Tinjauan Pengelolaan Partisipatif Sektor Kehutanan

disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, serta hama dan penyakit. 6. Pengendalian Pengendalian dimaksudkan untuk menjamin penyelenggaraan HKm dapat terlaksana sesuai dengan tujuan. Pengendalian meliputi pengendalian oleh pemerintah dan pemerintah daerah, pengendalian internal oleh pemegang ijin dan pengawasan oleh masyarakat luas. Pengendalian oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan mulai dari tingkat pusat hingga lokasi kegiatan secara berjenjang yang dilengkapi dengan system pelaporan yang berjenjang pula. Pengendalian internal dilaksanakan oleh seluruh anggota kelompok secara partisipatif dan difasilitasi oleh pemerintah KabupatenKota untuk menjamin agar pengelolaan dilaksanakan sesuai rencana. Pengendalian oleh masyarakat luas dilakukan agar pengelolaan HKm tidak menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.

2.4. Tinjauan Pengelolaan Partisipatif Sektor Kehutanan

Teori partisipasi dipengaruhi oleh teori demokrasi barat yaitu setiap masyarakat memiliki hak dalam pengambilan keputusan melalui pemilihan wakil. Teori tersebut juga muncul sebagai respon ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pembangunan Karky 2001. Chamber 1983 dalam Karky 2001 mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat melalui kebijakan seperti desentralisasi, privatisasi dan good governance, sehingga partispasi tersebut memiliki arti dalam proses pembangunan. Selanjutnya diungkapkan bahwa terdapat tiga dasar konsep partisipasi yang dikenal di Amerika serikat yaitu : a. Masarakat lokal harus dilibatkan dan difasilitasi untuk dapat berkontribusi dalam proses pembangunan; b. Masyarakat lokal seharusnya memperoleh manfaat ekonomi dari hasil pembangunan dan c. Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, maka partisipasi yang efektif merupakan pola partisipasi langsung atau tidak melalui perwakilan dan masyarakat memiliki kekuatan dalam membuat keputusan dan mengkontrol implementasi pembangunan. Konsep partisipasi masyarakat dapat tidak dapat diartikan sebagai bentuk kontribusi orang sebagai tenaga kerja yang dibayar. Partisipasi harus berisikan unsur inisiatif dan pembuatan keputusan oleh masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat berkontribusi yang tidak memberikan makna dari aktivitas perencanaan dari bawah atau bottom up, maka hal ini bukan merupakan konsep partisipasi melainkan merupakan konsep mobilisasi Nasikun 1990. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan tercermin dalam ungkapan Rural Development: Putting the Last First Chambers 1992. Beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan program pengentasan kemiskinan melalui pendekatan partisipatif adalah: 1 Kesadaran akan nilai-nilai lokal; 2 Pendekatan yang terintegrasi dan menyeluruh; 3 Pengembangan sumberdaya manusia. Salah satu pola partispasi masyarakat dalam perhutanan sosial adalah partisipasi pada perkebunan campuran, partisipasi pada perkebunan transmigrasi dan partisipasi pada HPH PMDH. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan ditentukan juga oleh kesediaan pengusaha untuk melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dan kesediaannya untuk mendistribusikan sebagian keuntungannya kepada masyarakat yang berdomisili pada sekitar usahanya. Dengan pemahaman partisipasi tersebut, maka terdapat dua alternatif utama dalam meningkatkan partsipasi masyararakat pada program perhutanan sosial. Pertama, melibatkan masyarakat pada program perhutanan sosial. Partisipasi masyarakat dalam kasus ini umumnya tergolong rendah karena masyarakat hanya sebagai buruh atau tenaga upahan. Kedua Untuk kasus di Indonesia ternayata munculnya konsep pembangunan partisipatif terjadi seiring isu desentralisasi dengan pendekatan konseptual yang dikonsentrasikan pada strategi pembangunan yang dapat memberikan manfaat adalah melibatkan masyarakat sebagai pengelola sumberdaya hutan mulai dari perencanaan sampai dengan pemasaran hasil. Partisipasi masyarakat pada konsep kedua ini adalah umumnya tinggi karena masyarakat terlibat langsung mulai dari perencanaan, impelementasi, pemeliharaan sumberdaya hutan sampai pada tahapan monitoring dan evaluasi Suharti et al. 1999. ekonomi, sosial dan ekologi secara bersama sehingga menunjang pencapaian pembangunan berkelanjutan Harly and Lloyd 1994 ; Clement and Hansen 2001. Perencanaan pembangunan partisipatif dalam hal ini menekankan pada integrasi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring sampai dengan evaluasi evaluasi. Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII Jakarta tahun 1978 telah menetapkan sebuah tema “Forest For People menjadi kebijakan baru yang diinisiasikan oleh FAO yaitu penegasan orientasi pembangunan bagi rakyat dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup pendduduk pedesaan, mengikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi penghidupannya dan untuk mengubah mereka menjadi wargangara yang dinamis serta mampu memberikan sumbangan yang lebih luas. Negara-negara berkembang menjabarkan hasil kongres tersebut dalam bentuk Agroforestry, Social Forestry dan Community Forestry. Khususnya untuk Indonesia dikenal dengan istilah Prosperity Approach; MaLu Mantri-Lurah dan PMDH Kartodihardjo 2007. Pertemuan Forum Regional Hutan Kemasyarakatan di Bangkok pada bulan Agustus 2005 merumuskan beberapa prinsip umum pengembangan instrumen peraturan yang akan menjamin keberhasilan implementasi dari kebijakan HKm OBrien and Matthews 2005. Dari 18 Prinsip yang tertuang ternyata terdapat tiga hal penting yaitu partisipasi masyarakat tidak dipaksakan yang dapat memperkecil biaya transaksi dan model pendekatan adalah bersifat adaptif dimana menekankan pada proses pembelajaran masyarakat yang berkesinambungan. Perencanaan partisipatif dalam pengelolaan kawasan hutan sesungguhnya memiliki konsep perlindungan kawasan itu sendiri dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan. Secara simbolik perencanaan partisipatif kawasan hutan digambarkan pada gambar 8 adaptasi dari Carter 1997. Dari hubungan tersebut dapat disusun model perencanaan sesuai dengan kondisi biofisik kawasan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat. Gambar 8. tersebut memberikan makna yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan partisipatif. Makna penting adalah tentunya banyak stakeholder yang terlibat, sehingga dalam perencanaan diperlukan suatu koordinasi yang efektif untuk mengelola kawasan hutan secara partisipatif. Marsh 1983 mengungkapkan bahwa dalam pengelolaan kawasan hutan harus memperhatikan dan mempertimbangkan minimal tiga hal yaitu : a. Perencanaan harus mencakup berbagai kepentingan stakeholder secara multisektoral dan perencanaan tata guna lahan secara komprehensif. b. Kebijakan didasarkan pada kebutuhan ditingkat lokal-regional-nasional dalam alokasi sumberdaya. Dalam proses perencanaan harus diperhatikan dengan ketat bahwa manfaat yang diberikan oleh sumberdaya adalah menjadi prioritas. c. Menganalisis dampak lingkungan yang harus diterapkan dengan ketat dalam proyek pengelolaan. Gambar 8. Hubungan Simbolik Penglolaan Kawasan Hutan Sebagai Dasar dari Tujuan Perencanaan Adaptasi dari Carter 1997.

2.5. Kajian Hasil-Hasil Pembangunan Partisipasi dalam Pengelolan Hutan