212
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
Puisi ini termasuk puisi Kematian. Penyair menggambarkan sebuah pelarian dari ajal yang akan menimpah. Ke manapun manusia melarikan diri untuk mengindar dari
kematian, tetapi jika ajalnya telah tiba, dalam satu kedipan mata saja, manusia akan lenyap. Hal ini digambarkan dengan jelas oleh penyair pada bait pertama sampai
terakhir. Pelarian yang dilakukan untuk menghindari kematian, walau ke lubang paling kecilpun, ke hulu sungai, langit, bahkan ke manapun, semuanya sia-sia. Konsep laut
yang digunakan adalah lautan, ikan-ikan, jaring, mendayung, layar, dan perahu. Semuanya ini digunakan oleh penyair untuk menjelaskan bahwa setiap manusia, pada
dasarnya akan meninggal. Jadi, yang telah menjadi takdir tidak dapat ditolak. Bagi penyair, kematian bukan soal. Karena siapapun yang hidup akan meninggal apabila telah
sampai ajalnya.
2. Puisi “Dalam Buaian Angin Timur”
Dalam Buaian Angin Timur edelweiss
Akulah lelaki yang telah menikammu dengan cinta di tengah kegelapan laut Ketika ganggang sedang menari dan ikan-ikan sibuk menanam nafsu birahi
sertaTerompet kulit biadanbunyi tetabuhan yang terus menggaung dari dalamdada Ke alamat manakah ombak harus menyampaikan kabar
jikaMalam dan siang hanyamenjadi lintasan kepadawaktu yang memperpendek usia akhirnyaPada garis tangan dantakdir kita saling mendekatkan nasib masing-masing
karena Akulah lelaki yang telahmelamarmu dalam buaian angin timur
Puisi Dalam Buaian Angin Timur, menggambarkan tentang kehidupan seorang lelaki yang mempunyai rasa cinta kepada lawan jenisnya. Namun, perasaan ini belum
berani diungkapkan, sehingga ia harus berpasrah pada takdir. Objek yang digunakan penyair berkaitan dengan laut dan segalanya fenomenanya adalah laut, ganggang, ikan,
kulit bia, dan ombak.
3. Puisi “Jangan Perahu Surut ke Pantai”
Jangan Perahu Surut ke Pantai Hidup adalah ibarat haluan ke arah mana perahu harus menuju
sambil Menunggang rindu dan mengembang kan layar walau Lautan penuh badai tetap kau jelajahi walau berapi
Sio nona, apa tempo ale mau bale lagi Ayo melaju tikam kan dayung sampai ke dasar laut
dan Tancapkan juga cinta ke sembilan arah mata angin biarkan Dupa tetap menyala keringkan airmata yang mendera
satu ikrar Mar eik van je di dalam hati selamanya Jangan biarkan perahu surut ke pantai
dan membuat Nasib kita terlempar ke karang Sio nona, apa tempo katong akan bercinta DP 06
213
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
Puisi Jangan Perahu Surut ke Pantai, memberikan gambaran tentang sepasang kekasih yang saling mencintai tetapi belum dapat bersama-sama karena dipisahkan oleh
pulau. Walau jarak yang jauh, tetapi hasrat cinta yang dimiliki tetap menggebuh, sekalipun dupa menyala dan air mata mendera, tetapi sang kekasih tetap di dalam hati.
Cinta dalam puisi ini diibaratkan dengan perahu. Hal ini digambarkan dengan jelas oleh penyair pada bait ketiga. Penyair tidak menginginkan cintanya berakhir, karena
perasaannya yang menggebuh. Oleh karena itu ia tetap mengharapkan untuk bertemu dengan kekasihnya.
4. Puisi“Lelaki Sendirian Di Pulau”
Lelaki Sendirian Di Pulau sebuah Mimpi tentang cinta telah dikirimkan lelaki itu bulat-bulat tadi malam
Ketika laut sedang pasang dan badai terus menghantamnya dalam sunyi Dan membuatnya mabuk di pulau itu
Segala isyarat juga telah ia pancangkan setinggi menara mercusuar Sambil mengirimkanya ke segala arah mata angin
Sebagai tanda agar ada orang yang mau datang berlabuh serta Singgah sebentar membawa serta aroma laut ke dalam pelukan
Tetapi sayang angin telah membelokan perahu sang kekasih dan Menjauhkan jarak mereka yang hampir saja tiba
sekarang Lelaki itu kini sendirian menunggu di pulau dalam gigil Tanpa namadan tanpa suara kecuali duduk diam mengukur batas ajal
Adakah badai dapat membawanya kembali ? DP 07
Puisi Lelaki Sendiriaan di Pulau, menggambarkan tentang kekosongan hidup seorang lelaki yang kehilangan orang yang dia cintai. I a menjalani hidup dalam
kesendirian dengan tetap berharap untuk bertemu. Namun, takdir berkata lain. Akhirnya, sang lelaki harus menghabiskan sisa hidupnya dalam kesendirian.
5. “Menunggu Waktu Bersandar”