Indikator Kemiskinan Warga Desa Dangiang

Di Indonesia, jejak enclosure 29 punya akar sejarah panjang, sejak pertumbuhan kapitalisme era kolonial sampai dengan orde reformasi yang ditandai dengan kehadiran perkebunan besar karet, lada, gambir, tembakau, kopi, tebu, dan teh dan pertambangan timah, perak, emas, dan batubara. Khusus pada rejim orde baru dan orde reformasi, proses enclosure terjadi melalui pemberlakuan UU yang mengatur pengelolaan sumber daya alam yang kian terfragmentasi seperti UU Kehutanan, UU Penataan Ruang dan sebagainya yang sebelumnya sudah diatur dalam UUPA. Fragmentasi dan kontradiksi aturan yang sedemikian rupa ini pada tingkat implementasi menyebabkan tumpang-tindihnya dan ketidakjelasan atas pihak yang bertanggungjawab mengurusi tata kelola sumberdaya agraria yang tidak jarang berujung pada konflik baik vertikal maupun horizontal dan banyak warga pedesaan kehilangan hak untuk bercocok tanam sebagai produsen bebas dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebelumnya diakses semua orang. Terkait dengan penetapan kawasan hutan, adanya dualisme aturan antara UUPA dengan UU Kehutanan, menunjukkan keracuan soal konsep hutan yang hanya dilihat sebagai sebuah ruang tanpa melihat pada soal fungsi objektif hutan. Seperti yang telah diketahui bersama, banyak kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan pada realitasnya tidak berfungsi sebagai hutan atau tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Selain itu, pada prakteknya terdapat kerancuan dalam penataan ruang dan penetapan kawasan hutan yang ditandai dengan penetapan tata batas kawasan. 30 Lebih jauh, kerancuan dan kontradiksi UU yang mengatur tata kelola sumber daya alam akan disajikan pada Tabel 6.1. 29 Secara sederhana enclosure bisa diterjemahkan sebagai pemagaran atas tanah-tanah milik bersama. Dalam literature Marx Capital 1, enclosure merupakan manifestasi dari adanya primitive accumulation. Dalam hal konteks ini, istilah enclosure sering disandingkan dengan kata expropriation atau perampasan. Jauh lebih mendasar, enclosure adalah penjungkir-balikkan, penghancuran, dan penghilangan hak-hak milik bersama dan atau hak-hak untuk menggunakan secara adat atas tanah atau sumber daya alam, di mana penduduk menggantungkan hidupnya. Di atas tumbangnya hak-hak itu kapitalisme akan tumbuh. Dengan demikian, enclosure adalah proses paling awal dan menentukan di mana kapitalisme diperkenalkan baik kekerasan maupun melalui undang-undang secara legal Sangaji 2010. 30 Dalam Pasal 12 UU Kehutanan yang mengizinkan Departemen Kehutanan untuk melanjutkan penatagunaan kawasan hutan dengan menentukan fungsi hutan produksi, konservasi dan fungsi hutan lindung. Penatagunaan kawasan hutan tidak dapat dilanjutkan dengan proses apapun sebelum ada status pengusaaannya ditentukan melalui proses pendaftaran tanah menurut PP No.24 Tabel 6.1. Semangat Visi dan Misi dan Lingkup Pengaturan SDA pada 11 UU UU Visi Misi dan SDA yang diatur UU 51960 tentang Pengaturan Dasar Pokok- Pokok Agraria a. Visi dan Misi konservasi SDA bersifat pro-rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan kepemilikan dan mengedepankan nasionalisme. b. SDA yang diatur meliputi :  Permukaan bumi dan tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air  Perairan pedalaman maupun laut  Ruang angkasa diatas bumi dan air UU 111967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan a. Visi dan Misi : Eksploitasi bahan tambang dan pro – kapital. b. SDA yang diatur : Endapan – endapan alam didaratan maupun dibawah perairan sebagai bahan tambang UU 51990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya a. Visi dan Misi : Konservasi dan pro – rakyat b. SDA yang diatur : Unsur – unsur hayati dialam yang terdiri dari sumber daya alam nabati dan sumberdaya hewani yang bersama dengan unsur non hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem UU 231997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup a. Visi dan Misi : Konservasi dan pro – rakyat b. SDA yang diatur : Lingkungan hidup yang meliputi ruang dengan segala isinya UU 411999 tentang Kehutanan a. Visi dan Misi : Perimbangan eksploitasi dan konservasi namun lebih cenderung ekploitasi, lebih pro – kapital daripada pro – rakyat b. SDA yang diatur :  Kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumbedaya alam hayati yang didominasi pepohinan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidk dapat dipisahkan.  Kawasan hutan dikelompokkan sebagai kawasan lindung dan kawasan hutan produksi UU 222001 tentang Minyak dan Gas Bumi a. Visi dan Misi : Ekspoitasi dan pro-kapital b. SDA yang diatur :  Cadangan minyak bumi  Cadangan gas bumi UU 272004 tentang Panas Bumi a. Visi dan Misi : Eksploitasi dan pro – kapital b. SDA yang diatur sistem panas bumi :  Energi panas danatau fluida yang ditambang  Mineral ikutan UU 72004 tentang Sumbedaya Air a. Visi dan Misi : Konservasi dan Ekspoitasi, fungsi sosial dan ada kecenderungan pro – kapital b. SDA yang diatur :  Air air permukaan, air tanah, air hujan air laut yang berada didarat  Sumber Air  Daya Air UU 312004 tentang Perikanan a. Visi dan Misi : Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada perhatian terhadap untuk nelayan kecil. b. SDA yang diatur : segala jenis organisme yang sebagian atau seluruh siklus hiduonya berada dalam lingkungan perairan UU 262007 tentang Tata Ruang a. Visi dan Misi : Konservasi dan pro – rakyat b. SDA yang diatur : Ruang yang meliputi ruang darat, alut dan udara, termasuk ruang didalam bumi UU 272007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pualu – Pulau Kecil a. Visi dan Misi : Konservasi dan eksploitasi, pro – rakyat tetapi juga pro – kapital b. SDA yang diatur :  Semua sumberdaya hayati, non hayati; buatan dan jasa – jasa lingkungan yang terdapat diwilayah pesisir dan pulau – pulau kecil  Batas wilayah : kearah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan kearah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Sumber : dikutip dari Soemardjono et al, 2009 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berakhir dengan penandatanganan Berita Acara Tata Batas yang mensyaratkan keterlibatan penuh masyarakat di sekitardalam kawasan hutan. Kondisi yang sedemikian rupa tersebut akan terlihat jelas bila dilihat dari tingkat perkembangan ekonomi warga berdasarkan letak desa. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa, seluruh desa 7 desa yang terletak dalam kawasan hutan merupakan desa miskin sedangkan 91 desa 80,53 dari 113 desa yang terletak di tepisekitar kawasan hutan masuk dalam kategori desa miskin. Besaran persentase desa miskin menurut letak desa sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat dijadikan indikasi bahwa asumsi “menetes ke bawah” dari penerapan model penguasahaan lahan oleh perusahaan padat modal perkebunan atau kehutanan di daerah pedesaan yang diduga akan mendorong peningkatan kesejahteraan pada penduduk desa tidak terjadi demikian adanya. Kondisi yang justru tercipta adalah persoalan kemiskinan yang terus hadir dalam masyarakat pedesaan agraris di dataran tinggi ditengah-tengah keberadaan perusahaan besar perkebunan dan kehutanan di sekitar lahan garapan mereka. Tabel 6.2. Tingkat Perkembangan Ekonomi Warga Berdasarkan Letak Desa Letak DesaKelurahan LDK Tingkat Keberdayaan Ekonomi Warga Total Rendah Miskin Tinggi Sejahtera Dalam kawasan hutan Count desa 7 7 within LDK 100,00 0,00 100,00 of Total 1,65 0,00 1,65 Tepisekitar kawasan hutan Count desa 91 22 113 within LDK 80,53 19,47 100,00 of Total 21,46 5,19 26,65 Luar kawasan hutan Count desa 165 139 304 within LDK 54,28 45,72 100,00 of Total 38,92 32,78 71,70 Total Count desa 263 161 424 of Total 62,03 37,97 100,00 Sumber: diolah dari data Potensi Desa Kabupaten Garut Tahun 2008 Mengutip pendapat Beckford, White 1990 mengungkapkan, perkebunan plantation atau perusahaan kehutanan besar agro-industri merupakan penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan kronis persistent poverty karena dalam bentuk klasiknya ditandai oleh : 1 tingkat upah yang sangat rendah dibanding apa yang berlaku pada sektor-sektor lain tidak menimbulkan consumptiondemand lingkages yang berarti dengan sektor-sektor lain; 2 adanya sistem produksi, pengolahan dan pengemasan yang terintegrasi vertikal, sehingga hanya sedikit membutuhkan masukan dari unsur-unsur luar kurang memiliki production lingkages dengan ekonomi sekitarnya dan; 3 karena bentuk pemilikannya, menunjukkan pembocoran leakage dimana keuntungan surplus keluar dari perekonomian lokal sehingga baik perkebunan yang modern dan serba efisien pun tetap tidak akan mendukung pengembangan serta akumulasi pada wilayah dimana perkebunan berada. Sebagai ilustrasi kondisi upah buruh perkebunan, seorang tenaga pendamping yang turut serta melakukan advokasi pendudukan lahan pada tahun 1999 di areal perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung, Kecamatan Cilawu Kabupaten Garut, menuturkan ; “Dalam sebulan, seorang buruh pemetik pucuk daun teh rata- rata bekerja selama 26 hari. Dalam seminggu dirinya harus bekerja dari hari Senin hingga Sabtu dimana hari Minggu adalah hari libur. Dalam sehari bekerja, rata-rata dirinya mampu memetik 10-15 kilo. Oleh perusahaan, upah yang diberikan berdasarkan timbangan pucuk teh yang berhasil dipetik buruh. Besarnya upah per kilo sebesar 400 perak. Jika dihitung, kisaran pendapatan seorang buruh pemetik pucuk teh, adalah 15 kilo x 26 hari x 400 rupiah. Sehingga dalam sebulan seorang buruh pemetik teh berpenghasilan 156 ribu per orang” 31 Berbagai uaraian sebelumnya, maka pada bagian selanjutnya akan mengulas lebih jauh mengenai proses marginalisasi petani yang dialami oleh petani di dua lokasi akibat kebijakan negara yang menyebabkan konflik baik vertikal maupun horizontal serta banyak warga pedesaan kehilangan hak untuk bercocok tanam sebagai produsen bebas dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebelumnya diakses semua orang.

6.2. Riwayat Marginalisasi Petani Desa Dangiang

Sebagai masyarakat agraris, pola dan bentuk penguasaan lahan sangat menentukan kondisi kemiskinan rumahtangga petani. Seperti halnya dengan masyarakat pedesaan disekitar hamparan Cikuray, kecamatan Cilawu, sebelum tahun 1972 mayoritas warga merupakan petani yang menggarap di areal 31 Hasil wawancara dengan Yn pada tanggal 14 September 2009