Menurut Murray 2001, kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan di negara-negara miskin, terlibat dalam upaya
perjuangan yang tak henti-hentinya untuk mengamankan keberlanjutan nafkah dalam situasi sosial, ekonomi dan politik yang acap kali merugikan mereka. Dua
titik sentral untuk memahami upaya perjuangan semacam itu adalah, Pertama adalah situasi dan alasan penyebab kemiskinan harus dipahami melalui analisis
rinci dari relasi sosial dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan, antara rumah tangga
kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara. Kedua adalah
cara-cara polastrategi nafkah yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam.
Namun demikian, menghindari dualisme objek telaah yang terdapat dalam perspektif Marxian ortodox klasik, yakni tegangan antara pelaku agency dan
struktur structure, maka dengan mengikuti teoritisasi Giddens, hubungan antara pelaku dan struktur dipandang sebagai suatu hubungan yang bersifat dualitas
yakni tindakan pelaku dan struktur saling mengandaikan. Dualitas struktur- pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan hasil dan sekaligus
sarana praktik sosial. Selain itu, dualitas terjadi pada “praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu”. Priyono 2000
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di dua desa yang terletak pada dua dataran tinggi Garut, Provinsi Jawa Barat. Adapun dua desa tersebut adalah desa Sukatani,
Kecamatan Cisurupan yang terletak pada hamparan Gunung Papandayan dan desa Dangiang, Kecamatan Cilawu yang berada di hamparan Gunung Cilawu. Definisi
dataran tinggi uplands yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengikuti pendapat Allen dan Spencer yakni, suatu daerah atau kawasan yang berbukit atau
terletak di daerah pegunungan dengan permukaan daratan yang cenderung terjal, dan berada di tempat yang tinggi. Selain itu, dataran tinggi dicirikan oleh sistem
pertanian yang tidak menggunakan aliran irigasi, tidak berbatasan langsung
dengan daerah pesisir, muara sungai atau daratan aluvial dan tanah rawa-rawa serta tidak mengalami banjir musiman Li 2002. Penelitian ini dilakukan pada
bulan September hingga Desember 2009.
3.3. Level dan Unit Analisis
Dalam memahami kemiskinan dan marginalisasi petani sebagai suatu kondisi yang bersifat relasional atau struktural, maka akan dilihat dari bagaimana
proses perampasan dan ekstraksi surplus dari produsen langsung petani kepada para pelaku ekonomi lainnya dalam relasi produksi maupun pertukaran. Menurut
White 2009, dalam memahami proses tersebut dapat dianalisis dalam berbagai tingkatan yakni: global world-systems, hubungan global-lokal seperti commodity
chains atau commodity networks, struktur agraris lokalrejim ketenagakerjaan, dan rumahtangga atau individu dalam struktur agraris hubungan-hubungan agraris.
Khususnya di tingkat rumah tangga petani, perspektif analisis pola nafkah livelihoods untuk menyelidiki dan memahami proses diferensiasi, akumulasi dan
pemiskinan hadir sebagai sebuah kerangka analisis yang saat ini terus dikembangkan dari beragam pelaku dan asumsi teoritik Murray 2001.
Dalam penelitian ini, unit satuan analisis yang digunakan adalah komunitas petani di dua desa dataran tinggi. Pendekatan studi komunitas dapat diidentifikasi
secara praktis melalui tiga domain utama, yakni masyarakat pedesaan, kota-kota kecil dan masyarakat kelas pekerja. Meskipun ada beberapa perbedaan penting di
antara domain tersebut, sehingga sering dimaksudkan untuk memberikan referensi sosiologis yang sangat kontras, dari sudut pandang analisis sifat komunitas
dimungkinkan untuk mengambil beberapa tema-tema umum dan memperoleh beberapa kesimpulan umum pada ketiga domain tersebut. Day 2006
Mengutip pendapat Frazer 1999 dalam Day 2006, terdapat sebuah implikasi konseptual dalam penggunaan dan analisis komunitas bahwa individu
berhubungan untuk satu sama lain dalam berbagai cara dan kompleks. Keberagaman dan kompleksitas tersebut meningkatkan status ‘kesatuan’ dari
keseluruhan dan menekankan pemaknaan dari masing-masing inividu yang berhubungan dengan keseluruhan. Dengan kata lain, komunitas yang sedemikian
ini memiliki realitas objektif yang terdiri dari sekumpulan interkoneksi yang pasti antar individu dan antar kelompok. Interkonesitas tersebut membawa berbagai
bentuk informasi, pengalaman dan nilai-nilai yang dianut oleh individu-individu yang terlibat dan mendorong beberapa jenis perilaku yang diharapkan. Melalui
pengulangan dan konfirmasi, norma-norma kehidupan komunitas dapat ditegakkan bersamaan dengan praktek-praktek sosial rutin tertentu yang dapat
ditelusuri secara rinci melalui pengamatan dan studi. Adapun satuan wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
individu-individu atau pihak-pihak yang mewakili suatu kategori kelompok yang dipilih secara sengaja oleh peneliti yang dianggap dapat menggambarkan dan
menjelaskan topik-topik yang terkait dengan penelitian ini. Adapun individu yang dipilih di dua lokasi penelitian yaitu: 2 dua orang bandar lokal, 2 dua orang
pengurus organisasi tani lokal OTL, 5 lima orang kepala keluarga petani serta 2 dua orang tenaga pendamping OTL. Dengan demikian, satuan wawancara
setiap desa sekurangnya berjumlah 9 sembilan orang atau 21 dua puluh satu orang untuk dua lokasi desa.
Selain wawancara secara individu, penelitian ini juga akan melakukan wawancara kelompok yang mewakili kelompok kepentingan tertentu. Dalam
konteks penelitian ini, kelompok kepentingan yang dimaksud adalah anggota kelompok OTL di masing-masing desa dan tenaga pendamping dari SPP. Adapun
jenis pertanyaan antara wawancara individu maupun kelompok akan dibedakan sesuai dengan topik bahasan dan dengan demikian komposisi peserta wawancara
kelompok tidak mempermasalahkan seseorang yang menjadi satuan wawancara secara individu terlibat dalam wawancara secara kelompok.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan beberapa metode yang disandarkan pada rumusan masalah atau konteks kajian. Namun demikian, meski
menggunakan beragam metode, hal yang coba dihindari dalam penggunaan metode ini adalah adanya benturan atau kontradiksi terhadap asumsi fundamental
paradigma yang melekat pada sebuah metode. Selain itu, penggunaan beragam
metode dalam penelitian ini sebagai suatu bentuk triangulasi metode. Secara lebih rinci, metode yang digunakan dalam penelitian ini akan diuraikan pada bagian
dibawah ini.
3.4.1. Telaah Rantai Komoditas
Salahsatu metode pengumpulan data yang dirasakan tepat terkait tema penelitian ini adalah studi mengenai rantaijejaring komoditas commodity
chainsnetworks atau seperti yang dikatakan Tania Li yang menggunakan perspektif antropologi sosial yakni “follow the cropscommodity”. Seperti yang
diungkapkan Collins 2005, kebangkitan analisis rantai komoditas pada tahun 1980 pasca perang dingin bersamaan dengan semakin meluasnya kritik terhadap
“pembangunan” sebagai sebuah “praktek” dan “teori pembangunan” sebagai sebuah “ideologi”.
7
Mengutip apa yang dinyatakan Hopkins dan Wallerstein 1986, rantai komoditas adalah “sebuah jejaring kerja dan proses produksi
komoditas hingga kebentuk terakhirnya” a network of labor and production processes whose end result is a finished commodity Gereffi et al 1994. Dengan
kata lain, semua komoditas mengalami urutan transformasi dari bahan mentah ke produk jadi Smith 2005.
Gereffi dan Korzeniewicz 1990 menyatakan, rantai komoditas terdiri dari sejumlah “simpul” yang mencakup unsur-unsur penting dalam proses produksi
seperti proses ekstraksi dan pasokan bahan baku, transformasi industri, aktifitas ekspor, dan pemasaran pertukaran. Setiap simpul itu sendiri merupakan sebuah
jaringan yang terhubung ke simpul-simpul lain yang mencakup kegiatan-kegiatan
7
Di era 1980-an periode awal berakhirnya perang dingin, pengkajian terhadap praktek-praktek pembangunan mulai menuai persoalan dari cara pandang yang disediakan berbagai paradigma
besar. Menanggapi persoalan tersebut, sebagian ahli kemudian mulai merangkul studi rantai komoditi sebagai strategi metodologis yang memungkinkan mereka melanjutkan studi empiris
mengenai praktek pembangunan di berbagai belahan dunia. Dipicu oleh hadirnya pendekatan baru post-strukturalis dalam ilmu humaniora dan sosial, para kritikus menyatakan skeptis terhadap
seluruh teori-teori besar, khususnya tentang model “kemajuan” ala barat. Kritik utama yang menyasar pada teori pembangunan lama baik neo-klasik maupun marxis, karena terlalu bersifat
ekonomi, deterministik, dan bias barat. Collins 2005
ekonomi di tingkat lokal, regional, dan global yang memiliki struktur jaringan yang sangat kompleks.
8
Hal yang perlu ditekankan, dari setiap simpul yang terdapat di sepanjang rantai komoditas menghasilkan tingkat keuntungan dan surplus yang berbeda.
Namun polanya tidak seragam, atau dengan kata lain pola ini dapat bervariasi di antara komoditas tertentu atau bahkan pada komoditas yang sama namun dengan
cara yang berbeda Smith 2005. Watts dan Goodman 1997 menilai, penelitian rantai komoditas dapat menghindari generalisasi yang berlebihan dari wacana
pembangunan dan globalisasi dengan berfokus pada perbedaan komoditas yang spesifik atau dinamika sektoral, dan menggarisbawahi apa yang oleh Laura
Raynolds istilahkan sebagai “the multiple trajectories associated with agrarian internationalization” Collins 2005.
9
Dalam konteks penelitian ini, studi rantai komoditas digunakan dalam melacak dan mengurai bagaimana proses pemiskinan dan marginalisasi petani
terjadi melalui hubungan-hubungan pertukaran antar pelaku ekonomi. Namun demikian, dalam batas tertentu, salahsatu kendala penggunaan metode rantai
komoditas pada penelitian ini adalah dirinya membutuhkan informasi tentang “nilai lebih” surplus dari setiap simpul pelaku secara detil dan mendalam
mengingat luasnya jejaringan komoditas lokal hingga global.
10
Hal ini sangat berkaitan dengan teknik perhitungan dan analisa hasil dari setiap pertukaran
8
Ilustrasi terhadap pengertian rantai komoditas tersebut, White 2009 menyatakan, “kalau seorang konsumen minum secangkir kopi, ia menjadi anak-rantai terakhir dari suatu rantaian
kegiatan dan suatu rantaian hubungan nasional danatau global yang memungkinkan cangkir kopi itu berada ditangannya. Rantai-rantai ini mengkaitkan bukan hanya para produsen dan para
konsumen, tetapi banyak pelaku lainya yang semua menuntut bagian dari ‘nilai tambah’. Tuntutan- tuntutan ini banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan kuasa pada berbagai tingkat”.
9
Jauh sebelum berkembangnya perspektif sistem dunia yang diusung oleh Wallerstein dan kawan- kawan, kesadaran akan pengaruh perkembangan kapitalisme global yang menarik ekonomi petani
berbasis rumah tangga kedalam pusaran ekonomi dunia yang lintas batas negara telah diutarakan Chayanov 19251966. Ia menyatakan, melalui kaitan-kaitan ini, setiap petani kecil menjadi
bagian organik dari ekonomi dunia, mengalami dampaknya kehidupan ekonomi dunia, menjadi dikendalikan dalam pengelolaannya oleh tuntutan-tuntutan ekonomi kapitalistis global, dan pada
gilirannya, bersama jutaan sesama petani, mempengaruhi seluruh sistim perekonomian global.
10
Gereffi et al 1994 yang menggunakan perspektif sistem dunia menegaskan, pendekatan analisis rantai komoditas global Global Commodity ChainsGCCs merupakan sebuah kerangka
analisis yang tepat dalam memahami dan mengurai proses ekspansi dari sistem produksi industri kapitalis saat ini yang ditandai dengan “pembagian kerja internasional baru” New International
Division of LaborNIDL, diferensiasi produksi dan semakin terintegrasinya aktivitas ekonomi kedalam lingkungan global.
komoditas antar pelaku ekonomi. Kurangnya informasi tersebut sangat berimplikasi terhadap validitas hasil pengukuran. Dalam menutupi beberapa
kesulitan dan hambatan dalam penerapan metode rantai komoditas secara lebih luas, maka melacak kemiskinan dan marginalisasi petani pada penelitian ini
menggunakan juga menggunkan metode “rejim tenaga kerja” labour regime yang akan diuraikan dibawah ini.
3.4.2. Rejim Ketenagakerjaan Labour Regimes
Metode “rejim tenaga kerja” labour regime merupakan sebuah metodologi yang berakar dari perspektif ekonomi politik Marxian. Mengutip Bernstein dalam
White 2009, Labour Regimes adalah “cara-cara mengerahkan tenaga kerja dan mengaturnya dalam produksi, serta kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik
yang memungkinkannya”. Dalam konteks ini, Labour Regime dapat dijadikan sebuah alat yang berguna untuk menganalisis struktur-struktur agraris dan
membandingkannya dalam variasi tempat dan perubahan dari waktu ke waktu. White, 2009
Dalam memahami kerangka ‘colonial labour regimes’, berikut adalah tiga pertanyaan pokok yang dapat menuntun penelusuran bagaimana proses
terbentuknya kemiskinan, diferensiasi dan marginalisasi petani melalui ekstraksi surplus yakni: 1 bagaimana hubungan produsen langsung direct producer atau
petaniburuh tani dengan sarana-sarana produksi utama yakni tanah?, 2 ada atau tidaknya unsur paksaan non-ekonomis dalam keterlibatan produsen dalam
produksi komoditi?, 3 apakah tenaga kerja “bebas” dalam pengertian
11
, a “bebas” teralienasi dari kepemilikan sarana produksi, b “merdeka” sebagai
manusia untuk menjual tenagakerjanya?.
12
White 2009
11
Kata “bebas” mengandung dua pengertian menurut perspektif Marx, yakni: 1 sebagai orang yang bebas ia bisa menggunakan tenaga kerjanya sebagai komoditas untuk dijual, 2 dia bebas
dalam artian tidak memiliki komoditas lain apapun yang bisa ia jual, sehingga tidak memiliki apapun yang memungkinkan dirinya untuk melakukan pekerjaan dengan tenaganya. Marx,
Capital, Vol. 1, 1867 dalam Cardoso dan Levine, 2008, hal. 134
12
Sebagai sebuah ilustrasi, berikut akan disajikan dua petikan paragraf yang menggambarkan sebuah kesadaran produsen langsung petani tentang peralihan surplus: “Yang memberi
keuntungan bagi si penguasa tanah adalah tenaga kerja, bukan tanahnya Tanpa tenaga kerja, tanah tidak menghasilkan apa-apa Hanya orang bodoh yang tidak bisa mengerti ini. Kalau
3.4.3. Participatory Poverty Assessment PPA
Dari berbagai ukuran kemiskinan yang banyak dikembangkan oleh berbagai disiplin, tidak jarang kemiskinan selalu dinilai dengan ukuran atau variabel yang
sering mengabaikan konteks lokal suatu wilayah, sejarah komunitas, perbedaan gender, usia, etnis, agama, dan kategori sosial lainnya. Dalam memahami ukuran
kemiskinan menurut konteks lokal, peneltian ini menggunakan metode Pengakajian
Kesejahteraan Secara
Partisipatif Participatory
Poverty AssessmentPPA. Metode ini bersandar pada upaya memastikan bahwa
pandangan orang miskin subjek dimasukkan dan diperhitungkan dalam analisa tentang kemiskinan dan formulasi strategi untuk pengentasan kemiskinan. Norton
2001
3.4.4. Principal Component Analysis Factor Analysis
Dalam mendukung studi ini terkait tipologi desa, tingkat perkembangan desa dan kesejahteraan komunitas secara makro di dua lokasi penelitian, maka
akan digunakan metode Principal Component Analysis Factor Analysis yang pada prinsipnya melakukan analisis dari data sekunder yang dalam hal ini adalah
data Potensi Desa keluaran BPS. Analisis Faktor adalah suatu metode analisis statistik multivariat yang bertujuan untuk mendapatkan sejumlah faktor yang
memiliki sifat-sifat yang mampu menerangkan semaksimal mungkin keragaman yang ada dalam data.
Dengan kata lain, analisis faktor adalah salah satu metode yang mencoba menerangkan hubungan antar sejumlah peubah-peubah yang saling bebas
independent antara satu dengan yang lain sehingga bisa dibuat satu atau lebih
modal disimpan saja dikolong rumah, lihat apa yang dihasilkan, tidak ada Bagi saya, semua yang dihasilkan adalah hasilnya kaum pekerja. Padahal para tuan tanah mengira kami adalah
orang bodoh”. Coffee Plantation Workers, Sao Paulo, Colombia Stolcke 1995: 69 dikutip dari Ben White, 2009
. “Kami harus meminjam uang untuk makan. Terkadang tetangga mau meminjamkan kami uang tanpa bunga, tapi seringnya kami harus menjual beras sebelum panen.
Rentenir itu akan membayar di muka, dan mengambil nasi kita setengah dari harga pasar. Tidak peduli seberapa keras kita bekerja, kita tidak pernah punya cukup uang tunai. Kami mulai
menjual barang-barang - ranjang kayu, sapi dan bajak kami. Kemudian kami mulai menjual tanah kami sedikit demi sedikit. Sekarang kita memiliki kurang dari satu dun, dan sebagian besar
digadaikan kepada Mahmud Haji Bernstein et al., 1992, hal 19 dikutip dalam Murray, 2001”