Simpulan Perkembangan dan Regenrasi Tarsul

99 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 31. Perkawinan; The hero is married and ascends the throne. Pupuh kedua, Walangsungsang dinikahkan dengan putri Danuwarsi yang bernama I ndang Geulis. Pupuh ketujuh, Raja Uttara menikahi Rarasantang dengan mas kawin sebuah sorban peninggalan Nabi Muhammad SAW. Pupuh kedua puluh satu, Durakman tersesat ke puri di belakang istana.Di sana, ia melihat banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh para penjaga. Lalu ia ditangkap dan dihadapkan pada Ratu Diriliwungan. I a akan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang Ratu. Akhirnya, Durakman bersedia menikahinya. Pupuh ke duapuluh lima, Jaka Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menikah dengan seorang bidadari. Putrinya, Nawangsari juga sudah menikah dengan putra Majapahit, Raden Bondan. Pupuh ketigapuluh delapan, Kedatangan Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan perkawinan putrinya Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera dilangsungkan di Demak. Kesesuaian fungsi Propp sebanyak 31 tersebut pada Babad Cirebon hanya terdapat 24 fungsi yang ada dalam teks, sedangkan fungsi-fungsi yang tidak ada sebanyak 7. Ke- 24 fungsi Propp yang ada antara lain: 1. ketiadaan; 2. larangan; 3. pelanggaran larangan; 6. muslihat; 7. keterlibatan terperdaya; 8.kejahatan kesusahan dan kekurangan; 10. permulaan tindak balas; 11. kepergian; 12. pengujian fungsi pertama donor; 13. reaksi wira; 14. penerimaan alat sakti; 15. panduan; 16. pertarungan; 17. penandaan; 18. kemenangan wira kekalahan penjahat; 19. likuidasi mengatasi kemalangan; 20. kepulangan; 23. kepulangan wira tanpa dikenali; 24. Tuduhan dan tuntutan palsu; 25. Tugas berat; 26. penyelesaian; 29. penjelmaan; 30. hukuman; dan 31. Perkawinan. Sedangkan, 7 fungsi yang tidak terdapat dalam Babad Cirebon yaitu: 4. tinjauan intaian; 5. penyampaian informasi mengenai wira kepada penjahat; 9. perantara insiden penghubung; 21. wira dikejar; 22. penyelamatan; 27. wira dikenali kembali; dan 28. kebenaran terungkap atas wira palsu. Dengan demikian, tidak semua fungsi yang diformulasikan oleh Propp ada dalam Babad Cirebon. Urutan fungsi yang disebutkan Propp nomor 3 ternyata tidaklah senantiasa seperti pendapatnya. Bisa saja fungsi yang ada di bawahnya telah tampil lebih dini dibandingkan yang lebih berada di urutan atas. Cerita yang ditampilkan pada Babad Cirebon tidaklah diakhiri dengan kemenangan atau pendirian kerajaan Baru, akan tetapi diakhiri dengan peperangan tanpa titik penyelesaian yang jelas.

4. Simpulan

Dengan melihat uraian di atas, pengkaji mendapati 24 dari 31 fungsi Propp yang ada dalam Babad Cirebon, sedangkan 7 fungsi yang lain tidak ada. Urutan yang semestinya dikatakan Propp adalah konstan, ternyata pada hasilnya tidak demikian. Urutan fungsi tersebut berbeda penyajiannya dalam naskah sehingga ketidaksesuaian ini diharapkan penulis untuk menjadi perhatian khusus dalam cerita rakyat yang lahir dan berkembang di I ndonesia. Karena, keadaan budaya yang ada di I ndonesia tentu saja 100 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 berbeda dengan budaya dari cerita rakyat Rusia yang menjadi hasil temuan Propp. Cerita yang ditampilkan pada Babad Cirebon tidak berakhir bahagia seperti kemenangan atau pendirian kerajaan baru atau pernikahan, akan tetapi diakhiri dengan peperangan tanpa titik penyelesaian yang jelas sehingga menampilkan konflik baru dan berakhir dengan tanda tanya. Lebih jauh dari itu, membaca cerita rakyat adalah suatu cara untuk memahami kebudayaan tertentu kemudian memudahkan seseorang untuk menarik kesamaan antar budaya dan melihat perbedaan sebagai kekayaan yang perlu untuk sama-sama dijaga dan dihargai semua manusia. DAFTAR PUSTAKA Cakradipura, Taryadi. 1979. Babad Cirebon . Jakarta: Depdikbud. Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra I ndonesia dan Daerah. Cirebonme blogspot.com 2008 07 babadcirebonversiklayan.html Hidayat, Asep Rahmat. 2011. “Mundinglaya Dikusumah: Satu Kajian Morfologi atas Cerita Pantun Sunda.” dalam Metasastra , Jurnal Penelitian Sastra, vol. 4. No.2, Desember. Bandung: Balai Bahasa Bandung. Lord, Albert B. 1960. The Singer Of Tales. Cambridge: Harvard University Press. Lord, Alberd. 1987. “Characteristics of Orality”. Oral Tradition Journal 2 1, 54-72. Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. New York: Methuen Co. Parry, Adam. 1987. The Making Homeric Verse. New York: Oxford University Press. Propp, Vladímir. 1968. Morphology of Folk Tale. Second edition. The American Folklore Society and I ndiana University. Teeuw, A. 1994. I ndonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan I . Hal 1-43. Usmiani, Renate 1985. “Text, Script or Score: Auro-oral Orientations in Postmodern Dramatic Writing”. Orality and Literature. Edited by Hans R. Runte and Roseann Runte, Paris: Peter Lang, 223-228. 101 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 I DENTI TAS NARATI F DALAM SASTRA WARNA LOKAL MI NANGKABAU Zulfadhli, S.S., M.A. 8 FBS Universitas Negeri Padang Abstrak Tulisan ini mendeskripsikan tentang fenomena sosial masyarakat Minangkabau yang terungkap dalam karya sastra warna lokal Minangkabau sebagai sebuah identitas, ciri khas, dan karakteristik dari masyarakat Minangkabau yang sekaligus dapat menjadi pembentuk identitas nasional bangsa I ndonesia. Karya sastra adalah produk budaya, sehingga segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra merupakan refleksi sosial dari kehidupan masyarakat. Dalam pandangan sosiologi sastra, karya sastra berhubungan dengan kehidupan sosial, intelektual, politik, dan ekonomi pada saat karya itu dilahirkan. Di samping itu, karya sastra juga dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Berbagai fenomena sosial masyarakat disajikan dalam karya sastra melalui imajinasi dan kreativitas pengarang. Karya sastra warna lokal Minangkabau memperlihatkan kekhasannya yang berkaitan erat dengan kultur, sikap hidup, pola pikir, perilaku, dan sistem sosial kemasyarakatan yang menjadi pembentuk identitas kebudayaan Minangkabau. Dalam sejarah perkembangan sastra I ndonesia modern, karya sastra warna lokal Minangkabau dengan kekhasan sistem adatnya selalu menjadi perhatian oleh banyak kalangan kritikus sastra. Hal itu dimungkinkan karena permasalahan yang terungkap di dalamnya merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Fenomena sosial masyarakat Minangkabau dengan sistem adatnya tersebut terungkap dalam beberapa karya warna lokal Minangkabau, di antaranya adalah Siti Nurbaya Karya Marah Rusli, Salah Asuhan Karya Abdul Moeis, Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis, Di bawah Lindungan Ka’bah Karya Hamka, Warisan Karya Chairul Harun, Bako Karya Darman Munir, Tamu Karya Wisran Hadi, Bulan Susut Karya I smet Fanany dan sederet karya sastra warna lokal Minangkabau Lainnya. Dari hasil pembahasan dan pengkajian terhadap beberapa karya sastra warna lokal Minangkabau, terdapat beberapa fenomena sosial masyarakat Minangkabau yang merupakan identitas dan karakteristik masyarakat Minangkabau, di antaranya adalah tentang sistem kekerabatan matrilinenal yang dianut oleh masyarakatnya, tradisi merantau sebagai upaya pendewasaan dan pematangan diri, baik secara secara sosial maupun ekonomi, hubungan sosial antara mamak adik laki-laki ibu dan kemenakan, kedudukan harta pusaka, perjodohan dan perkawinan serta keberadaan kaum perempuan sebagai bundo kanduang dalam pandangan masyarakat Minangkabau. Fenomena tersebut merupakan bagian dari kekayaan kebudayaan bangsa I ndonesia yang perlu untuk ditumbuhkembangkan sebagai upaya pelestariaan nilai-nilai luhur bangsa I ndonesia. Hal ini juga berarti bahwa keanekaragaman kebudayaan I ndonesia dapat dijadikan sebagai pembentuk identitas nasional dan jati diri bangsa I ndonesia sekaligus sebagai aset untuk mengembangkan kebudayaan nasional. Kata Kunci: I dentitas naratif, Warna Lokal, Minangkabau

A. PENGANTAR

Karya sastra adalah produk budaya, sehingga segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra merupakan refleksi sosial dari kehidupan masyarakat. Dalam pandangan sosiologi sastra, karya sastra berhubungan dengan kehidupan sosial, intelektual, politik, dan ekonomi pada saat karya itu dilahirkan. Di samping itu, karya sastra juga dapat 8 Dosen Program Studi Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang