Dinamika Kebijakan Pemerintah tentang Hutan Kemasyarakatan

V. DINAMIKA DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK

5.1. Dinamika Kebijakan Pemerintah tentang Hutan Kemasyarakatan

Perkembangan kondisi dan situasi sektor kehutanan nasional yang berlangsung sekarang ini telah mengubah paradigma pembangunan kehutanan yang pada awalnya lebih mengarah pada pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada 1 produksi hasil hutan kayu ekonomi berubah menjadi pengelolaan hutan dalam satuan ekosistem yang utuh ekologi, 2 pembangunan kehutanan yang egosektoral menjadi pembangunan kehutanan yang kolaboratif dan mengakomodir berbagai pemangku kepentingan multistakeholders, dan 3 pengelolaan hutan yang lebih partisipatif dengan membuka peluang partisipasi masyarakat serta pemanfaatan kawasan bagi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Perubahan paradigma tersebut, membawa konsekuensi pada perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan kehutanan yang lebih mengutamakan pada partisipasi seluruh stakeholders dengan orientasi ekonomi kerakyatan serta mengutamakan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan dan rehabilitasi hutan secara bersamaan. Dengan demikian, perubahan paradigma tersebut memberikan warna dan corak yang cukup signifikan pada pelibatan masyarakat sekitar hutan bila dibandingkan dengan model pengelolaan sebelumnya. Salah satu bentuk perhutanan sosial yang partisipatif dan berkembang di Pulau Lombok dengan pertimbangan kebutuhan ekonomi masyarakat dan ekologi kawasan adalah Hutan Kemasyarakatan HKm disamping bentuk-bentuk lainnya, seperti pengembangan jalur hijau, penanaman bawah tegakan, pengembangan hutan cadangan pangan HCP, agroforestri, tumpang sari, perlindungan cathment area. Perkembangan pola pengelolaan perhutanan sosial yang patrisipatif, seperti Hutan Kemasyarakatan tersebut sesungguhnya didorong oleh terbitnya kebijakan pemerintah, baik pada tingkat nasional ataupun pada tingkat daerah. Kebijakan tersebut memberikan pelibatan dan tanggungjawab masyarakat secara langsung dalam mengelola hutan melalui kelompok masyarakat ataupun kelembagaan seperti koperasi. Dalam tingkatan nasional kebijakan mengenai HKm dimulai sejak tahun 1995 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri kehutanan dan peraturan menteri kehutanan dan perkebunan. Kemudian kebijakan tersebut direspon oleh pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten dengan terbitnya peraturan daerah dan surat keputusan bupati disajikan dalam Kotak 1. Dari gambaran informasi kebijakan tentang HKm sampai tahun 2009 pada tingkat nasional telah terbit tiga Surat Keputusan dan satu Peraturan Menteri Kehutanan dan Perkebunan serta demikian pula halnya dengan kondisi pada tingkat provinsi dan kabupaten. Kebijakan pada tingkat provinsi telah terbit surat keputusan Kakanwil Kuhutanan dan Perkebunan dan Peraturan Daerah Perda. Kotak 1. Perkembangan Kebijakan HKm pada Tingkat Nasional dan Daerah di Pulau Lombok a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622Kpts-II1995 pada tahun 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677Kpts- II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan c. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31Kpts-IItahun 2001. tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37Menhut-IItahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. e. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18.Menhut-II2009. Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan; f. SK Kakanwil Dephutbun Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 06Kpl-42000 Tentang Pemberian Ijin HKm Kepada Koperasi Darus Shiddiqien g. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan h. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. di Kabupaten Lombok Barat i. Peraturan Daerah Lombok Timur Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat j. SK Menteri Kehutanan Nomor 436Menhut-II2007 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lombok Tengah; k. SK Bupati Lombok Barat Nomor 213065Dishut2009 tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan IUPHKm kepada Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan KMPH Mitra Sesaot, Lebah Sempaga dan Sedau Kecamatan Narmada. Sumber. Data Primer dari Hasil Survei Dokumen. Kemudian pada masing-masing kabupaten di Pulau Lombok terbit beberapa Surat Keputusan Bupati dan Perda tentang HKm. Isi dari kebijakan HKm provinsi dan kabupaten umumnya merupakan blue print copy dari kebijakan HKm tingkat nasional. Hasil analisis isi dari kebijakan tentang HKm tersebut ditemukan perubahan isi terutama yang berkait dengan konsep HKm, hak dan kewajiban dari petani pengelola HKm. Perubahan isi kebijakan tersebut disajikan pada Tabel 19 di bawah ini dan Lampiran 2. Secara keseluruhan perubahan kebijakan pemerintah tengang HKm mengarah pada perubahan konsepdefinisi HKm, hak dan kewajiban masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan HKm. Perubahan konsep mengarah pada penegasan bahwan kawasan HKm merupakan hutan negara. Sedangkan perubahan hak meliputi perubahan waktu pengelolaan dan mekanisme dari pengelolaan, sementara itu, perubahan kewajiban meliputi perlindungan kawasan dan mekanisme pembayaran insentif ekonomi atas pengelolaan kawasan HKm. Perubahan kebijakan pemerintah mengalami perubahan sesungguhnya sebagai langkah kearah perbaikan atau penyempurnaan isi sehingga terjadi konsistensi antara maksud dan tujuan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan dikaitkan dengan implementasinya. Perubahan tersebut semakin memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan. Pentingnya pelibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam mengelola hutan terlihat dari perubahan yang mendasar dalam isi kebijakan berupa perubahan konsep, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan. Perubahan yang terjadi bersifat penegasan dan penambahan yang bersifat melengkapi atau menyempurnakan sesuai dengan perkembangan kondisi Hutan Kemasyarakatan HKm. Perubahan yang bersifat penegasan seperti yang terdapat dalam konsep HKm bahwa pada SK Menhut No. 622Kpts-II1995 didefinisikan HKm merupakan sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat, sementara itu dalam SK Menhut Nomor 677Kpts- II1998; SK Menhut Nomor 31Kpts-II2001 dan sampai dengan Peraturan Menteri Kehutanan P.37Menhut-II2007 didefinisikan bahwa HKm merupakan hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Dalam definisi tersebut terjadi penegasan bahwa kawasan HKm tersebut termasuk dalam Hutan negara yang dapat berlokasi pada kawasan hutan lindung maupun hutan produksi. Masih adanya kelemahan pada SK Menhut No. 622Kpts-II1995 yang memberikan peluang terjadinya pengalihan status lahan, sehingga penegasan status kawasan hutan sebagai hutan negara dalam SK Menhut No. 677Kpts- II1998 menjadi penting untuk mengantisipasi terjadinya penyerobotan dan pengalihan status lahan oleh masyarakat secara umum dan khususnya masyarakat pengelola HKm. Implikasi yang terjadi bahwa dengan status kawasan HKm masuk dalam hutan negara, maka segala ketentuan pengelolaan kawasan HKm mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh negara. Kemudian dalam hal hak dan kewajiban dari pengelola HKm juga mengalami perubahan kearah penyempurnaan yang memiliki kekuatan pada semakin meningkatnya kepastian pengelolaan kawasan hutan sampai dengan pengembangan dan pemberdayaan ekonomi ekonomi masyarakat. Namun pada sisi lainnya masyarakat pengelola kawasan HKm dituntut dapat menjaga kelestarian kawasan hutan melalui kegiatan konservasi dan menjaga pelestarian flora dan fauna setempat serta pembayaran atas jasa pemanfaatan hutan melaui IHHBK Iuran Hasil Hutan Bukan Kayu. Tabel 19. Perubahan Konsep, Hak dan Kewajiban Kebijakan tentang HKm mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2007 Isi Dinamika Kebijakan Hutan Kemasyarakatan HKm SK Mehutbun No. 622Kpts II1995 SK Menhut No. 677Kpts- II1998 SK Menhut No. 31Kpts-II2001 Peraturan Menhut No.P-37 Menhut- II2007 1. Konsep a. Status Hutan Hutan sesuai fungsinya Hutan Negara sesuai fungsinya Hutan Negara sesuai fungsinya Hutan Negara sesuai fungsinya b. Tujuan Pelibatan masyarakat Pelibatan Masyarakat Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat 2. Hak a. Lama Pengusahaan 5 tahun 35 tahun 25 tahun 35 tahun b. Pemanfaatan Memungut dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu .Memanfaatkan melalui penerapan sistem pengusahaan hutan tradisional dan atau teknologi lainnya a. Melakukan dan pemanfaatan hutan b. Mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengelolaan c. Mengajukan permohonan dana dari pihak lain a. Mendapat fasilitasi b. Memanfaatkan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan d. Memungut dan menebang hasil hutan kayu hasil tanam e. Mendapat pelayanan dokumen hasil hutan

3. Kewajiban a. Terlibat secara

langsung dan menjaga keamanan dan memperbanyak MPTS d. Melakukan penataan batas dan perjanjian HKm. f. Mekengkapi dokumen hasil hutan g. Membayar Iuran Hasil Hutan bukan kayu h. Melaporkan adanya perburuan satwa liar. a. Terlibat secara langsung b. Menyusun Rencana Kerja HKm. b. Melakukan penataan dan perlindungan hutan.. c Membayar iuran hutan a. Berpartisipasi secara langsung b. Penataan areal kerja dan penyusunan rencana pengelolaan c. Rehabilitasi dan perlindungan hutan; d. Pengendalian internal; e. Terlibat dalam pengelolaan hutan dan pengendalian internal. f. Membayar provisi sumber daya hutan. a. Melakukan penataan batas areal kerja dan menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu b. Melakukan penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan; c. Menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan HKm d. Membayar Provisi Sumber Daya Hutan PSDH; e. Melakukan pengamanan areal Sumber. Analisis Dokumen Surat pada Keputusan Menteri dan Peraturan Menteri Tentang Hutan Kemasyarakatan. Dari jangka waktu pengelolaan kawasan, berdasarkan SK Menhut No. 622Kpts-II1995 bahwa jangka waktu pengelolaan hanya 5 tahun dan dapat diperpanjang, sementara itu berdasarkan SK Menhut Nomor 677Kpts-II1998; SK Menhut Nomor 31Kpts-II2001 dan sampai dengan Peraturan Menteri Kehutanan P.37Menhut-II2007 bahwa jangka waktu pengelolaan 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perubahan dari jangka waktu pengelolaan ini merupakan kesungguhan pemerintah untuk menjamin kepastian hak masyarakat dalam memanfaatkan hutan atas kegiatan yang dilakukan seperti menanam, memelihara dan memanen tanaman kayu-kayuan dan MPTS dalam Kawasan HKm. Kemudian terjadi juga perkembangan hak yang diberikan kepada masyarakat pengelola dalam bentuk ijin usaha pengusahaan hasil hutan. Kebijakan pemerintah berupa SK Menhut Nomor 622Kpts-II1995 hanya memberikan hak terbatas pada pemanfaatan kawasan berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.dalam bentuk Ijin Usaha Pengusahaan HKm IUPHHKm. Selanjutnya terjadi perkembangan dengan memberikan hak yang lebih luas pada pemanfaatan kawasan HKm melalui Ijin Usaha Pengusahaan Hasil Hutan Kayu HKm IUPHHKHKm melalui SK Menhut Nomor 677Kpts- II1998. Namun hak masyarakat dalam menanam dan memanen tanaman kayu- kayuan tersebut terbatas pada HKm yang berada dalam kawasan hutan produksi atau dengan kata lain bahwa ijin IUPHHK HKm hanya berada dalam kawasan hutan produksi. Dari ringkasan tabel di atas, maka dapat disajikan hak dan kewajiban pengelola HKm yang dibagi menjadi dua kelompok yang pemegang ijin IUPHKm dan IPHHK HKm sebagai berikut.

1. Hak IUPHKm

a. Mendapat fasilitasi b. Memanfaatkan hasil hutan bukan kayu c. Memanfaatkan jasa lingkungan d. Memanfaatkan kawasan e. Memungut hasil hutan kayu

2. Kewajiban IUPHKm:

a. Penataan batas areal kerja b. Penyusunan rencana kerja c. Melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan d. Membayar PSDH sesuai dengan ketentuan e. Melaporkan pemanfaatan HKm kepada pemberi izin

3. Hak IUPHHK HKm

a. Menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya untuk jangka waktu 1 tahun sesuai dengan rencana kerja tahunan IUPHHK HKm b. Menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya sesuai rencana operasional c. Mendapat pelayanan dokumen SKSHH sesuai dengan ketentuan d. Apabila jangka waktu IUPHHK HKm telah berakhir, dan dalam areal IUPHHK HKm masih terdapat tanaman yang akan ditebang, maka pemegang IUPHHK HKm dapat mengajukan IUPHHK HKm yang baru

4. Kewajiban IUPHHK HKm :

a. Membayar PSDH sesuai ketentuan b. Menyusun Rencana Kerja pemanfaatan HHK selama berlakunya izin c. Melaksanakan penataan batas pemanfaatan HHK d. Melakukan pengamanan Areal tebangan e. Melakukan penatausahaan hasil hutan sesuai untukhutan tanaman f. Menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan HHK kepada pemberi izin Perkembangan isi kebijakan berupa kewajiban lainnya yaitu masyarakat pengelola HKm diharapkan berpartisipasi langsung dalam program HKm mulai dari penataan batas areal sampai dengan perencanaan pemanfaatan dan rencana kerja hasil hutan kayu. SK Mehut No 31Kpts-II2001 dan Peraturan Menhut No.P-37 Menhut-II2007 mendorong masyarakat pengelola HKm untuk lebih profesional dalam mengelola kawasan HKm. Kelembagaan masyarakat berupa koperasi diharapkan dapat menjadi institusi dan penyandang dana untuk dapat merealisasikan pengembangan hasil hutan kayu pada kawasan HKm. Meskipun terdapat peluang bahwa dalam HKm dapat dikembangkan tanaman kayu yang dapat dipanen seperti pada hutan tanaman melalui IUPHHK HKm, namun sampai saat ini belum ada respon masyarakat pengelola HKm di Pulau Lombok terhadap kesempatan tersebut. Permasalahan kemampuan teknologi, pendanaan dan ketidakefisienan sebagai akibat dari perpencaran lahan dan sempitnya lahan yang dikelola menjadi kendala dalam pengembangan hutan tanaman pada kawasan HKm. Kelembagaan berupa kelompok tani hutan dan koperasi yang diharapkan ternyata hanya berperan sebagai wadah untuk pendistribusian lahan HKm kepada masyarakat. Kondisi kelembagaan dapat dilihat pada Kotak 2. berikut. Perubahan isi kebijakan tersebut umumnya dipahami hanya pada tingkat pemerintahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan BPDAS. Kelembagaan HKm dibawahnya dan masyarakat pengelola HKm hampir tidak memahami tentang hak dan kewajibannya dalam mengelola HKm, meskipun hak dan kewajiban tersebut telah tertuang dalam awik-awik atau kesepakatan pada kelembagaan HKm tingkat kelompok. Lemahnya pemahaman petani pengelola HKm tentang hak dan kewajiban dalam mengelola HKm sangat berkaitan dengan pola sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan faktor rendahnya efektifitas kelembagaan yang terbangun pada tingkat petani. Pada setiap terbit kebijakan tentang HKm, maka Dinas Kehutanan ProvinsiKabupaten dan BPDAS melakukan sosialisasi. Stakeholder yang dihadirkan dalam sosialisasi yaitu staf dari Dinas Kehutanan, LSM, Perguruan Tinggi, Kepala Desa dan perwakilan petani HKm serta Ketua Gapoktan Gabungan Kelompok Tani. Sosialisasi dilakukan juga pada kesempatan pembinaan dan penyuluhan langsung kepada petani pengelola HKm. Namun sosialisasi tersebut tidak efektif, karena sebagian besar petani atau pesanggem umumnya tidak hadir, dengan demikian secara umum petani pesanggem kurang memahami hak dan kewajibannya dalam mengelola HKm. Selain itu, keadaan ini dapat terjadi karena rendahnya efektifitas kelembagaan pada tingkat petani yang disebabkan oleh besarnya jumlah anggota kelompok, tersebarnya kawasan dan pemukiman serta tidak adanya insentif pengurus dalam menyampaikan informasi yang diterima kepada anggota kelompok tani hutan. Untuk kasus HKm di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, disamping luasnya sebaran Kawasan HKm yang meliputi beberapa desa dan juga jumlah anggotanya yang cukup besar yaitu sampai dengan ribuan petani pengelola pesangem. Demikian juga dengan kondisi HKm di Kabupaten Lombok Timur Hutan Lindung Sekaroh dimana jumlah anggota kelompok yang besar dan lokasi domisili petani pesanggem yang berada di luar wilayah Desa Pemongkong atau Desa Sekaroh belum definitif. Dengan demikian, maka keadaan tersebut mempersulit terbangunnya komunikasi dan transfer informasi serta aktivitas kelompok HKm. Kotak 2. Kondisi Kelembagaan dan Sebaran Lokasi Kawasan HKm di Pulau Lombok Kelembagaan HKm di Pulau Lombok berbentuk koperasi dan kelompok tani hutan. Kelembagaan Hkm yang berbentuk koperasi terdapat pada HKm di Desa Santong, Desa Aikberik, Desa Stiling, Desa Lantan dan Desa Karang Sidemen. Sementara itu, kelembagaan HKm dalam bentuk non koperasi terdapat pada Desa Sesaot, Desa Lebah Sempage, Desa Sedau dan Desa Pemongkong Hutan Sekaroh. Kelembagaan berupa Forum HKm hanya terdapat pada kawasan Hutan Lindung Sesaot mencakup tiga desa yaitu Desa Sesaot, Desa Lebah Sempage dan Desa Sedau. Kelembagaan ini berperan sebagai sumber informasi pengelola HKm dan advokasi antara masyarakat dengan pihak luar termasuk pemerintah. Kelembagaan HKm tersebut belum dapat berfungsi optimal sebagai wadah yang dapat menjembatani pesanggem dengan pihak luar termasuk pemerintah. Berbagai informasi berhenti sampai pada tingkat pengurus kelompok Disamping faktor kelembagaan, ternyata sebaran kawasan dan jumlah anggota kelompok yang besar juga menjadi faktor penyebab informasi menjadi asimetris. Hak ini terlihat pada beberapa lokasi pembangunan HKm. Luas HKm Hutan Lindung Sesaot yaitu 211 hektar dengan jumlah petani pengelola sebesar 1.224 KK yang berlokasi di lima dusun yaitu Dusun Bunut Ngengkang Desa Sesaot seluas 25 hektar, Dusun Pesuren Desa Lebah Sempage seluas 35 hektar, Dusun Kumbi I dan II Desa Lebah Sempage seluas 35 hektar, Dusun Lebah Suren Desa Sedau seluas 65 hektar dan Dusun Selen Aik Desa Sedau seluas 51 hektar. Sementara itu, pada kawasan HKm Batukliang Utara tersebar pada empat desa yang menjadi blok pengelolaan yaitu Blok Lantan seluas 200 hektar yang terbagi menjadi 28 kelompok tani dengan jumlah anggota 626 orang. Blok Karang Sidemen seluas 100 hektar yang terbagi menjadi 4 kelompok tani dengan jumlah anggota 465 orang, Blok Seteling seluas 150 hektar dibagi menjadi 21 kelompok tani dengan jumlah anggota 541 orang dan Blok Aikberik seluas 592 hektar dibagi menjadi 42 kelompok dengan jumlah anggota 895 hektar. Lokasi HKm Kabupaten Lombok Timur berada di Kecamatan Sambelia dan Kecamatan Jeoaru dan Kecamatan Suela. Luas Kawasan HKm di Kecamatan Sambelia yaitu 500 hektar dengan jumlah pengelola sekitar 492 kk dan kelompok berjumlah 20 kelompok dan tersebar pada Desa Sugian dan Belanting. Sementara itu, Kawasan HKm Hutan Lindung Sekaroh seluas 350 hektar dengan pengelola yang berasal dari luar desa berkumlah 350 kk. Pencadangan areal HKm lainnya terdapat juga pada desa kawasan hutan lindung Desa Sapit dan Desa Perigi masuk dalam kawasan Hutan Seruni. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan kawasan Hutan Seruni ini sebanyak 600 kepala keluarga yang tergabung dalam 27 kelompok. Sumber. Hasil Survei dan Rosdiana et al. 2003. Demikian juga dengan keberadaan kelembagaan Forum HKm yang tidak memiliki sumber pendanaan. Sebagai akibatnya pengurus Forum tidak memiliki kemampuan finansial atau insentif dalam menyampaikan perkembangan informasi dari pusat, provinsi dan kabupaten. Hasil dari wawancara mendalam ditemukan bahwa dana yang bersumber dari petani pengelola kasus HKm Sesaot tidak diperuntukkan bagi kelembagaan Forum HKm, namun didistribusikan bagi Desa dan Dinas Kehutanan. Kemudian pada kawasan HKm lainnya seperti Batukliang Utara Stiling, Aik Berik dan Lantan dan kawasan HKm Sekaroh juga belum memiliki kelembagaan seperti Forum HKm. Perangkat dalam struktur organisasi Forum HKm, seperti bendahara belum dapat berfungsi untuk dapat menggalang dana bagi kelembagaan tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat menjadikan kelembagaan Forum HKm dapat berjalan efektif menjalankan fungsinya, maka dana yang bersumber dari masyarakat pengelola HKm sebaiknya didistribusikan juga bagi kelembagaan Forum Hkm sebagai dana operasional

5.2. Perkembangan dan Implementasi Kebijakan Daerah tentang Hutan Kemasyarakatan