Tipologi Tingkat Perkembangan Desa

pengerjaan lahan garapan yang mereka kuasai. Pada sebagian petani lapisan atas, hubungan dengan buruh tani yang mereka pekerjakan telah berlangsung lama sebelum adanya aksi pendudukan warga di lahan Perhutani. Hubungan ini terbangun dimana pada satu sisi petani lapisan bawah membutuhkan keterjaminan sumber penghasilan di lain pihak, petani lapisan atas tuan tanah membutuhkan input tenaga kerja yang tersedia di desa untuk melakukan akumulasi modal dari kegiatan produksi. Dalam menjaga kestabilan hubungan ini, si tuan tanah selalu memberikan fasilitas kredit kepada buruh untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari utamanya saat musim kering. Hal yang perlu digaris bawahi, ukuran dan tingkat kemiskinan ini tidaklah statis melainkan bersifat dinamis. Dalam arti, ukuran dan tingkat kemiskinan turut dipengaruhi oleh pola-pola hubungan struktur produksi dan distribusi komoditas, pola pemanfaatan lahan, kondisi iklim dan faktor eksternal lainnya. Dari Tabel 5.4 tampak faktor penguasaan lahan sangat mempengaruhi tingkat keberdayaan ekonomi suatu rumah tangga petani RTP. Sama halnya dengan desa Dangiang, hadirnya insiatif dari bawah yang teroganisir dalam wadah organisasi tani lokal OTL turut memberikan pengaruh terhadap perbaikan kondisi tingkat ekonomi RTP khususnya lapisan buruh tani.

5.4. Perbandingan Ukuran Kemiskinan di Dua Desa

Berbeda dengan desa Dangiang yang dapat mengalami 3 musim panen dari pola tanam tumpangsari, pola pertanian dimana tanaman hortikultur menjadi pilihan utama di desa Sukatani sangat bergantung dari kondisi iklim yang pada gilirannya turut mempengaruhi kondisi kemiskinan mereka. Pada musim kemarau halodo, kecuali petani kaya, umumnya petani yang menggarap di areal garapan okupasi tidak dapat mengolah lahannya secara maksimal karena sulitnya mendapatkan air. Sementara pada pertanian Akar Wangi di desa Dangiang hamparan Cikuray tingkat kebutuhan air tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan budidaya tanaman sayuran. Dari penggalian indikator tingkat kemiskinan tampak bahwa di kedua lokasi penelitian pola pelapisan secara ekonomi antar rumah tangga petani RTP terdiri dari 3 tiga lapis yakni lapisan atas ekonomi kuat, lapisan tengah ekonomi sedang dan lapisan bawah ekonomi lemah. Adapun indikator utama sebagai penentu derajat kemiskinan suatu RTP di kedua lokasi juga menunjukkan pola yang sama yakni faktor penguasaan lahan. Perbedaannya terletak pada luasan penguasaan dari masing-masing lapisan. Dikedua lokasi penelitian, menjadi buruh tani lepas merupakan salahsatu pilihan bagi rumah tangga petani kecil dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari sisi tingkat upah buruh ril, upah buruh tani harian di Sukatani relatif lebih rendah dibandingkan upah buruh di desa Dangiang yakni 6-8 ribu per hari untuk buruh perempuan dan 8-10 ribu rupiah per hari untuk buruh laki-laki. Besarnya upah buruh tani baik antara laki-laki dan perempuan di kedua lokasi penelitian ditentukan oleh jenis pekerjaan. Sementara upah buruh harian di desa Dangiang, selain ditentukan oleh jenis pekerjaan juga ditentukan oleh jarak tempuh yang diukur dari kediaman buruh ke lokasi lahan. Di desa Dangiang, upah buruh ril mengalami peningkatan sejak warga yang tergabung dalam organisasi tani lokal SPP dapat menggarap lahan di areal perkebunan. Meningkatnya upah buruh tani di desa Dangiang sangat dimungkinkan karena tingginya permintaan pasar tenaga kerja buruh tani akibat kurangnya tenaga buruh yang tersedia di desa ketika musim tanam maupun pada saat panen. Saat ini, upah buruh perempuan di desa Dangiang dapat mencapai 15 ribu rupiah per hari, sementara untuk upah buruh laki-laki bisa mencapai 25 ribu rupiah per hari. Terlebih pada proses pemanenan tembakau hingga menjadi bahan baku siap jual yang membutuhkan banyak tenaga kerja.

5.5. Ikhtisar

Meskipun menurut laporan BPS Kabupaten Garut, pada tahun 2007 sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar 48,03 terhadap PDRB Kabupaten Garut, persentase tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan hubungan yang positif dengan tingkat perkembangan desa pertanian desa yang sumber penghidupan utama mayoritas warganya berasal dari pertanian yang umumnya merupakan desa kategori tipe 3 atau sekitar 194 desa 45,8. Ditinjau dari tingkat keberdayaan ekonomi penduduk, mayoritas desa atau sekitar 263 desa 62,03 di Kabupaten Garut masuk dalam kategori desa miskin. Sementara dari 395 desa yang diidentifikasi sebagai desa pertanian, 259 desa 65,57 diantaranya merupakan desa yang mayoritas warganya masuk kategori miskin. Fakta ini menandakan bahwa konsentrasi penduduk atau kantung-kantung kemiskinan berada di wilayah pedesaan berbasis pertanian. Argumen ini sangat kontras dengan padangan Bank Dunia 2008 yang tercermin dalam publikasinya yang bertajuk The World Development Report 2008: Agriculture for Development yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia memiliki tren yang terus menurun World Bank 2008. Dari hasil pengkajian kemiskinan warga secara partispatif Particpatory Poverty AssessmentPPA di dua desa penelitian menunjukkan pola pelapisan rumahtangga petani yang sama yakni terdapat 3 lapisangolongan masyarakat berdasarkan tingkat keberdayaan ekonomi. Dari kedua desa, faktor penguasaan lahan merupakan indikator utama tingkat kemiskinan di tingkat rumah tangga petani. Namun demikian, ukuran dan tingkat kemiskinan ini tidaklah statis melainkan bersifat dinamis. Dalam arti, ukuran dan tingkat kemiskinan turut dipengaruhi oleh pola-pola hubungan struktur produksi dan distribusi komoditas, pola pemanfaatan lahan, kondisi iklim dan faktor eksternal lainnya. Di kedua lokasi penelitian, menjadi buruh tani lepas merupakan salahsatu pilihan bagi rumah tangga petani kecil dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari sisi tingkat upah buruh ril, upah buruh tani harian di Sukatani relatif lebih rendah dibandingkan upah buruh di desa Dangiang yakni 6-8 ribu per hari untuk buruh perempuan dan 8-10 ribu rupiah per hari untuk buruh laki-laki. Besarnya upah buruh tani baik antara laki-laki dan perempuan di kedua lokasi penelitian ditentukan oleh jenis pekerjaan. Sementara upah buruh harian di desa Dangiang, selain ditentukan oleh jenis pekerjaan juga ditentukan oleh jarak tempuh yang diukur dari kediaman buruh ke lokasi lahan. Faktor hadirnya gerakan penguatan dan pengorganisasian petani dari bawah untuk menuntut hak garap lahan di areal perkebunan dan kehutanan pada prakteknya telah berhasil merekatkan kembali petani pada penguasaan langsung terhadap alat produksi utama yakni lahan yang secara langsung turut mempengaruhi tingkat keberdayaan ekonomi di tingkat rumah tangga petani. Hal ini juga berdampak meningkatnya upah buruh tani seperti yang terjadi di desa Dangiang. Pasca aksi reclaiming warga di areal perkebunan teh, permintaan pasar tenaga kerja buruh tani meningkat akibat kurangnya tenaga buruh yang tersedia di desa ketika musim tanam maupun pada saat musim panen. Hal yang perlu di garis bawahi, memahami situasi kemiskinan secara mendalam di kedua desa dataran tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses marginalisasi yang terus berlangsung dalam sejarah perkembangan komunitas di dataran tinggi Garut. Analisa sejarah penguasaan sumber-sumber penghidupan komunitas kemudian menjadi instrumen penting dalam melacak gejala-gejala marginalisasi petani dataran tinggi Garut. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya akan diuraikan lebih jauh bagaimana proses marginalisasi yang dialami petani di kedua desa baik akibat kebijakan penguasaan lahan oleh negara Bab 6 maupun setelah adanya aksi pendudukan lahan di lahan-lahan klaim negara melalui hubungan produksi dan distribusi di tingkat komunitas Bab 7.

BAB VI PROSES MARGINALISASI JILID I :

AKIBAT KEBIJAKAN NEGARA 6.1. Membaca Ulang Penetapan Kawasan Kehutanan dan Perkebunan Pada bagian sebelumnya Bab 4 telah diutarakan bahwa sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap nilai tambah pendapatan daerah di Kabupaten Garut. Namun pada saat yang bersamaan jumlah penduduk miskin justru terkonsentrasi di wilayah pedesaan yang merupakan daerah basis pertanian. Selain masalah rendahnya pendapatan yang diterima petani, persoalan ketimpangan penguasaan lahan akibat penerapan model penguasaan kawasan hutan dan perkebunan oleh pemodal besar negara atau swasta turut menyumbang proses pemiskinan masyarakat pedesaan agraris di dataran tinggi Garut. Sehingga tren pergeseran dari sektor primer ke sekunder dan tersier tidak secara langsung menandakan bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. 28 Hadirnya bentuk-bentuk penguasaan terhadap sumber-sumber agraria baik oleh negara maupun swasta di areal perkebunan dan kehutanan yang beriringan dengan proses pelepasan akses dan kontrol enclosure petani terhadap lahan garapan menjadi salahsatu ciri pertanian di dataran tinggi Kabupaten Garut. Pada prakteknya, hadirnya perusahaan perkebunan dan kehutanan bermodal besar negara dan swasta telah berhasil menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani satuan ekonomi terkecil di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. Bentuk-bentuk penguasaan tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari lintasan sejarah panjang kolonialisme, industrialisasi Eropa dan modernisasi di Indonesia. 28 Menurut Sajogyo 1993, agenda modernisasi pertanian di Indonesia berpangkal dari dua tipe ekonomi usaha tani satuan rumah tangga yakni sektor pertanian pangan dan pertanian komersil berorientasi ekspor. Pada tipe yang pertama dibebani tugas untuk menyediakan kebutuhan pangan dan sebagai penopang agenda industrialisasi nasional. Sementara pada tipe yang kedua dibebani oleh kepentingan devisa negara bersama perluasan dan pembaharuan sub sektor perkebunan. Di Indonesia, jejak enclosure 29 punya akar sejarah panjang, sejak pertumbuhan kapitalisme era kolonial sampai dengan orde reformasi yang ditandai dengan kehadiran perkebunan besar karet, lada, gambir, tembakau, kopi, tebu, dan teh dan pertambangan timah, perak, emas, dan batubara. Khusus pada rejim orde baru dan orde reformasi, proses enclosure terjadi melalui pemberlakuan UU yang mengatur pengelolaan sumber daya alam yang kian terfragmentasi seperti UU Kehutanan, UU Penataan Ruang dan sebagainya yang sebelumnya sudah diatur dalam UUPA. Fragmentasi dan kontradiksi aturan yang sedemikian rupa ini pada tingkat implementasi menyebabkan tumpang-tindihnya dan ketidakjelasan atas pihak yang bertanggungjawab mengurusi tata kelola sumberdaya agraria yang tidak jarang berujung pada konflik baik vertikal maupun horizontal dan banyak warga pedesaan kehilangan hak untuk bercocok tanam sebagai produsen bebas dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebelumnya diakses semua orang. Terkait dengan penetapan kawasan hutan, adanya dualisme aturan antara UUPA dengan UU Kehutanan, menunjukkan keracuan soal konsep hutan yang hanya dilihat sebagai sebuah ruang tanpa melihat pada soal fungsi objektif hutan. Seperti yang telah diketahui bersama, banyak kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan pada realitasnya tidak berfungsi sebagai hutan atau tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Selain itu, pada prakteknya terdapat kerancuan dalam penataan ruang dan penetapan kawasan hutan yang ditandai dengan penetapan tata batas kawasan. 30 Lebih jauh, kerancuan dan kontradiksi UU yang mengatur tata kelola sumber daya alam akan disajikan pada Tabel 6.1. 29 Secara sederhana enclosure bisa diterjemahkan sebagai pemagaran atas tanah-tanah milik bersama. Dalam literature Marx Capital 1, enclosure merupakan manifestasi dari adanya primitive accumulation. Dalam hal konteks ini, istilah enclosure sering disandingkan dengan kata expropriation atau perampasan. Jauh lebih mendasar, enclosure adalah penjungkir-balikkan, penghancuran, dan penghilangan hak-hak milik bersama dan atau hak-hak untuk menggunakan secara adat atas tanah atau sumber daya alam, di mana penduduk menggantungkan hidupnya. Di atas tumbangnya hak-hak itu kapitalisme akan tumbuh. Dengan demikian, enclosure adalah proses paling awal dan menentukan di mana kapitalisme diperkenalkan baik kekerasan maupun melalui undang-undang secara legal Sangaji 2010. 30 Dalam Pasal 12 UU Kehutanan yang mengizinkan Departemen Kehutanan untuk melanjutkan penatagunaan kawasan hutan dengan menentukan fungsi hutan produksi, konservasi dan fungsi hutan lindung. Penatagunaan kawasan hutan tidak dapat dilanjutkan dengan proses apapun sebelum ada status pengusaaannya ditentukan melalui proses pendaftaran tanah menurut PP No.24