Ikhtisar SITUASI KEMISKINAN RUMAH TANGGA PETANI DI

desa mayoritas hanya perempuan yang bekerja sebagai buruh tani di dalam maupun di luar desa. Situasi sedemikian rupa ini kemudian turut menjadi penggalan riwayat hidup salah seorang petani perempuan warga Dangiang yang menuturkan, “Saleresna mah nyeri upami dicarioskeun teh, sok kainget – inget jaman kapungkur, abdi harita upami buburuh nutu 5 geugeus kengingna saeunan satengah geugeus buburuhna ti enjing – enjing dugi ka jam 4 sore, abdi didamel di jalmi – jalmi anu gaduh masih di Dangiang keneh, kitu oge upami buburuh gacong bayaranana 10 kilo, 9 kilona ka nu gaduh serangna, kaluarna kangge abdi sakilo, harita harita harga beas mung 250 perak, tah upami buburuh ngored titabuh tujuh dugi ka tabuh 12 teh mung diburuhan 3 cuntangcangkir”. Sebenarnya sakit bila kembali menceritakannya, selalu teringat pada masa dulu, waktu itu kalau saya menjadi buruh tumbuk padi 5 ikat, upahnya setengah ikat, bekerja menjadi buruhnya dari pagi-pagi sampai jam empat sore, saya bekerja pada orang-orang berada di Dangiang, begitu juga kalau menjadi buruh petik padi bayarannya 10 kilo, 9 kilo untuk yang punya sawah, keluarnya untuk saya satu kilo, waktu itu harga beras hanya 250 perak, kalau menjadi buruh ngored dari jam tujuh sampai jam 12 hanya diberi upah 3 cangkir beras”. 32 Hingga pada tahun 97 saat terjadi krisis moneter, harga sembako makin mahal dan kehidupan di Jakarta pun semakin sulit tidak menentu menyebabkan mereka memutuskan untuk kembali lagi ke kampung. Setelah kembali ke kampung halaman, muncul keinginan mereka untuk menggarap kembali lahan yang ditinggalkan akibat masuknya perkebunan. 33 Sebagaimana yang dituturkan oleh salah satu koordinator SPP Wilayah Garut yang merupakan salahsatu dari 7 tujuah orang warga Dangiang yang menjadi perintis pendirian OTL SPP Dangiang. “Sejak tahun 82’ saya sudah merantau. Di desa tidak ada lapangan pekerjaan. Sebelum reclaiming tahun 98’, warga sebagian besar menjadi buruh tani sawah di luar desa yang mayoritas perempuan. Mereka menawarkan tenaga kepada yang punya tanah untuk mengolah lahannya. Yang punya tanah milik jami di desa hanya sekitar 25. Jika punya 0,5 ha itu sudah orang kaya. Ada juga warga yang keluar desa untuk dagang dan jadi buruh di kota. Pada 32 Catatan hasil wawancara Nisa dengan teh Onih 39 tahun dalam acara Diskusi Wawancara pada 12 September 2004 di Dangiang. 33 Hasil wawancara pada tanggal 10 September 2009 saat krismon tahun 97-98, ekonomi sedang sulit sehingga banyak yang di PHK. Ketika kena PHK mereka pulang kampung namun tidak ada yang bisa dikerjakan dan digarap. Lalu beberapa warga masuk ke areal perkebunan HGU untuk menggarap lahan. Waktu itu, beberapa orang menebang ratusan pohon teh untuk dijadikan lahan garapan. Kami harus kejar-kejaran dengan pihak perkebunan, preman yang disewa perkebunan hingga aparat keamanan brimob. Pada akhirnya, terbentuklah SPP yang awalnya jumlah anggota di desa dangiang hanya 7 orang. Setelah berhasil mendapatkan lahan garapan, kehidupan ekonomi warga meningkat..” 34 Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran negara melalui kebijakan pengurusan wilayah hutan di Jawa pada umumnya dan khususnya Jawa Barat yang berada di daerah perbukitan dan pegunungan turut menyertakan hak- hak istimewa kepada pihak perusahaan perkebunan teh, kopi, dan sebagainya. Adapun hubungan yang sah antara warga desa desa dengan pihak penguasa kehutanan tersalurkan dalam bentuk ikatan buruh tumpang sari atau buruh biasa kehutanan dimana kondisi yang demikian ini sebagian banyak tak berbeda dengan perkebunan besar. Sehingga tidak mengherankan, petani di lapisan bawah petani gurem dan buruh tani yang paling sering memanfaatkan peluang pekerjaan di hutan Sajogyo, 1973. Lewat pengamatannya di wilayah Cibodas, Sajogyo 1976 mengungkapkan, pra-kemerdeakaan 1945 pelepasan desa dari wilayah hutan yang dikuasai pemerintah khususnya di Jawa Barat telah berlangsung baik lewat aturan tanam paksa komoditas ekspor seperti kopi yang berakhir pada tahun 1915 maupun yang diperkuat oleh UU, patok-patok batas dan polisi kehutanan. Dengan demikian, masuknya usaha perkebunan telah berdampak kepada proses penyingkiran petani dari kuasa atas alat produksi utama yakni lahan dan secara langsung menghadapkan petani pada persoalan kemiskinan. Seperti yang dikisahkan Pak Impid 60 tahun, salah seorang penggarap di Blok Ciledug Dangiang merupakan bagian dari kesaksian dari puluhan orang lainnya yang tersingkir atas klaim sepihak negara. “Pengusiran kembali deui aya upami kai tos 5 tahun, ngantosan sapuluh tahun, dibabad ku kahutanan, lowong deui, tos kitu garapan tiasa digarap deui, pokokna selang na 5 sampai 10 34 Hasil wawancara pada tanggal 10 September 2009 tahun, kieu yeuh… tahun ieui kai ditebang, teras masyarakat diijinan ngagarap bari kedah ngagaleuh bibit ti Kahutanan, teras dipelakkeun bari dipiara, tah urang tiasa tumpangsari, ngagarapna dugi ka 5 tahun, saatosna kitu mah masyarakat diusir deui dugi ka teu tiasa pisan ngagarap sapanjang 10 tahun dugi ka 15 tahun, teras kitu…., nu ngusirna Mantri Kahutanan sareng Lurah oge BOMD, Bintara Onder Distrik Militer, harita mah sanes kerjasama sareng kepolisian nanging BOMD”, Pengusiran kembali lagi kalau pohon kayu sudah berumur 5 tahun, menunggu sampai 10 tahun dibabad oleh Kehutanan, kosong kembali, setelah itu garapan bisa digarap lagi, pokoknya berselang 5 sampai 10 tahun, begini… tahun ini ditebang, terus masyarakat diberi ijin menggarap tapi harus membeli bibit dari Kehutanan, terus ditanam sambil dipelihara, nah kita bisa tumpangsari, menggarapnya sampai lima tahun, setelah itu masyarakat diusir kembali sampai tidak bisa menggarap sama sekali sepanjang 10 sampai 20 tahun. Terus begitu….., yang mengusirnya Mantri Kehutanan dengan Lurah juga BOMD, Bintara Onder Distrik Militer, waktu itu tidak bekerjasama dengan kepolisian namun BOMD 35

5.3. Riwayat Marginalisasi Petani Desa Sukatani

Bila di desa Dangiang hamparan Cikuray proses marginalisasi atau pelepasan petani dari lahan garapan di era tahun 70-an ditenggarai oleh penetrasi perusahaan perkebunan teh negara, di desa Sukatani hamparan Papandayan proses tersebut akibat penerapan model pengelolaan hutan dan hasil hutan yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi oleh perusahaan kehutanan negara yakni Perhutani. Seperti yang diungkapkan Pellusso 2008, penguasaan negara atas kawasan hutan dan hasil hutan adalah demi kemaslahatan yang lebih luas kelak akan terus merasuki kebijakan kehutanan Indonesia, lama sesudah Belanda angkat kaki dari Indonesia. 36 35 Hasil catatan proses Nissa Wargadipura pada Diskusi Penyelidikan Platform Serikat Petani Pasundan SPP pada tanggal 28 Agustus 2004 di OTL Dangiang Cilawu Garut. 36 Menjelang akhir abad ke 19, sebuah konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan oleh negara – dan demi keuntungan negara sendiri – mulai mempengaruhi para pengelola hutan-hutan Jawa sementara konsep ini memapankan diri di negeri-negeri lain. Dinas Kehutanan, yang berawal sebagai perusahaan produksi, mengembangkan perannya selaku pelindung dengan memperluas kegiatan pengawasan dan memformalkan suatu ideologi yang baru muncul, yakni konservasi oleh negara. Undang-undang Kehutanan Tahun 1927 adalah kulminasi dari setengah abad kegiatan “coba dan ralat”. Undang-undang itu mewakili penegakan suatu ideologi legitimasi negara untuk menguasai seperempat luasan tanah pulau Jawa” Pelusso, 2008 Dari lintasan sejarah penguasaan lahan desa Sukatani, selain telah menyebabkan petani terlepas dari sarana produksi utama, masuknya Perhutani telah mendorong terjadinya konsentrasi penguasaan lahan diferensiasi agraris di areal kehutanan yang berpusat pada sekelompok elite desa yang notabene juga merupakan sumber permodalan di desa sementara mayoritas warga lainnya golongan ekonomi lemah bersandar dari kegiatan berburuh tani pada elite-elite tersebut. Sebagaimana penuturan salah seorang pimpinan OTL Sukatani yang pada tahun 2003 dirinya menjadi petugas sensus pertanian di tiga blok desa Sukatani, “75 persen petani disini desa Sukatani tidak memiliki lahan garapan”. Hal yang sama juga dituturkan oleh salah seorang warga yang menyatakan, 37 “Sebagian besar penduduk Kiara Rungkad bekerja sebagai petani. Beberapa menjadi pedagang, bahkan ada yang menjadi bandar. Pada masa sebelum pendudukan petani di tanah Perhutani, banyak warga hanya menjadi buruh tani. Beberapa mempunyai tanah dengan luasan yang sangat sedikit sehingga mereka melakukan aktivitas pertanian bukan di tanah milik sendiri. Saat ini, bertani dilakukan sendiri di lahan hutan. Di kampung Karikil, ada petani yang memiliki tanah hingga 10 ha. Kepemilikan lahan paling luas adalah H. Furqon dengan luas 10 ha. pemilik dengan luasan di bawah 10 ha adalah H. Ule, H.Ayat, H.Udung, dan H. Adang”. Pada tahun 2004, tepatnya pasca operasi Wanalaga Lodaya di sekitar kaki gunung Papandayan, relasi buruh upahan-tuan tanah pun turut berubah seiring insiatif pendudukan lahan oleh warga dan hadirnya organisasi gerakan tani lokal OTL SPP. Warga yang dahulu menjadi buruh harian para petani kaya kini menjadi petani penggarap yang tergabung dalam organisasi tani lokal SPP di areal kehutanan. Kondisi ini kemudian turut mempengaruhi kondisi kemampuan sosial ekonomi warga. Sementara para tuan tanah kemudian tergabung dalam kelompok PHBM bentukan PT. Perhutani. Pada perjalanannya, tidak mengherankan bahwa terjadi ketegangan antara petani yang tergabung dalam SPP yang menolak PHBM dan petani yang tergabung dalam PHBM yang sebelum operasi Walaga Lodaya merupakan kelompok petani lapisan atas yang mengusai mayoritas lahan garapan di areal 37 Hasil wawancara tanggal 14 September 2009 di desa Sukatani.