Menelisik Sastra Lisan Perkembangan dan Regenrasi Tarsul

57 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 yang dihasilkan oleh pengarang yang berasal dari lingkungan masyarakat Using dan mengangkat persoalan kehidupan dan kebudayaan Using. Khazanah sastra lisan Using terformulasi dalam beragam jenis karya, mulai genre prosa legenda, mite, dongeng hingga puisi basanan, wangsalan, sanepan, batekan, syair, dan mantra. Demikian juga dengan produk sastra modern, secara umum banyak yang ber-genre prosa dan puisi. Dalam konteks itu, mereka merangkai sastra yang notabene tidak kosong budaya. Lalu bagaimana gambaran budaya Using yang tercermin dalam karya-karya sastra, baik dalam genre sastra lisan yang tersebar secara turun-temurun, maupun genre sastra modern yang dihasilkan dari proses kreatif pengarang Using? Tulisan pendek ini berusaha memberi pandangan terhadap pertanyaan tersebut.

2. Menelisik Sastra Lisan

Sastra lisan Using yang dominan adalah genre prosa legenda, mite, dongeng dan puisi basanan, wangsalan, sanepan, batekan, syair, dan mantra. Dalam ranah konseptual, karya-karya tersebut merupakan refleksi dan sekaligus retrospeksi angan- angan kolektif masyarakat Using tentang dinamika dan romantika kehidupan sosial budaya Using. Meskipun demikian, dalam dinamikanya, tentu hal tersebut mengalami transformasi sesuai atau sejalan dengan semangat zaman. Prosa lisan Using yang menjadi “monumen” di antaranya adalah legenda Sri Tanjung 2 atau Banterang-Surati, meskipun terdapat juga dalam versi naskah. Kisah yang bermuara pada terwujudnya nama Banyuwangi tersebut memaparkan heroisme perjuangan Patih Sidapeksa dan pengkhiantan Raja Sulakrama untuk mendapatkan Sri Tanjung. Meskipun mati di tangan suami Patih Sidapeksa, pesan terakhir Sri Tanjung – jika air banyu yang menghayutkan darahnya berbau harum wangi maka dia tidak bersalah– menjadi tanda bahwa dirinya berada pada posisi yang tidak sepenuhnya subordinat. Secara psikologis, ia tanpa diniatkan telah menjadi teror mental bagi dua penguasa Kerajaan Sindurejo itu. Sebagai cikal-bakal Banyuwangi, narasi tersebut 2 Bagi Armaya, dalam puisi “Balada Sritanjung”, [nama perempuan tersebut dituliskan dalam satu rangkaian kata] sosok Sri Tanjung mendapat ungkapan simpati yang mendalam atas kesetiaan yang dipertahankannya hingga ajal menjemput, di tangan suaminya sendiri, Sidapeksa. Dalam puisi yang pertama kali dimuat di majalah Konfrontasi No. 24, Mei-Juni 1958 dan kemudian dimuat ulang di buku Armaya 2011b itu, penyair memberi gambaran betapa sengsara nasib Sri Tanjung. Namun, kemudian keberpihakan penyair kepada Sri Tanjung ditunjukkan dengan memberi gambaran psikologis berupa sebaris ungkapan: “raja yang tertikam wajah Sritanjung.” 58 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 menjadi romantisme-heroik tersendiri di benak masyarakat Using sehingga mengkristal menjadi identitas historis. Kisah lain menarasikan tentang terbentuknya nama suatu wilayah atau ketokohan seseorang, di antaranya Legenda Sedah Merah, Legenda Ki Ubret, Lembu Setata dan Lembu Sakti, Agung Sulung dan Sulung Agung, Kerajaan Macan Putih, Dewi Sekardadu, dan Kebo Marcuet. Untuk dongeng, bisa mengisahkan ketokohan, misalnya Dongeng Joko Wulur, Dongeng Mas Ayu Melok Hutomo Yonohudiyono, 1996, atau kisah-kisah lain tentang binatang. Narasi-narasi tersebut merupakan klangenan kolektif sekaligus representasi dari angan-angan kolektif masyarkat Using. Puisi lisan Using yang berjenis basanan, wangsalan, sanepan, dan batekan, merupakan produk kelisanan relatif pendek yang sering dimanfaatkan dalam komunikasi keseharian dengan nuansa citarasa sastra. Basanan merupakan pernyataan yang mengandung unsur sampiran dan isi, sedangkan wangsalan merupakan teka-teki dengan memanfaatkan persamaan bunyi akhir. Batekan juga merupakan teka-teki tetapi bersifat murni, sedangkan sanepan merupakan pasemon atau perlambang. Produk kelisanan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Using ketika berkomunikasi dalam keseharian, terutama dengan lawan bicara yang sudah familier, atau digunakan secara khusus, yakni dalam tradisi Gredoan dan Warung Bathokan. I a dimanfaatkan untuk mengakrabkan, memberi kesan tertentu, atau menekankan sesuatu dengan simbolisme, serta mendukung tradisi lokal. Oleh karena itu, dalam realitas sosial, tradisi tersebut dapat digunakan untuk melakukan sindiran, pujian, basa-basi, humor, cemoohan, atau menyatakan perasaan cinta, serta belas kasihan. Keterampilan dalam menggunakan tradisi semacam itu, sebagian dilakukan karena telah hafal sering menggunakan, sebagian lain karena dirangkai dengan kreativitas-spontanitas dalam merespons fenomena sosial. Sementara itu, syair –yang lebih dimaknai sebagai puisi bebas– baik klasik maupun kontemporer, banyak didendangkan secara terintegrasi dengan seni pertunjukan musik. Syair-syair klasik yang bertahan dan dikenali secara baik hingga kini, kebanyakan karena dimanfaatkan dalam seni pertunjukkan dan ritual, di antaranya dalam Gandrung, Seblang, dan Angklung. Beberapa contoh syair yang digunakan dalam pentas Gandrung dan Seblang, di antaranya Padha Nonton, Seblang Lukinta, Layar Kumendhung, Kembang Waru, Agung-agung, Kembang Pepe, Kembang Dirma, Ratu Sabrang. I ntensi yang terkandung dalam syair tersebut beragam, mulai dari sarana perjuangan, kritik sosial, menyindir penguasa, ungkapan terhadap fenomena keseharian, hingga dimensi 59 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 hiburan. Syair Genjer-genjer dalam seni Angklung, misalnya, yang notabene diniatkan untuk menyindir kedatangan Jepang, justru menimbulkan kehebohan karena diklaim berbau propaganda komunis. Kasus tersebut menimbulkan trauma yang mendalam bagi seniman dan budayawan Using. Adapun syair-syair kontemporer banyak dimanfaatkan dalam seni musik Kendang Kempul. Mantra merupakan puisi sakral dan doa kesukuan yang menjadi bagian dari mekanisme ritual dan tradisi yang sakral. Mantra Using integral dengan ngelmu dan digunakan dalam jenis ngelmu sihir bermagi hitam, untuk membunuh, santet merah dan kuning, untuk pengasihan, maupun penyembuhan putih Saputra, 2007a. Kasus pembantaian dukun santet 1998 yang menghebohkan tersebut memperteguh bahwa orang Using familier dengan ngelmu. Bagi mereka, santet pengasihan merupakan ngelmu yang menjadi salah satu pranata sosial, baik dalam konteks pengertian sempit hubungan asmara maupun pengertian yang lebih luas relasi sosial dan pencitraan. Tidak sedikit orang Using –termasuk generasi muda– yang menguasai dan memanfaatkan hal tersebut dengan beragam kepentingan dan tujuan.

3. Mengeskplorasi Sastra Modern