2008 tercatat jumlah keluarga pertanian mencapai 70 persen. Dengan luas wilayah 432 Ha, kepadatan penduduk di desa Sukatani mencapai 1.892 jiwaKm
2
. Adapun komoditas utama yang diusahakan warga adalah hortikultura.
Dilihat dari riwayat penguasaan lahan, di desa Sukatani merupakan salahsatu desa di kecamatan Cisurupan dimana posisi areal lahan pertanian warga
berdampingan dengan areal kehutanan klaim PT. Perhutani. Seperti yang terjadi di desa Dangiang, masuknya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan
perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan
kehutanan negara yang tergabung dalam organisasi tani lokal OTL Serikat Petani Pasundan SPP. Selain OTL SPP, terdapat kelembagaan lain yakni PHBM
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang dibentuk oleh PT. Perhutani dalam mengatur dan mengontrol akses warga terhadap lahan kehutanan.
Gambar 4.4. Peta Lokasi Kecamatan Penelitian
Kecamatan Cisurupan hamparan Papandayan
Kecamatan Cilawu hamparan Cikuray
4.5.2. Pola Produksi dan Budidaya Lokal
Dari pola pemanfaatan lahan dan teknik budidaya khususnya di lahan pendudukan warga reclaiming, baik di desa Dangiang maupun Sukatani,
mayoritas petani menerapkan sistem tanam tumpang sari. Yang membedakan di dua lokasi tersebut adalah jenis dan variasi tanaman tumpang sari dan jenis
tanaman tegakan serta periodesasi pemanfaatan lahan yang dalam hal ini sangat dipengaruhi jenis tanaman, faktor musim dan ketersediaan air.
Di desa Dangiang hamparan Cikuray petani dapat mengalami 3 musim panen dalam setahun. Diantara ketiga musim panen tersebut, istilah ‘panen pokok’
dikenakan pada saat panen Akar Wangi. Adapun jenis tanaman tumpang sari yang diusahakan antara lain, tanaman sayuran seperti kentang atau cabe dan tembakau.
Masa panen dari tanaman tumpang sari relatif lebih pendek yaitu dibawah 5 bulan daripada masa panen akar wangi yang mencapai 10 bulan. Seperti yang diuraikan
oleh salah seorang pimpinan OTL desa Dangiang yang juga pernah menjadi bandar penyuling akar wangi,
“Petani di Dangiang dapat merasakan 3 musim panen. Panen pokok adalah saat petani panen akar wangi. Biasanya akar wangi
dipanen saat umur tanaman mencapai 10 bulan. Akan tetapi juga bisa dipanen dibawah 10 bulan, yakni 7 bulan. Petani yang memiliki utang
ke bandar atau punya keperluan mendadak biasanya akan memanen lebih cepat dan menjualnya secara tebasan kepada bandar. Hampir
semua petani disini menanam akar wangi di lahan garapannya masing-masing. Selain panen akar wangi, petani juga akan menikmati
panen dari tanaman tumpang sari sayuran dan tembakau. Pada saat awal musim hujan Desember, petani akan mulai menanam akar
wangi diselingi oleh tanaman sayuran seperti kentang yang umur panennya 3 bulan. Setelah panen kentang, lalu mulai menanam
tembakau yang umur panennya 5 bulan. Tapi ada juga petani yang hanya merasakan panen 2 kali. Enaknya menanam akar wangi karena
bibit dan pupuk tidak perlu beli. Dari setiap panen akar wangi, akan disisakan untuk bibit sebanyak 20. Pupuk akar wangi menumpang
saat kita memupuk tanaman sayuran, jadi pupuk tidak perlu lagi beli karena sudah sekalian bersama pupuk sayuran. Tanam akar wangi
jadi kayak tabungan. Warga tidak takut meminjam ke warung atau bandar untuk beli pupuk karena nanti akan dibayar saat panen akar
wangi”
Berbeda dengan di desa Dangiang, di desa Sukatani pola pemanfaatan lahan sangat tergantung pada musim. Kecuali petani lapisan atas, saat musim kemarau
petani tidak dapat menanam di lahan garapannya dikarenakan sulit mendapatkan air sementara pada petani kaya tetap dapat menggarap di lahannya karena
memiliki pompa air. Untuk pola pemanfaatan lahan di areal reclaiming kehutanan terdapat dua kelembagaan yakni SPP dan PHBM Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat. Baik penggarap yang tergabung dalam SPP maupun PHBM sama-sama menanam tanaman sayuran sebagai basis komoditas.
16
Namun terdapat perbedaan antara petani yang tergabung dalam SPP dan PHBM soal
pilihan tanaman tegakan. Pada petani yang tergabung SPP memilih tanaman tegakan yang berbeda dengan tanaman tegakan yang ditanam atau dianjurkan oleh
PT. Perhutani. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang pimpinan OTL desa Sukatani,
“Kalau musim kemarau, lahan-lahan garapan masyarakat di areal reclaiming Perhutani tidak ditanami karena sulit air. Warga
akan mulai menggarap lahan saat musim hujan tiba. Kecuali petani kaya yang memiliki pompa air dan kolam penampungan air. Di
garapan, anggota SPP tidak menggunakan plastik mulsa karena dapat merusak tanah. Kami juga menanam tanaman tegakkan yang
berbeda dengan jenis tanaman Perhutani”
4.5.3. Skala Usaha Tani untuk Beberapa Komoditas
Untuk memahami gambaran umum pola penggunaan input-input produksi seperti pupuk, bibit dan tenaga kerja, berikut akan ditampilkan beberapa skala
usaha tani beberapa komoditas yang terdapat di dua lokasi dari hasil penelusuran yang berhasil dihimpun oleh salah seorang tenaga pendamping oragnisasi tani
lokal OTL dan peneliti dalam bentuk tabel dibawah ini. Pada lokasinya yang terletak di dua hamparan yang berbeda, yakni hamparan Cikuray desa Dangiang
dan Papandayan desa Sukatani, pola pemanfaatan lahan, teknik budidaya dan pilihan komoditas utama yang diusahakan di dua lokasi tersebut menunjukkan ciri
atau bentuk yang berbeda namun masih menunjukkan berbagai pola yang sama. Di desa-desa yang terletak di hamparan Cikuray, komoditas tanaman tahunan
16
Pasca operasi Walaga Lodaya pada tahun 2003, PT. Perhutani membentuk kelembagaan pengelolaan kawasan hutan yang melibatkan petani penggarap dalam pemanfaatan lahan yang
dikenal dengan PHBM. Model PHBM ini kemudian lebih banyak diakses oleh para elite desa yang meninggalkan lahan garapan akibat adanya operasi tersebut. Menurut informasi yang didapatkan
di lapangan, skema PHBM sesungguhnya tidak memperkenankan menanam tanaman sayuran.