Riwayat Marginalisasi Petani Desa Sukatani

semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh oleh bandar besar. Kondisi yang semacam ini masih terus berlangsung dalam kegiatan pertanian warga di lokasi penelitian. Terus dipertahankannya rute aliran kredit pada praktiknya menyebabkan surplus yang dihasilkan di beberapa rumah tangga petani dari hasil panen terserap keluar dan terkonsentrasi pada bandar-bandar besarcukong. Khusus di daerah pertanian tanaman sayuran seperti di Sukatani hamparan Papandayan, untuk beberapa komoditas seperti tomat, kol dan cabe, keperluan akan bibit, pupuk dan obat-obatan kesemuanya berasal dari bandar atau dengan kata lain, pasokan sarana produksi berada diluar kontrol petani. Dengan demikian, hal ini menyebabkan terjadinya proses akumulasi surplus ke para pihak bandar- bandar besar sayuran. Dari pengambilan data 15 rumah tangga contoh, sekitar 73,3 11 responden merupakan rumah tangga petani yang setiap musim tanam selalu meminjam ke bandar untuk keperluan bertani. Seperti yang dituturkan kang Unding 31, “Modal yang dibutuhkan untuk tanam tomat sangat besar. 100 keperluan bibit dan pupuk berasal dari pinjaman bandar. Jadi kita sangat tergantung dari bandar. Jika tanam yang lain, seperti kentang, petani sudah bisa membibit sendiri. Hasil panen kentang, tidak semuanya dijual tapi ada yang disimpan buat bibit. Yang tidak membutuhkan modal besar, mudah mendapatkan bibit dan perawatannya tidak sulit adalah wortel. Bibit wortel mudah didapat, bisa didapat dari petani sendiri.” Sementara di desa Dangiang dengan komoditas utama tanaman semusim Akar Wangi tidak terlalu banyak berhubungan hutang-piutang dengan pihak pemasok sarana produksi. Hubungan hutang-piutang dalam penyediaan jasa permodalan umumnya terjadi antara pihak bandar penyuling dengan cukong minyak. Seperti yang diungkapkan kang Sibir, ketua OTL Dangiang yang pernah menjadi bandar, “Biasanya jika petani butuh uang, dia akan minjam pada bandar lokal. Akan tetapi karena bandar lokal tidak punya uang banyak maka dia akan minjam ke cukong... Yang diharapkan dari sistem tumpang sari akar wangi dengan sayuran adalah dapat mendorong total produksi akar wangi. Misalnya umur akar wangi baru puluhan hari atau mulai tanam butuh pupuk kandang. Tapi kalo ditanam bersama sayuran, berarti kentang diurus apalagi usar akar wangi juga terurus. Akhirnya, masalah pengelolaan atau perawatan akar wangi bisa dibilang gratis” Adapun keterhubungan antara petani dengan pihak pemasok sarana produksi disebabkan pola tanam tumpang sari sayuran dan tembakau yang membutuhkan pasokan bibit, pupuk dan obat-obatan untuk beberapa jenis komoditas. Di dua lokasi penelitian, hubungan antar petani dengan bandar lokal diikat oleh hubungan ketetangaan dan hutang-piutang.

7.3. Hubungan Produksi, Jejaring Pemasaran dan Isolasi Pasar

Di lokasi penelitian, hubungan permodalan sumber kredit dan pemasaran hasil panen sangat menentukan hubungan produksi atas alat-alat produksi. Di Sukatani, pendudukan lahan perhutani oleh warga pasca operasi wanalga lodaya tahun 2003 disusul dengan hadirnya gerakan organisasi tani lokal meski dapat dikatakan berhasil melekatkan kembali petani dengan lahan garapan sehingga dirinya terbebas dari hubungan tenaga upahan dengan para elite desa. Namun demikian hubungan permodalan dan pemasaran dengan elite-elite desa bandar besar masih bertahan hingga saat ini. Dalam kaitan ini, melalui hubungan hutang- piutang, petani menjadi tidak bebas dalam menjual dan menentukan harga hasil panennya. Petani di desa Sukatani, terutama di Kampung Kiara Rungkad mengenal Bandar sebagai aktor utama dalam sistem distribusi hasil pertanian. Bandar adalah pengumpul hasil panen sayuran yang merupakan komoditas pertanian utama petani di Desa Sukatani. Bandar dapat sangat mengikat petani dalam satu keluarga. Bisa saja terjadi, dalam satu keluarga yang beberapa anggota keluarganya menjadi petani, menjual hasil panen kepada Bandar yang berbeda. Persaingan antar Bandar dalam mendapatkan mitra demikian luar biasa. Hubungan antara petani dengan Bandar dikenal dengan istilah “hutang haseum”. Ketika musim tanam tiba, petani akan berhutang sarana produksi pertanian dalam bentuk pupuk, obat dan benih dan akan dibayar pada saat panen yarnen. Siklus pinjaman ini berputar terus menerus sehingga keterikatan antara petani dengan Bandar makin kuat. Akibat dari pinjaman tersebut, petani berkewajiban untuk menjual hasil panen kepada Bandar tempat dimana dia meminjam uang. Berdasarkan skala modal dan kapsitas pembelian, di Sukatani terdapat tiga jenis bandar yakni, 1. Bandar dengan skala modal kecil atau petani sering menyebutnya dengan istilah calo. Biasanya para calo akan membeli hasil panen petani yang membutuhkan uang cepat. Adapun harga yang ditetapkan relatif jauh dibawah harga yang berlaku di desa. Setelah mendapatkan hasil panen dari petani, para calo kemudian akan menjual kepada bandar sedang atau besar yang masih di dalam desa. Modal para calo biasanya berasal dari para bandar sedang atau besar. 2. Bandar dengan skala modal sedang. Biasanya para bandar sedang ini akan langsung menjual ke pasar. Berbeda dengan bandar besar, para bandar sedang ini tidak menyediakan pinjaman berupa saprotan pupuk, bibit dan obat-obatan melainkan hanya uang. 3. Bandar dengan skala modal besar. Bandar besar ini merupakan penyedia kredit modal berupa uang bagi para calo dan petani. Selain berperan sebagai pembeli dan penyedia modal, para bandar besar ini juga merupakan para pedagang saprotan yang menyediakan kebutuhan petani akan pupuk, bibit dan obat-obatan dalam bentuk pinjaman. Umumnya, pada saat panen, mekanisme penjualan yang berlaku adalah Bandar akan memberikan nota harga kepada petani. Namun sistem pembayarannya ditunda hingga komoditas terjual di pasar. Apabila harga yang berlaku di pasar lebih rendah maka Bandar akan membayar sesuai dengan harga pasar dan harga awal yang tertera di nota dianggap tidak berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa petani terisolasi dari penentuan harga secara bebas. Mekanisme ini berbeda dengan cara pembayaran di masa lalu dimana cara yang berlaku adalah, “ada barang, ada uang.” Tidak mengherankan jika realitas yang tampak adalah kondisi kesejahteraan Bandar jauh lebih baik dibanding petani karena mekanisme cara demikian ini tidak pernah membuat Bandar merugi. Hubungan antara petani dengan Bandar tertentu tidak mesti berlangsung lama karena apabila hutang sudah dilunasi, petani dapat pindah ke Bandar lain. Begitu pula halnya yang terjadi di desa Dangiang, meski usaha pendudukan lahan perkebunan oleh warga tahun 1997 disusul dengan hadirnya organisasi gerakan tani lokal telah berhasil merekatkan petani atas lahan garapan namun demikian relasi modal antara petani, bandar lokal dan cukong minyak akar wangi maupun tembakau tidak berubah. Hingga saat ini, petani maupun bandar lokal pihak penyulingan tidak mengetahui harga pemasaran minyak akar wangi yang sesungguhnya dengan kata lain, telah terjadi informasi yang tidak simetris antar pelaku ekonomi A Symetric Information. “Jika harga minyak saat ini 800 dan tumpang sarinya hanya tanaman sayuran, panen per 100 tumbak bisa 5 juta. Pada sistem tebas artinya beli semua, 100 tumbak tersebut milik bandar. Disisakan 20 tumbak untuk bibit si petani namun akarnya tetap milik Gambar 7.1. Pola Distribusi Tanaman Sayuran di Daerah Hamparan Papandayan Ilustrasi Gambar : Di desa Sukatani, terdapat dua sistem penjualan yakni tebasan dan kiloan 1. Pada komoditas yang hasil panen berada dalam tanah seperti kentang, sistem yang berlaku adalah tebasan. Hal ini dikarenakan keyakinan warga bahwa dilarang menjual barang gaib tidak tampak. Di sukatani terdapat tiga jenis bandar, yakni : calo , bandar sedang dan bandar besar. Pada bandar sedang, hasil panen petani akan langsung dijual ke pasar 3b. Setelah itu akan hasil penjualan di pasar 4a akan dibayarkan pada petani. Tidak jarang, para bandar sedang merupakan kepanjangan dari bandar besar karena terlibat hubungan permodalan 4b, 5. Begitu halnya dengan calo 2 yang merupakan kepanjangan dari bandar sedang. bandar. Perjanjian antara petani dan bandar lokal adalah saat panen disisakan untuk bibit. Setelah dari bandar dibawa ke penyulingan lalu dibawa ke cukong sudah dalam bentuk minyak. Tapi yang paling jahat adalah cukong. Biasanya, pada bulan 2 atau 3 masa krisis bagi orang yang tidak menanam sayur sehingga petani mau pinjam uang. Biasanya, petani akan meminjam ke bandar lokal atau kadang- kadang ke cukong. Kalau sudah terjadi peminjaman seperti itu, baik mau jual tebas atau jula kilo terjadi kelainan harga dalam arti terjadi penurunan harga akar wangi. Jika pada sistem tebas harga akar wangi 100 tumbak mencapai 5 juta, maka ketika ada pinjaman harga akar wangi turun menjadi 4,5 juta per 100 tumbak. Pada sistem kilo, jika harganya 2500kilo jadi turun 100 rupiah dari 2500 per kilonya.... Pengalaman saya, kalo kita ngambil pinjam uang 100 juta maka ada kontrak harga minyak dengan cukong. Misalnya yang sudah-sudah, cukong akan menentukan harga hanya 700 ribu bahkan ada yang dibawah itu. Beda dengan teman saya kang Mamat, dia tidak pinjam ke cukong untuk biaya penyulingan, jadi bisa jual minyaknya ke cukong seharga 750-800 ribu per kilo, lebih tinggi dibandingkan bandar yang pinjam uang ke cukong. Cukong itu seenaknya saja menentukan harga. Kita kan sebagai bandar lokal atau petani tidak tahu harga minyak yang sesungguhnya. Setelah membeli minyak dari bandar lokal seharga 700 ribu, kita bandar lokal tidak ada yang tahu berapa cukong jual minyak itu selanjutnya” Sbr Banyak terjadi, akibat hubungan permodalan lewat hutang-piutang tersebut para bandar lokal harus berhenti berusaha menyuling minyak akibat jeratan hutang pada cukong minyak. Hubungan permodalan lewat hutang-piutang, pemasaran hasil panen antara petani dan bandar lokal dan cukong turut menyumbangkan andil terhadap proses pelepasan petani dari alat-alat produksi. Di desa Dangiang, kelembagaan pemasaran Akar Wangi dapat dibagi dua macam, yakni sistem tebasan dan sistem jual per kilo. Pada musim kemarau umumnya petani menginginkan jual Akar Wangi secara sistem tebasan mengingat bobot Akar Wangi yang ringan. Sementara pada musim hujan, petani lebih memilih jual sistem per kilo dikarenakan bobot Akar Wangi yang relatif lebih berat dibandingkan musim kemarau. Bagi petani yang terlibat hutang-piutang, biasanya yang berlaku adalah sistem ijon. Kecuali bagi petani yang memiliki hutang pada bandar lokal, maka sistem yang berlaku adalah tebasan dengan harga yang ditentukan oleh bandar. Di dua desa, pada jenis komoditas yang hasil panen berada dalam tanah seperti akar wangi atau kentang, bagi sebagian warga sistem penjualan yang berlaku adalah hanya kiloan. Hal ini didasarkan keyakinan warga Gambar 7.2. Pola Distribusi Tanaman Akar Wangi di Daerah Hamapran Cikuray Ilustrasi Gambar : Di desa Dangiang, terdapat dua sistem penjualan akar wangi yakni tebasan dan kiloan 11b. Pada sistem tebasan, bandar lokal akan membawa buruh atau petani akan memakai buruh sendiri 22b. Pada sebagian warga, hanya ingin menjual secara kiloan. Hal ini dikarenakan keyakinan warga bahwa dilarang menjual barang gaib tidak tampak. Namun ada juga petani ingin menjual berdasarkan musim, bila musim hujan ingin dijual secara kiloan atau sebaliknya. Pemasaran akar wangi terbagi menjadi dua, yakni : dijual kepada pengrajin di Jawa sebagai hiasaan 3b atau disuling 3 terlebih dahulu kemudia dijual ke Cukong 4. Hasil minya yang dibeli dari bandar lokal, selanjutnya akan dikirim ke industri pengolahan. Seluruh bandar lokal yang menjual hasil penyulingan akar wangi terlibat hubungan kredit permodalan dengan Cukong minyak 55b atas ajaran agama, bahwasanya menjual barang yang tidak tampak gaib dengan tebasan seperti berjudi. “Misal, petani akan pinjam 1 juta, karena petani yang akan pinjam banyak, si bandar lokal bisa pinjam sama cukong hingga 10 juta tapi syaratnya harga minyak jadi ‘sekian’ atau jadi turun dibawah harga biasastandar. Kalo harga minyak jatuh, otomatis si petani pun ikut menjerit, petani tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, ketika petani ke jual bandar, baik menjual dengan sistem tebas atau jual per kilo ada perbedaan harga atau harganya jadi turun”Sbr Pada prakteknya, meskipun kehadiran gerakan tani lokal telah berhasil menguak ketimpangan agraria akibat penetrasi usaha perkebunan dan kehutanan