membutuhkan masukan dari unsur-unsur luar kurang memiliki production lingkages dengan ekonomi sekitarnya dan; 3 karena bentuk pemilikannya,
menunjukkan pembocoran leakage dimana keuntungan surplus keluar dari perekonomian lokal sehingga baik perkebunan yang modern dan serba efisien pun
tetap tidak akan mendukung pengembangan serta akumulasi pada wilayah dimana perkebunan berada.
Sebagai ilustrasi kondisi upah buruh perkebunan, seorang tenaga pendamping yang turut serta melakukan advokasi pendudukan lahan pada tahun
1999 di areal perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung, Kecamatan Cilawu Kabupaten Garut, menuturkan ;
“Dalam sebulan, seorang buruh pemetik pucuk daun teh rata- rata bekerja selama 26 hari. Dalam seminggu dirinya harus bekerja
dari hari Senin hingga Sabtu dimana hari Minggu adalah hari libur. Dalam sehari bekerja, rata-rata dirinya mampu memetik 10-15 kilo.
Oleh perusahaan, upah yang diberikan berdasarkan timbangan pucuk teh yang berhasil dipetik buruh. Besarnya upah per kilo sebesar 400
perak. Jika dihitung, kisaran pendapatan seorang buruh pemetik pucuk teh, adalah 15 kilo x 26 hari x 400 rupiah. Sehingga dalam
sebulan seorang buruh pemetik teh berpenghasilan 156 ribu per orang”
31
Berbagai uaraian sebelumnya, maka pada bagian selanjutnya akan mengulas lebih jauh mengenai proses marginalisasi petani yang dialami oleh petani di dua
lokasi akibat kebijakan negara yang menyebabkan konflik baik vertikal maupun horizontal serta banyak warga pedesaan kehilangan hak untuk bercocok tanam
sebagai produsen bebas dan kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebelumnya diakses semua orang.
6.2. Riwayat Marginalisasi Petani Desa Dangiang
Sebagai masyarakat agraris, pola dan bentuk penguasaan lahan sangat menentukan kondisi kemiskinan rumahtangga petani. Seperti halnya dengan
masyarakat pedesaan disekitar hamparan Cikuray, kecamatan Cilawu, sebelum tahun 1972 mayoritas warga merupakan petani yang menggarap di areal
31
Hasil wawancara dengan Yn pada tanggal 14 September 2009
kehutanan hamparan Cikuray. Namun pada tahun 1972, terjadi perubahan situasi dengan masuknya perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung yang
menyebabkan warga harus meninggalkan areal garapan yang menjadi sumber nafkah utama mereka dan hanya beberapa persen saja yang masih menggarap di
areal kehutanan namun lebih masuk ke areal hutan yang lebih tinggi. Kondisi ini kemudian menghadapkan petani pada persoalan kemiskinan akibat hilangnya
kuasa mereka atas lahan garapan.
Tabel 6.3. Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Perkebunan di Desa Dangiang Waktu
Peristiwa
1940 Masyarakat menggarap tanah yang pada saat itu dikelola oleh kehutanan
197274 HGU PTPN Nusantara VIII
1974-1997 Masyarakat keluar dari lahan garapan. Akibatnya, 80 penduduk laki-laki
migrasi ke kota seperti Jakarta mencari nafkah sebagai penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan, buruh pabrik kerupuk serta
pengrajin dompet dan ikat pinggang kulit, dan sebagainya.
1997 Masa HGU PTPN VIII habis. Krisis ekonomi menyebabkan penghidupan di
kota semakin sulit. Warga di perantauan kembali ke desa. 1998
Beberapa warga desa sekitar 77 kk dari desa Mekarmukti dan Sukamukti mulai menggarap kembali lahan terlantar di areal perkebunan. Pihak PTPN
Nusantara VIII bersepakat dengan warga dengan memberikan izin kepada petani untuk menggrap lahan tidur dengan sewa garap selama 6 bulan dan
diwajibkan untuk membayar sewa kepada pihak PTPN Nusantara VIII
29 Juni 1999 PTPN Nusantara VIII membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak dengan
menutup lahan tersebut dan menancapkan tapal batas bahwa lahan tersebut tidak boleh digarap
13 Juli 1999 Masyarakat Sukamukti bersama dengan mahasiswa melakukan pertemuan
dengan beberapa aparat militer dari koramil setempat 14 Juli 1999
Masyarakat di desa Sukamukti mendapat panggilan dari dari koramil yang tujuannya untuk segera membuat proposal permohonan penggarapan
29 Januari 2000 Petani penggarap diserbu oleh preman yang dikondisikan oleh pihak PTPN
Nusantara VIII 19 Juli 2000
Petani penggarap mendatangi DPRMPR 3-5 Oktober 2000
Pihak Dalmas Polres Garut mendatangi petani penggarap untuk melakukan pengamanan, karena petani tetap bersikeras untuk menggarap lahan tersebut.
Petani penggarap karena kesal terhadap Dalmas Polres Garut, dengan cara dialog dan adu argumentasi yang panjang berhasil mengusir Dalmas Polres
Garut
Hilangnya kuasa atas lahan dan tidak tersedianya sumber pekerjaan yang ada di desa mendorong sekitar 80 persen laki-laki harus migrasi ke kota seperti
Jakarta untuk bekerja sebagi penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan dan buruh pabrik kerupuk serta kerajinan kulit sementara yang tersisa di