Pola Produksi dan Budidaya Lokal

BAB V SITUASI KEMISKINAN RUMAH TANGGA PETANI DI

PEDESAAN DATARAN TINGGI GARUT

5.1. Tipologi Tingkat Perkembangan Desa

Pada bagian sebelumnya Bab 4 telah dipaparkan bahwa Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang menjadi sentra pengembangan minyak Akar Wangi serta pemasok kebutuhan sayuran dibeberapa pasar luar Jawa Barat. Dari analisa usahatani berdasarkan komoditas utama hortikultura dan akar wangi yang diusahakan warga di kedua desa menunjukkan, usaha pertanian di tingkat rumah tangga petani di kedua desa masih mampu memberikan nilai surplus. Namun masuknya bentuk-bentuk penguasaan lahan di dataran tinggi Jawa Barat oleh para pemilik modal besar perusahaan perkebunan dan kehutanan negara mempengaruhi kondisi kemiskinan rumah tangga petani. Semangat rejim orde baru meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan asumsi menetes ke bawah trickle down effect melalui strategi pembangunan industri padat modal di perkotaan dan peningkatan kinerja ekspor, satu sisi telah menunjukkan kinerja positif pembangunan ekonomi dalam skala makro. Namun di sisi yang lain telah meninggalkan, membiarkan atau meminggirkan persoalan ketimpangan sosial-ekonomi di pedesaan. Dalam tulisannya yang bertajuk “Modernization without Development in Rural Java” Sajogyo 1973 menyatakan, “Revolusi Hijau” 17 merupakan suatu bentuk modernisasi di pedesaan yang hanya menguntungkan petani lapisan atas di desa sementara petani lapisan bawah, petani gurem dan buruh tani tertinggal dalam agenda pembangunan. 17 Istilah “Revolusi Hijau” mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an, pada dasarnya mengacu kepada program intensifikasi pertanian tanaman pangan lewat introdusir teknologi baru dalam teknik pertanian agronomi. Namun dalam pelaksanaannya, siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut tidak terlalu dirisaukan; landasan pikir utamanya ialah produksi harus naik, soal pembagian hasil, nanti diatur oleh mekanisme pasar sendiri. Dalam karangannya yang berjudul “The Green Revolution Cornucopia or Pandora’s Box”, Clifton Wharton 1969 mengilustrasikan istilah Revolusi Hijau sebagai Kotak Pandora yang mengandung ketidakpastian; segala sesuatu bisa keluar atau muncul dari Kotak Pandora tersebut. Tjondronegoro 1989 Seperti yang diutarakan oleh White 1990, penduduk pedesaan di Jawa dicirikan oleh luas rata-rata skala usahatani yang sangat kecil, tingkat ketuna- kismaan yang tinggi, sebaran atas pemilikan maupun penguasaan atas lahan yang tidak merata serta adanya konsentrasi kemiskinan yang relatif tinggi dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Dari berbagai studi mikro sejak tahun 1970an menunjukkan adanya pola nafkah ganda kombinasi kegiatan pertanian dan non pertanian di tingkat rumah tangga petani RTP yang tidak hanya dilakukan RTP lapisan terbawah petani gurem dan buruh tani melainkan juga dilakukan oleh RTP lapisan atas di desa. Namun yang membedakan terletak pada pilihan strategi nafkah dari masing-masing lapisan. Pada RTP lapisan bawah, dorongan utama dirinya mencari nafkah diluar sektor pertanian karena tidak tersedianya kesempatan kerja dalam pertanian sehingga mereka terpaksa mencari tambahan penghasilan diluar sektor pertanian meski dengan imbalan yang lebih rendah, atau oleh White diistilahkan sebagai “push factor” Sajogyo dan Tambunan 1990. Anomali pembangunan pertanian dan pedesaan baik melalui agenda revolusi hijau maupun kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan negara juga tampak pada tingkat perkembangan desa-desa di Kabupaten Garut. Sebagaimana akan ditunjukkan pada bagian selanjutnya mengenai tipologi tingkat perkembangan desa berdasarkan pengolahan data Podes Kabupaten Garut tahun 2008. 18 Dengan mengkombinasikan kedua komponen atau faktor hasil reduksi data Potensi Desa Kabupaten Garut Tahun 2008 yakni : 1 Tingkat aksesbilitas; dan 2 Tingkat keberdayaan ekonomi mayoritas penduduk desa, di Kabupaten Garut terdapat empat tipe desa yang menggambarkan tingkat perkembangan desa Tabel 5.1. Keempat tipe desa di Kabupaten Garut adalah sebagai berikut : 1. Tipe 1: desa yang memiliki aksesbilitas dan tingkat keberdayaan ekonomi warga yang relatif tinggi,

2. Tipe 2 : desa yang memiliki aksesbilitas kurang baik namun tingkat

keberdayaan ekonomi penduduk relatif tinggi, 18 Menggunakan metode analisis faktor Principal Component Analysis. Untuk mempermudah pengintepretasian hasil, pada umumnya digunakan hanya dua faktor sehingga posisi individu dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua Susetyo 1990.