104
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
sanak saudara, keluarga dan kampung halaman. Pergi merantau mempunyai arti dan efek sosial-ekonomis dan sosial-kultural bagi masyarakat Minangkabau.
I stilah merantau menurut Naim 1984: 3 mengandung enam unsur pokok, yaitu 1 meninggalkan kampung halaman; 2 dengan kemauan sendiri; 3 untuk jangka waktu
yang lama atau tidak; 4 dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman; 5 biasanya dengan maksud kembali pulang; dan 6 merantau
adalah lembaga sosial yang membudaya. Dalam beberapa novel warna lokal Minangkabau, tradisi merantau menjadi salah
satu bahagian yang dilakukan oleh tokoh cerita, terutama tokoh laki-laki. Hal ini tampak dalam beberapa novel warna lokal Minangkabau, di antaranya adalah tokoh Samsul Bahri
dalam Siti Nurbaya pergi merantau untuk menuntut ilmu, tokoh Hamid dalam Di Bawah Lindugan Ka’bah, tokoh Ridwan dalam Bulan Susut. Tokoh Masri dalam Datangnya dan
Perginya. Begitu juga dalam beberapa karya sastra warna lokal Minangkabau lainnya. Tradisi merantau juga terlihat dalam legenda Malin Kundang sebagaiikon dari kebudayaan
Minangkabau. Merantau sebagai produk kebudayaan Minangkabau merupakan salah satu sarana
untuk mengembangkan diri baik secara ekonomi maupun secara sosial kultural. Banyak faktor yang dapat dikemukakan mengapa sebagian besar masyarakat Minangkabau pergi
merantau. Faktor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat Minangkabau untuk merantau.
2. Hubungan Mamak- Kemenakan
Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di I ndonesia memiliki perbedaan yang khas bila dibandingkan dengan suku bangsa lainnya. Salah satu bentuk kekhasan
budaya Minangkabau adalah berkaitan dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakatnya. Sistem kekerabatan di Minangkabau adalah sistem kekerabatan
matrilineal. Dengan sistem kekerabatan matrilineal tersebut, garis keturunan seseorang berdasarkan garis keturunan ibu. Dengan demikian, seorang anak juga akan memiliki
hubungan yang sangat erat dengan saudara laki-laki ibunya mamak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa mamak adalah saudara laki-laki dari ibu. Dalam masyarakat
Minangkabau, hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara laki-laki ibunya disebut dengan hubungan “mamak jo kamanakan” mamak dengan kemenakan.
Menurut Junus 1984: 52 mamak mempunyai dua pengertian, yaitu 1 seseorang yang menjaga kesejahteraan material dari keluarga matrilinealnya; 2 seseorang yang
berusaha agar tidak terjadi pelanggaran adat. Dalam sebagian besar novel warna lokal Minangkabau, peran dan kedudukan
mamak menjadi bagian yang dipentingkan. Hal ini berarti bahwa selalu ada tokoh yang berperan sebagai mamak dalam novel-novel warna lokal Minangkabau, misalnya dalam
novel Siti Nurbaya, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Bako, Bulan Susut, Warisan, Si Padang, Cerpen-cerpen A.A. Navis,dan dalam beberapa karya sastra warna lokal Minangkabau
lainnya. Sistem sosial Minangkabau merupakan sebuah ciri khas dan karaktersitik budaya
masyarakat Minangkabau yang membedakannya dengan budaya lain. Fenomena ini dianggap sangat penting bagi masyarakat Minangkabau yang hidup dalam suasana dan
tradisi Minangkabau.
105
Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012
3. Sistem Perkaw inan dan Perjodohan
Masalah perjodohan dan perkawinan juga menjadi salah satu fenomena yang sering muncul dalam novel-novel warna lokal Minangkabau. Persoalan ini digambarkan
oleh pengarang dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan masyarakat Minangkabau perkawinan antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan mamak-nya menjadi
sebuah fenomena. Dalam istilah Minangkabau di sebut “pulang ka anak mamak” pulang ke anak mamak atau “pulang ka bako” pulang ke bako—keluarga ayah. Menurut
pandangan masyarakat Minangkabau, perkawinan dengan anak mamak masih dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Dengan kata lain, perkawinan yang ideal bagi masyarakat
adalah perkawinan “awak samo awak” keluarga dekat. Hal ini bukan menggambarkan bahwa masyarakat menganut sikap eksklusif. Pola perkawinan seperti itu berlatar
belakang sistem kolektivisme yang dianutmya. Persoalan yang muncul adalah adanya pertentangan antara kaum muda yang
telah memperoleh pendidikan modern dengan kaum tua, terutama dalam hal perjodohan dan perkawinan. Seorang anak atau kemenakan harus mengikuti keinginan orang tua,
mamak, kaum atau keluarga untuk menerima istri yang telah dipilih oleh orang tua dan keluarga dekatnya. Hal ini misalnya terjadi pada tokoh Hamid yang pergi meninggalkan
Zainab karena ia akan dinikahkan dengan anak mamak-nya dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dalam kebanyakan karya warna lokal Minangkabau diceritakan tentang seorang
tokoh laki-laki atau perempuan yang telah menjalin kasih, saling mencintai, namun pada saat tertentu kedua pasangan kekasih tadi harus berpisah karena salah seorang di
antara mereka akan dikawinkan dengan anak mamak-nya, atau keluarga dekatnya.
4. Kedudukan Perempuan sebagai Bundo Kanduang