BAB IX MUARA STUDI : SEBUAH CATATAN PENUTUP
9.1. Kesimpulan
Studi ini merupakan suatu usaha dalam memahami dan menganalisis bagaimana terbentuknya kemiskinan dan proses marginalisasi yang dialami oleh
petani serta sampai sejauh inisiatif petani lokal dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan
distribusi. Kemiskinan masyarakat pedesaan tidak dilihat hanya sebagai suatu hasil pengukuran dari aspek ekonomi semata akan tetapi merupakan hasil dari
marginalisasi yang dialami suatu komunitas. Situasi kemiskinan suatu komunitas dengan demikian tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang
sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri.
Pada uraian mengenai situasi kemiskinan Bab 5 dan dua jilid proses marginalisasi yang dialami petani dataran tinggi Garut Bab 6 dan 7, terlihat
bahwa akumulasi modal adalah strategi utama pertumbuhan ekonomi di bawah sistem kapitalisme yang berwatak ekspansionis. Akumulasi harus berlangsung
terus-menerus tanpa batas, accumulation for accumulation’s sake and production for production’s sake yang pada satu sisi menyebabkan penumpukkan surplus
pada pemilik modal dan di pihak yang lain terjadi penyingkiran enclosure kuasa terhadap alat-alat produksi. Proses ini dapat berlangsung baik melalui kebijakan
negara dari atas maupun relasi-relasi produksi dan distribusi di tingkat komunitas dari bawah. Dalam hal ini, akumulasi modal melalui pembangunan
penetrasi kapitalisme ke wilayah pedesaan mensyaratkan adanya suatu suasana lingkungan yang memperagakan bentuk-bentuk produksi non-kapitalistik natural
economy sebagai pasar dari surplus yang dihasilkan oleh para pemilik modal, sumber bahan baku dan penyedia cadangan tenaga kerja dalam sistem upah buruh
lepas. Secara lebih detil, beberapa kesimpulan dari studi adalah sebagai berikut : 1. Umumnya desa pertanian desa yang sumber penghidupan utama mayoritas
warganya berasal dari pertanian merupakan desa kategori tipe 3 tertinggal
atau sekitar 194 desa 45,8. Ditinjau dari tingkat keberdayaan ekonomi penduduk, mayoritas desa atau sekitar 263 desa 62,03 di Kabupaten Garut
masuk dalam kategori desa miskin. 2. Sementara dari 395 desa yang diidentifikasi sebagai desa pertanian, 259 desa
65,57 diantaranya merupakan desa yang mayoritas warganya masuk kategori miskin. Fakta ini menandakan bahwa konsentrasi penduduk atau
kantung-kantung kemiskinan berada di wilayah pedesaan berbasis pertanian. 3. Dari hasil pengkajian kemiskinan warga secara partispatif Particpatory
Poverty AssessmentPPA di dua desa penelitian menunjukkan pola pelapisan rumahtangga petani yang sama yakni terdapat 3 lapisangolongan masyarakat
berdasarkan tingkat keberdayaan ekonomi. Dari kedua desa, faktor penguasaan lahan merupakan indikator utama tingkat kemiskinan di tingkat
rumah tangga petani. Memahami situasi kemiskinan secara mendalam di kedua desa dataran tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses
marginalisasi yang terus berlangsung dalam sejarah perkembangan komunitas di dataran tinggi Garut.
4. Proses marginalisasi petani dataran tinggi Garut dalam sejarah komunitas di dua lokasi ditandai dengan hadirnya bentuk-bentuk penguasaan terhadap
sumber-sumber agraria baik oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan negara. Pada prakteknya, kehadiran perusahan tersebut mendorong terjadinya
pelepasan akses dan kontrol enclosure petani terhadap lahan garapan serta telah menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani satuan
ekonomi terkecil di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. 5. Di desa Dangiang pola pelepasan petani dari alat produksi akibat masuknya
perusahaan perkebunan negara yang diwakili oleh PTPN VIII Dayeuh Manggung, sementara di desa Sukatani proses ini diakibatkan oleh masuknya
perusahaan kehutanan negara yang diwakili oleh Perhutani. Semakin kokohnya kebijakan penguasaan negara atas kawasan hutan dan hasil hutan
turut mendorong proses diferensiasi polar di tingkat desa. Kasus desa Sukatani menunjukkan bahwa kehadiran Perhutani telah mendorong
terjadinya konsentrasi penguasaan lahan diferensiasi agraris di areal
kehutanan yang berpusat pada sekelompok elite desa yang notabene juga merupakan sumber permodalan di desa sementara mayoritas warga lainnya
golongan ekonomi lemah bersandar dari kegiatan berburuh tani pada elite- elite tersebut.
6. Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi modal dari negara baik negara kolonial maupun pasca kolonial, proses marginalisasi
petani juga dapat berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan
kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. 7. Di dua lokasi studi, tingginya kebutuhan atas input produksi bibit, pupuk dan
obat dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling
menjaga hubungan yang tidak setara tersebut. Di tingkat petani, hubungan baik ini diperlukan agar memperoleh akses pinjaman dari bandar baik berupa
uang maupun dalam bentuk bibit, pupuk dan obat-obatan. 8. Keterjalinan yang sedemikian rupa antara bandar dan petani telah
berlangsung lama sebelum adanya aksi reclaiming warga di lahan kehutanan memungkinkan terjadinya proses pelepasan lahan dari petani ke pihak bandar
atau secara langsung mendorong terjadinya rekonsentrasi penguasaan lahan kepada bandar yang juga merupakan lapisan elite di desa.
9. Pilihan petani untuk bergabung kedalam Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan OTL SPP dilihat sebagai respon petani tanpa lahan dalam
mengukuhkan aksi reclaming lahan di areal kehutanan maupun perkebunan. Selain itu, keberadaan OTL di dua lokasi turut memperluas ruang negosiasi
dengan negara terkait kepastian hak garap di atas lahan-lahan klaim kehutanan maupun perkebunan. Seiring dengan langkah tersebut, organisasi
tani lokal ini pun turut menciptakan dan memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa maupun lintas desa untuk merundingkan kepentingan
mereka seperti keterwakilan di BPD, anggota panitia pemungutan suara, pemilihan kades, anggota PKK, dan program pemberdayaan.
10. Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, upaya penguatan produksi dan distribusi di tingkat petani dipandang sebagai cara-cara yang ditempuh oleh
sebuah rumah tangga petani di tiap lapisan dengan menimbang ketersediaan sumber daya akses dan kontrol yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga.
Dalam konteks ini, pola pemanfaatan lahan dan budidaya merupakan salah satu respon petani dalam mengurangi ketergantungan dengan pihak bandar
maupun cukong. 11. Apabila di desa Dangiang, strategi konsolidasi modal petani telah masuk
tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif, di desa Sukatani masih tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun
sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa. 12. Pada periode-periode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha
mengamankan akses lahan garapan tenure security dari ancaman fisik pihak perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama physical
security. Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru
dalam pola struktur produksi dan distribusi lama. Dengan kata lain, konsolidasi jalur distribusi kolektif belum terjadi.
9.2. Saran
Dalam konteks pengentasan kemiskinan di dataran tinggi, kehadiran organisasi tani lokal telah mampu memberikan keamanan warga dalam
menggarap lahan garapan yang secara langsung turut memperbaiki tingkat keberdayaan ekonomi petani. Namun dari sisi kepastian ekonomi economy
security dan kepastian regulasi policy security belum sepenuhnya tersentuh. Karena itu, beberapa saran yang diajukan berdasarkan refleksi dari studi ini adalah
sebagai berikut : 1.
Untuk menjamin kepastian ekonomi economy security maka perlunya memperkuat dan mengukuhkan akses warga terhadap lahan garapan. Dalam
hal ini, penataan kembali struktur agraria yang timpang land reform menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengentasan kemiskinan.