Kemiskinan, Marginalisasi dan Ekstraksi Surplus di Pedesaan

kepada petani, peran pasar juga mendorong otonomi petani agar terbebas dari dominasi tunggal eksploitasi patron. Popkin berpendapat, sifat diadik dari relasi patron-klien tidaklah inheren akan tetapi karena kemampuan patron dalam mengindividukan relasi yang terbangun dengan klien sehingga secara tidak langsung menghambat kekuatan proses tawar-menawar kolektif. Dalam hal ini, patron tidak hanya menginvestasikan sumberdaya-sumberdaya klien dengan tujuan menjaga taraf subsistensi akan tetapi juga menghamabat penegmbangan kreativitas petani yang bisa merubah level keseimbangan kekuatan tawar petani. Untuk merubah pola pertukaran antara patron dan petani dibutuhkan tindakan kolektif dari petani. Untuk itu, peran ’orang luar’ dalam proses negosiasi atau tawar-menawar dengan patron akan mendorong gerakan revolusi karena para petani didaerah subsisten kurang memiliki kecenderungan untuk memperbaharui sistem kelembagaan mereka sendiri.

2.6. Review Beberapa Studi Terkait

Studi mengenai kemiskinan dan marjinalisasi petani di Indonesia merupakan salah satu tema yang terus bergulir terutama pada studi-studi tentang dinamika masyarakat pedesaan berbasis agraris. Dalam lintasan sejarah, setidaknya pasca kemerdekaan Indonesia, penelitian terhadap kondisi sosial- ekonomi masyarakat pedesaan khususnya Jawa telah banyak dilakukan dari berbagai disiplin ilmu dengan beragam fokus kajian seperti; distribusi pendapatan rumah tangga petani King dan Weldon, 1977, Mintoro 1984, upah dan tenaga kerja di pedesaan Husken 1979, White 1981, Soentoro 1984, penguasaan dan kepemilikan lahan Booth 1974, Wiradi dan Makali 1984, intesifikasi dan mekanisasi pertanian Siregar dan Nasution 1984, migrasi dan tekanan penduduk Hugo 1982, kelembagaan modal dan kredit pedesaan Colter 1984, organisasi dan struktur politik lokal hingga gerakan sosial pedesaan yang kesemuanya memberikan gambaran situasi sosial-ekonomi pedesaan Indonesia. Selain itu, beberapa hasil kajian tersebut bersandar pada konteks atau situasi sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan serta dampak dari pemberlakuan kebijakan tersebut seperti; land reform Utrecht 1969, 1973, program Bimas Roekasah dan Penny 1967, Partadiredja, 1969, revolusi hijau, transmigrasi, program PIR-BUN White 1996, Supra-Insus Sawit dan Manwan 1991, program kredit usahatani KUT, inpres desa tertinggal IDT, Program Pengembangan Kecamatan PPK dan yang saat ini sedang digalakkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri PNPM Mandiri. Dari berbagai kajian tersebut pada akhirnya turut melahirkan atau paling tidak mendorong debat teoritik yang lebih luas, lintas aktor, wilayah ruang, disiplin dan perspektif dalam memahami kondisi kemiskinan dan marjinalisasi petani di pedesaan Inodenesia. Diantara berbagai studi tersebut, terdapat simpul-simpul tematik yg turut menjadi dasar pengambilan kebijakan pembangunan pertanian dan turut mendorong perdebatan yang cukup luas dan intens. Dalam konteks ini, posisi penilitian Geertz tahun 50an, Studi Dinamika PedesaanSurvey Agro Ekonomika SDPSAE era 70an, penelitian kolaborasi PSP-LP IPB, ISS dan PPLH ITB akhir tahun 80an serta riset aksi IDT yang dilakukan oleh P3R YAE era tahun 90an merupakan salahsatu bentuk lintasan evolusi perkembangan studi kemiskinan di pedesaan Indonesia. Hal yang perlu digaris bawahi, hasil studi SAE sebagai lembaga penelitian yang berpusat di Bogor menurut beberapa pemerhati kemiskinan dan pedesaan merupakan salahsatu hasil studi yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman kondisi pedesaan di Indonesia de Vries 1969, Strout 1985 Studi Geertz di daerah pedesaan Jawa Timur pada tahun 1952-1954 menyimpulkan bahwa masyarakat pedesaan telah mengalami proses kemiskinan berbagi shared poverty dan involusi. Dengan menggunakan ilustrasi kue yang harus dipotong dan dibagi kian mengecil, Geertz berpendapat, akibat kelangkaan sumber daya lahan dan meningkatnya jumlah penduduk tenaga kerja, di pedesaan Jawa telah terjadi apa yang ia sebut sebagai “kemiskinan berbagi” share poverty. Selanjutnya, dengan jumlah tenaga kerja di desa melimpah ruah dan jumlah lahan yang tersedia terbatas sementara mereka tenaga kerja di desa harus tertampung dalam pengerjaan sebuah lahan, kondisi inilah yang ia sebut sebagai involusi. 1 Akibatnya, kelembagaan yang mengatur tenaga kerja dan sumberdaya agraria di desa semakin kompleks sehingga terjadi kemandegan perkembangan desa. Menurut Geertz, di pedesaan Jawa hanya terdapat rumah tangga yang kecukupan dan kekurangan Geertz 1984. 2 Dalam hal ini, di pedesaan Jawa tidak terjadi polarisasi pengkutuban antar warga desa. 3 Gambaran masyarakat pedesaan Jawa ala Gertz oleh sebagian para pemerhati masalah pedesaan dianggap sebagai lukisan usang tentang desa atau lebih terjebak pada ingatan romantisme tentang desa. Slogan, “mangan ora mangan asal kumpul” sering kali dipakai sebagai untaian kalimat romantis dalam menggambarkan suasana pedesaan kita di Indonesia. Faktanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sekelompok peneliti yang tergabung SAESDP, PSP-LP dan Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang bermarkas di Bogor era 70-90an, akibat agenda 1 Konsep involusi dipinjam dari Goldenweiser yang menggunakan istilah tersebut guna menerangkan pola-pola kebudayaan yang sering terlihat pada masyarakat-masyarakat primitif yang, setelah mencapai apa yang tampaknya merupakan keadaan yang menentukan, bukan saja tidak mampu memantapkan ataupun mentransformasikan diri ke dalam suatu pola baru, tetapi malah, terus saja berkembang secara melingkar-lingkar ke dalam. Dalam bidang ekonomi konsep involusi ini menunjukkan suatu pola perubahan teknis di mana produksi pertanian ditingkatkan hanya dengan meningkatkan masukan tenaga kerja ke tiap bidang sawah. Kano 1986 2 Geertz menyatakan, “di bawah tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan sumber- sumber daya yang terbatas, masyarakat Jawa terbagi menjadi dua golongan, –yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas –sebagaimana halnya pada begitu banyak negara “berkembang” lainnya. Tetapi sebaliknya, masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas keserbasamaan sosial dan ekonomi yang cukup tinggi, dengan membagi kue ekonomi dalam potongan yang makin lama makin kecil, suatu proses yang pada bagian-bagian lain saya sebut “kemiskinan bersama”. Masyarakat bukannya terbagi dalam golongan kaya dan golongan miskin; yang ada –dalam bahasa kaum tani yang sedikit diperhalus –hanyalah golongan cukupan dan golongan kekurangan.Yang kita temukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur bukannya pemusatan kekayaan secara pesat serta terbentuknya kaum proletariat pedesaan yang terasing dan miskin seperti yang kita jumpai di begitu banyak daerah “terbelakang”, melainkan proses pembagi-bagian tanah dan harta penduduk secara hampir merata. Dengan demikian kaum tani boleh dikatakan dapat mempertahankan keseimbangan atau kesamaan di bidang agama, politik, sosial dan ekonomi dengan sesamanya, dan tingkat hidup mereka sama-sama merosot jauh”. Kano, 1986 3 Chayanov 1925 menyatakan, bahwasanya yang terjadi di pedesaan adalah diferensiasi demografis. Dengan menjaga keseimbangan antara tingkat konsumsi dan tenaga kerja yang berasal dari keluarga consumer-labour balance, maka suatu unit rumah tangga tani suatu saat bisa jadi kaya atau jatuh miskin. Dalam kaitan ini, suatu unit rumah tangga petani belum cukup menjadi sebuah kekuatan kelas Thorner 1966. Bandingkan dengan pandangan kaum Marxian ortodoks Rusia seperti Lenin yang berpendapat bahwa akibat masuknya kapitalisme ke pedesaan berdampak terjadinya diferensiasi kelas. Ellis 1993 modernisasi pertanian lewat revolusi hijau di pedesaan telah mengarah terjadinya polarisasi di tingkat warga desa. 4 Sebagai sebuah kritik, Sajogyo dalam Geertz 1984 menunjukkan sekitar 10 persen rumah tangga petani di desa memiliki atau menguasai kurang lebih 80 persen lahan garapan pertanian. Sisanya, sekitar 20 persen lahan di desa diolah oleh 80 persen rumah tangga petani. Dengan kata lain, penelitian Geertz kurang memperhatikan adanya struktur ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan yang pada akhirnya bermuara pada ketimpangan distribusi pendapatan antar warga desa. Kritik yang sama juga dilontarkan oleh Collier 1981, yakni Geertz mengabaikan nafkah petani di luar usahatani off-farm. Padahal nafkah di luar usahatani di Jawa sesungguhnya menyita banyak dari seluruh waktu kerja, dan jika pendapatan di luar usahatani dihitung, pendapatan perkapita kemungkinan akan kelihatan meningkat evolution, bukannya menurun seperti yang dikatakan Geertz. Disamping itu, Collier 1981 dan White 1983 menunjukkan bahwa kesimpulan Geertz mengabaikan fakta adanya diferensiasi kelas agraris yang terjadi di pedesaan sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Sajogyo sebelumnya. Beragam lontaran kritik yang berasal serangkaian penelitian di beberapa desa era 70 hingga 80-an oleh sekelompok pemerhati SAESDP seperti Collier, Sajogyo, White dan Wiradi juga turut mengundang respon oleh pemerhati pedesaan lainnya, seperti Prof. Yujiro Hayami dan Dr. Masao Kikuchi asal Jepang yang melakukan penelitian di desa-desa Indonesia dan Filiphina. Menurut Hayami dan Kikuchi 1987, hasil penelitian Gertz pada tahun tersebut telah menunjukkan bahwa di pedesaan Jawa terdapat kelembagaan tradisional yang mengatur pemerataan kesejahteraan antar warga. Selain itu, menurut hasil studi Hayami dan Kikuchi, tekanan jumlah penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan. Dalam hal peran teknologi, pandangannya berlawanan dengan Colletal Collier cs, yaitu bahwa teknologi justru dapat mengatasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses 4 Bandingkan dengan kesimpulan Hayami dan Kikuchi 1987 yang menyatakan bahwa yang terjadi di pedesaan lebih menunjukkan kepada gejala semakin terstrafikasinya masyarakat pedesaan. kesenjangan. Karena itu, institusi tradisional yang ternyata dapat berfungsi sebagai pranata kesejahteraan tidak harus berubah, dan sebaiknya tidak harus diubah, melainkan di-“modernisir” inovasi sehingga dapat menjadi penangkal proses diferensiasi kelas. Wiradi 2010 Lewat studi yang dilakukan di salah satu desa sampel SAE di Jawa Tengah, Prof. Gillian Hart menegaskan bahwa, kedua “paradigma” baik Hayami dan Kikuchi maupun Collier tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan “timing” dan “laju” perubahan. Selain itu, perubahan hubungan agraris di pedesaan Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi, bukan oleh meningkatnya jumlah penduduk, bukan pula oleh proses komersialisasi, melainkan – yang paling penting – oleh perubahan kondisi politik serta keresahan atau ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya. Karena itu, peran negara menurut Hart perlu dimasukkan dalam analisis. Dalam hubungan ini, Hart mengajukan teori mengenai ELA exclusionary labor arrangements dimana pengaturan tenaga kerja pertanian buruh kontrak, buruh harian, dan lain-lain didasarkan pada suatu pola perekrutan yang di satu pihak mengatur kewajiban-kewajiban, dan di lain pihak menguatkan kontrol atas buruh tani. 5 Wiradi 2010 Pada gilirannya, melalui kajiannya di daerah Kabupaten Subang awal dekade 1990-an tepatnya di dua desa yang menjadi desa studinya Hayami dan Kikuchi dan satu desa lain sebagai pembanding, Dr. Jonathan Pincus, pakar dari FAO menawarkan dua tesis utama sebagai respon terhadap ketiga pandangan sebelumnya Collier dan kawan-kawan, Hayami dan Kikuchi serta Hart yakni Pertama, faktor-faktor spesifik lokal sejarah terbentuknya desa; kondisi agro- ekologis; dan perimbangan kekuatan antara kelas sosial, merupakan pemegang peran utama dalam membentuk pola-pola perubahan sosial pada tingkat desa. Kedua, faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi arah proses perubahan agraris 5 ELA exclusionary labor arrangements ini merupakan suatu mekanisme di mana negara dan pemilik tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja”, namun juga “menerapkan kontrol sosial”. Di sini, persoalan mobilisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan ketertiban” menjadi kunci untuk menjelaskan bentuk-bentuk agrarian labor arrangements. Wiradi, 2010 melalui pengaruhnya atas pembentukan dan perkembangan hubungan antar- rumahtangga, di tingkat desa. 6 Wiradi 2010 Hasil studi yang dilakukan Ghose dan Griffin 1980 di 12 negara termasuk Indonesia menyebutkan, jumlah penduduk miskin di pedesaan akan terus meningkat tajam. Hal ini disebabkan salah satunya karena kegagalan agenda “revolusi hijau” dalam “merevolusikan” produksi pertanian di pedesaan yang tidak didahului oleh pembenahan struktur agaria. Akibatnya, intervensi teknologi pertanian di pedesaan hanya dinikmati oleh gologan ekonomi kuat di desa. Dengan kata lain, penerapan agenda revolusi hijau sangat bertentangan dengan kepentingan kelompok miskin di pedesaan. Sebagai jalan keluar dari problem kemiskinan di pedesaan, maka perlu dilakukan land reform dalam arti luas yang meliputi, redistribusi lahan untuk mengentaskan ketuna-kismaan petani dan menjadikan keluarga tani berskala kecil sebagai unit pokok produksi serta peningkatan pertanian kolektif. Ghose dan Griffin 1980 Berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Ghose dan Griffin akan situasi suram kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan Indonesia, menurut laporan The World Development Report 2008: Agriculture for Development dirilis oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia memiliki tren yang terus menurun World Bank 2008. Selain itu, menurut laporan tersebut, Indonesia dan sebagian negara Asia lainnya dimasukkan dalam kategori negara yang sedang mengalami transformasi struktural dimana kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 25 persen terhadap GDP dan 60 persen dari total penduduk miskin berada di pedesaan. Dalam konteks ini, tranformasi struktural ditandai dengan pergeseran peran pertanian kepada sektor industri dan jasa disatu sisi dan diikuti oleh penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut juga digambarkan situasi penurunan angka kemiskinan di pedesaan Indonesia bersandar pada tiga jalur utama, yakni: usahatani komersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani dan pengerahan tenaga kerja upahan pertanian dan non pertanian, serta migrasi keluar desa. Namun demikian, laporan Bank Dunia diatas turut mengundang 6 Hasil kajian Pincus di awal dekade 1990-an tersebut kemudian dijadikan disertasi dan diterbitkan sebagai buku dengan judul: Class, Power and Agrarian Change 1996. respon kritis dari berbagai kalangan pemerhati diantaranya Akram-Lodhi 2009 yang mengungkapkan, penjelasan terhadap proses transformasi struktural di beberapa negara Asia yang tertera dalam laporan tersebut masih bersandar pada teori modernisasi klasik ala Rostow tahap lepas landas.

2.6. Kerangka Konseptual

Kemiskinan dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpangan- ketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya Winangun 2004. Persoalan kemiskinan memiliki keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial social exclusion dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry 1979 dalam Ellis 1993, terdapat 7 tujuh mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus nilai lebih yang dihasil petani ditangkap diserap oleh pelaku ekonomi individu, kelompok maupun negara. Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa via rent, tiga selanjutnya melalui pasar via market dan sisanya melalui negara via state. Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry 1979 adalah: 1 sewa jasa tenaga kerja rent in labour service, 2 sewa atas barang rent in kind, 3 sewa dalam bentuk tunai rent in cash, 4 perampasan nilai surplus melalui upah appropriation of surplus value via the wage, 5 perampasan nilai surplus melalui harga appropriation of surplus value via the prices, 6 perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi appropriation of surplus value via the usury, dan 7 pajak yang dikenakan kepada petani peasant taxation. Ellis 1993 Dalam hal ini, White 2009 menyebutkan, empat proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1 Produksi rumah tangga home production; 2 produksi tenaga kerja upahan wage labour production; 3 sirkulasi penawaran dan permintaan supply and demand circulation; dan 4 reproduksi sosial dan diferensiasi agraris reproduction and agrarian differentiation. Lebih lanjut, menurut White 2009, petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja, hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian danatau penjualan komoditi, pajak berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja, bunga pinjaman uang, hasil, tenaga kerja. Dengan demikian, memahami bagaimana penciptaan kemiskinan sebagai hasil dari marginalisasi komunitas petani di pedesaan dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi struktur dan organisasi sosial yang terdapat di komunitas yang mengatur akses dan kontrol terhadap faktor-faktor produksi serta turut menentukan hubungan produksi, pola pertukaran dan distribusi hasil dari setiap aktivitas produksi di tiap rumah tangga petani. Hadirnya insiatif warga dari bawah yang mengorganisir diri dalam organisisasi tani lokal merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami upaya pembaharuan atas hadirnya ketimpangan struktur atas penguasaan sumber-sumber agraria lokal di pedesaan dataran tinggi Garut, Jawa Barat