Melacak Jejak Marginalisasi Arus Bawah
Bentuk hubungan antara patron bandar dan klien petani kecil lewat hubungan hutan-piutang hingga saat ini masih terus berlangsung dan direproduksi
yang menyebabkan petani tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual hasil panen. Dengan demikian, relasi ini pada prakteknya menyebabkan
pembentukan dan penumpukan akumulasi surplus hanya terjadi pada pihak bandar sementara petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat
hubungan hutang-pitang semacam ini menyebabkan petani kehilangan lahan garapannya atau petani menjadi buruh di lahan garapannya sendiri. Dengan kata
lain, sebagian besar surplus dari hasil produksi diserap oleh pihak cukong melalui harga komoditas. Petani dengan demikian mengalami proses marginalisasi
terhadap komoditas yang dihasilkan melalui relasi pertukaran. Kondisi ini telah berlangsung sebelum warga berhasil mendapatkan akses lahan garapan bahkan
setelah mendapatkan akses garapan di areal kehutanan. Berbeda dengan komoditas usar akar wangi, arus kubutuhan akan modal
pada budidaya hortikultura relatif cepat, sebagaimana yang diungkapkan salah seorang responden, petani desa Sukatani, “setiap hari uang keluar masuk, ada
yang tanam hari ini, besok sudah ada yang panen dan selalu berurusan dengan bandar besar.” Sehingga bagi petani sangat sulit memutus hubungan dengan
bandar. “Namun saat ini, masih ada petani di setiap musim panen tidak
mampu bayar hutang ke bandar sehingga bandar tidak memberikan pinjaman lagi sementara hutang harus tetap dibayar. Akibatnya,
petani sudah tidak dapat mengusahakan lahannya lagi karena sudah tidak punya modal...”
Keterjalinan yang sedemikian rupa antara bandar dan petani telah berlangsung lama, sebelum adanya aksi reclaiming warga di lahan kehutanan
memungkinkan terjadinya proses pelepasan lahan dari petani ke pihak bandar. Dengan demikian, proses tersebut secara langsung mendorong terjadinya
rekonsentrasi penguasaan lahan kepada bandar yang juga merupakan lapisan elite di desa.
“Akibat hubungan dengan cukong Haji Aur, ada warga yang kehilangan lahan garapannya karena menjadi jaminan utang kepada
cukong. Ketika seorang petani gagal dan tidak dapat melunasi hutangnya, pihak bandar akan mengenakan bunga pinjaman kepada
sisa hutangnya. Apabila petani tersebut tidak mampu membayar sisa hutang ditambah bunga, tanahnya lalu akan dijaminkan kepada
cukong. Penyelesaian hutang-piutang bahkan bisa melibatkan pihak aparat polisi. Pak RT, anggota SPP yang berprofesi sebagai bandar
lokal dua lahannya telah dijaminkan kepada bandar cukong karena tidak mampu bayar hutang.” Asp