Skala Usaha Tani untuk Beberapa Komoditas

Seperti yang diutarakan oleh White 1990, penduduk pedesaan di Jawa dicirikan oleh luas rata-rata skala usahatani yang sangat kecil, tingkat ketuna- kismaan yang tinggi, sebaran atas pemilikan maupun penguasaan atas lahan yang tidak merata serta adanya konsentrasi kemiskinan yang relatif tinggi dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Dari berbagai studi mikro sejak tahun 1970an menunjukkan adanya pola nafkah ganda kombinasi kegiatan pertanian dan non pertanian di tingkat rumah tangga petani RTP yang tidak hanya dilakukan RTP lapisan terbawah petani gurem dan buruh tani melainkan juga dilakukan oleh RTP lapisan atas di desa. Namun yang membedakan terletak pada pilihan strategi nafkah dari masing-masing lapisan. Pada RTP lapisan bawah, dorongan utama dirinya mencari nafkah diluar sektor pertanian karena tidak tersedianya kesempatan kerja dalam pertanian sehingga mereka terpaksa mencari tambahan penghasilan diluar sektor pertanian meski dengan imbalan yang lebih rendah, atau oleh White diistilahkan sebagai “push factor” Sajogyo dan Tambunan 1990. Anomali pembangunan pertanian dan pedesaan baik melalui agenda revolusi hijau maupun kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan negara juga tampak pada tingkat perkembangan desa-desa di Kabupaten Garut. Sebagaimana akan ditunjukkan pada bagian selanjutnya mengenai tipologi tingkat perkembangan desa berdasarkan pengolahan data Podes Kabupaten Garut tahun 2008. 18 Dengan mengkombinasikan kedua komponen atau faktor hasil reduksi data Potensi Desa Kabupaten Garut Tahun 2008 yakni : 1 Tingkat aksesbilitas; dan 2 Tingkat keberdayaan ekonomi mayoritas penduduk desa, di Kabupaten Garut terdapat empat tipe desa yang menggambarkan tingkat perkembangan desa Tabel 5.1. Keempat tipe desa di Kabupaten Garut adalah sebagai berikut : 1. Tipe 1: desa yang memiliki aksesbilitas dan tingkat keberdayaan ekonomi warga yang relatif tinggi,

2. Tipe 2 : desa yang memiliki aksesbilitas kurang baik namun tingkat

keberdayaan ekonomi penduduk relatif tinggi, 18 Menggunakan metode analisis faktor Principal Component Analysis. Untuk mempermudah pengintepretasian hasil, pada umumnya digunakan hanya dua faktor sehingga posisi individu dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua Susetyo 1990.

3. Tipe 3 : desa yang memiliki aksesbilitas kurang baik dan tingkat

keberdayaan ekonomi penduduk masih relatif rendah tingkat perkembangan desa yang paling tertinggal

4. Tipe 4 : desa yang memiliki aksesbilitas baik namun tingkat

keberdayaan ekonomi penduduknya masih relatif rendah miskin. Tabel 5.1. Matriks Tipologi Desa di Kabupaten Garut Tahun 2008 Keberdayaan Ekonomi Warga Aksesbilitas Tinggi Sejahtera Rendah Miskin Jumlah Baik terbuka Tipe 1 52 desa 12,26 Tipe 4 94 desa 22,17 146 desa 34,43 Kurang baik terisolir Tipe 2 109 desa 25,71 Tipe 3 169 desa 39,86 2 desa penelitian 278 desa 65,57 Jumlah 161 desa 37,97 263 desa 62,03 424 desa 100 Sumber : diolah dari data Potensi Desa Podes Tahun 2008 Pada Tabel 5.1 tampak bahwa mayoritas desa-desa atau sekitar 39,86 persen 169 desa di Kabupaten Garut masuk dalam kategori tipe 3 tiga yakni desa yang tingkat perkembangannya paling tertinggal dalam hal aksesbilitas infrastruktur dan rendahnya tingkat keberdayaan ekonomi penduduk miskin. Meskipun menurut laporan BPS Kabupaten Garut, pada tahun 2007 sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar 48,03 terhadap PDRB Kabupaten Garut, persentase tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan hubungan yang positif dengan tingkat perkembangan desa pertanian desa yang sumber penghidupan utama mayoritas warganya berasal dari pertanian yang umumnya merupakan desa kategori tipe 3 atau sekitar 194 desa 45,8 Tabel 5.2. Ditinjau dari tingkat keberdayaan ekonomi penduduk, mayoritas desa atau sekitar 263 desa 62,03 di Kabupaten Garut masuk dalam kategori desa miskin. Sementara dari 395 desa yang diidentifikasi sebagai desa pertanian 19 , 259 desa 19 Kategori desa pertanian yang dimaksud adalah desa yang sumber penghasilan utama mayoritas warganya berasal dari pertanian. 65,57 diantaranya merupakan desa yang mayoritas warganya masuk kategori miskin. Fakta ini menandakan bahwa konsentrasi penduduk atau kantung-kantung kemiskinan berada di wilayah pedesaan berbasis pertanian. Argumen ini sangat kontras dengan padangan Bank Dunia 2008 yang tercermin dalam publikasinya yang bertajuk The World Development Report 2008: Agriculture for Development yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia memiliki tren yang terus menurun World Bank, 2008. Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut digambarkan situasi penurunan angka kemiskinan di pedesaan Indonesia bersandar pada tiga jalur utama, yakni: usahatani komersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani dan pengerahan tenaga kerja upahan pertanian dan non pertanian, serta migrasi keluar desa. Indonesia dan sebagian negara Asia lainnya dimasukkan dalam kategori negara yang sedang mengalami transformasi struktural dengan ditandai pergeseran peran pertanian kepada sektor industri dan jasa disatu sisi dan diikuti oleh penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Oleh beberapa pakar, jawaban atas tingginya sumbangan angka kemiskinan penduduk di pedesaan berbasis pertanian dan semakin meningkatnya angkatan kerja pedesaan yang bekerja diluar sektor pertanian ditandai arus besar migrasi penduduk ke kota adalah mendorong proyek-proyek pembangunan industri non pertanian yang dapat menyerap angkatan kerja dari pedesaan. 20 Kesimpulan yang sangat reduksionis semacam ini akan menghilangkan jejak ketimpangan dari praktek-pratek kebijakan pembangunan pedesaan lewat agenda revolusi hijau yang bias tuan tanah landlord bias dan bias kota urban bias. 21 20 Dalam sebuah diskusi membedah visi ekonomi Capres 2009-2014 yang ditayangkan oleh Metro TV, seorang tim ekonom salahsatu kandidat presiden menyatakan, meskipun sektor pertanian masih merupakan sektor yang banyak menyerap angkatan kerja di pedesaan, namun dirinya sudah tidak mampu memberikan tingkat pendapatan yang layak bagi petani mengingat rata-rata penguasaan tanah di Jawa tergolong kecil. Dengan kata lain, pembangunan pertanian tidak lain adalah membiarkan kemiskinan terus mengjangkiti masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, politik kebijakan anggaran sudah saatnya bergeser dan mengarah kepada pengembangan sektor-sektor industri yang dapat menampung angkatan kerja pedesaan yang terus meningkat. 21 Mengutip Li 2009, pada kenyataannya terdapat dua kekuatan baru di masa kini yang “menyerang” wilayah pedesaan di Asia yakni: 1 hilangnya akses rakyat pedesaan atas tanah di suatu wilayah akibat penutupan akses enclosure baik oleh proyek atau badan usaha industri ataupun kegiatan konservasi milik pemerintah atau swasta, dan 2 rendahnya daya serap tenaga kerja lokal oleh industri yang dibangun di sekitarnya. Bukannya menjadi cadangan tenaga kerja, 45 55 194 101 395 11,4 13,9 49,1 25,6 100,0 10,6 13,0 45,8 23,8 93,2 1 1 ,0 100,0 ,0 ,0 100,0 ,0 ,2 ,0 ,0 ,2 1 1 ,0 100,0 ,0 ,0 100,0 ,0 ,2 ,0 ,0 ,2 10 8 1 19 ,0 52,6 42,1 5,3 100,0 ,0 2,4 1,9 ,2 4,5 1 1 ,0 100,0 ,0 ,0 100,0 ,0 ,2 ,0 ,0 ,2 4 2 1 7 ,0 57,1 28,6 14,3 100,0 ,0 ,9 ,5 ,2 1,7 45 72 204 103 424 10,6 17,0 48,1 24,3 100,0 10,6 17,0 48,1 24,3 100,0 Count within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk of Total Count within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk of Total Count within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk of Total Count within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk of Total Count within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk of Total Count within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk of Total Count within Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk of Total Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Perdagangan besareceran, Rumah Makan Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi Jasa Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk Total Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Tipologi desa desa Total Tabel 5.2. Tipe Desa Berdsarkan Sumber Penghasilan Utama Penduduk Sumber : diolah dari data Potensi Desa Podes Tahun 2008 Praktek pembangunan yang bias tersebut juga ditegaskan oleh Griffin, Khan dan Ickowictz 2002 yang menyatakan, pada banyak negara di belahan dunia ketiga khususnya Indonesia, pelaksanaan strategi pembangunan telah mengesampingkan fokusnya dari sektor pertanian dan pedesaan ke arah mereka yang terlempar dari usaha pertanian karena tidak terserap industri kemudian menjadi apa yang disebut Marx sebagai relative surplus population. Mereka menjadi pengangguran yang terlempar dari pertanian, tak sanggup masuk ke lapisan tenaga kerja industrial, lalu terlunta-lunta di pedesaan dan perkotaan. industrialisasi yang tumbuh di pusat perkotaan atau diistilahkan “bias kota” urban bias dan lebih mendukung petani yang memiliki tanah luas landlord bias yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan. Kondisi yang sedemikian rupa tersebut juga tercermin di daerah-daerah dataran tinggi Jawa Barat. Padahal, menurut Sajogyo dan Tambunan 1991, proses industrialisasi pedesaan pada hakikatnya mensyaratkan adanya organisasi sosial yang bersifat industrial. 22

5.2. Indikator Kemiskinan Warga Desa Dangiang

Sebagai masyarakat agraris, pola dan bentuk penguasaan lahan sangat menentukan situasi kemiskinan di tingkat rumah tangga petani RTP. Dari hasil pengkajian kemiskinan warga secara partispatif Particpatory Poverty AssessmentPPA di desa Dangiang terdapat 3 tiga lapisangolongan masyarakat berdasarkan tingkat pelapisan ekonomi yakni, golongan mampu, sedang dan tidak mampu. Dari hasil pengkajian tersebut, kondisi kemiskinan rumah tangga petani sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, tingkat partisipasi sekolah anak, kemampuan akses terhadap kesehatan, keterlibatan di organisasi tani lokal serta kemampuan membayar tenaga buruh upahan. Dari indikator kemiskinan seperti yang tersaji pada Tabel 5.3 terlihat bahwa posisi buruh tani merupakan lapisan golongan ekonomi paling bawah di desa. Untuk petani lapisan atas ekonomi kuat, mereka lebih cenderung menggunakan buruh tani upahan tetap. Namun, pengunaan buruh tani upahan merupakan indikator yang memiliki bobot terendah diantara indikator lainnya bandingkan dengan kasus desa Sukatani dimana penggunaan tenaga kerja upahan berada pada rangking kedua. Hal ini mengingat, pasca pendudukan lahan oleh warga ketersediaan buruh tani upah di desa makin berkurang karena para petani yang dahulu menjadi buruh kini menjadi petani yang menguasai lahan garapan di areal perkebunan. Kondisi ini pada gilirannya telah mendorong naiknya tingkat 22 Dalam kata pengantarnya di buku karya Masri Singarimbun, dan D. H. Penny yang berjudul “Penduduk dan Kemiskinan, Kasus Desa Srihardjo” Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976, Sajogyo menawarkan ide perlunya mengembangkan Badan Usaha Buruh Tani BUBT sebagai sebuah organisasi berusaha dari bawah yang beranggotakan buruh tani dan petani gurem. upah ril buruh tani. Gejala umum yang tampak dari penelusuran di lapangan, umumnya para petani lapisan tengah menggunakan kombinasi antara tenaga kerja keluarga dan buruh upahan. Tabel 5.3. Indikator Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Desa Dangiang Indikator Klasifikasi Kemiskinan Mampu 3 Sedang 2 Tidak Mampu 1 Tanah 5 2 ha 15 500 tumbak luas 2 ha 10 0 - 500 tumbak 5 Pendidikan 4 Perguruan Tinggi 12 SMP 8 Tamat SD 4 Kesehatan 3 Dokter 9 Dokter 6 Puskesmas, Dukun 3 Organisasi 2 Anggota SPP 6 Anggota SPP 4 Non SPP, Tidak Berogranisasi 2 Tenaga Kerja 1 Punya buruh tetap 3 Menggunakan buruh, tenaga kerja sendiri keluarga 2 Tenaga kerja sendiri keluarga 1 Jumlah 45 30 15 Range 45-36 26 - 35 15 - 25 Tingkat upah buruh yang berlaku di desa dihitung berdasarkan jarak dan gender. Untuk jumlah jam kerja 5 jam per hari, upah buruh perempuan bisa mencapai 10 ribu untuk jarak dekat masih dalam kampung dan 15 ribu untuk jarak jauh. Sementara untuk laki-laki, upah buruh jarak dekat bersihnya bisa mencapai 15 ribu sementara untuk jarak jauh bisa mencapai 20-25 ribu. Sebagaimana yang dituturkan oleh beberapa orang warga. “Yang meningkatkan upah buruh sebetulnya, waktu itu orang pada ga mau karena upahnya 4-5 ribu. Dikarenakan sesama anggota SPP susah tenaga kerja karena anggota semuanya punya lahan garapan, kita akhirnya ambil buruh dari luar kampung khususnya pada musim tanam. Karena disana upahnya hanya 4000 akhirnya kita naikkan 1000. Malah tiap tahun naik. Tenaga kerja itu berasal dari desa Pacoro. Kebetulan, di desa dangiang sendiri, ada sebagian warga yang masuk SPP, ada juga yang tidak. Warga yang non SPP biasanya menjadi buruh upahan. Di SPP sulit mencari tenaga kerja dari sesama anggota karena umumnya pada bulan Desember atau Januari, semua anggota SPP sedang melakukan penanama Usar Akar Wangi. Pada bulan 3 pada tanam bakau tembakau atau ada yang tanam lain tapi waktunya hampir sama. Upah buruh perempuan, ada dua tahapan. Yang masih dalam kampung dekat bersihnya sampai 10 ribu. Kalo laki-laki, upah buruh jarak dekat bersihnya bisa mencapai 15 ribu, kalo jarak jauh, bisa mencapai 20-25 ribu. Di akar wangi, dengan sistem borong, upah buruh laki-laki yang untuk ekspor ke Jawa bisa mencapai 1000kilo karena proses pengerjaannya agak