Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan Masyarakat dan Hutan Kemasyarakatan

Hubungan kelembagaan formal dengan masyarakat pengelola HKm umumnya bersifat satu arah sesuai dengan kegiatan atau program pembangunan HKm yang bersifat top down, sementara antar kelembagaan tersebut formal tersebut terjadi hubungan koordinasi dan masing-masing kelembagaan tersebut secara langsung bersentuhan dengan masyarakat ataupun kawasan hutan. Demikian juga halnya dengan peran Kelembagaan Desa dalam kawasan HKm yang merupakan kelembagaan yang berfungsi hanya dalam mengkomunikasikan program pemerintah, namun hampir sama sekali tidak berperan dalam menyampaikan permasalahan sumberdaya hutan menuju lembaga terkait dan bahkan Kelembagaan Desa tidak pernah mengangkat persoalaan sumberdaya hutan dalam Musrenbang Desa. Permasalahan tersebut dapat terjadi karena karakteristik pembangunan HKm masih bersifat top down dan belum bersifat partisipatif. Berbeda halnya dengan kelembagaan sosial yang berkembang dalam masyarakat seperti hijibantahlilanserakal, bebangar, besiru, lokaq dan sawenmangku alas merupakan kelembagaan yang behubungan timbal balik dan hanya berperan sebagai media informasi, gotong royong dan kontrol terhadap kawasan hutan. Namun kelembagaan tersebut belum terevitalisasi dalam pengelolaan kawasan hutan. Kelembagaan tersebut masih bekerja sesuai dengan kondisi masyarakat kawasan hutan. Artinya kelembagaan tersebut belum dimanfaatkan secara optimum oleh pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

6.3.1. Kelembagaan Masyarakat

Kelembagaan masyarakat ataupun tradisional merupakan pengetahuan lokal yang berkembang dalam masyarakat yang mengandung aspek kognitif, regulatif dan normatif dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kognitif mengandung makna pengelolaan, sedangkan aspek regulatif mengandung aturan main dan aspek normatif mengandung nilai atau keyakinan terhadap institusi tradisional tersebut Satria 2006. Kelembagaan lokal yang terdapat dalam kawasan HKm berupa Lokaq, Besiru, Bebangar dan HijibanTahlillan serta Sawen Mangku Alas. Kelembagaan tersebut umumnya belum direvitaslisasi dan dilibatkan dalam pembangunan Hutan Kemasyarakatan kecuali Lokaq. Lokaq merupakan pengetahuan lokal masyarakat di Kawasan Hutan Lindung Sesaot yang merupakan orang-orang yang dituakan, disegani dan dipercaya oleh masyarakat. Lokaq ini ditempatkan paling depan dalam aktivitas sosial masyarakat. Dalam pembangunan HKm, Lokaq ditempatkan sebagai ketua blok HKm dan juga ditempatkan sebagai pengurus Forum HKm. Didalam kepengurusan Forum HKm, Lokaq mendapatkan posisi sebagai hakim dalam memimpin persidangan pelanggaran awik-awik. Besiru merupakan pengetahuan lokal yang terdapat dalam seluruh kawasan HKm di Pulau Lombok. Besiru merupakan bentuk arisan kerja atau tolong-menolong pada awal pembukaan lahan. Pengetahuan lokal ini nampaknya tidak bekerja lagi dan masyarakat kawasan tidak lagi memanfaatkan kelembagaan ini. Desakan pola perekonomian masyarakat yang berubah dalam bentuk sistem pengupahan dalam bentuk uang menggeser kelembagaan ini, sehingga menjadi tidak solid lagi. Modal sosial berupa ikatan-ikatan sosial dan solidaritas sosial menjadi luntur dan rapuh. Oleh karena itu, kelembagaan besiru ini tidak mampu lagi dipertahankan atau dirubah dalam bentuk lainnya sebagai bentuk tolong- monolong. Bebangar merupakan pengetahuan lokal yang berkembang di kawasan HKm Desa Aikberik. Acara Bebangar dilakukan pada saat pembukaan lahan dan pengambilan kayu dalam hutan. Bebangar diikuti dengan ritual pemotongan ternak ayam dan pemasangan Penyawek berupa lekes dari daun sirih dan daun enaunira. Pengetahuan lokal ini mengandung nilaikeyakinan bahwa dalam membuka kawasan hutan dan menebang kayu harus mendapat ijin dari kekuatan gaib sebagai penunggu hutan. Implikasi dari Bebangar ini, hutan menjadi terjaga atau terindung dari kehancuran. Namun dalam kenyataannya peran Bebangar dalam pembangunan HKm sangat kecil dan hanya dlakukan oleh sekelompok orang saja yang memang peduli terhadap kelestarian kawasan. Hijiban dan Tahlillan merupakan pengetahuan lokal yang berkembang hampir pada semua kawasan HKm. Hijiban ini berkembang dan bersentuhan dengan program pembangunan HKm pada kawasan HKm Desa Aikberik dan Stiling Batukliang Utara. Kelembagaan lokal ini memiliki peran sebagai institusi yang mengkomunikasikan informasi secara masal. Dalam program pembangunan HKm, khususnya di Batukliang Utara masih tetap menjaga peran kelembagaan ini. Setiap informasi datang dari pihak pemerintah dan ataupun terdapat permasalahan sumberdaya hutan selalu dikomunikasikan dalam kelembagaan lokal ini. Keterangan : a. Besar Lingkaran menunjukkan peran kelembagaan dalam pembangunan HKm b. Jarak merupakan kedekatan hubungan kelembagaan dengan program HKm Gambar 16. Peran dan Kedekatan Hubungan Kelembagaan Masyarakat dengan Kawasan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok Sawen merupakan kelembagaan lokal yang berkembang di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Kelembagaan Sawen ini mengatur pengelolaan sumberdaya alam seperti laut, hutan dan pertanian. Khususnya untuk pengelolaan sumberdaya hutan diatur oleh seorang Mangku Alas. Tugas seorang mangku alas adalah mengatur pembukaan lahan dan cara pengelolaannya serta cara-cara memuangut hasil hutan. Suryadi 2006 menjelaskan peran Pemangku dan Perumbak dalam pengelolaan hutan. Pemangku adalah sosok penjaga keamanan hutan yang bertanggung jawab atas penegakan hukum adat dalam pelestarian fungsi hutan, sedangkan Perumbak adalah orang yang tinggal di dalam kawasan hutan yang memiliki tanggungjawab melindungi satwa hutan dari gangguan Program HKm Hijiban dan Talillan Forum HKm Sawen Mangku Alas Besiru Klp. Tani Hutan Masyarakat Jarak Bebangar Lokaq pemburu. Kelembagaan ini sesungguhnya memiliki peran penting dalam pengelolaan kawasan hutan, namun sayang sampai saat ini belum diangkat dan direvitalisasi dan belum memiliki peran dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok. Meskipun cukup banyak pengetahuan lokal yang terdapat di Desa dan disekitar kawasan Hutan Kemasyarakatan, namun belum dilibatkan dan diangkat masuk dalam kelembangaan HKm. Kelembagaan yang dekat dengan pembangunan HKm adalah Kelompok Tani Hutan, Forum HKm dan Lokaq. Sementara itu, kelembagaan seperti Besiru, Bebangar dan Hijiban merupakan pengetahuan lokal yang terbatas sekali pelibatannya dalam pembangunan HKm. Demikian juga keadaannya dengan Sawen yang memiliki perani besar dalam pengelolaan hutan tidak dilibatkan dalam pembangunan HKm Masyarakat belum mampu merevitalisasi pengetahuan lokal tersebut masuk dalam kelembagaan HKm. Masyarakat lebih terfokus dalam pertimbangan- pertimbangan rasional dan dijadikan sebagai konsensus ataupun aturan main yang sering diselogankan dengan istilah awik-awik. Situasi ini terbangun tidak terlepas dari peran pendamping masyarakat baik dari dinasinstansi, perguruan tinggi dan LSM. Aturan main sering berpihak sehingga membangun konflik horizontal dan vertikal. Sebagai kasus bahwa aturan main yang berpihak pada masyarakat miskin dan tidak memiliki areal produktif, menyebabkan kelompok masyarakat lainnya yang tidak diakomodir haknya dalam HKm melakukan perambahan dan menamakan dirinya HKm Non Program Kasus HKm Seaaot. Dalam penyusunan aturan tersebut hanya didasarkan atas kepentingan pihak tertentu saja dan tidak ada nilai keadilan yang dapat dicapai untuk semua masyarakat disekitar hutan. Rapuhnya kelembagaan sosial masyarakat pada kawasan HKm dan sebagai akibat dari lemahnya pemahaman pendamping tentang kelembagaan dan pengetahuan lokal yang ada dalam masyarakat merupakan faktor yang menyebabkan tidak terangkatnya pengetahuan lokal sebagai aturan main kelembagaan HKm di Pulau Lombok. 6.3.2. Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan. 6.3.2.1. Stuktur Organisasi