219
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecederungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan.
34
Ada beberapa metode untuk mengetahui watak tokoh di antaranya metode analitis, yaitu 1 Metode yang memaparkan sifat-sifat tokoh, seperti hasrat, pikiran, perasaan, dan
sebagainya. 2 Metode yang menggalakkan pembaca untuk menyimpulkan watak tokoh, 3 Metode kontekstual, yaitu metode yang menyimpulkan watak tokoh dari bahasa yang
digunakan pengarang di dalam mengacu kepada tokoh. Ketiga metode itu pada umumnya dipakai bersama-sama dalam sebuah karya sastra, atau dua di antaranya berkombinasi.
Dari ketiga metode tersebut yang terpenting adalah pembaca dapat mengetahui ciri-ciri fisik serta mengetahui watak para tokoh, serta dapat menggambarkan dan menilai
keadaan tokoh.
35
B. Gender dan Feminisme dalam Dunia Sastra
Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai media, karya sastra menjadi jembatan
yang menghubungkan pikiran-pikiran pengarang yang disampaikan kepada pembaca. Dalam hubungan antara pengarang dengan pembaca, karya sastra menduduki peran-
peran yang berbeda. Selain berperan dalam proses transfer informasi dari pengarang ke pembaca, karya sastra juga berperan sebagai teks yang diciptakan pengarang dan
sebagai teks yang diresepsi oleh pembaca. Menurut Rampan
36
penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang
masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi, dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Secara
lebih sederhana, karya sastra menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. I nteraksi yang terjalin di antara keduanya merupakan tema yang
menarik untuk dikaji sebab menyangkut hubungan antara dua jenis kelamin, yang membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik secara sosial maupun budaya.
Ketika membahas masalah perempuan, satu konsep penting yang tidak boleh dilupakan ialah konsep gender. Hal ini menjadi masalah yang krusial karena stereotip
yang dibentuk oleh gender dalam aplikasinya memiliki kecenderungan menguntungkan laki-laki. Keuntungan tersebut dilihat dari berbagai bentuk tatanan sosial dan budaya yang
berlaku pada masyarakat yang menganut budaya patriarki. Perempuan, sebagai lawan jenis dari laki-laki, digambarkan dengan citra-citra tertentu yang mengesankan inferioritas
perempuan, baik dalam struktur sosial maupun budaya .
37
Salah satu isu global yang muncul pada akhir abad XX adalah isu gender. Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Julia Cleves Mosse menjelaskan
bahwa jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai laki-laki atau
34
Ibid., hlm.40.
35
Ibid., hlm.43.
36
Sugihastuti dan Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm.82.
37
Ibid., hlm.83.
220
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
sebagai perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita.
38
Masyarakat dunia, termasuk I ndonesia berkemauan kuat untuk mengubah gender sebagai hasil konstruksi sosial dalam sistem budaya patriarki. Sistem budaya patriarki
telah menciptakan lapisan atas-bawah sehingga menimbulkan ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan, terutama terhadap perempuan. Penjajahan sosial-ekonomi yang diikuti
oleh penyebaran agama yang terjadi dalam sejarah I ndonesia memperkuat kedudukan lapisan atasan-bawah tersebut.
Murniati dalam Getar Gender 2004 menyampaikan pandangannya mengenai perkembangan gender di I ndonesia. Menurutnya upaya untuk menguraikan kondisi
hubungan perempuan dan laki-laki di I ndonesia bukanlah hal yang mudah. Kepulauan I ndonesia sangat luas dengan daerah-daerah yang berbeda-beda adat-istiadatnya.
Berbagai macam suku dengan berbagai adat-istiadat telah mengkonstruksi perempuan dan laki-laki. Situasi tersebut masih ditambah lagi dengan konstruksi masyarakat yang
dibentuk oleh perbedaan kelas sosial, agama, dan politik.
39
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akar patriarki di I ndonesia bersumber dari berbagai aspek: sosiologis pembagian kerja dan fungsi dalam masyarakat,
kebudayaan feodalisme dan ajaran agama, tradisi, atau adat, politik kolonialisme, imperialisme, dan militerisme, dan ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu, kondisi
hubungan perempuan dan laki-laki tidak dapat dilihat tanpa menguaraikan situasi yang terjadi dalam konteksnya. Hingga saat ini, proses penyadaran gender di masyarakat
I ndonesia terus berjalan meskipun lambat.
40
Hubungan perempuan dan laki-laki di I ndonesia masih didominasi oleh ideologi gender yang membuahkan budaya patriarki. Budaya ini tidak mengakomodasikan
kesetaraan dan keseimbangan sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, biologis dan sosiologis saling mempengaruhi. Pada awalnya, perbedaan memang lebih bersifat alamiah, nature, fitrah.
Kemudian melalui kebudayaan, kehidupan manusia dikembangkan, direkayasa, dicegah, atau bahkan diberlakukan secara berlawanan kontradiksi dengan dasar alamiah tadi.
41
Dengan demikian, kehidupan manusia dibentuk oleh alam dan pikiran manusia. Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses
belajar, manusia membedakan jenis laki-laki dan perempuan. Tidak hanya memandang aspek biologisnya, tetapi juga dikaitkan dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian
pekerjaannya. Dari proses belajar ini, muncul teori gender yang kemudian dijadikan landasan berpikir dan falsafah hidup sehingga menjadi ideologi. I deologi inilah yang
kemudian mendikotomi pola hubungan antarmanusia yang biner patriarki.
42
Akibatnya, perempuan menjadi terbelenggu oleh posisinya sebagai warga kelas dua. Perempuan
tidak memiliki kemerdekaan sebagai manusia dalam menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sendiri.
38
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, diterjemahkan oleh Hartian Silawati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 2.
39
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang: Indonesiatera, 2004, hlm. 85.
40
Ibid.,hlm.80.
41
Ibid.,hlm. 75.
42
Ibid., hlm. 4
221
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
Sampai saat ini, masih banyak hak azasi perempuan sebagai manusia pribadi, dirampas tanpa disadari oleh perempuan itu sendiri. Situasi tersebut muncul sebagai
akibat dari struktur budaya yang dibuat oleh manusia, di antaranya adalah struktur budaya patriarki, struktur ekonomi, struktur sosial, struktur politik, dan struktur sosial
religius. Struktur-struktur tersebut telah menciptakan sistem yang mengatur tingkah laku perempuan sehingga perempuan mengalami ketidaksadaran akan keberadaannya sebagai
manusia pribadi.
43
Bahkan, ada banyak pembenaran agama untuk melegitimasi struktur- struktur yang memarginalkan perempuan melalui ayat-ayat yang ditafsirkan dalam bahasa
laki-laki, bias gender, dan cerminan dari konstruksi masyarakat sosial yang patriarki sehingga perempuan terbentuk menjadi manusia yang tidak kritis dan menerima apa
adanya.
44
Masalah perempuan sejak lama diupayakan untuk diselesaikan melalui kebangkitan
perempuan yang
ditandai dengan
perjuangan perempuan
untuk membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan ketidakadilan. Sejak perempuan sadar bahwa
dirinya sebagai manusia diperlakukan tidak adil, mereka mulai memberontak. Namun, karena gerakan pembodohan perempuan juga sudah berabad-abad, usaha kebangkitan
perempuan tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai hasil. Diperlukan usaha membuka cakrawala berpikir perempuan sehingga mereka ketidakadilan yang
selama ini mereka terima.
45
Sesuai dengan maksud dari gerakan perempuan yang berorientasi pada peningkatan martabat semua manusia harus disadari bahwa perempuan
dalam rumah tangga cenderung menjadi korban, tetapi dari sisi lain laki-laki belum menyadari telah membuat tekanan dan penderitaan pada kaum perempuan.
Perempuan dan laki-laki mendapatkan pengetahuan dari produk budaya. Perjuangan menyelesaikan masalah perempuan tidak dapat mencapai tujuan apabila
perempuan berjuang sendiri tanpa melibatkan laki-laki. Perjuangan sendiri akan menjerumuskan perempuan ke dalam sikap permusuhan dengan kaum laki-laki sehingga
laki-laki akan merasa terancam posisinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender.
46
Mengacu pada pandangan Murniati di atas, penelitian ini tidak dapat melepaskan diri dari latar belakang budaya dan ajaran agama dan peran sosial tokoh-tokoh dalam
teks karena keduanya merupakan bagian dari faktor yang membentuk ideologi gender. I deologi gender sebagai falsafah hidup berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
manusia, termasuk kehidupan beragama. Melalui budaya, manusia dikonstruksi secara gender dan kemudian menjadi sistem yang bernilai baku sebagai ajaran dan tradisi.
47
I I I . PEMBAHASAN
A. Sumber Data