaan dan pengendalian
pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber
daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupatenkota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas
kabupatenkota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengahtermasuk lintas kabupatenkota; j. pengendalian lingkungan
hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupatenkota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
2. Pasal 14 ayat 1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupatenkota merupakan urusan yang berskala
kabupatenkota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata
ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan
bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan
kependudukan, dan catatan sipil; l. pelayanan administrasi umum
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan; m. pelayanan administrasi penanaman modal; n. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya
yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 17 ayat 1. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 4 dan ayat 5
meliputi: a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; b. bagi hasil atas
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.
4. Pasal 22. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b.
meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan; e.
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas
umum yang layak; h. mengembangkan sistem jaminan sosial; i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. mengembangkan
sumber daya produktif di daerah; k. melestarikan lingkungan hidup; l. mengelola administrasi kependudukan; m. melestarikan nilai sosial
budaya; n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan o. kewajiban lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Untuk meyeragamkan pengelolaan persampahan maka Departemen Pekerjaan Umum dan Badan Standarisasi Nasional BSN membuat standar
yang berhubungan dengan pengelolaan persampahan yaitu: 1. SK-SNI. S-04-1991-03, tentang Spesifikasi Timbulan sampah untuk
kota kecil dan kota sedang di Indonesia. Standar ini mengatur tentang
Universitas Sumatera Utara
Jenis sumber sampah, besaran timbulan sampah berdasarkan komponen sumber sampah serta besaran timbulan sampah berdasarkan klasifikasi
kota. 2. SNI 19-2454-1991, tentang Tata cara Pengelolaan Teknik Sampah
Perkotaan Standar ini mengatur tentang Persyaratan Teknis yang meliputi: a. Teknik operasional; b. Daerah pelayanan; c. Tingkat
pelayanan ; d. Pewadahan sampah ; e. Pengumpulan sampah ; f. Pemindahan sampah ; g. Pengangkutan sampah ; h. Pengolahan ; i.
Pembuangan akhir Kriteria penentuan kualitas operasional pelayanan adalah: 1
Penggunaan jenis peralatan ; 2 Sampah terisolasi dari lingkungan ; 3 Frekuensi pelayanan ; 4 Frekuensi penyapuan ; 5 Estetika ; 6 Tipe
kota ; 7 Variasi daerah pelayanan ; 9 Pendapatan dari retribusi ; 10 Timbulan sampah musiman.
3. SNI 03-3241-1994, tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Standar ini mengatur tentaang ketentuan
pemilihan lokasi TPA, kriteria pemilihan lokasi yang meliputi kriteria regional dan kriteria penyisih.
4. SNI 19-3964-1994, tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Standar ini
mengatur tentang tata cara pengambilan dan pengukuran contoh timbulan sampah yang meliputi Lokasi, cara pengambilan, jumlah
contoh, frekuensi pengambilan serta pengukuran dan perhitungan.
2.4. Studi Model Pengelolaan Sampah Perkotaan Yang Pernah Dilakukan
Sebagian besar model pengelolaan sampah yang telah dikembangkan selalu melibatkan aspek ekonomi dan aspek lingkungan dan aspek sosial.
Morrissey dan Browne 2004 dalam Luoranen 2009 mengkategorikan model pengelolaan sampah ke dalam tiga kategori : 1 Cost Benefit
Universitas Sumatera Utara
Analysis CBA; 2 Life Cycle Analysis LCA; 3 · Multi-Criteria technique MC.
Finnveden et al. 2007 menjabarkan sederetan metode dan pendekatan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pengelolaan sampah seperti : 1 Environmental Impact Assessment procedural method; 2 Strategic Environmental Assessment
procedural method; 3 Cost-effectiveness Analysis analytical method; 4 Life-cycle Costing analytical method; 5 Risk Assessment; 6
Material Flow Accounting; 7 Substance Flow Analysis; 8 Energy Analysis; 9 Energy Analysis; 10 Entropy Analysis; 11 Environmental
Management Systems procedural method; 12 Environmental Auditing. McDougall et al. 2001 telah mengembangkan model IWM-II, yang
berbasis pada prinsip Integrated Waste Management IWM. Pada model ini variabel energi recovery dari SP telah tercakup di sistem. Dengan
menerapkan pendekatan secara holistic yang dimulai dari proses sumber timbulan sampah, pengumpulan, penanganan dan pembuangan, seluruhnya
dioptimasi agar memberikan dampak positif terhadap lingkungan, ekonomi serta di terima masyarakat. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa suatu SPS
baru dapat dikatakan berkelanjutan jika sistem tersebut : 1 berwawasan lingkungan; 2 terjangkau secara ekonomis; 3 diterima masyarakat.
Tabel 2.11 menjabarkan studi tentang pengelolaan sampah perkotaan yang pernah dilakukan
Tabel 2.11. Studi Yang Berkaitan Dengan Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
1 Abeliotis et al. 2009
ReFlow : Model yang dikembangkan pada
MATLAB, menerapkan skenario unit pricing
pendauran ulang yang berbasis pada derajat
ekspansi serta skema pengumpulan sampah di
Yunani.
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
2 Abou Najm El-Fadel
2004 Program linier
spreadsheet untuk mengoptimasi biaya
pengelolaan sampah
3 Al-Salem et al. 2009
LCA dari status SPSP di Kuwait
4 Asiedu 2001
Sistem dinamis : SPSP berkelanjutan terhadap
fasilitas lingkungan perkotaan - subsistem
terdiri atas populasi dan ekonomi,
5 Badran El-Haggar
2006 MPL V.4.2
Software Memodelkan bilangan
bulat campuran untuk pengelolaan sampah di
Port Said, Mesir. Analisis biaya dan laba.
6 Barata 2002
SPSP di Portugal : satu model input- output
lingkungan Portugal ; analisis interdependesi
antara kegiatan ekonomi dan jumlah sampah yang
dihasilkan
7 Bartelings 2003
General Eqilibrium Analysis : masalah sampah
perkotaan yang berkaitan dengan penetapan unit
pricing
8 Beigl Salhofer 2004
LCA :menggunakan skenario dan perbandingan
biaya dari berbagai alternatif pengelolaan
sampah. Analisis alternatif daur ulang bagi sampah
rumah tangga.
9 Beigl et al. 2004a
LCA : hubungan kuantitas dan kualitas lingkungan
yang relevan dengan output aktivitas manusia
dan karakteristik regional untuk perencanaan
pembangunan berkelanjutan. Membutuh
data berkala selama 32 tahun dari 55 kota di
Eropa dan di 32 negara.
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
10 Berglund 2003
Studi tentang efesisensi ekonomi pengelolaan
sampah 11
Bovea Powell 2006 LCA : menggunakan
skenario untuk mengoptimasi alternatif
pengelolaan sampah rumah tangga
12 Budiartha et al. 2000
Simulasi perdagangan Carbon dari SPSP di
Malaysia 13
Cali et al. 2007 Studi analisisi Landfill
Gas-El Navarro Landfill 14
Calvo et al. 2007 Penggunaan indeks
lingkungan untuk menentukan dampak
lingkungan TPA di Chile
15 Chang Chang 1998
Mengintegrasikan gagasan untuk prinsip
penghematan biaya, energi dan persyaratan materi
pemulihan di kawasan metropolitan Taipei
Taiwan
16 Clarissa 2007
Dampak Incenarator terhadap Global Warming
17 Dahbo et al. 2007
LCIA, SLCC Analisis komparasi
pengelolaan sampah media cetak di Finlandia.
Penelitian menyatukan LCA dengan analisis
ekonomi siklus hidup sosial SLCC.
18 Daskalopoulos et al.
1998 Model komputer untuk
pengelolaan SP. Model yang dihasilkan terarah
pada aspek ekonomis.
19 Diaz Warith 2006
WASTED Menggunakan software
untuk mengevaluasi Dampak lingkungan dari
SP. DSS untuk mengambil kebijakan
20 Döberl et al. 2002
CBA : analisis dampak jangka panjang dari SP
sampah di Austria.
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
21 Donald 2001
Studi tentang potensi pendidikan untuk
meningkatkan SPS di Vietnam: Hanoi
22 Dornburg et al. 2006
Menggunakan software untuk mengoptimasi
biomasa dari pengelolaan sampah. Hasil analisis
berupa data yang berkaitan dengan energi
yang diperoleh dari sampah .
23 Dubois et al. 2004
SPSP di EU 24
EPIC 2000 Analisis biaya dan
Analisis Lingkungan SPSP
25 Eriksson et al. 2002
ORWARE model komputer yang
menghitung aliran substansi, dampak
lingkungan, dan biaya pengelolaan sampah.
26 Eriksson et al. 2005
ORWARE Analisis komparasi dari 4
kota dalam mengelola SP yang meliputi energi,
dampak lingkungan dan biaya lingkungan.
27 Harding 2002
Studi SPSP untuk Hawai`i 28
ERC -Eunomia Research Consulting 2000
Analisis Ekonomi untuk mengelola sampah SP
yang Biodegradable
29 GBB 2008
Kajian Teknologi Pengolaan SP
30 Gendebien et al. 2003
Studi prospek bahan bakar yang berasal dari sampah
RDF
31 GET 2003
Kajian teknologi pengelolaan hijau SP–
MBT alternative lain dari Incinerator
32 Godley et al. 2004
Kajian SP yang biogradable
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
33 Grobbin 2004
Kajian teknologi alternatif baru untuk pengelolaan
Sampah 34
Horng et al. 2004 STELLA
Sistem dinamis : emisi GRK dari SPSP di Taiwan
35 Huang, et al. 2001
Model stokastik interval fuzzy yang dapat
digunakan oleh pemerintah kota untuk
pengelolaan sampah. Meminimalisasi biaya
sistem dalam rentang perencanaan.
36 Hudson et al. 1985
Studi alternatif biaya TPA 37
Kirkeby et al. 2006 EASEWASE
LCA : mengevaluasi keseluruhan konsumsi dan
dampak lingkungan dari SPSP di Aarhus :
Denmark.
38 Korhonen et al. 2004
Sebuah penelitian yang mengembangkan indikator
untuk menganalisis skenario manajemen
pengelolaan sampah pada industri ekologi IE.
39 Kum et al. 2004
Vensim Sistem dinamis : untuk
perencanaan keuanganan SPSP di Phnom Penh
40 Lapp et al. 2007
studi pemodelan pengelolaan sampah yang
berkaitan Iklim dan ekonomi
41 Liamsanguan et al 2004
LCA : menggunakan dua metoda SPSP di Phuket,
landfilling tanpa pemulihan energi dan
incenerator dengan pemulihan energi,
42 Luoranen 2009
Kajian SPSP berkelanjutan
menggunakan SISMan Simple Integrated sistem
Management-aliran massa, energi dan
finansial serta MEFLO Mass, Energy, Financial,
Legislation
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
43 Mahar et al 2008
Kajian Pratreatment Biologi pada di TPA
44 Marchettini et al. 2007
Evaluasi pengumpulan penanganan dan pilihan
pembuangan SPmelalui dua Indikator :
perbandingan hasil lingkungan EYR dan Net
energy.
45 Mclanaghan 2002
Kajian peranan teknologi pengelolaan sampah
menyambut Landfill Directive di EU
46 Minciardi et al. 2007
Program Nonlinear, model pengambilan-keputusan
multi-objektif pengelolaan SP, mencakup
minimalisasi empat objektif yang berhubungan
dengan biaya ekonomi, sampah yang tidak didaur
ulang unrecycled pembuangan pada sanitary
landfill serta emisi insenerator.
47 Miranda et al. 1996
Studi litertaur Unit Pricing SPSP
48 Mohit 2000
Partisipasi masyarakat dalam SPSP di kota
kalabagan : Dhaka- Bangladesh
49 Mull 2005
Sistem dinamis : SPSP yang berkelanjutan di kota
Sahakaranagar
50 Nie et al. 2004
Studi Model Analisis Biaya Optimal dan
penerapannya pada SPSP dikota kecil : Cina
51 Ostrem 2004
Studi teknologi AD untuk megolah SP organik
52 Özeler et al. 2006
LCA :Pengembangan dan perbandingan alternatif
pengelolaan SPdi kota Ankara.
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
53 Pacey et al. 2003
Bioreactor landfill - satu inovasi teknogi PS
54 Pongrácz 2002
Studi konseptual tentang pengelolaan sampah yang
melibatkan teori-teori tentang pengelolaan
sampah
55 Prawiradinata 2004
GAMS Model SPSP yang
terintegrasi: Kasus distrik ohio pusat-penetapan unit
pricing
56 Rahman, et al. 2009
PowerSims Studi teknologi
Pengelolaan Sampah Optimum
57 Ramachandra et al.
2003 Studi evaluasi penerapan
ISWM pengelolaan sampah yang
berkelanjutan di Bangalore, India.
58 Rathi 2007
Model ekonometrik SPSP di Mumbai : India.
59 RBC 2004
Studi kelayakan Anaerobic Digestion
60
Reghunandan
2004 Studi kebijakan SPSP
melaui transfer teknologi di Kerala
61 Reich 2005
ORWARE Kajian ekonomi
pengelolaan SP, berisiunsur penetapan
biaya siklus hidup LCC dan LCA.
62 Rendek et al. 2006
Studi penyerapan CO
2
63 dari
aktifitas Incenerator pada pengolahan SP
RISE-AT 1998 Evaluasi status AD untuk
pengelolaan SP
64 Rodríguez et al. 2003
IWM-1 LCA : based Integrated
Waste Management IWM-1 model untuk
meramalkan keseluruhan beban lingkungan dan
dampak ekonomis SPSP.
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
65 Sahlin et al. 2002
HEATSPOT Studi dampak insenerasi
di Swedia. 66
Sheehan 2009 LCA : siklus emisi GRK
dengan peningkatan penggunaan Biofuel
67 Shi et al. 2009
Studi tentang potensi Biofuel SP
68 Sliwa 2006
STELLA Sistem Dinamis :
Pengelolaan sampah di Puebla : Meksiko - potensi
daur ulang yang dikaitkan dengan nilai ekonomi dan
beban TP
69 Solano et al. 2002
LCA : mengintegrasikan model SPSP untuk proses
identifikasi alternatif strategi SPSP yang
berkaitan dengan biaya, energi, dan emisi
lingkungan.
70 Stave 2008
Simulasi dinamis : Zero Waste 2030 - keterlibatan
stakeholder di Los Angeles dalam
perencanaan SPSP yang berkaitan dengan
ketahanan produk, sampah dari produk, daur
ulang produk, tingkat daur ulang produk, konsumsi,
laju diversi konsumen, diversi kapasitas
pemrosesan, kapasitas pembuangan alternatif
dan 6 luaran simulasi : sampah di TPA, materi
yang dikonversikan, GRK relatif, biaya relatif, dan
usaha relatif.
71 Stypka 2004
Studi tentang penerapan SPSP sebagai alat untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan ; berkaitan
dengan ekonomi, energi dan landfill.
Universitas Sumatera Utara
No. Referensi
Model - Metode
Keterangan
72 Sufian et al 2006
STELLA Sistem dinamis :
Pemodelan sistem SPSP : di Kota Dhaka. model
terdiri dari dua sektor : sumber timbulan sampah
dan SPS.
73 Sumiani et al. 2009
LCA-Strategi pengelolaan lingkungan utk TPA
disertai studi GIS
74 Tanskanen 2000a,2000b
HMA Model Helsinki
Metropolitan area HMA penelitian sistem koleksi
sampah yang dipisahkan dari sumber dan proses
recovery
75 Vego et al. 2007
PROMETHEE, GAIA
Studi efisiensi pengelolaan SPdi empat provinsi yang
mencakup aspek Ekologis, ekonomi, sosial dan
fungsional.
76 Venkat 2005
Vensim Sistem dinamis : model
daur ulang 77
Wager et al. 2002 Studi tentang peranan
simulasi DSS bagi pengelolaan sampah
78 Weidemeier 2005
Studi MBT untuk mengolah SP yang dapat
mengurangi limbah di TPA
79 Wellinger 2005
Studi tentang produks dan penggunaan Biogas
80 Wilson 2002a, 2002b
LCI Live Cycle Inventory model untuk
mengevaluasi beban lingkungan yang
disebabkan oleh SPSP.
81 Ylijoki et al. 2005
Studi SP yang Biodegradabe
82 Amurwaraharja 2001
AHP + PowerSIM
Pemilihan Teknologi Pengelolaan Sampah
Incenerator, Sanitary Landfiil, Pengomposan
secara AHP dan simulasi Willingness to Pay WTP
Sumber : Kompilasi Daftar Pustaka
Universitas Sumatera Utara
Berbagai studi, pemodelan dan software telah dikembangkan untuk mengkaji SPSP seperti yang disajikan pada Tabel 2.11. Hasil dan
interpretasi sebuah model akan sangat tergantung kepada batasan, asumsi serta data yang digunakan dalam perhitungan. Selain itu dibutuhkan juga
tingkat pemahaman yang komprehensif terhadap seluruh proses yang akan dimodelkan, karena software pada dasarnya hanya digunakan untuk
menghitung hasil yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Untuk dapat melihat skala prioritas pengambilan keputusan dari
beberapa alternatif teknologi pengelolaan sampah perkotaan yang melibatkan berbagai aspek pengelolaan sampah perkotaan yang akan
disimulasi dengan pendekatan sistem dinamis dapat dilakukan dengan metode Analytic Network Process ANP.