sisa hutangnya. Apabila petani tersebut tidak mampu membayar sisa hutang ditambah bunga, tanahnya lalu akan dijaminkan kepada
cukong. Penyelesaian hutang-piutang bahkan bisa melibatkan pihak aparat polisi. Pak RT, anggota SPP yang berprofesi sebagai bandar
lokal dua lahannya telah dijaminkan kepada bandar cukong karena tidak mampu bayar hutang.” Asp
7.5. Ikhtisar
Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi modal dari negara baik negara kolonial maupun pasca kolonial, proses marginalisasi petani
juga dapat berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah,
modal dan tenaga kerja. Di dua lokasi studi, penyingkiran marginalisasi petani dari alat-alat produksi tidak hanya terjadi akibat masuknya perusahaan
perkebuanan dan kehutanan. Tingginya kebutuhan atas input produksi bibit, pupuk dan obat dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi
dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan yang tidak setara tersebut. Di tingkat petani, hubungan baik ini
diperlukan agar memperoleh akses pinjaman dari bandar baik berupa uang maupun dalam bentuk bibit, pupuk dan obat-obatan.
Di lain pihak, kepentingan bandar terhadap hubungan tersebut untuk menjaga keuntungan yang diperolehnya dari usaha petani di tanah garapannya.
Relasi ini pada prakteknya menyebabkan pembentukan dan penumpukan akumulasi surplus hanya terjadi pada pihak bandar sementara petani menjadi
buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat hubungan hutang-pitang semacam ini menyebabkan petani kehilangan lahan garapannya atau menjadi buruh di lahan
garapannya sendiri mengingat surplus dari hasil produksi hampir sebagian besar terserap oleh bandar. Keterjalinan yang sedemikian rupa antara bandar dan petani
telah berlangsung lama sebelum adanya aksi reclaiming warga di lahan kehutanan memungkinkan terjadinya proses pelepasan lahan dari petani ke pihak
bandar atau proses tersebut secara langsung mendorong terjadinya rekonsentrasi penguasaan lahan kepada bandar yang juga merupakan lapisan elite di desa.
Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru dalam pola
struktur produksi dan distribusi lama. Dengan kata lain, fenomena tersebut dilihat sebagai proses pergantian rejim pelaku permodalan dalam suasana
moda produksi dan distribusi yang lama.
BAB VIII RESPON PETANI DATARAN TINGGI TERHADAP
PERSOALAN KEMISKINAN DAN PROSES MARGINALISASI
8.1. Kepastian Hak Garap
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, di dua lokasi penelitian kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan dilakoni oleh negara yakni,
PTPN VIII Dayeuh Manggung di desa Dangiang kecamatan Cilawu hamparan Cikuray dan Perhutani di desa Sukatani Kecamatan Cisurupan hamparan
Papandayan telah menyebabkan warga desa kehilangan kuasa atas tanah garapan yang menjadi basis utama nafkah keluarga. Akibatnya, dihadapkan pada persoalan
ketiadaan akses dan pelepasan kuasa atas tanah, mayoritas rumah tangga petani menjadi buruh tani upahan, buruh bangunan dan industri, serta pelaku ekonomi
sektor informal di perkotaan. Adapun warga yang masih dapat mengakses lahan kehutanan seperti di desa Sukatani, tidak lain adalah para elite desa pemodal
yang mampu melakukan perluasan jejaring hingga ke petugas lapang Perhutani. Di desa Dangiang, Kecamatan Cilawu, masuknya perusahaan perkebunan
besar yang dalam hal ini perkebunan teh milik PTPN VIII Dayeuh Manggung di era 70-an telah menyebabkan terjadinya proses pelepasan petani dari akses dan
kontrol terhadap lahan garapan. Kondisi ini, yakni terlepasnya petani dari lahan garapan berdampak kepada tersingkirnya penduduk dari desa yang kemudian
menjadi tenaga kerja upahan sektor industri dan sektor informal di kota. Pasca jatuhnya rejim orde baru yang diawali krisis ekonomi tahun 97, kehadiran aksi
pendudukan lahan oleh warga reclaiming sebagai bentuk inisiatif yang hadir dari bawah di lahan klaim perusahaan perkebunan merupakan penggalan-penggalan
riwayat akses dan kontrol terhadap sumber-sumber agraria di dataran tinggi hamparan Cikuray. Teh Nani sebagai saksi dan pelaku sejarah pendudukan lahan
di perkebunan teh milik PTPN menuturkan, “....Sebelum tahun 72, masyarakat di kecamatan Cilawu
mayoritas adalah petani yang menggarap di areal kehutanan hamparan Cikuray. Namun pada tahun 72, terjadi perubahan situasi
dengan masuknya perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung yang