Usahatani di Pedesaan PENDEKATAN TEORITIS

Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari negara baik negara kolonial maupun pasca kolonial, ekspansi kapitalisme sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White 1998: 20 mendefinisikan proses diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil- hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”. Wiradi 2010 mengutarakan, proses “diferensiasi kelas” di pedesaan Jawa yang ditandai dengan: 1. Proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa-menyewa, gadai- menggadai, maupun melalui pemilikan dengan pembelian, 2. Tingkat ketunakismaan bertambah tinggi. Kesempatan para tunakisma untuk dapat menguasai tanah melalui sewa-menyewa dan bagi hasil kian terbatas karena ada kecenderungan para pemilik tanah lebih suka menggarap sendiri tanahnya dari pada menggarapkan sewa, bagi hasil kepada orang lain. 3. Walaupun umumnya proposisi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih besar daripada yang bersumber dari sektor pertanian, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa jangkauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki para pemilik tanah luas daripada pemilik tanah sempit atau lebih-lebih para tunakisma. 4. Pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Dengan demikian berarti bahwa pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan. Dengan demikian, pengkajian kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan terkait dengan proses-proses dan relasi-relasi penciptaan dan ekstraksi atau perampasan surplus surplus appropriation antara pelaku ekonomi di pedesaan, seperti produsen langsung petani, tuan tanah, pemilik modal, pedagang perantara, dan sebagainya. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry 1979 dalam Ellis 1993, terdapat 7 tujuh mekanisme yang menjelaskan bagaimana surplus nilai lebih yang dihasil petani ditangkap diserap oleh pelaku ekonomi individu, kelompok maupun negara. Ketujuh mekanisme tersebut, tiga diantaranya melalui sewa via rent, tiga selanjutnya melalui pasar via market dan sisanya melalui negara via state. Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry 1979 adalah: 1 sewa jasa tenaga kerja rent in labour service, 2 sewa atas dasar kebaikan rent in kind, 3 sewa dalam bentuk tunai rent in cash, 4 perampasan nilai surplus melalui upah appropriation of surplus value via the wage, 5 perampasan nilai surplus melalui harga appropriation of surplus value via the prices, 6 perampasan nilai surplus melalui bunga tinggi appropriation of surplus value via the usury, dan 7 pajak yang dikenakan kepada petani peasant taxation. Ellis 1993 Mengikuti White 2009, terdapat 4 proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1 Produksi rumah tangga home production; 2 produksi tenaga kerja upahan wage labour production; 3 sirkulasi penawaran dan permintaan supply and demand circulation; dan 4 reproduksi sosial dan diferensiasi agraris reproduction and agrarian differentiation. Lebih lanjut, menurut White 2009, petani bisa terlibat dalam berbagai mekanisme peralihan nilai-lebih kepada pelaku-pelaku lain yang bukan produsen seperti, sewa sewa kontan; bagi-hasil; wajib kerja, hubungan perupahan, mekanisme nilai-tukar dalam pembelian danatau penjualan komoditi, pajak berupa tanah, uang, natura, dan tenaga kerja, bunga pinjaman uang, hasil, tenaga kerja. Sementara Friedland dan kawan-kawan, lewat pengatannya terhadap dalam rantai komoditas selada dan tomat California yang bersandar pada perspektif Labor Proccess Marxis, meletakkan sebuah kerangka analitik dalam tiga kategori kunci yakni, moda produksi, hubungan sosial produksi, dan pembagian kerja teknis. Pada selanjutnya, Friedland bergerak ke analisis pertanian yang lebih konkret yang diuraikan melalui lima fokus untuk analisis sistem komoditi, yakni: praktek produksi, organisasi petani, pasar tenaga kerja, ilmu pengetahuan, serta pemasaran dan sistem distribusi. Di samping aspek-aspek utama tersebut di atas, terdapat aspek-aspek lain, yaitu perbankan dan perkreditan. Peraturan dan program pemerintah mengenai perbankan dan perkreditan dilihat sebagai suatu cara yang dengan itu faktor-faktor eksternal berusaha mempengaruhi atau mengintervensi proses-proses tersebut di atas, untuk sesuatu tujuan tertentu. Melalui mekanisme sistem perbankan dan perkreditan, surplus yang diciptakan oleh seseorang atau suatu kelompok, ataupun badan usaha, dapat beralih menjadi modal bagi orang lain, kelompok lain, ataupun badan lain, baik di dalam sektor dan lokasi yang sama maupun yang berbeda. Dengan demikian, sistem perbankan dan perkreditan dapat dipandang sebagai mekanisme yang mewujudkan mobilitas modal, baik secara spatial, secara sektoral, maupun secara sosial antara lapisan, antara kelompok etnis, antara gender, dan sebagainya. Wiradi et al 1991 Secara tradisional kebutuhan akan pinjaman atau kredit dalam suatu masyarakat berjalan sejajar dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks masyarakat pedesaan, Boeke 1983 mencatat bahwa masyarakat petani memiliki dua kebutuhan, yakni kebutuhan ekonomis dan kebutuhan sosial. Dalam konteks yang sama Wolf 1983 juga menyebutkan bahwa untuk dapat hidup layak, seorang petani di negara berkembang harus memenuhi tiga macam kebutuhan. Pertama, replacement funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk mengganti peralatan produksi dan konsumsi. Kedua, ceremonial funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial. Terakhir, funds of rent, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk membayar sewa tanah apabila tanah tidak memiliki tanah