Masyarakat Perkebunan dan Kehutanan di Indonesia

Sementara Friedland dan kawan-kawan, lewat pengatannya terhadap dalam rantai komoditas selada dan tomat California yang bersandar pada perspektif Labor Proccess Marxis, meletakkan sebuah kerangka analitik dalam tiga kategori kunci yakni, moda produksi, hubungan sosial produksi, dan pembagian kerja teknis. Pada selanjutnya, Friedland bergerak ke analisis pertanian yang lebih konkret yang diuraikan melalui lima fokus untuk analisis sistem komoditi, yakni: praktek produksi, organisasi petani, pasar tenaga kerja, ilmu pengetahuan, serta pemasaran dan sistem distribusi. Di samping aspek-aspek utama tersebut di atas, terdapat aspek-aspek lain, yaitu perbankan dan perkreditan. Peraturan dan program pemerintah mengenai perbankan dan perkreditan dilihat sebagai suatu cara yang dengan itu faktor-faktor eksternal berusaha mempengaruhi atau mengintervensi proses-proses tersebut di atas, untuk sesuatu tujuan tertentu. Melalui mekanisme sistem perbankan dan perkreditan, surplus yang diciptakan oleh seseorang atau suatu kelompok, ataupun badan usaha, dapat beralih menjadi modal bagi orang lain, kelompok lain, ataupun badan lain, baik di dalam sektor dan lokasi yang sama maupun yang berbeda. Dengan demikian, sistem perbankan dan perkreditan dapat dipandang sebagai mekanisme yang mewujudkan mobilitas modal, baik secara spatial, secara sektoral, maupun secara sosial antara lapisan, antara kelompok etnis, antara gender, dan sebagainya. Wiradi et al 1991 Secara tradisional kebutuhan akan pinjaman atau kredit dalam suatu masyarakat berjalan sejajar dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks masyarakat pedesaan, Boeke 1983 mencatat bahwa masyarakat petani memiliki dua kebutuhan, yakni kebutuhan ekonomis dan kebutuhan sosial. Dalam konteks yang sama Wolf 1983 juga menyebutkan bahwa untuk dapat hidup layak, seorang petani di negara berkembang harus memenuhi tiga macam kebutuhan. Pertama, replacement funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk mengganti peralatan produksi dan konsumsi. Kedua, ceremonial funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial. Terakhir, funds of rent, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membayar sewa tanah apabila tanah tidak memiliki tanah sendiri. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini, tidak dapat ditanggulangi dengan sumber-sumber yang dikuasai sendiri, umumnya dipenuhi dengan memanfaatkan mekanisme pinjam-meminjam yang lazim berlaku. Pinjaman yang diperoleh biasanya dibayar dalam tiga bentuk, yakni tenaga kerja, hasil produksi, atau uang. Gunardi et al 1994 Gejala yang sama juga ditemukan oleh Djojohadikusumo 1989 melalui penelitiannya tentang masalah perkreditan pada masa depresi tahun 1930-an. Pada era kolonial tersebut, Djojohadikusumo menyebutkan empat bentuk peminjaman yang berlaku umum pada masyarakat. Pertama, pinjaman dalam bentuk padi. Pinjaman ini dimanfaatkan untuk benih atau dikonsumsi sendiri yang akan dibayar lagi sesudah panen dengan padi sebanyak satu setengah hingga dua kali padi yang dipinjam. Kedua, pinjaman uang. Pinjaman ini dikembalikan setelah panen ditambah dengan sejumlah padi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, pinjaman uang yang dibayar kembali dengan kerja yang dianggap sesuai dengan jumlah pinjaman. Keempat, pinjaman uang yang harus dibayar kembali dengan uang ditambah bunga yang telah ditetapkan. Lebih jauh juga dikatakan bahwa jenis-jenis pinjaman ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting. Apabila pinjaman itu membengkak, orang yang berutang hanya dapat membebaskan diri dari pinjaman pokok dan bunganya dengan cara antara lain menyewakan sebagian tanahnya – terkadang juga seluruhnya – kepada pemberi pinjaman dalam jangka waktu tertentu. Setelah habis masa sewa tanahnya, pinjaman dianggap lunas atau menggadaikan tanah kepada pemberi pinjaman. Dari berbagai uraian diatas memperlihatkan adanya hubungan yang khas di antara tiga polar, yaitu kebutuhan hidup sosio-ekonomi, sumberdaya yang dikuasai tanah, tenaga kerja, dan lain-lain., dan pinjaman natura ataupun uang tunai. Kebutuhan hidup akan dipenuhi dengan memanfaatkan sumberdaya atau, apabila dianggap tidak mencukupi, mekanisme pinjam-meminjam. Pinjam- meminjam ini pun disandarkan pada nilai sumberdaya yang dikuasai. Dengan kata lain, hubungan tiga polar ini sedapat mungkin akan dipertahankan pada suatu tingkat kesetimbangan tertentu. Apabila tingkat kesetimbangan ini terganggu, maka terganggu pula kesetimbangan ekonomi rumah tangga penerima pinjaman. Djojohadikusumo, 1989

2.5. Etika Subsistensi dan Upaya Protes Petani

Menurut Scott 1981, kekhawatiran akan kekurangan pangan yang menghinggapi komunitas petani di era pra-kapitalis merupakan faktor utama tumbuhnya etika susbsitensi. Etika subsistensi petani tidak hanya memfokuskan kepada kegiatan ekonomi semata akan tetapi secara inheren memiliki dimensi normatif atau moral. Sebagai suatu prinsip moral yang berlaku, etika subsistensi berakar pada kebiasaan tradisi ekonomi yang didalamnya terdapat mekanisme pertukaran-pertukaran sosial diantara anggota masyarakat petani. Dalam bentuk- bentuk kelembagaan yang terdapat di petani subsisten, seperti pola relasi patron- klien, mekanisme distribusi dan resiprositas, etika subsistensi menyediakan sebuah sistem penjaminan yang dinamakan asuransi sosial. Asuransi sosial memainkan peran vital sebagai faktor integritas petani dalam menghadapi resiko pertanian melalui sistem pertukaran sosial. Peran moral ekonomi yang lahir dari etika subsitensi petani, menurut Scott, telah melahirkan aktivitas protes dari petani subsisten. Terdapat dua tema sentral gerakan protes petani, pertama, pungutan atas penghasilan petani oleh tuan tanah patron dan negara tidaklah sah apabila dianggap pungutan tersebut melampaui tingkatan subsistebsi minimal menurut ukuran kultur lokal dan kedua, sumberdaya bersama commons seperti tanah harus didistribusikan secara sedemikian rupa agar setiap petani terjamin subsistensinya. Lebih lanjut, Scott berpendapat, dua transformasi yang terjadi di era kolonialisme secara langsung telah mengikis pola- pola asuransi sosial petani. Menurut Wolf dalam Scott 1981, transformasi yang tersebut adalah pengaruh kapitaslisme Atlantik Utara serta berkembangnya negara modern dibawah payung kolonialisme. Dampak adanya transformasi tersebut menyebabkan sumberdaya seperti tanah dan tenaga kerja menjadi sebuah komoditas yang hanya dilihat dari sisi nilai tukar ekonomi kapitalistik atau mekanisme pasar. Scott menyoroti peran negara yang tampil memainkan peran administratifnya dengan memungut pajak pendapatan, tunjangan sosial bagi petani tanpa memperhatikan kondisi subsistensi petani yang semakin memprihatinkan. Selain itu, dampak dari penetrasi pasar mendorong setiap individu untuk melakukan rasionalisasi aktivitas ekonominya dengan memprioritaskan keuntungan masksimum. Secara tegas, Scott berpendapat, komersialisasi sektor agraris di era ekonomi pasar secara nyata melenyapkan bentuk-bentuk asuransi sosial yang berlaku di komunitas petani, atau dengan kata lain paradigma pasar telah mengikis mekanisme-mekanisme pemerataan yang berlaku di desa. Berbeda dengan Scott, pandangan Popkin 1986 lebih optimis terhadap prospek masa depan petani dengan adanya mekanisme pasar. Asumsi para ekonom moral yang mengatakan hanya para petani kaya yang dapat melakukan inovasi demi mengejar keuntungan maksimal sehingga peran negara menjadi dominan dalam melindungi taraf susbsistensi petani dibantah oleh Popkin. Menurutnya, stratifikasi ditataran petani lebih ditimbulkan karena perbedaan di komunitas petani dalam mendapatkan akses di pemerintahan dibandingkan dengan adanya penetrasi pasar. Popkin berpendapat, kekhawatiran kaum moralis akan tuna kuasanya petani atas akses dan kontrol akibat pasar justru memperlihatkan bahwasanya petani lebih memiliki kesempatan untuk mengontrol sumberdaya ketika mereka dibebaskan memasuki pasar akibat surplus yang mereka peroleh. Tindakan rasional individu-individu dalam menentukan pilihan dalam kegiatan ekonomi pola produksi, konsumsi dan distribusi menjadi prasyarat utama untuk keluar dari kebergantungan. Memberikan peran lebih kepada mekanisme pasar dapat membebaskan petani dari jeratan dominasi tuan tanah patron klien. Dengan adanya keleluasaan petani memasuki pasar secara langsung akan mempertinggi posisi tawar petani di kalangan tuan tanah. Keberadaan pasar memberikan alternatif nbanyak pilhan serta dapat memberikan kesempatan petani untuk mendapatkan surplus dari produksi pertanian mereka. Relasi patron-klien yang terbangun komunitas petani di era pra-kapitalisme sesungguhnya tidak menjamin tingkat subsistensi petani akan tetapi justru memberikan legetimasi penguasaan sumberdaya petani oleh patron. Selain menyediakan berbagai alternatif pilihan kepada petani, peran pasar juga mendorong otonomi petani agar terbebas dari dominasi tunggal eksploitasi patron. Popkin berpendapat, sifat diadik dari relasi patron-klien tidaklah inheren akan tetapi karena kemampuan patron dalam mengindividukan relasi yang terbangun dengan klien sehingga secara tidak langsung menghambat kekuatan proses tawar-menawar kolektif. Dalam hal ini, patron tidak hanya menginvestasikan sumberdaya-sumberdaya klien dengan tujuan menjaga taraf subsistensi akan tetapi juga menghamabat penegmbangan kreativitas petani yang bisa merubah level keseimbangan kekuatan tawar petani. Untuk merubah pola pertukaran antara patron dan petani dibutuhkan tindakan kolektif dari petani. Untuk itu, peran ’orang luar’ dalam proses negosiasi atau tawar-menawar dengan patron akan mendorong gerakan revolusi karena para petani didaerah subsisten kurang memiliki kecenderungan untuk memperbaharui sistem kelembagaan mereka sendiri.

2.6. Review Beberapa Studi Terkait

Studi mengenai kemiskinan dan marjinalisasi petani di Indonesia merupakan salah satu tema yang terus bergulir terutama pada studi-studi tentang dinamika masyarakat pedesaan berbasis agraris. Dalam lintasan sejarah, setidaknya pasca kemerdekaan Indonesia, penelitian terhadap kondisi sosial- ekonomi masyarakat pedesaan khususnya Jawa telah banyak dilakukan dari berbagai disiplin ilmu dengan beragam fokus kajian seperti; distribusi pendapatan rumah tangga petani King dan Weldon, 1977, Mintoro 1984, upah dan tenaga kerja di pedesaan Husken 1979, White 1981, Soentoro 1984, penguasaan dan kepemilikan lahan Booth 1974, Wiradi dan Makali 1984, intesifikasi dan mekanisasi pertanian Siregar dan Nasution 1984, migrasi dan tekanan penduduk Hugo 1982, kelembagaan modal dan kredit pedesaan Colter 1984, organisasi dan struktur politik lokal hingga gerakan sosial pedesaan yang kesemuanya memberikan gambaran situasi sosial-ekonomi pedesaan Indonesia. Selain itu, beberapa hasil kajian tersebut bersandar pada konteks atau situasi sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan