Hubungan Produksi, Jejaring Pemasaran dan Isolasi Pasar

BAB VIII RESPON PETANI DATARAN TINGGI TERHADAP

PERSOALAN KEMISKINAN DAN PROSES MARGINALISASI

8.1. Kepastian Hak Garap

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, di dua lokasi penelitian kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan dilakoni oleh negara yakni, PTPN VIII Dayeuh Manggung di desa Dangiang kecamatan Cilawu hamparan Cikuray dan Perhutani di desa Sukatani Kecamatan Cisurupan hamparan Papandayan telah menyebabkan warga desa kehilangan kuasa atas tanah garapan yang menjadi basis utama nafkah keluarga. Akibatnya, dihadapkan pada persoalan ketiadaan akses dan pelepasan kuasa atas tanah, mayoritas rumah tangga petani menjadi buruh tani upahan, buruh bangunan dan industri, serta pelaku ekonomi sektor informal di perkotaan. Adapun warga yang masih dapat mengakses lahan kehutanan seperti di desa Sukatani, tidak lain adalah para elite desa pemodal yang mampu melakukan perluasan jejaring hingga ke petugas lapang Perhutani. Di desa Dangiang, Kecamatan Cilawu, masuknya perusahaan perkebunan besar yang dalam hal ini perkebunan teh milik PTPN VIII Dayeuh Manggung di era 70-an telah menyebabkan terjadinya proses pelepasan petani dari akses dan kontrol terhadap lahan garapan. Kondisi ini, yakni terlepasnya petani dari lahan garapan berdampak kepada tersingkirnya penduduk dari desa yang kemudian menjadi tenaga kerja upahan sektor industri dan sektor informal di kota. Pasca jatuhnya rejim orde baru yang diawali krisis ekonomi tahun 97, kehadiran aksi pendudukan lahan oleh warga reclaiming sebagai bentuk inisiatif yang hadir dari bawah di lahan klaim perusahaan perkebunan merupakan penggalan-penggalan riwayat akses dan kontrol terhadap sumber-sumber agraria di dataran tinggi hamparan Cikuray. Teh Nani sebagai saksi dan pelaku sejarah pendudukan lahan di perkebunan teh milik PTPN menuturkan, “....Sebelum tahun 72, masyarakat di kecamatan Cilawu mayoritas adalah petani yang menggarap di areal kehutanan hamparan Cikuray. Namun pada tahun 72, terjadi perubahan situasi dengan masuknya perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung yang menyebabkan masyarakat terusir dari areal garapan mereka dan sekitar 80 laki-laki harus migrasi ke kota seperti Jakarta bekerja sebagi penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan, buruh pabrik kerupuk serta pengrajin dompet dan ikat pinggang kulit, dan sebagainya. Sehingga sejak saat itu Cilawu terkenal dengan para pedagang goloknya. Mayoritas yang tersisa di desa saat itu hanya perempuan yang bekerja sebagai buruh tani pencabut rumput di luar wilayah Cilawu karena ada larangan mencabut rumput di areal perkebunan dan jika ketahuan maka peralatan tani miliknya akan disita oleh pertugas perkebunan. Hanya beberapa persen saja yang masih menggarap di areal kehutanan namun lebih masuk ke areal hutan yang lebih tinggi. Tahun 97 saat terjadi krisis moneter, harga sembako yang kian mahal menyebabkan kehidupan di Jakarta pun semakin sulit tidak menentu. Akibat situasi yang tidak menentu menyebabkan mereka warga desa memutuskan untuk kembali lagi ke kampung halaman. Setelah kembali ke kampung, diawali oleh usaha perluasan lahan milik salah seorang warga yang berbatasan dengan areal perkebunan, muncul keinginan mereka untuk menggarap kembali lahan yang ditinggalkan akibat masuknya perkebunan. Pada tahun 1998, beberapa warga desa sekitar 77 kk dari desa Mekarmukti dan Sukamukti mulai menggarap kembali lahan terlantar di areal perkebunan. Aksi pendudukan lahan perkebuan ini telah berlangsung sebelum tergabung kedalam organisasi tani lokal OTL Serikat Petani Pasundan SPP. Menanggapi aksi penggarapan lahan oleh warga, pihak perkebunan pun bereaksi. Akhirnya terjadi kesepakatan antara pihak perkebunan dengan masyarakat. Butir kesepakatan tersebut antara lain, masyarakat boleh menggarap lahan tersebut selama satu musim tanam dan wajib menyetorkan biaya sewa per patok. Namun pada perjalanannya timbul masalah yang disebabkan aksi pematokan dan pelarangan pengarapan oleh pihak perkebunan sebelum masa kesepakatan berakhir. Akibat pelarangan itu, masyarakat mencari dukungan dengan pihak-pihak yang dapat membantu mereka. Akhirnya mereka warga desa ketemulah dengan kami. Saat itu belum ada SPP dan Yapemas tapi yang ada FPPMG dimana saya sebagai salah seorang yang melakukan investigasi dan pertemuan dengan 77 kk tersebut. Tepatnya sekitar hari Rabu, 7 Juli 1999, saat sedang melakukan pertemuan dengan mereka 77 kk di desa Mekar Mukti, pada waktu yang bersamaan, tiba-tiba masyarakat diluar berbondong-bondong melakukan pembabatan tanaman perkebunan di blok Kiara Lawang. Sejak kejadian itu, saya bersama teman-teman yang lain melakukan konsolidasi dan pengorganisasian masyarakat dalam menuntut hak penggarapan di lahan perkebunan. Dari pertemuan konsulidasi tersebut terjadi kesepakatan bahwa tidak ada alternatif lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup kecuali masyarakat mempunyai lahan garapan di lahan terlantar areal perkebunan. Pada saat itulah kita bangun sebuah organisasi dan merumuskan cara-cara yang akan kita gunakan dalam memperjuangkan hak atas tanah. Keinginan masyarakat waktu itu lebih memilih menyelesaikan masalah lewat jalur prosedural, yakni lapor ke desa dan seterusnya, sambil kita menginventarisir dan mendata masyarakat yang membutuhkan tanah. Namun pihak desa saat itu tidak menyetujui karena dianggap tanah tersebut milik perkebunan. Tidak berhasil dengan desa, kita lanjutkan ke kecamatan sesuai keinginan masyarakat akan tetapi usaha ini tidak berhasil. Setelah berupaya kesana-kemari tidak berhasil, kita memilih jalur non letigasi melalui aksi reclaiming, demonstrasi dan lain-lain. Sampai akhirnya ada beberapa orang warga desa Dangiang yang ikut pertemuan di Mekarmukti karena mereka warga desa Dangiang juga mengalami persoalan yang sama, yakni tidak memiliki lahan garapan. Akhirnya kita berhasil mendapatkan lahan garapan dengan berbagai tantangan dan resiko seperti harus berhadapan dengan aparat Brimob, preman dan sebagainya....” yn Faktor hadirnya gerakan penguatan dan pengorganisasian petani dari bawah untuk menuntut hak garap lahan di areal perkebunan dan kehutanan pada prakteknya telah berhasil merekatkan kembali petani pada penguasaan langsung terhadap alat produksi utama yakni lahan yang secara langsung turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan di tingkat rumah tangga petani. Periode- periode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha mengamankan akses lahan garapan tenure security dari gugatan pihak perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama. Seiring dengan langkah tersebut, selain mengorganisasikan diri dalam mendapatkan akses garapan, organisasi tani lokal ini pun turut menciptakan dan memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa maupun lintas desa untuk merundingkan kepentingan mereka seperti keterwakilan di BPD, anggota panitia pemungutan suara, pemilihan kades, anggota PKK, dan program pemberdayaan. Seperti yang diutarakan kang Asip, “Di bidang politik, suara petani yang dulu hanya menjadi buruh saat ini mulai dipandang oleh desa.” Hal ini juga tercermin daripenggalan riwayat hidup kang Jijang 24, salah seorang petani di Desa Sukatani “Orang tua Jijang dahulu bekerja sebagai buruh tani dan kuli panggul. Jijang kecil membantu orang tua sambil belajar bertani. Sebelum reclaiming, keluarga Jijang menggarap lahan hutan 4-5 patok. Dulu Jijang menggarap lahan milik orang tua. Pada masa pengawasan perhutani ketat, warga hanya berani menggarap 2 patok dan dengan cara sembunyi-sembunyi. Waktu berangkat dan pulang disesuaikan dengan tidak adanya petugas perhutani, sehingga mereka berangkat jam 3.30 pagi dan pulang jam 7 pagi saat petugas belum tiba di lokasi. Strategi menghadapi petugas adalah memanfaatkan lahan perhutani secara berdekatan. Kondisi ekonomi yang demikian tidak mampu membawa Jijang ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi karena harus membantu ekonomi keluarga. Seluruh anggota keluarga hanya tamat SD. Sulitnya pekerjaan di desa dan akses lahan di hutan makin sulit menyebabkan pada tahun 2000 Jijang harus ikut kakaknya berjualan ikat pinggang di Tangerang. Ikat pinggang tersebut bukan milik sendiri melainkan system setoran ke bos. Jijang hanya bertahan lima bulan bekerja di Tangerang. Jijang akhirnya pulang ke Desa bertepatan dengan peresmian organisasi SPP di Garut oleh Bupati. Bersama 8 orang temannya diantaranya Asep A, Naim, Ade Masdar, Asep B, Aep, mereka berangkat ke Garut dan curhat tentang tanah. Disana bertemu dengan aktivis SPP. Pada tahun 2002-2003 mereka cek ke lokasi perhutani dan melakukan pengukuran. Kegiatan terus berlanjut, beberapa pelatihan dilakukan untuk membekali anggota agar dapat berargumentasi ketika berhadapan dengan pihak perhutani.

8.2. Pola Pemanfaatan Lahan dan Budidaya

Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, strategi penguatan produksi dan distribusi di tingkat petani dipandang sebagai cara-cara yang ditempuh oleh sebuah rumah tangga petani di tiap lapisan dengan menimbang ketersediaan sejumlah sumber daya akses dan kontrol yang dimiliki oleh rumah tangga petani di dalam sebuah komunitas. Di desa Sukatani, petani kecil dengan keterbatasan modal melakukan strategi budidaya melalui memilih komoditas wortel atau jenis tanaman jangka pendek lainnya karena jenis tanaman ini tidak terlalu membutuhkan banyak input- input produksi serta waktu perawatan yang relatif singkat sehingga mereka dapat mencari tambahan penghasilan lewat berburuh tani. Saat dirinya telah mampu menciptakan surplus, biasanya mereka mulai beranjak ke komoditas kentang dimana kebutuhan bibit sudah dapat diproduksi sendiri. 37 Seperti yang tercermin 37 “Modal yang dibutuhkan untuk tanam tomat sangat besar. 100 keperluan bibit dan pupuk berasal dari pinjaman bandar. Jadi kita sangat tergantung dari bandar. Jika tanam yang lain, seperti kentang, petani sudah bisa membibit sendiri. Hasil panen kentang, tidak semuanya dijual tapi ada yang disimpan buat bibit. Yang tidak membutuhkan modal besar, mudah mendapatkan pada penggalan riwayat hidup kang Jijang 24, salah seorang petani di Desa Sukatani. “Di awal penggarapan ada dua orang yang ikut garap dan perlahan-lahan meningkat. Saat itu, petani menanam ubi jalar sambil beternak kambing. Daun ubi jalar dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Setelah berhasil menanam ubi jalar, petani mulai mengembangkan komoditas kol dan jumlah garapan perlahan mulai bertambah. Warga Kharikil dan Panagan kemudian bertanya-tanya tentang bagaimana cara menggarap di lahan perhutani.” Di tingkat organisasi, OTL Sukatani mengembangkan demplot pembibitan kentang. Tanaman kentang ini termasuk tanaman yang membutuhkan biaya banyak. Saat ini, sebagian petani sudah dapat mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasokan bibit kentang yang berasal dari bandar. Sementara untuk desa Dangiang, pola budidaya petani adalah tumpang sari dengan memilih akar wangi sebagai komoditas utama yang diusahakan. Pada saat awal musim hujan Desember, petani akan mulai menanam akar wangi diselingi oleh tanaman sayuran seperti kentang yang umur panennya 3 bulan. Setelah panen kentang, lalu mulai menanam tembakau yang umur panennya 5 bulan. Tapi ada juga petani yang hanya merasakan panen 2 kali. Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, peningkatan pendapatan petani dilakukan dengan berternak atau membeli lahan di dalam maupun luar desa. “Jika di awal penggarapan keluarga Jijang hanya menggarap 2 patok, maka saat ini, satu keluarga 7 orang anggota RT memiliki 20 patok lahan garapan di hutan perhutani dengan dibantu oleh 1 orang buruh. Perkembangan tingkat kesejahteraan yang mulai tampak adalah Jijang kini bahkan sudah dapat memperoleh tanah gadai 7 patok yang saat ini sedang ditanami kentang 5 patok. 7 patok digadai terbagi dalam 2 tahap penggadaian yaitu 3 patok sudah digadai sejak 2 tahun terakhir, sedangkan 4 patok baru digadai 1 tahun terakhir. Jijang memperoleh tanah gadai milik pak Diryi yang kebetulan saat itu orang yang bersangkutan sedang membutuhkan uang. Proses perkenalan Jijang dengan pertanian diiringi dengan hobi beternak sapi hingga berhasil memiliki sapi 3 ekor yang kemudian dijual untuk membeli tanah. Tanah yang dibeli tahun 2003 bibit dan perawatannya tidak sulit adalah wortel. Bibit wortel mudah didapat, bisa didapat dari petani sendiri.” seharga 6 juta. Pada tahun 2005 dan 2007 Jijang berhasil membeli motor”

8.3. Konsolidasi Modal

Di desa Dangiang, pada tahun 1999 muncul kendala modal dalam penggarapan lahan. Berbagai variasi muncul dalam hal penyediaan modal, yaitu 1. petani menanam sesuai dengan kemampuan modal sendiri, 2. Petani telah memiliki modal sendiri, 3. Meminjam modal kepada Bandar. Tuntutan penyediaan modal merupakan hal yang tidak dapat dihindari sehingga organisasi menilai perlu ada langkah lain untuk kepentingan penggarapan lahan. Tepat disaat yang sama, pemerintah menyediakan skema kredit bagi petani melalui program Kredit Usaha Tani KUT. Peluang tersebut diambil oleh organisasi setelah sebelumnya membentuk kelompok sebagai syarat keikutsertaan dalam program KUT. Di tahun yang sama, dibentuklah Koperasi Warga Desa KWD, dan KWM di tingkat kabupaten. Melalui KWD, diharapkan petani dapat akses terhadap modal. Terbukti, beberapa KWD berhasil mendapat 2 putaran peminjaman yaitu program hortikultura dan palagung. Sayangnya, tidak semua kepentingan petani bisa di akomodir. Kredit yang disediakan pemerintah tidak mencukupi digunakan sebagai modal pertanian. Ditambah dengan kondisi gagal panen, petani akhirnya meminjam ke pihak lain. Banyak KWD yang menurun aktivitasnya karena persoalan manajemen dan sumberdaya manusia. Pada tahun 2001 usaha bersama mulai dibangun melalui pendekatan kepada kelompok ibu-ibu. Kegiatan ini pertama kali diinisiasi di Dangiang. Alasan keterlibatan kaum ibu karena dianggap lebih terampil dan memiliki pengalaman dalam mengurusi ekonomi rumahtanga. Terdapat dua jenis kegiatan yang dikembangkan yaitu warung kelompok dan kelompok simpan pinjam. Pasang surut kegiatan kelompok ini mengharuskan proses seleksi ulang atas loyalitas anggota dengan harapan kegiatan bisa lebih maju. Harapan akan hasil kegiatan kelompok mulai muncul karena kelompok Dangiang menunjukkan eksistensinya dan berlangsung hingga tahun 2006. Proses pembelajaran kelompok di desa lain