Riwayat Marginalisasi Petani Desa Dangiang

6.4. Ikhtisar

Hadirnya bentuk-bentuk penguasaan terhadap sumber-sumber agraria baik oleh negara maupun swasta di areal perkebunan dan kehutanan yang beriringan dengan proses pelepasan akses dan kontrol enclosure petani terhadap lahan garapan menjadi salahsatu ciri pertanian di dataran tinggi Kabupaten Garut. Pada prakteknya, hadirnya perusahaan perkebunan dan kehutanan bermodal besar negara dan swasta telah berhasil menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani satuan ekonomi terkecil di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. Bentuk-bentuk penguasaan tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari lintasan sejarah panjang kolonialisme, industrialisasi Eropa dan modernisasi di Indonesia. Kondisi yang sedemikian rupa tersebut akan terlihat jelas bila dilihat dari tingkat perkembangan ekonomi warga berdasarkan letak desa dimana seluruh desa 7 desa yang terletak dalam kawasan hutan merupakan desa miskin sedangkan 91 desa 80,53 dari 113 desa yang terletak di tepisekitar kawasan hutan masuk dalam kategori desa miskin. Dengan demikian, besaran persentase desa miskin menurut letak desa sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dapat dijadikan indikasi bahwa asumsi “menetes ke bawah” dari penerapan model penguasahaan lahan oleh perusahaan padat modal perkebunan atau kehutanan di daerah pedesaan yang diduga akan mendorong peningkatan kesejahteraan pada penduduk desa tidak terjadi demikian adanya. Kondisi yang justru tercipta adalah persoalan kemiskinan yang terus hadir dalam masyarakat pedesaan agraris di dataran tinggi ditengah-tengah keberadaan perusahaan besar perkebunan dan kehutanan di sekitar lahan garapan mereka. Meskipun terdapat perbedaan ciri dan ukuran kemiskinan antara petani di desa Dangiang dan Sukatani namun dalam konteks proses marginalisasi petani dari alat-alat produksi utama lahan garapan menunjukkan pola yang sama, yakni pelepasan atau pemisahan petani dari alat produksi utama tanah menjadi buruh tani upahan, pemasok tenaga buruh murah industri serta pekerja sektor informal perkotaan akibat masuknya penetrasi perusahaan perkebunan dan kehutanan ke pedesaan yang mengabaikan riwayat penguasan lahan oleh warga yang telah turun-temurun. Jika di desa Dangiang pola pelepasan petani dari alat produksi akibat masuknya perusahaan perkebunan negara yang diwakili oleh PTPN VIII Dayeuh Manggung, di desa Sukatani proses ini diakibatkan oleh masuknya perusahaan kehutanan negara yang diwakili oleh Perhutani. Semakin kokohnya kebijakan penguasaan negara atas kawasan hutan dan hasil hutan turut mendorong proses diferensiasi polar di tingkat desa. Kasus desa Sukatani menunjukkan bahwa kehadiran Perhutani telah mendorong terjadinya konsentrasi penguasaan lahan diferensiasi agraris di areal kehutanan yang berpusat pada sekelompok elite desa yang notabene juga merupakan sumber permodalan di desa sementara mayoritas warga lainnya golongan ekonomi lemah bersandar dari kegiatan berburuh tani pada elite-elite tersebut. Bahkan tidak jarang, kesempatan istimewa lapisan atas desa dalam mengolah sepetak lahan di kawasan kehutanan diperoleh oleh kemampuannya dalam membangun komitmen atau kesepakatan-kesepakatan informal dengan petugas kehutanan di lapangan. Wacana dan praktek yang sedemikian rupa tersebut terus dipertahankan dan diperbaharui melalui pembentukan kelembagaan baru atas dasar kolaborasi atau kemitraan antara Perhutani dan warga. PHBM merupakan salah satu contoh dimana selain mengukuhkan keberadaan negara atas ruang hidup masyarakat di dekitar hutan juga merupakan saluran akses bagi lapisan atas dalam mengelola kawasan hutan dengan kewajiban-kewajiban tertentu yang melekat. Dengan demikian, kemiskinan warga di desa-desa disekitar wilayah perkebunan dan kehutanan bersifat relasional atau sebagai sebuah produk marginalisasi petani melalui kebijakan penguasaan wilayah atau ruang oleh negara. Pada bagian selanjutnya Bab 7 akan lebih mengupas konteks kemiskinan sebagai sebuah produk marginalisasi yang terus diciptakan dan diperluas dari hubungan-hubungan produksi yang berlaku secara nyata di komunitas.

BAB VII PROSES MARGINALISASI JILID II :

AKIBAT POLA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI

7.1. Melacak Jejak Marginalisasi Arus Bawah

Kemiskinan dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural turut mengacu pada ketimpangan- ketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya. Persoalan kemiskinan memiliki keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial social exclusion dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok. Winangun 2004 Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari negara baik negara kolonial maupun pasca kolonial, proses marginalisasi petani juga dapat berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White 1998: 20 mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil-hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber- sumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah.” Deere dan de Janvry 1979 dalam Ellis 1993, menyebutkan tujuh mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus nilai lebih yang dihasil petani ditangkap diserap oleh pelaku ekonomi individu, kelompok maupun negara. Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa via rent, tiga selanjutnya melalui pasar via market dan sisanya melalui negara via state. Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry 1979 adalah: 1 sewa jasa tenaga kerja rent in labour service, 2 sewa atas barang rent in kind, 3 sewa dalam bentuk tunai rent in cash, 4 perampasan nilai surplus melalui upah appropriation of surplus value via the wage, 5 perampasan nilai surplus melalui harga appropriation of surplus value via the prices, 6 perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi appropriation of surplus value via the usury, dan 7 pajak yang dikenakan kepada petani peasant taxation. Ellis, 1993 White 2009 menyebutkan, empat proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1 produksi rumah tangga home production; 2 produksi tenaga kerja upahan wage labour production; 3 sirkulasi penawaran dan permintaan supply and demand circulation; dan 4 reproduksi sosial dan diferensiasi agraris reproduction and agrarian differentiation. Lebih lanjut, menurut White 2009, petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja, hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian danatau penjualan komoditi, pajak berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja, bunga pinjaman uang, hasil, tenaga kerja. Dengan demikian, memahami bagaimana proses penciptaan kemiskinan sebagai hasil marginalisasi petani di pedesaan dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi hubungan-hubungan antar pelaku yang terdapat di komunitas yang mengatur akses dan kontrol terhadap faktor-faktor produksi serta turut menentukan hubungan produksi dan pola distribusi hasil.

7.2. Sumber Kredit dan Ketersediaan Sarana Produksi

Di dua lokasi penelitian, sumber kredit dan pemasok sarana produsi pertanian seperti bibit, pupuk dan obat-obatan mayoritas berasal dari para bandar- bandar lokal di desa. Bandar-bandar lokal ini pun memiliki hubungan permodalan dan pemasaran dengan bandar-bandar yang lebih besar, baik masih dalam satu desa maupun luar desa. Semakin panjang lintasan aliran kredit, semakin tinggi biaya produksi petani atau semakin rendah harga jual komoditas di petani serta semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh oleh bandar besar. Kondisi yang semacam ini masih terus berlangsung dalam kegiatan pertanian warga di lokasi penelitian. Terus dipertahankannya rute aliran kredit pada praktiknya menyebabkan surplus yang dihasilkan di beberapa rumah tangga petani dari hasil panen terserap keluar dan terkonsentrasi pada bandar-bandar besarcukong. Khusus di daerah pertanian tanaman sayuran seperti di Sukatani hamparan Papandayan, untuk beberapa komoditas seperti tomat, kol dan cabe, keperluan akan bibit, pupuk dan obat-obatan kesemuanya berasal dari bandar atau dengan kata lain, pasokan sarana produksi berada diluar kontrol petani. Dengan demikian, hal ini menyebabkan terjadinya proses akumulasi surplus ke para pihak bandar- bandar besar sayuran. Dari pengambilan data 15 rumah tangga contoh, sekitar 73,3 11 responden merupakan rumah tangga petani yang setiap musim tanam selalu meminjam ke bandar untuk keperluan bertani. Seperti yang dituturkan kang Unding 31, “Modal yang dibutuhkan untuk tanam tomat sangat besar. 100 keperluan bibit dan pupuk berasal dari pinjaman bandar. Jadi kita sangat tergantung dari bandar. Jika tanam yang lain, seperti kentang, petani sudah bisa membibit sendiri. Hasil panen kentang, tidak semuanya dijual tapi ada yang disimpan buat bibit. Yang tidak membutuhkan modal besar, mudah mendapatkan bibit dan perawatannya tidak sulit adalah wortel. Bibit wortel mudah didapat, bisa didapat dari petani sendiri.” Sementara di desa Dangiang dengan komoditas utama tanaman semusim Akar Wangi tidak terlalu banyak berhubungan hutang-piutang dengan pihak pemasok sarana produksi. Hubungan hutang-piutang dalam penyediaan jasa permodalan umumnya terjadi antara pihak bandar penyuling dengan cukong minyak. Seperti yang diungkapkan kang Sibir, ketua OTL Dangiang yang pernah menjadi bandar, “Biasanya jika petani butuh uang, dia akan minjam pada bandar lokal. Akan tetapi karena bandar lokal tidak punya uang banyak maka dia akan minjam ke cukong... Yang diharapkan dari sistem tumpang sari akar wangi dengan sayuran adalah dapat mendorong total produksi akar wangi. Misalnya umur akar wangi baru puluhan hari atau mulai tanam butuh pupuk kandang. Tapi kalo ditanam bersama sayuran, berarti kentang diurus apalagi usar akar