Masyarakat Petani Peasant Society
dipahami melalui analisis rinci dari relasi sosial dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan,
antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara.
Kedua adalah cara-cara polastrategi mata pencaharian yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam.
Sementara menurut perspektif ketergantungan dan keterbelakangan awal, ketimpangan pertukaran komoditi dan praktek–praktek warisan kolonial lainnya
disebut sebagai faktor kunci yang menjelaskan distribusi kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di abad ke-20 Smith, 2005. Adapun pengaruh
penetrasi kapital ke pedesaan, Luxemberg 2003 mengungkapkan bahwa pembangunan penetrasi kapitalisme ke wilayah pedesaan membutuhkan suatu
suasana lingkungan yang memperagakan bentuk-bentuk produksi non-kapitalistik natural economy sebagai pasar dari surplus yang dihasilkan oleh para pemilik
modal, sumber bahan baku dan penyedia cadangan tenaga kerja dalam sistem upah buruh lepas.
Dalam hal ini, tema akumulasi primitif primitive accumulation yang banyak terdapat pada literature Marxian hadir dalam arena debat teoritik
kontemporer Bond 2007, Bonefeld 2001, De Angelis 2000, Perelman 2001. Kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan dipandang sebagai sebuah
akibat ekspansi kapitalisme ke pedesaan. Ekspansi ini pada prakteknya menyebabkan perubahan relasi besar-besaran great transformations di pedesaan
yakni, proses pelepasan petani dari alat-alat produksi enclosure dan kemudian menjadi tenaga kerja bebas upahan. Proses akumulasi semacam ini tidaklah
berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata sebagaimana yang diyakini oleh para penganut Marxian klasik, namun merupakan
bagian tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri. Proses ekspansi kapitalisme semacam inilah yang melahirkan proses marjinalisasi dan
terbentuknya kemiskinan pada masyarakat pedesaan Shohibuddin dan Soetarto 2010. De Angelis 2004: 58 mengungkapkan, “… there is no enclosure of
commons without at the same time the destruction and fragmentation of communities.”
Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari negara baik negara kolonial maupun pasca kolonial, ekspansi kapitalisme
sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan
kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang
disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White 1998: 20 mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen
dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil-
hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali …
menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”. Wiradi 2010 mengutarakan, proses “diferensiasi kelas” di pedesaan Jawa yang ditandai
dengan: 1.
Proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa-menyewa, gadai- menggadai, maupun melalui pemilikan dengan pembelian,
2. Tingkat ketunakismaan bertambah tinggi. Kesempatan para tunakisma
untuk dapat menguasai tanah melalui sewa-menyewa dan bagi hasil kian terbatas karena ada kecenderungan para pemilik tanah lebih suka menggarap
sendiri tanahnya dari pada menggarapkan sewa, bagi hasil kepada orang lain.
3. Walaupun umumnya proposisi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih
besar daripada yang bersumber dari sektor pertanian, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa
jangkauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki para pemilik tanah luas daripada pemilik tanah sempit atau lebih-lebih para
tunakisma. 4.
Pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Dengan demikian berarti bahwa