Ikhtisar PROSES MARGINALISASI JILID I :

Gambar 7.2. Pola Distribusi Tanaman Akar Wangi di Daerah Hamapran Cikuray Ilustrasi Gambar : Di desa Dangiang, terdapat dua sistem penjualan akar wangi yakni tebasan dan kiloan 11b. Pada sistem tebasan, bandar lokal akan membawa buruh atau petani akan memakai buruh sendiri 22b. Pada sebagian warga, hanya ingin menjual secara kiloan. Hal ini dikarenakan keyakinan warga bahwa dilarang menjual barang gaib tidak tampak. Namun ada juga petani ingin menjual berdasarkan musim, bila musim hujan ingin dijual secara kiloan atau sebaliknya. Pemasaran akar wangi terbagi menjadi dua, yakni : dijual kepada pengrajin di Jawa sebagai hiasaan 3b atau disuling 3 terlebih dahulu kemudia dijual ke Cukong 4. Hasil minya yang dibeli dari bandar lokal, selanjutnya akan dikirim ke industri pengolahan. Seluruh bandar lokal yang menjual hasil penyulingan akar wangi terlibat hubungan kredit permodalan dengan Cukong minyak 55b atas ajaran agama, bahwasanya menjual barang yang tidak tampak gaib dengan tebasan seperti berjudi. “Misal, petani akan pinjam 1 juta, karena petani yang akan pinjam banyak, si bandar lokal bisa pinjam sama cukong hingga 10 juta tapi syaratnya harga minyak jadi ‘sekian’ atau jadi turun dibawah harga biasastandar. Kalo harga minyak jatuh, otomatis si petani pun ikut menjerit, petani tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, ketika petani ke jual bandar, baik menjual dengan sistem tebas atau jual per kilo ada perbedaan harga atau harganya jadi turun”Sbr Pada prakteknya, meskipun kehadiran gerakan tani lokal telah berhasil menguak ketimpangan agraria akibat penetrasi usaha perkebunan dan kehutanan negara, akan tetapi pola relasi permodalan dan pemasaran melalui mekanisme hutang-piutang antara petani, bandar lokal dan cukong yang belum banyak mengalami perubahan mendasar. Hal ini disebabkan salahsatunya karena pada periode-periode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha mengamankan akses lahan garapan tenure security dari ancaman pihak perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama. Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru dalam pola struktur produksi dan distribusi lama. Di lain pihak, kepentingan bandar terhadap hubungan tersebut untuk menjaga keuntungan yang diperolehnya dari usaha petani di tanah garapannya. Dengan kata lain, fenomena tersebut dilihat sebagai proses pergantian rejim pelaku permodalan dalam suasana moda produksi dan distribusi yang lama.

7.4. Proses Diferensiasi dan Penyingkiran Petani

Penyingkiran petani dari alat-alat produksi tidak hanya terjadi akibat masuknya perusahaan perkebuanan dan kehutanan. Tingginya kebutuhan atas input produksi bibit, pupuk dan obat dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan yang tidak setara. Di tingkat petani, hubungan ini diperlukan agar memperoleh akses pinjaman dari bandar baik berupa uang maupun dalam bentuk bibit, pupuk dan obat-obatan. Hal ini dijumpai di beberapa desa dataran tinggi Papandayan. Seperti yang diungkapakan salah satu petani hortikultura desa Cipaganti yang bersebelahan dengan desa Sukatani, “Di desa cuma ada satu bandar, semua petani menjual ke pak Haji. Pak Haji bandar tidak pernah memberi pinjaman berupa uang. Kalau ada keperluan mendadak uang, petani akan menjual pupuk atau obat-obatan sama tetangga. Saat panen, petani harus menjual ke pak Haji. Hasil panen harus dipotong berdasarkan hutang yang dipinjam serta persen dari setiap kilo timbangan untuk diserahkan ke pak Haji. Kondisi ini berlangsung tiap musim jadi petani menerima sangat kecil. Dari panen ke panen, banyak petani tidak mampu bayar hutang. Akhirnya, untuk meminjam ke bandar, tidak jarang petani menjaminkan lahan garapannya.” Yy Bentuk hubungan antara patron bandar dan klien petani kecil lewat hubungan hutan-piutang hingga saat ini masih terus berlangsung dan direproduksi yang menyebabkan petani tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual hasil panen. Dengan demikian, relasi ini pada prakteknya menyebabkan pembentukan dan penumpukan akumulasi surplus hanya terjadi pada pihak bandar sementara petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat hubungan hutang-pitang semacam ini menyebabkan petani kehilangan lahan garapannya atau petani menjadi buruh di lahan garapannya sendiri. Dengan kata lain, sebagian besar surplus dari hasil produksi diserap oleh pihak cukong melalui harga komoditas. Petani dengan demikian mengalami proses marginalisasi terhadap komoditas yang dihasilkan melalui relasi pertukaran. Kondisi ini telah berlangsung sebelum warga berhasil mendapatkan akses lahan garapan bahkan setelah mendapatkan akses garapan di areal kehutanan. Berbeda dengan komoditas usar akar wangi, arus kubutuhan akan modal pada budidaya hortikultura relatif cepat, sebagaimana yang diungkapkan salah seorang responden, petani desa Sukatani, “setiap hari uang keluar masuk, ada yang tanam hari ini, besok sudah ada yang panen dan selalu berurusan dengan bandar besar.” Sehingga bagi petani sangat sulit memutus hubungan dengan bandar. “Namun saat ini, masih ada petani di setiap musim panen tidak mampu bayar hutang ke bandar sehingga bandar tidak memberikan pinjaman lagi sementara hutang harus tetap dibayar. Akibatnya, petani sudah tidak dapat mengusahakan lahannya lagi karena sudah tidak punya modal...” Keterjalinan yang sedemikian rupa antara bandar dan petani telah berlangsung lama, sebelum adanya aksi reclaiming warga di lahan kehutanan memungkinkan terjadinya proses pelepasan lahan dari petani ke pihak bandar. Dengan demikian, proses tersebut secara langsung mendorong terjadinya rekonsentrasi penguasaan lahan kepada bandar yang juga merupakan lapisan elite di desa. “Akibat hubungan dengan cukong Haji Aur, ada warga yang kehilangan lahan garapannya karena menjadi jaminan utang kepada cukong. Ketika seorang petani gagal dan tidak dapat melunasi hutangnya, pihak bandar akan mengenakan bunga pinjaman kepada