Perbandingan Ukuran Kemiskinan di Dua Desa

kehutanan hamparan Cikuray. Namun pada tahun 1972, terjadi perubahan situasi dengan masuknya perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung yang menyebabkan warga harus meninggalkan areal garapan yang menjadi sumber nafkah utama mereka dan hanya beberapa persen saja yang masih menggarap di areal kehutanan namun lebih masuk ke areal hutan yang lebih tinggi. Kondisi ini kemudian menghadapkan petani pada persoalan kemiskinan akibat hilangnya kuasa mereka atas lahan garapan. Tabel 6.3. Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Perkebunan di Desa Dangiang Waktu Peristiwa 1940 Masyarakat menggarap tanah yang pada saat itu dikelola oleh kehutanan 197274 HGU PTPN Nusantara VIII 1974-1997 Masyarakat keluar dari lahan garapan. Akibatnya, 80 penduduk laki-laki migrasi ke kota seperti Jakarta mencari nafkah sebagai penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan, buruh pabrik kerupuk serta pengrajin dompet dan ikat pinggang kulit, dan sebagainya. 1997 Masa HGU PTPN VIII habis. Krisis ekonomi menyebabkan penghidupan di kota semakin sulit. Warga di perantauan kembali ke desa. 1998 Beberapa warga desa sekitar 77 kk dari desa Mekarmukti dan Sukamukti mulai menggarap kembali lahan terlantar di areal perkebunan. Pihak PTPN Nusantara VIII bersepakat dengan warga dengan memberikan izin kepada petani untuk menggrap lahan tidur dengan sewa garap selama 6 bulan dan diwajibkan untuk membayar sewa kepada pihak PTPN Nusantara VIII 29 Juni 1999 PTPN Nusantara VIII membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak dengan menutup lahan tersebut dan menancapkan tapal batas bahwa lahan tersebut tidak boleh digarap 13 Juli 1999 Masyarakat Sukamukti bersama dengan mahasiswa melakukan pertemuan dengan beberapa aparat militer dari koramil setempat 14 Juli 1999 Masyarakat di desa Sukamukti mendapat panggilan dari dari koramil yang tujuannya untuk segera membuat proposal permohonan penggarapan 29 Januari 2000 Petani penggarap diserbu oleh preman yang dikondisikan oleh pihak PTPN Nusantara VIII 19 Juli 2000 Petani penggarap mendatangi DPRMPR 3-5 Oktober 2000 Pihak Dalmas Polres Garut mendatangi petani penggarap untuk melakukan pengamanan, karena petani tetap bersikeras untuk menggarap lahan tersebut. Petani penggarap karena kesal terhadap Dalmas Polres Garut, dengan cara dialog dan adu argumentasi yang panjang berhasil mengusir Dalmas Polres Garut Hilangnya kuasa atas lahan dan tidak tersedianya sumber pekerjaan yang ada di desa mendorong sekitar 80 persen laki-laki harus migrasi ke kota seperti Jakarta untuk bekerja sebagi penjual golok, pedagang makanan keliling, buruh bangunan dan buruh pabrik kerupuk serta kerajinan kulit sementara yang tersisa di desa mayoritas hanya perempuan yang bekerja sebagai buruh tani di dalam maupun di luar desa. Situasi sedemikian rupa ini kemudian turut menjadi penggalan riwayat hidup salah seorang petani perempuan warga Dangiang yang menuturkan, “Saleresna mah nyeri upami dicarioskeun teh, sok kainget – inget jaman kapungkur, abdi harita upami buburuh nutu 5 geugeus kengingna saeunan satengah geugeus buburuhna ti enjing – enjing dugi ka jam 4 sore, abdi didamel di jalmi – jalmi anu gaduh masih di Dangiang keneh, kitu oge upami buburuh gacong bayaranana 10 kilo, 9 kilona ka nu gaduh serangna, kaluarna kangge abdi sakilo, harita harita harga beas mung 250 perak, tah upami buburuh ngored titabuh tujuh dugi ka tabuh 12 teh mung diburuhan 3 cuntangcangkir”. Sebenarnya sakit bila kembali menceritakannya, selalu teringat pada masa dulu, waktu itu kalau saya menjadi buruh tumbuk padi 5 ikat, upahnya setengah ikat, bekerja menjadi buruhnya dari pagi-pagi sampai jam empat sore, saya bekerja pada orang-orang berada di Dangiang, begitu juga kalau menjadi buruh petik padi bayarannya 10 kilo, 9 kilo untuk yang punya sawah, keluarnya untuk saya satu kilo, waktu itu harga beras hanya 250 perak, kalau menjadi buruh ngored dari jam tujuh sampai jam 12 hanya diberi upah 3 cangkir beras”. 32 Hingga pada tahun 97 saat terjadi krisis moneter, harga sembako makin mahal dan kehidupan di Jakarta pun semakin sulit tidak menentu menyebabkan mereka memutuskan untuk kembali lagi ke kampung. Setelah kembali ke kampung halaman, muncul keinginan mereka untuk menggarap kembali lahan yang ditinggalkan akibat masuknya perkebunan. 33 Sebagaimana yang dituturkan oleh salah satu koordinator SPP Wilayah Garut yang merupakan salahsatu dari 7 tujuah orang warga Dangiang yang menjadi perintis pendirian OTL SPP Dangiang. “Sejak tahun 82’ saya sudah merantau. Di desa tidak ada lapangan pekerjaan. Sebelum reclaiming tahun 98’, warga sebagian besar menjadi buruh tani sawah di luar desa yang mayoritas perempuan. Mereka menawarkan tenaga kepada yang punya tanah untuk mengolah lahannya. Yang punya tanah milik jami di desa hanya sekitar 25. Jika punya 0,5 ha itu sudah orang kaya. Ada juga warga yang keluar desa untuk dagang dan jadi buruh di kota. Pada 32 Catatan hasil wawancara Nisa dengan teh Onih 39 tahun dalam acara Diskusi Wawancara pada 12 September 2004 di Dangiang. 33 Hasil wawancara pada tanggal 10 September 2009