Kajian Hasil-Hasil Pembangunan Partisipasi dalam Pengelolan Hutan

efektif untuk mengelola kawasan hutan secara partisipatif. Marsh 1983 mengungkapkan bahwa dalam pengelolaan kawasan hutan harus memperhatikan dan mempertimbangkan minimal tiga hal yaitu : a. Perencanaan harus mencakup berbagai kepentingan stakeholder secara multisektoral dan perencanaan tata guna lahan secara komprehensif. b. Kebijakan didasarkan pada kebutuhan ditingkat lokal-regional-nasional dalam alokasi sumberdaya. Dalam proses perencanaan harus diperhatikan dengan ketat bahwa manfaat yang diberikan oleh sumberdaya adalah menjadi prioritas. c. Menganalisis dampak lingkungan yang harus diterapkan dengan ketat dalam proyek pengelolaan. Gambar 8. Hubungan Simbolik Penglolaan Kawasan Hutan Sebagai Dasar dari Tujuan Perencanaan Adaptasi dari Carter 1997.

2.5. Kajian Hasil-Hasil Pembangunan Partisipasi dalam Pengelolan Hutan

Model perhutanan sosial berkembang di Asia dan Afrika seperti Jepang, Thailand, Philipina, India, Pakistan, Kameron, Kamboja dan Indonesia. Model- model tersebut dalam implementasi sangat beragam, namun hasil akhir dapat berupa agroforestry yang melibatkan masyarakat dengan pola kerjasama tertentu. Meningkatkan Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Sumberdaya yang berkelanjutan Manfaat Konservasi Meningkatkan Keuntungan Pengusaha Model perhutanan sosial di Jepang dimulai sekitar tahun 1970 an dengan bentuk Agroforestry disebut dengan istilah Yakihata Ringyo dimana masyarakat menanam tanaman obat-obatan dan tanaman organik pada kawasan hutan. Tanaman organik tersebut disamping untuk memenuhi permintaan konsumen, juga dianggap memberikan manfaat bagi peningkatan kesuburan tanah Kartasubrata 2004. Sementara itu, bentuk perhutanan sosial di Thailand diorganisir oleh Forest Industry Organisation FIO sejak tahun 1967 yang membantu Royal Forestry Departement dalam program reboasasi. FIO melakukan reboasasi dalam bentuk “Forest Village System” dimana masyarakat peladang dimukimkan pada kawasan tertentu dan diberikan hak pengelolaan terhadap lahan berupa lahan pertanian pangan dan lahan untuk tanaman tahunan. Selain itu, masyarakat tersebut juga dipersiapkan sebagai sumber tenaga kerja untuk kepentingan reboisasi Kartasubrata 2004. Model pengelolaan hutan di Philipina terdiri melalui dua model kelembagaan yaitu CBFM Community-Based Forest Management dan NIPAS National Integrated Protected Area System untuk tujuan produksi, konservasi, Industrial Forest dikhususkan untuk pemenuhan kebutuhan kayu industri. Model CBFM merupakan model pengelolaan hutan dengan tujuan berkelanjutan dan berkeadilan. Masyarakat petani diberikan hak untuk mengelola hutan selama 25 tahun dan diberdayakan berdasarkan perjanjian kontrak yang telah ditetapkan secara bersama-sama dengan pemerintah. Di dalam kontrak tersebut telah diatur mengenai sistem bagi hasil untuk hasil tanaman kayu-kayuan Inoue 1999. Di India berkembang dua model pengelolaan hutan secara partisipatif yaitu Non Timber Forest Mangement NTFM dan Holistic Resources Management HRM. Meskipun kedua model ini mempertimbangkan faktor yang sama yaitu ekonomi, sosial-budaya dan ekologi, namun kedua model ini menempatkan masyarakat dan aktor sosial pada tempat yang berbeda. Model NTFM ini diimplentasikan bagi masyarakat asli atau masyarakat adat yang mengelola kawasan hutan, sedangkan Model HRM diimplemtasikan bagi multistakeholder yang mengambil manfaat dan jasa dari kawasan hutan. Kemudian Model NTFM dikembangkan dikhususkan bertujuan agar masyarakat dapat memperoleh kebutuhan dasar dari kawasan hutan, sedangkan Model HRM lebih bersifat komersial Karki 2001. Dari kedua bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan berkembang menjadi tiga berdasarkan siapa yang terlibat dan mendukung bentuk partisipatif tersebut. Dalam implementasinya, bentuk pengelolaan kawasan hutan partisipatif dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan tujuan dan siapa yang dilibatkan yaitu Indigeneneous Community Forest Management ICFM, Crafted Community Forest Mamagement CCFM dan Joint Forest Management JFM. Bentuk pengelolaan ICFM diinisiasiakan oleh masyarakat adat yang mengalami tekanan dari terjadinya kerusakan sumberdaya hutan disekitarnya, sedangkan bentuk pengelolaan CCFM muncul dari sponsor NGO lokal dan dinas pemerintahan setempat, dan kemudian bentuk JFM muncul dan dikembangkan oleh departemen kehutanan Sinha dan Suar 2005. Isu lainnya di India yaitu terjadinya degradasi areal hutan sekitar 42 dari luas areal hutan 633.400 hektar. Kehancuran dari areal hutan tersebut disebabkan oleh tekanan penduduk, meskipun telah dikembangkan model partisipatif seperti Joint Forest Management JFM. Keadaan ini terjadi disebabkan karena tingginya ketergantungan masyarakat pada hasil hutan. Dari 200 juta penduduk India yaitu sebagiannya sangat tergantung pada kawasan hutan sebagai mata pencahariannya. Oleh karena itu, pemerintah India mengembangkan kebijakan berupa hutan rakyat dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada areal hutan. Hutan rakyat yang dimaksud adalah mengembangkan tanaman hutan di luar kawasan hutan atau pada lahan-lahan milik masyarakat Khare et al. 2000. Kebijakan pemerintah sektor kehutanan di Pakistan tidak mampu mengatasi persoalan perambahan dari hutan alam oleh mafia dan konflik antar stakeholder. Kebijakan sektor kehutanan masih merupakan peninggalan penjajah yang menganggap bahwa penduduk merupakan ancaman bagi sumberdaya hutan. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 3 persen per tahun dan pertumbuhan industri 6 persen pertahun mendorong permintaan akan kayu, kayu bakar dan permintaan akan kebutuhan air. Kondisi ini mendorong tekanan terhadap areal hutan dan memicu terjadinya konflik antar stakeholder. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah melakukan perubahan kebijakan kehutanan melalui pelibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan untuk menyusun kebijakan baru sektor kehutanan Ahmed dan Mahmood 1998 Model perhutanan sosial di Cameroon diterapkan untuk melindungi Taman Nasional Lac Lobeke. Model pengelolaan yang selama ini berbentuk NTFP Non Timber Forest Produk hasil peninggalan kolonial Jerman tersebut telah menyebabkan peningkatan illegal logging yaitu 60 kayu yang diekspor pada tahun 2000 dari Cameroon berasal dari illegal logging. Oleh karena itu, untuk melindungi kawasan Taman Nasional Lac Lobeke, pemerintah Cameroon membangun Model Collaborative Management Co-Management. Model tersebut, melibatkan lebih dari satu aktor sosial bersama-sama dengan pemerintah untuk mengambil manfaat ekonomi, sosial budaya dan ekologi dari kawasan hutan melalui kelembagaan tertentu yang dibangun secara bersama-sama Jell and Machado 2002. Deforestasi hutan kemasyarakatan di Kamboja karena pemerintah tidak melakukan kontrol terhadap sumberdaya tersebut. Negara kehilangan 1,4 juta hektas hutan dari tahun 1973 sampai dengan rahun 1993. Kebijakan pemerintah yang ada tidak mampu untuk mengatasi perambahan hutan oleh masyarakat dan pengusaha atau industri pada sektor kehutanan. Model kolaboratif tidak dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan Taman Nasional Mount Elgon Norwegia. Hal ini disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan dalam taman nasional, konflik antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan organisasi taman nasional dan terbatasnya komunikasi antara masyarakat dengan pengelola tanaman nasional dan hancurnya agroforestry yang dikembangkan oleh masyarakat. Untuk kasus perhutanan sosial di Indonesia ditemukan dari hasil penelitian Hidayat 1999 di Kabupaten Bengkulu Utara dan Sumatera Selatan menemukan bahwa program HKm yang melibatkan masyarakat ternyata telah mampu menjaga dan melindungi sumberdaya hutan yaitu mencegah erosi dan penguatan ekonomi masyarakat serta menciptakan pekerjaan bagi masyarakat. Program HKm yang diimplementasikan pada kedua kabupaten tersebut mengembangkan tanaman tahunan dan hutan seperti mahoni, durian, kahu manis, pinus, sungkai, sengon, jengkol dan kemiri. Trison 2004 menemukan bahwa partisipasi seseorang muncul karena memiliki kesadaran, kemampuan dan peluang kesempatan. Faktor kesadaran dipengaruhi oleh mental, motivasi, persepsi dan prilaku kosmopolitan. Kemudian faktor kemampuan dipengaruhi oleh usia, pendidikan, pendapatan, pengalaman bekerja dan intensitas mengikuti penyuluhan. Sementara itu, faktor peluang dipengaruhi oleh status petani, luas usahatani yang diusahakan, kesempatan kerja jenis pekerjaan, teknologi produksi yang berkembang dan saluran informasi. Dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pembangunan masyarakat disekitar kawasan hutan, Suharjito 2004 menemukan dampak dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, terbangunnya komunikasi dalam menyampaikan aspirasi yang lebih baik antara masyarakat dengan dinas kehutanan dan dimplementasikannya pengetahuan yang diperoleh dari petani lainnya, seperti pembuatan kompos dan pemeliharaan kambing. Namun masyarakat masih tergantung pada hutan sebagai sumber pendapatan rumahtangganya, aktivitas non farm dan off farm belum dikembangkan oleh masyarakat dan masyarakat enggan berpartisipasi pada kelembagaan ekonomi koperasi karena pengalaman masa lalu yang dianggap kurang menguntungkan Kasus seperti ini terjadi pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat-NTB. Pada awalnya kawasan HKm yang dikelola oleh masyarakat dengan status diakui pemerintah adalah 236 hektar dan kemudian dikembangkan oleh masyarakat sendiri seluas 211 hektar. Hal ini berarti pengelolaan HKm Sesaot oleh masyarakat jauh lebih luas dari status yang diakui masyarakat Anonim 2003. Program Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat yang terlibat di dalamnya, namun sebaliknya terjadi permasalahan biofisik yang cukup serius yaitu dengan penutupan lahan yang cukup terbuka 20-30 memberikan implikasi bahwa kawasan tersebut memiliki gangguan ekologis dan komposisi tanaman kayu ataupun MPTS sangat terbatas, sehingga memiliki kecenderungan terjadiya erosi tinggi Kusumo et al. 2003. Angka penutupan lahan tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Amiruddin et al. .2001 menemukan bahwa total tutupan lahan kolektif berkisar 21,5 - 85,14 . Kasus lainnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat ditemukan oleh Kusumo, et al. 2004 yaitu perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sapit dan Perigi. Dari 300 hektar areal hutan yang mendapat izin pengelolaan dari pemerintah daerah dan sekarang ini berkembang menjadi 600 hektar menuju Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Muktasam et al. 2003 menemukan bahwa kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan merupakan faktor penentu dalam pengembangan agroforestry di Pulau Lombok. Semakin baik kondisi sosial ekonomi dan keberadan kelembagaan yang aktif ternyata merupakan faktor kunci untuk pengembangan agroforestri. Hasil temuan Muktasam tersebut diperkuat oleh Profesor Roy yang menyatakan bahwa ketidaksiapan institusi di daerah menyebabkan kegagalan dari implementasi Hutan Kemasyarakatan HKm. Salah satu kelemahan dari konsep HKm selama ini adalah ketergesaan pelaksana kegiatan yang langsung menuju kepada pemenuhan aspek ekonomi dengan melupakan tahapan pengembangan institusi dan ekologi. Sebagai akibat dari ketergesaan tersebut, maka munculnya pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yang tidak terpola. Suparman mengungkapkan bahwa ketidaksiapan institusi ditingkat daerah juga ditunjukkan oleh kasus yang terjadi antara Pemda DIY dan Pemda Gunung Kidul mengenai tarik ulur luasan areal HKm. Kalau kondisinya demikian terus, maka petani tidak memiliki kepastian hak pengelolaan dan akan berimplikasi ke depan terhadap peningkatan luasan lahan kritis. Demikian juga dengan temuan Humaidi bahwa kasus kehancuran sumberdaya hutan berhubungan dengan terpasung dan kehancuran institusi adat. Masyarakat adat kehilangan haknya atas pengelolaan sumberdaya hutan. Kehilangan hak tersebut disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang merubah lahan yang statusnya hak ulayat menjadi Tanah Gege. Perubahan status hak tersebut memicu terjadinya perambahan oleh oknum pejabat pemerintah dan masyarakat sejak tahun 1980-an Humaidi dalam Suharjito 2006. Temuan Amiruddin 1998 bahwa Program Hutan Kemasyarakatan HKm di Kabupten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat secara nyata memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat dan nilai pendapatan tersebut bersumber dari upah kerja. Namun lemahnya kelembagaan yang terbentuk antara PT. Perhutani dengan masyarakat pesangem pengelola dalam sistem bagi hasil dari tanaman MPTS akan memberikan peluang masyarakat untuk meninggalkan kawasan HKm atau memperluas areal yang dikelolanya secara tidak syah atau illegal Amiruddin di dalam Suhardjito dan Dudung 1998. Isu mengenai model pengelolaan hutan di beberapa Negara Asia dan Afrika disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4. Isu Kehutanan di Beberapa Negara Asia dan Afrika No Isu Kehutanan LokasiNegara 1 Kebijakan yaitu pengelolaan kawasan hutan dengan menanam tanaman obat-obatan yang memberikan benefit kepada masyarakat Jepang 2 Kebijakan yaitu pelibatan masyarakat peladang dalam pengelolaan hutan dan diberikan hak dalam untuk menggarap kawasan hutan untuk ditanami tanaman pangan dan hutan serta dipekerjakan sebagai tenaga kerja dalam reboisasi Thailand 3 Kelembagaan yaitu pemerintah pengembangkan kelembagaan untuk memebuhi kebutuhan permintaan kayu, industri pengolahan dan reboisasi. Pemerintah memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat melalui sistem kontrak per 25 tahun melaui dua model kelembagaan yaitu CBFM Community-Based Forest Management dan NIPAS National Integrated Protected Area System Philipina 4 Kelembagaan yaitu berkembangnya kelembagaan yang diakui oleh pemerintah dalam bentuk NTFM Non Timber Forest Mangement untuk masyarakat adat dan HRM Holistic Resources Management untuk kepentingan multi pihak. Kemudian berkembang juga model- model kelembagaan baru berdasarkan yang menginisiasi yaitu Indigeneneous Community Forest Management ICFM diinisiasi oleh masyarakat adat, Crafted Community Forest Mamagement CCFM diinisiasi NGO lokal dan dinas pemerintahan setempat, dan Joint Forest Management JFM diinisiasi oleh departemen kehutanan pemerintah. Kelembagaan JFM mengalami kegagalan dalam pengelolaan hutan sebagai akibat dari tekanan penduduk yaitu terjadi degradasi kawasan hutan 42 dari luas hutan 633.400 hektar. Untuk mengatasi persoalan tersebut pemerintah mengembangkan model hutan rakyat. India 5 Perambahan hutan oleh kelompok mafia hutan dan konflik antar multistakeholder. Kebijakan berupa undang-undang yang mengatur pengelolaan hutan merupakan peninggalan penjajahan belanda. Pakistan 6 Model NTFP Non Timber Forest Produk yang diterapkan gagal untuk melindungi Taman Nasional Lac Lobeke. Dari 60 kayu yang diekspor pada tahun 2000 dari Cameroon berasal dari illegal logging. Cameroon 7 Kelembagaan yaitu kebijakan pemerintah sektor kehutanan tidak mampu mengatasi permasalahan perambahan, Negara kehilangan 1,4 juta hektas hutan dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1993. Kamboja Tabel 4. Lanjutan No Isu Kehutanan LokasiNegara 8 Kelembagaan yaitu model kolaboratif tidak dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan Taman Nasional Mount Elgon Norwegia. Muncul persoalan perambahan dan konflik antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan organisasi taman nasional dan terbatasnya komunikasi antara masyarakat dengan pengelola tanaman nasional dan hancurnya agroforestry yang dikembangkan oleh masyarakat. Norwegia 9 Kelembagaan Perhutanan Sosial berupa HKm mampu melindungi kawasan hutan di Provinsi Bengkulu Indonesia 10 Pemberdayaan masyarakat pada Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat belum mampu untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi di luar sektor kehutanan dan masyarakat masih sangat tergantung pada sektor kehutanan untuk kehidupan ekonominya. Indonesia 11 Masyarakat pada HKm Gunung Betung Lampung belum mengikuti proses perijinan HKm dan pencadangan areal HKm menjadi wewenang pusat Indonesia 12 Konflik model pengelolaan hutan desa bagi Suku Anak Dalam di Jambi Indonesia 13 Perambahan Hutan Lindung di Desa Sesaot Kabupaten Lombok Barat NTB . Dari luas yang legal dan diakui pemerintah adalah 236 hektar dan kemudian dikembangkan oleh masyarakat sendiri seluas 211 hektar Indonesia 14 Isu biofisik yaitu terjadi perambahan hutan masuk dalam Kawasan Taman nasional Gunung Rinjadi, erosi dan rendahnya penutupan lahan kawasan HKm di Pulau Lombok NTB. Isu lainnya pada lokasi yang sama yaitu tidak berfungsinya kelembagaan yang dibangun oleh masyarakat dalam pengelolaan kawasan HKm. Indonesia 15 Lemahnya kelembagaan yang terbangun antara petani pesangem dan PT. Perhutani di Kabupaten Sumbawa NTB memberikan peluang perluasan areal garapan perambahan. Indonesia 16 Kebijakan yaitu perubahan status lahan yaitu suatu kawasan hutan yang merupakan hak ulayat menjadi tanah gege. Kebijakan tersebut menyebabkan terjadinya perambahan hutan oleh oknum tertentu dan masyarakat di Kabupaten Lombok Barat. Indonesia

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan periode tahun 2009-2010 pada kawasan pengembangan perhutanan sosial yaitu Hutan Kemasyarakatan HKm di Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling yaitu tersebar pada ketiga Kabupaten di Pulau Lombok dengan ketentuan bahwa pada kebupaten tersebut dikembangkan Pembangunan Hutan Kemasyarakatan. Adapun wilayah kabupaten sampel tersebut adalah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur.

3.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode gabungan atau kombinasi antara penelitian deskriptif - partisipatif - eksploratif. Metode deskriptif merupakan metode yang mengkaji dan memecahkan persoalan serta memberikan interpretasi dari fakta yang ada saat ini Nazir 1998. Metode deskriptif ini dilengkapi dengan daftar pertanyaan dan melalui wawancara mendalam dilakukan secara reflektifsubyektif untuk menemukan faktor-faktor dominan yang menentukan persoalan atau permasalahan dan memberikan interpretasi terhadap permasalahan yang ada sekarang. Selanjutnya metode partisipatif merupakan metode penelitian yang memberikan kesempatan penuh pada responden pakar dalam memberikan pendapat sebagai masukan dalam penyusunan model. Kemudian penelitian eksploratif yaitu metode penelitian mengkaji dan mengungkapkan sesuatu dari lapangan sebagai suatu temuan.- temuan yang dapat digunakan untuk menyusun model dan menarik kesimpulan Messerschmidt 1995. 3.2.1. Metode Pengumpulan Data 3.2.1.1. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi yaitu pengumpulan data melalui kunjungan dan penilaian langsung kelapangan terhadap kondisi biofisik kawasan Hutan Kemasyarakatan HKm dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pada kawasan HKm.