seharga 6 juta. Pada tahun 2005 dan 2007 Jijang berhasil membeli motor”
8.3. Konsolidasi Modal
Di desa Dangiang, pada tahun 1999 muncul kendala modal dalam penggarapan lahan. Berbagai variasi muncul dalam hal penyediaan modal, yaitu
1. petani menanam sesuai dengan kemampuan modal sendiri, 2. Petani telah memiliki modal sendiri, 3. Meminjam modal kepada Bandar. Tuntutan
penyediaan modal merupakan hal yang tidak dapat dihindari sehingga organisasi menilai perlu ada langkah lain untuk kepentingan penggarapan lahan. Tepat disaat
yang sama, pemerintah menyediakan skema kredit bagi petani melalui program Kredit Usaha Tani KUT. Peluang tersebut diambil oleh organisasi setelah
sebelumnya membentuk kelompok sebagai syarat keikutsertaan dalam program KUT.
Di tahun yang sama, dibentuklah Koperasi Warga Desa KWD, dan KWM di tingkat kabupaten. Melalui KWD, diharapkan petani dapat akses terhadap
modal. Terbukti, beberapa KWD berhasil mendapat 2 putaran peminjaman yaitu program hortikultura dan palagung. Sayangnya, tidak semua kepentingan petani
bisa di akomodir. Kredit yang disediakan pemerintah tidak mencukupi digunakan sebagai modal pertanian. Ditambah dengan kondisi gagal panen, petani akhirnya
meminjam ke pihak lain. Banyak KWD yang menurun aktivitasnya karena persoalan manajemen dan sumberdaya manusia.
Pada tahun 2001 usaha bersama mulai dibangun melalui pendekatan kepada kelompok ibu-ibu. Kegiatan ini pertama kali diinisiasi di Dangiang. Alasan
keterlibatan kaum ibu karena dianggap lebih terampil dan memiliki pengalaman dalam mengurusi ekonomi rumahtanga. Terdapat dua jenis kegiatan yang
dikembangkan yaitu warung kelompok dan kelompok simpan pinjam. Pasang surut kegiatan kelompok ini mengharuskan proses seleksi ulang atas loyalitas
anggota dengan harapan kegiatan bisa lebih maju. Harapan akan hasil kegiatan kelompok mulai muncul karena kelompok Dangiang menunjukkan eksistensinya
dan berlangsung hingga tahun 2006. Proses pembelajaran kelompok di desa lain
bercermin pada pengalaman kelompok di Dangiang yang mengembangkan kelompok simpan pinjam dalam bentuk beras dan uang.
Sejak tahun 2004 kelompok Dangiang dijadikan model, sehingga memunculkan motivasi bagi kelompok ibu-ibu di desa lain. Kegiatan ini
kemudian diduplikasi di Sukawargi, Sukatani, Cibalong dan desa lain dengan jumlah anggota kelompok dan kegiatan yang berbeda-beda. Faktor utama yang
menyebabkan kelompok Dangiang relatif dapat bertahan dan menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik karena adanya proses pendampingan yang intensif
dan kemauan kuat dari anggotanya sendiri. Kelompok ini kemudian menjadi embrio terbentuknya Koperasi Mitra Harapan. Pada tahun 2007 kegiatan koperasi
ini meningkat dengan asset yang bertambah besar. Ada keinginan untuk terjun ke bidang pengadaan pupuk, sembako dan usaha ternak. Usaha ternak dapat
direalisasikan dengan modal awal Rp. 450ribu. Modal ini berkembang hingga mencapai Rp. 7.9 juta.
Apabila di desa Dangiang, strategi konsolidasi modal petani telah masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif, di desa Sukatani masih
tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa. Seperti
yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, meski para buruh tani telah berhasil mendapat lahan garapan namun memutus hubungan dengan para bandar
relatif sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan tingginya kebutuhan modal pada budidaya hortikultura dan pola pemasaran yang menyebabkan surplus lebih
banyak diserap oleh bandar melalui hutang-piutang yang berpengaruh pada kuasa penentuan harga hasil panen. Menghadapi persoalan permodalan petani
hortikultura desa Sukatani, di tingkat OTL mencoba melibatkan para bandar dalam organisasi. Seperti yang diutarakan oleh Ketua OTL Sukatani,
“Kedepan, tengkulak tidak perlu dihilangkan, namun peran tengkulak dapat sebagai pihak pemasaran hasil panen petani dengan
ketentuan harga beli yang tidak merugikan dan dapat di diskusikan.” Selain itu, dikedua lokasi juga menunjukkan bahwa, bagi kelompok rumah
tangga yang telah berhasil menumpuk surplus, dirinya akan mulai melakukan perluasan sumber nafkah selain penggarapan lahan, seperti membuka warung,
menjual pupuk dan sebagainya. Adapun perbandingan strategi penguatan produksi
dan distribusi di kedua lokasi penelitian akan ditampilkan pada Tabel 8.1.
Tabel 8.1. Upaya Penguatan Produksi dan Distribusi Petani Lapisan Bawah di Dua Dataran Tinggi
Upaya Desa Sukatani Hamparan
PapandayanWilayah Kehutanan Desa Dangiang Hamparan
CikurayWilayah Perkebunan
Akses terhadap
lahan 1. Diawali kultivasi diikuti reclaiming
2. Bergabung dengan organisasi tani lokal OTL
3. Melalui OTL turut memanfaatkan kesempatan politik di desa
4. Pembelian lahan di dalam maupun di lura desa
1. Reclaiming
2. Bergabung dengan organisasi tani lokal OTL
3. Melalui OTL turut memanfaatkan kesempatan politik di desa
4. Pembelian lahan di dalam maupun di lura desa
Pola Pemanfaatan
Lahan dan Budidaya
1. Memilih komoditas yang realtif tidak memerlukan banyak curahan waktu
pengerjaan dan input produksi, seperti wortel
2. Tumpang sari hortikultura 3. Di tingkat OTL, membangun
demplot pembibitan kentang 1. Memilih komoditas yang realtif
tidak memerlukan banyak curahan waktu pengerjaan dan input
produksi, yakni akar wangi 2. Tumpang sari akar wangi dengan
hortikultura dan tembakau Konsolidasi
modal 1. Petani masih tergantung pada
hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun sebelum
reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa.
2. Perluasan sumber nafkah selain menggarap lahan yakni menjadi
buruh tani harian dan berternak. 1. Strategi konsolidasi modal telah
masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif
melalui koperasi perempuan 2. Perluasan sumber nafkah selain
menggarap lahan menjadi buruh tani harian dan berternak.
8.4. Ikhtisar