Refleksi: Menyemai Budaya Lokal

65 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 sebagai media untuk menakar integritas-kontekstual seseorang. 6 Setelah sarana perlengkapan sumpah pocong telah siap, Makmun malah menghilang.Kisah dalam novel berbahasa Using tersebut, di satu sisi mengungkap nilai-niali kultural Using, termasuk berbagai sarana-prasarana mistis, sedangkan di sisi lain juga memberi pelajaran yang berharga bahwa penyalahgunaan kemampuan mistis akan berakibat merugikan, baik merugikan diri sendiri maupun orang lain. Gambaran dalam novel tersebut mampu memotret fenomena sosial kultural yang dialami masyarakat Using dalam kehidupan keseharian.

4. Refleksi: Menyemai Budaya Lokal

Paparan di atas merefleksikan bahwa meskipun beragam tematik, “sastra Using” memiliki gayutan yang bermuara pada nilai-nilai, identitas, dan budaya lokal. Pengarang dengan beragam repertoir dan proses kreatifnya, memiliki benang merah yang menggayutkan intensi mereka, yang berujung pada tersemainya budaya Using. Sinyalemen reflektif sekaligus prospektif semacam ini bertolak dari abstraksi atas mozaik khazanah “sastra Using” dan idiom-idiom lokalitas-kultural yang integral dengan pandangan dunia masyarakat Using. I diom-idiom kultural, baik profan maupun sakral, yang telah didedahkan di antaranya meliputi khazanah ritual, tradisi, sikap kepribadian, kesenian, kebijakan kultural, dan aspek historis. I diom khazanah ritual –Seblang, santet, sihir, sensren, Sabuk Mangir, Jaran Goyang, Alas Purwo– mampu memberi gambaran tentang mistisisme Using. I diom khazanah tradisi –Gredoan, Warung Bathokan, Perang Bangkat, Endhog-endhogan, Barong– dan juga kesenian –Gandrung, Angklung, Kendang Kempul, gendhing Lontar Yusuf– menjadi tanda semiotis betapa Using kaya akan estetika. I diom sikap kepribadian –aclak, ladak, bingkak– dan aspek historis –Blambangan, Sri Tanjung– mencitrakan 6 Sum pah pocong m erupakan salah sat u pranat a sosial t radisional unt uk m engem balikan harm oni dan int egrasi sosial. Pranata sum pah pocong, at au frase sum pah pocong, t idak berasal dari tradisi Islam.Sum pah pocong m erupakan akulturasi sinkretism e ant ara tunt unan Islam dan konvensi produk kearifan budaya lokal.Peradilan t radisional t ersebut t idak hanya berlaku unt uk perilaku disharmoni yang t erkait dengan ngelmu gaib, t et api juga perilaku yang berkait an dengan politik kekuasaan, ekonom i, dan et ika sosial.Berbagai sarana dan prasarana pendukung prosesi rit ual sum pah pocong m am pu m em berikan sugest i bagi kedua belah pihak, yakni disum pah di baw ah Al Quran di dalam m asjid, yang menyum pah adalah seorang kiai kharism at ik, disaksikan oleh publik, didoakan oleh kiai dengan doa-doa yang m enguat kan sumpah yang berorient asi pada ancaman m aut at au kem atian. Efekt ivit as pranat a t radisional t ersebut t idak dapat dilepaskan dari fakt or-fakt or sosiokult ural yang melat arbelakangi karakt erist ik m asyarakat lokal, yait u 1 posisi hierarkhis kiai, 2 kult ur Islam t radisional, 3 ikat an budaya, dan 4 fungsi konst ruktif int egrasi sosial Saput ra, dkk., 2009. 66 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 karakteristik dan gambaran masa lalu orang Using. Sementara itu, kebijakan kultural – Desa Wisata Using– mengindikasikan prospek khazanah kultural Using. Bagaimanapun, membaca “sastra Using” adalah juga membaca mozaik budaya Using, dengan berbagai ekspresi kosmologi Using. I a menjadi representasi identitas sekaligus tersemainya budaya Using di bumi Blambangan. DAFTAR PUSTAKA Adlawi, S. 2009. Jaran Goyang. Lamongan: Pustaka Pujangga. Adlawi, S., dkk. ed.. 1998. Cadik: Antologi Puisi Penyair Banyuwangi. Banyuwangi: Kelompok Selasa. Armaya. 2010. Keris Emas. Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi. Armaya. 2011a. Angin Laut. Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi. Armaya. 2011b. Nyanyi Kehidupan: Sejumlah Puisi. Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi. Basri, H. 2008. “Sastra Using, Banyuwangi”, dalam Kultur, 2 2, September 2008. Darmadji, A. 1992. “I sun Lare Using”, dalam Surabaya Post, Minggu, Juni 1992 Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fauzi, A., dkk. ed.. 2003. Gayuh: Kumpulan Undharasa. Banyuwangi: Panitia Harjaba. Fauzi, A., dkk. ed.. 2005. Godhong Kates. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan. Harbali, K. 2009. Banyuwangi Kota Kekasih. Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi. Hariyati, U. 2007. “Saya, Sastra Using, dan Puisi Gending”, dalam Srinthil: Media Perempuan Multikultural, April 2007, hlm. 58–68. Hidayat, T.Wr. 2009. Muncar Senjakala. Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi. Hutomo, S.S. dan E. Yonohudiono. 1996. Cerita Rakyat dari Banyuwangi. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana I ndonesia. Lord, A.B. 1981. The Singers of Tales. Cambridge: Harvard University Press. Saputra, H.S.P. 2007a. Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi. Yogyakarta: LKiS. Saputra, H.S.P. 2007b. “Aroma Mistis Perempuan Lintrik”, dalam Srinthil: Media Perempuan Multikultural, April 2007, hlm. 112–131. Saputra, H.S.P., Marwoto, dan Subaharianto, A. 2009. “Sumpah Pocong: Pranata Peradilan Tradisional sebagai Media I ntegrasi Sosial”, dalam Kultur,Vol. 3, No. 1, Maret 2009, hlm. 54–70. Singodimayan, H. 2003. Kerudung Santet Gandrung. Jakarta: Desantara. Singodimayan, H. 2011. Suluk Mu’tazilah. Jember: Kompyawisda bekerja sama dengan Hasnan Singodimayan Centre. Sutarto, A. 2011. “Suluk Mu’tazilah, Upaya Menjinakkan Dua Arus”, dalam Singodimayan, H. Suluk Mu’tazilah. Jember: Kompyawisda bekerja sama dengan Hasnan Singodimayan Centre. Ujik, K. 2005. Pereng Puthuk Giri. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan. 67 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 NI LAI BUDAYA DALAM SASTRA LI SAN BANJAR CULTURAL VALUES I N ORAL LI TERATURE BANJO Rissari Yayuk Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan Abstrak Masyarakat Kalimantan Selatan dominan terdiri atas suku Banjar. Suku Banjar berasal dari masyarakat asli Kalimantan dan masyarakat pendatang. Budaya dan religi yang mempengaruhi Masyarakat Banjar telah membentuk sistem kehidupan tersendiri yang mengandung nilai-nilai tradisional maupun modern. Nilai-nilai tersebut merupakan cerminan dari tata kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Sastra lisan adalah salah satu data budaya yang menggambarkan kandungan nilai tersebut. Hingga sekarang tradisi lisan masyarakat Banjar sebagian masih berlangsung dan sebagian lagi sudah bergeser. Perubahan zaman adalah faktor yang menyebabkan bergesernya tradisi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pendukung utama pula yang menyebabkan tradisi lisan di masyarakat Banjar sedikit-demi sedikit terpinggirkan. Padahal sekali lagi, dari tradisi tutur telah melahirkan sastra lisan yang kaya nilai, baik nilai sosial maupun relegi.Membutuhkan upaya yang keras untuk bisa menjadikan sastra lisan tersebut dapat terpelihara dan terdokumen dengan apik. Sehingga data sastra lisan masyarakat Banjar bisa diwujudkan dalam bentuk naskah tulis yang bisa dijadikan bahan pengetahuan maupun rujukan budaya bagi generasi selanjutnya.Tuturan lisan ini diwariskan dari generasi ke generasi. Ada banyak sastra lisan yang ada dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya, baik puisi maupun prosa. Dalam tulisan ini penulis mengemukakan empat bentuk sastra lisan berbentuk nonprosa sebagai folklor daerah Banjar.Empat tuturan lisan yang tidak memiliki aksara tulis pada zaman dulu ini meliputi, pamali, tatangar, mantra dan ungkapan.Keempat jenis sastra lisan ini sangatlah penting dijaga kelestariannya, baik lewat dokumentasi maupun sosialisasi. Fungsi yang ada dalam kalimat pamali misalnya yang dilantunkan oleh para tetua “Banjar” ini antara lain sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya kekuatan supranatural yang berada di luar alam mereka. Atau masyarakat Banjar memang pada umumnya sangat kental akan pengaruh agama I slam dan kepercayaan lainnya. Berikutnya, lewat mantra dapat digali nilai budaya yang lebih mendalam yaitu kepercayaan atau religi serta kebergunaannya.Demikian pula ungkapan, di dalamnya mengandung nilai moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat Banjar. Masyarakat Kalimantan Selatan dominan terdiri atas suku Banjar. Suku Banjar berasal dari masyarakat asli Kalimantan dan masyarakat pendatang. Budaya dan religi yang mempengaruhi Masyarakat Banjar telah membentuk sistem kehidupan tersendiri yang mengandung nilai-nilai tradisional maupun modern. Nilai-nilai tersebut merupakan cerminan dari tata kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Sastra lisan adalah salah satu data budaya yang menggambarkan kandungan nilai tersebut. Hingga sekarang tradisi lisan masyarakat Banjar sebagian masih berlangsung dan sebagian lagi sudah bergeser. Perubahan zaman adalah faktor yang menyebabkan bergesernya tradisi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pendukung utama pula yang menyebabkan tradisi lisan di masyarakat Banjar sedikit-demi sedikit terpinggirkan. Padahal sekali lagi, dari tradisi tutur telah melahirkan sastra lisan yang kaya nilai, baik nilai sosial maupun relegi.Membutuhkan upaya yang keras untuk bisa menjadikan sastra lisan tersebut dapat terpelihara dan terdokumen dengan apik. Sehingga data sastra lisan masyarakat Banjar bisa diwujudkan dalam bentuk naskah tulis yang bisa dijadikan bahan pengetahuan maupun rujukan budaya bagi generasi selanjutnya.Tuturan lisan ini diwariskan dari generasi ke generasi. Ada banyak sastra lisan yang ada dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya, baik puisi maupun prosa. Dalam tulisan ini penulis mengemukakan empat bentuk sastra lisan berbentuk nonprosa sebagai folklor daerah Banjar.Empat tuturan lisan yang tidak memiliki aksara tulis pada zaman dulu ini meliputi, pamali, tatangar, mantra dan ungkapan.Keempat jenis sastra lisan ini sangatlah penting dijaga kelestariannya, baik lewat dokumentasi maupun sosialisasi. Fungsi yang ada dalam kalimat pamali misalnya yang dilantunkan oleh para tetua “Banjar” ini antara lain sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya kekuatan supranatural yang berada di luar alam mereka. Atau masyarakat Banjar memang pada umumnya sangat kental akan 68 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 pengaruh agama I slam dan kepercayaan lainnya. Berikutnya, lewat mantra dapat digali nilai budaya yang lebih mendalam yaitu kepercayaan atau religi serta kebergunaannya.Demikian pula ungkapan, di dalamnya mengandung nilai moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat Banjar. Kata kunci : Nilai, Sastra, Banjar ABSTRACK Society of South Kalimantan consists predominantly tribal Banjar. Banjar tribe from Borneo indigenous and immigrant communities. Cultural and religious influence Banjar Society has established its own system of life that contains the values of traditional and modern. These values are a reflection of the livelihood of the people of Banjar in South Kalimantan. Oral literature is one of the cultural data that describes the content of that value. Until now most of the oral tradition of the Banjar still ongoing and some have shifted. The changing times is a factor that led to the shifting of the tradition. Science and technology became a major supporter also causes oral tradition in the Banjar it gradually marginalized. And once again, of the said tradition has spawned a rich oral literature values, both social value and relegi.Membutuhkan great effort to be able to make oral literature can be maintained and nicely terdokumen. So the data of oral literature Banjar society can be realized in the form of written text that can be used as reference material and cultural knowledge for the generation of oral selanjutnya.Tuturan is passed down from generation to generation. There are a lot of oral literature that exists in peoples lives in South Kalimantan in general, both poetry and prose. In this paper the authors present four forms of oral literature as folklore nonprosa shaped area Banjar.Empat verbal utterances that have no written script in ancient times include, taboos, tatangar, spells and ungkapan.Keempat types of oral literature is very important to be preserved, either through documentation and dissemination. Functions within sentences such taboos are chanted by the elders Banjar, among others, as a thickener religious emotion or belief. This is due to man convinced of the existence of supernatural forces beyond their realm. Or the Banjar is generally very thick of the influence of I slam and other faiths. Next, through the mantra can dig deeper cultural values or religious beliefs, and that is also kebergunaannya. Demikian expression, containing within it the moral and social values in public life Banjar. Keyw ords : Value, Literature, Banjar

1. Pendahuluan