105
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
3. Sistem Perkaw inan dan Perjodohan
Masalah perjodohan dan perkawinan juga menjadi salah satu fenomena yang sering muncul dalam novel-novel warna lokal Minangkabau. Persoalan ini digambarkan
oleh pengarang dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan masyarakat Minangkabau perkawinan antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan mamak-nya menjadi
sebuah fenomena. Dalam istilah Minangkabau di sebut “pulang ka anak mamak” pulang ke anak mamak atau “pulang ka bako” pulang ke bako—keluarga ayah. Menurut
pandangan masyarakat Minangkabau, perkawinan dengan anak mamak masih dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Dengan kata lain, perkawinan yang ideal bagi masyarakat
adalah perkawinan “awak samo awak” keluarga dekat. Hal ini bukan menggambarkan bahwa masyarakat menganut sikap eksklusif. Pola perkawinan seperti itu berlatar
belakang sistem kolektivisme yang dianutmya. Persoalan yang muncul adalah adanya pertentangan antara kaum muda yang
telah memperoleh pendidikan modern dengan kaum tua, terutama dalam hal perjodohan dan perkawinan. Seorang anak atau kemenakan harus mengikuti keinginan orang tua,
mamak, kaum atau keluarga untuk menerima istri yang telah dipilih oleh orang tua dan keluarga dekatnya. Hal ini misalnya terjadi pada tokoh Hamid yang pergi meninggalkan
Zainab karena ia akan dinikahkan dengan anak mamak-nya dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dalam kebanyakan karya warna lokal Minangkabau diceritakan tentang seorang
tokoh laki-laki atau perempuan yang telah menjalin kasih, saling mencintai, namun pada saat tertentu kedua pasangan kekasih tadi harus berpisah karena salah seorang di
antara mereka akan dikawinkan dengan anak mamak-nya, atau keluarga dekatnya.
4. Kedudukan Perempuan sebagai Bundo Kanduang
Bundo kanduang adalah panggilan untuk kaum perempuan menurut adat Minangkabau. Bundo artinya adalah ibu, kanduang adalah sejati. Bundo kanduang adalah
ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan Hakimy, 1994: 69. Bundo kanduang sebagai golongan perempuan harus memelihara diri, harkat dan martabatnya
serta mendudukkan dirinya dengan aturan-aturan adat. Kedudukan kaum perempuan dalam adat Minangkabau memilik arti yang sangat menetukan.
Persoalan tentang kedudukan kaum perempuan di Minangkabau menjadi salah satu fenomena yang sering muncul dalam novel-novel warna lokal Minangkabau. Kaum
perempuan memiliki kedudukan yang khas dalam hukum adat Minangkabau sehingga diberi julukan “limpapeh rumah nan gadang” figur sentral dalam rumah tangga.
5. Kedudukan Harta Pusaka
Persoalan lain yang sering muncul dalam novel-novel warna lokal Minangkabau adalah tentang kedudukan harta pusaka dalam kebudayaan Minangkabau. Bagi
masyarakat Minangkabau, warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar, maupun warisan harta yang biasanya disebut dengan sako gelardan pusako harta.
Pusako atau harta pusaka adalah segala kekayaan materi atau harta benda, yang termasuk di dalamnya adalah tanah, sawah ladang, tabek kolam, rumah dan
pekarangan, pandam pekuburan, perhiasan dan uang. Pusako ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan anak dan kemenakan di Minangkabau. Harta pusaka ini diwarisi
secara turun temurun. Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka dari mamak
106
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
kepada kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan “pusako basalin”. Pusako sebagai harta mempunyai empat fungsi utama dalam masyarakat Minangkabau Amir MS,
1997 yaitu: 1 sebagai menghargai jerih payah nenek moyang; 2 sebagai lambang ikatan kaum; 3 sebagai jaminan kehidupan; dan 4 sebagai lambang kedudukan sosial.
D. PENUTUP