Bentuk, Tipe dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan

VII. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK

7.1. Bentuk, Tipe dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan

Partisipasi merupakan sebuah proses bertingkat dari pendistribusian hak masyarakat dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka dapat memperoleh kontrol yang lebih besar pada hidup mereka sendiri. Partisipasi sesungguhnya lebih dari sekedar kekuatan karena merupakan sinergi bersama untuk mencapai lebih dari yang dimiliki dari aktivitas pembelajaran sosial, pemberdayaan, ekonomi bersama dan spirit ekonomi sebagai suatu infrastruktur moral. Mitchell et al. 2003 menyatakan bahwa ada beberapa alasan penting partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yaitu merumuskan persoalan menjadi lebih efektif, merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima, mendapatkan informasi dan pemahaman diluar jangkauan ilmiah, perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaiaan dan memudahkan penerapannya. Arnstein dalam Setyowati 2006 mengidentifikasi tingkat partisipasi disusun berdasarkan berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada partisipan sebagai berikut: Manipulasi manipulation, b. Terapi therapy, c. Informasi informing, d. Konsultasi consultation, e. Placation, f. Kemitraaan partnership, g. Pendelegasian wewenang delegated power dan h. Kontrol masyarakat citizen power. Tingkatan partisipasi sedang tokenims bila partisipasi masyarakat dalam tahapan Informasi, Konsultasi dan Placation. Kemudian tingkatan partisipasi rendah non participation bila tipe partisipasi berada pada tahapan Manipulasi dan Terapi. Sementara itu, tahapan partisipasi tinggi adalah Kemitraaan partnership, g. Pendelegasian wewenang delegated power dan h. Kontrol masyarakat citizen power. Dari hasil wawancara mendalam dengan staf dinas kehutanan bahwa pemahaman partisipasi lebih pada pelibatan masyarakat dalam implementasi pembangunan HKm dan bukan termasuk pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan monitoring. Situasi ini memberikan dampak terhadap partisipasi masyarakat pada tahapan program pembangunan HKm. Terbatasnya pemahaman staf tersebut berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan program pembangunan HKm dan lebih terkonsentrasi pada kegiatan implementasi. Bentuk kegiatan Dinas Kehutanan lebih bersifat teknis dan pembinaan pada kelompok pengelola HKm dan khususnya pada teknologi tanaman kayu hutan dan MPTS. Namun kehadiran LSM dalam pembangunan HKm yang merupakan keharusan dari program pembangunan HKm memberikan warna pada kedalaman partisipasi masyarakat. LSM berperan dalam mendampingi masyarakat dalam identifikasi pencadangan areal dan mendampingi masyarakat dalam membangun kelembagaan HKm. Pada proses pendampingan ini terjadi proses pembelajaran pada masyarakat khususnya dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm. Melalui kehadiran LSM dalam pembangunan HKm berdampak pada tipe, bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat. Meskipun kondisi partisipasi masyarakat yang kurang aktif, namun bentuk partisipasi adalah kolaboratif. Maknanya adalah setiap keputusan yang diambil selalu dikomunikasikan dengan pihak-pihak lainnya termasuk dengan sesama anggota kelompok pengelola HKm. Dengan demikian, tingkat atau kedalam partisipasi tersebut merupakan output dari hasil kompromi, dan hal inilah yang nampak sekali dari peranan pendampingan LSM dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan HKm dipengaruhi juga oleh faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam individu berupa faktor sosial ekonomi, sedangkan faktor luar berupa kelembagaan yang terbangun oleh pemerintah dan kelembagaan sosial yang ada dalam masyarakat pesanggem. Faktor-faktor tersebut juga cukup berpengaruh dalam membangun bentuk, tipe dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok. Kelembagaan yang terbangun dapat menjadi penghadang barrier partisipasi masyarakat secara langsung dalam pembangunan HKm, sehingga kondisi tersebut membentuk terjadinya partisipasi tidak langsung indirect participation atau partisipasi perwakilan. Peranan kelembagaan lokal masih terbatas hanya pada tingkatan wadah informasi dan komunikasi dari program HKm. Sementara itu, faktor sosial ekonomi masyarakat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bentuk, tipe dan tingkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Realitasnya partisipasi masyarakat memiliki berbagai bentuk dan tipe serta tingkatan. Kondisi ini tergantung dari kepentingan program dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kelembagaan yang terbangun, baik kelembagaan formal maupun kelembagaan tradisional pengetahuan lokal. Hasil penelitian menemukan tiga bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm yaitu aktif, kurang aktif dan tidak aktif. Sementara itu, ditemukan juga empat tipe partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm yaitu partisipasi kontraktual, partisipasi konsultatif, partisipasi kolaboratif dan partisipasi kolega. Selain itu, ditemukan tiga tingkatan partisipasi yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkatan partisipasi ini menggambarkan kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan keaktifannya partisipasi masyarakat dibagi menjadi bentuk aktif, kurang aktif dan tidak aktif. Hasil penelitian menemukan ketiga bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm di Lombok. Namun kondisi bentuk partisipasi tersebut sebagian besar berada dalam kondisi tidak aktif. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan Hutan Kemasyarakatan diwujudkan dalam tiga tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaanimplementasi dan monitoring dan evaluasi. Program perencanaan yang terdiri dari kegiatan sosialisasi, penataan batas, pembentukan kelembagaan, pemberdayaan dan pengurusan ijin. Sementara itu, program implementasi terdiri dari kegiatan penataan areal, penyusunan rencana kerja, penanamanpemanfaatan lahan, rehabilitasi hutan dan perlindungan kawasan hutan. Program monitoring terdiri dari kegiatan pengawasanmonitoring dan evaluasi. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 29. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok Bentuk Partisipasi Perencanaan Implementasi Monitoring Sampel n Persen Sampel n Persen Sampel n Persen 1. Aktif 13 12,10 69 64,50 20 18,70 2. Kurang Aktif 29 27,10 35 32,70 35 32,70 3. Tidak Aktif 65 60,70 3 2,80 52 48,60 Total 107 100,00 107 100,00 107 100,00 Tabel di atas memberikan gambaran bahwa bentuk partisipasi masyarakat pada perencanaan dan monitoring sebagian besar pada posisi tidak aktif, sedangkan dalam implementasi sebagian besar berada pada posisi aktif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentuk partisipasi masyarakat tersebut kurang aktif dan tidak aktif pada kegiatan perencanaan dan monitoring, namun sebaliknya masyarakat pesanggem aktif pada kegiatan implementasi. Adanya perbedaan bentuk partisipasi masyarakat pada setiap program HKm berkaitan dengan sifat dari program. Pada kegiatan perencanaan dan evaluasi, pelibatan masyarakat umumnya berbentuk perwakilan, sehingga yang terlibat umumnya berupa pengurus kelompok dan ketua blok, namun dapat pula anggota kelompok lainnya secara sukarela berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Berbeda keadaanya dengan kegiatan implementasi yang memiliki karakteristik yaitu semua anggota atau petani pesanggem dilibatkan dalam kegiatan. Kotak 13. Proses Pelibatan dan Pengambilan Keputusan Pesanggem dalam Pembangunan HKm di Pulau Lombok. Hasil wawancara mendalam dengan anggota kelompok memberikan gambaran tentang proses pelibatan dan pengembilan keputusan dalam Keterlibatan kami dalam berbagai bentuk program dan kegiatan HKm. Pada setiap kegiatan baik perencanaan, implementasi program dan monev, kami diinformasikan dari LSM pendamping tentang adanya rencana kegiatan tersebut. Kemudian ketua kelompok memberitahukan tentang siapa yang akan terlibat dalam kegiatan tersebut sebagai perwakilan kelompok. Kemudian apabila ketua kelompok tidak bisa hadir dalam pertemuan tersebut, maka ditunjuk pengurusanggota yang akan mewakilinya. Selanjutnya kami sepakat untuk menyerahkan segala bentuk keputusan pada wakil kami yang terlibat dalam kegiatan ataupun pertemuan yang diadakan oleh proyek. Kami sulit terlibat secara langsung karena proyek membatasi jumlah peserta yang terlibat dalam pertemuan tersebut. Dengan demikian, kami harus ihlas untuk diwakilkan dalam berbagai bentuk keputusan proyek. Namun meskipun bentuk perwakilan, kami anggota menerima hasil keputusan walaupun kadang-kadang terlamb at dan sering kami terima informasi tersebut pada saat acara hijibantahlillan bentuk pengajian bersama yang tidak hanya dihari oleh kelompok HKm tapi dihadiri pula oleh masyarakat umum. Sumber. Disarikan dari hasil wawancara mendalam dengan anggota HKm Tipe partisipasi masyarakat pesanggem tersebut tidak menyebar merata, namun lebih terkonsentrasi pada tipe kolaboratif dan kemudian tipe kontraktual dan hanya sebagian kecil saja tersebar pada partisipasi kolega dan kontraktual. Kondisi yang demikian tersebut, merupakan gambaran bahwa masyarakat pengelola HKm memiliki kekompakan dan kearifan dalam pengambilan keputusan. Pertentangan kepentingan yang terjadi antara pihak pemerintah dalam pembangunan HKm selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Tabel di bawah ini menyajikan beragam tipe partisipasi dalam pembangunan HKm di Pulau Lombok. Tabel 30. Distribusi Tipe Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok Tipe Partisipasi Program Pembangunan HKm Perencanaan Implementasi Monitoring Sampel n Persen Sampel n Persen Sampel n Persen 1. Kontraktual 19 17,8 8 7,5 21 19,6 2. Konsultatif 14 13,1 14 13,1 15 14,0 3. Kolaboratif 71 66,4 74 69,2 67 62,6 4. Kolega 3 2,8 11 10,2 4 3,7 Total 107 100,0 107 100,0 107 100,0 Keterangan : 1. Partisipasi Kontraktual, bila seseorang mendelegasikan hak pengambilan keputusan pada pihak lainnya. 2. Partisipasi Konsultatif, bila seseorang hanya berkonsultasi dalam pengambilan keputusan. 3. Partisipasi Kolaboratif, bila seseorang berkolaborasi dengan pihak lainnya dalam pengambilan keputusan 4. Partisipasi Kolega, bila seseorang dengan kolega lainnya bersama-sama dalam pengambilan keputusan. Dari tabel di atas nampak bahwa sebagian besar tipe partisipasi masyarakat baik dalam program perencanaan, implementasi maupun monitoring dan evaluasi berada pada tipe kolaboratif yaitu di atas 60 dan hanya sebagian kecil saja dengan tipe konsultasif, kontraktual dan kolega yaitu kurang dari masing-masing 15 , 20 dan 11. Tingginya tipe partisipasi dalam bentuk kolaboratif dalam pengelolaan HKm disadari karena peran LSM Lembaga Swadaya Masyarakat yang pada saat pendampingan menanamkanmengajarkan bentuk-bentuk pengambilan keputusan oleh karena itu, pada akhirnya bentuk-bentuk kolaboratif tersebut ternyata cukup diserap dan dimplementasikan oleh masyarakat pengelola HKm. Bila dikaitkan dengan tipe partisipasi atau tingkat keterlibatan pengelola dalam program pembangunan HKm, ternyata ditemukan bahwa keputusan partisipasi kolaboratif tersebut berhubungan dengan bentuk partisipasi pengelola. Pada bentuk partisipasi pengelola aktif dan kurang aktif ditemukan sebagian besar tipe partisipasi pengelola adalah kolaboratif. Namun berbeda dengan tipe partisipasi kontaktual juga menempati posisi kedua dari tipe partisipasi yang ada. Rendahnya keterlibatan pengelola dalam program pembangunan HKm menyebabkan pengelola mendelegasikan keputusannya pada teman-teman kelompoknya. Demikian juga yang terjadi pada tipe partisipasi konsultatif dan kolega. Pada tipe partisipasi konsultatif, pengelola HKm hanya menerima keputusan dari pihak lainnya teman anggota kelompok dan pemerintah dan hanya memberikan konsultasi kepada rekanannya. Demikian juga yang terjadi pada tipe partisipasi kolega dimana pesanggempengelola secara bersama mengambil keputusan dan diserahkan pada pihak lain Implikasi dari munculnya empat tipe partisipasi tersebut adalah sesungguhnya masyarakat sebagai pengelola HKm meskipun memiliki kepentingan dan kebutuhan yang beragam, namun rendah konflik konflik horizontal antar sesama pengelola atau dengan kelompok masyarakat lainnya khususnya dalam pengelolaan HKm. Dengan ungkapan lainnya bahwa masyarakat pengelola HKm dapat mengelola konflik dengan baik, sehingga pembangunan HKm dapat berjalan. Hasil wawancara mendalam menemukan bahwa sumber konflik horizontal adalah adanya ganti rugi kawasan HKm terhadap pihak lain dan prosesnya terjadi dibawah tangan. Meskipun aturan ganti rugi telah masuk dalam awik-awik dan memiliki sanksi pada pihak pengganti yaitu berupa ditariknya lahan tersebut kedalam pengelolaan ketua kelompok, namun peristiwa ini tetap terjadi karena tidak diberlakukan awik-awik tersebut. Hal ini sangat dilematis, karena para pengganti rugi adalah masyarakat sekitarnya dan bahkan anggota kelompok HKm itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi awik-awik hanya berupa teguran pada pihak pengganti tetapi lahan tidak dicabut seperti yang tertuang dalam awik-awik. Kemudian dalam aspek tingkatan partisipasi atau dalam kewenangan pengambilan keputusan sebagian besar masyarakat pesanggem masuk dalam katagori tokenism n=63, kemudian non participation n=26 dan sebagian kecil saja pada katagori citizen power n=18. Namun dalam pencapaian skor partisipasi terdapat kontradiksi yaitu skor partisipasi tertinggi dicapai oleh kelompok citizen power 81,67, kemudian kelompok tokenism 38,33 dan terendah adalah kelompok non participation 38,33. Akan tetapi rata-rata pencapaian skor sebesar 56,67 dari total skor 60. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 31. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok Tingkat Partisipasi Rata-rata Skor Partisipasi Capaian Partisipasi Perencanaan Implementasi Monitoring Skor Skor . Skor Skor 1. Rendah n=26 9 36 10 40 3 30 23 38,33 2. Sedang n=63 14 56 15 60 5 50 34 56,67 3. Tinggi n=18 20 80 20 80 9 90 49 81,67 Rata-Rata 14 56 15 60 5 50 34 56,67 Keterangan : = Capaian dari skor maksimum 25 untuk perencanaan, 25 untuk implementasi dan 10 untuk monitoring n = Jumlah responden Tabel di atas memperlihatkan bahwa sebaran pencapaian skor pada masing-masing program adalah relatif tinggi 56 untuk program perencanaan, 60 untuk program implementasi dan 50 untuk program monev. Namun nilai tersebut beragam pada masing-masing kelompok partisipan. Pencapaian skor tertinggi pada program perencanaan ditunjukkan oleh kelompok citizen power 80 dan 56 untuk kelompok tokenism serta 36 untuk kelompok non participation. Demikian juga kondisinya dalam program implementasi dan monev yaitu kelompok citizen power memiliki capaian skor tertinggi adalah 80 dan 90. Kemudian kelompok tokenism yaitu 60 dan 50 dan sebaliknya kelompok non participation memiliki pencapaian skor terendah dalam program implementasi dan monev yaitu 10 dan 30. Makna yang dapat diangkat dari kondisi demikian bahwa pembangunan HKm di Pulau Lombok bersifat partisipatif dalam pengertian bahwa pembangunan HKm telah melibatkan masyarakat sebagai pengelola HKm dalam bentuk perwakilan pada berbagai tahapan program seperti perencanaan, pelaksanaanimplementasi dan monitoring dan evaluasi. Masyarakat juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Sifat pelibatan masyarakat dalam pembangunan HKm yaitu sebagian besar tokenism dan sebagian kecil saja berupa citizen power serta non participation. Partisipasi yang bersifat tokenism 58,68 yaitu rentang kewenangan keputusan atau partisipasi masyarakat pesanggem mulai dari mendapatkan informasi, memberikan saran kepada pihak pemerintah, negosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan pembangunan baik dalam tahapan perencanaan, implementasi dan monevmonitoring dan evaluasi. Kemudian sejumlah 16,82 masyarakat memiliki kontrol atau kewenangan dalam pengambilan keputusan pembangunan HKm atau citizen power dan sebaliknya sekitar 24,30 masyarakat pesanggem pada level non participation yaitu masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Masyarakat pesanggem hanya sebagai objek dari pembangunan atau dengan ungkapan lain bahwa pemerintah hanya menyembuhkan atau mendidik masyarakat. Kemudian adanya indikasi bahwa pada masyarakat pesanggem yang tergolong dalam partisipasi rendah non participation memiliki pencapaian skor pada setiap kegiatan pembangunan perencanaan, implementasi dan monitoring yang lebih rendah pula bila dibandingkan dengan kelompok pesanggem yang memiliki tingkat partisipasi lebih tinggi. Indikasi memberikan makna bahwa kewenangan dalam pengambilan keputusan partisipasi untuk kelompok non partisipasi sangat terbatas, terutama pada kegiatan perencanaan dan monitoring yaitu kurang dari 40. Namun bila dikaji dari perbandingan pencapaian skor antar kegiatan perencanan, implementasi dan monitoring untuk semua kelompok pesanggem rendah, sedang dan tinggi terlihat bahwa kewenangan pengambilan keputusan tertinggi adalah dalam implementasi program, kemudian perencanaan program dan evaluasi, kecuali pada kelompok pesanggem dengan katagori partisipasi tinggi yang memiliki pencapaian skor partisiapasi pada semua program lebih dari 80. Sebaran pencapaian skor tersebut memberikan makna bahwa kebebasan mengambil keputusan partisipasi tertinggi adalah dalam program implementasi, kemudian perencanaan dan evaluasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan karakteristik proyek pembangunan HKm yaitu lebih membebaskan masyarakat pesanggem dalam implementasi program, sementara itu keterlibatan dan kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan pada perencanaan dan evaluasi masih mendapat kontrol yang kuat dari pihak pemerintah dan LSM pendamping. Pada kondisi tingkat partisipasi yang beragam tersebut memberikan makna bahwa pemerintah telah cukup berhasil melibatkan masyarakat pesanggem dalam pembangunan HKm, meskipun dalam berbagai tingkat keragaman partisipasi. Adanya keragaman partisipasi tersebut merupakan suatu kewajaran karena masyarakat pesanggem bukan pada entitas yang homogen akan tetapi dalam entitas yang heterogen. Artinya keragaman partisipasi masyarakat tentunya sebagai akibat dari perbedaan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan pada lingkungan setempat. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor internal dan ekternal faktor kelembagaan yang cukup menentukan tingkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Oleh karena itu, maka partisipasi masyarakat pesanggem menuju tingkatan paling tinggi kontrol masyarakat diperlukan waktu yang cukup panjang dan penuh dengan rintangan. Pernyataan ini diungkapkan oleh Setyowati 2006 bahwa partisipasi merupakan proses yang panjang dan beringkat dari pendistribusian kekuasaan pada masyarakat, sehingga mereka mendapat kontrol lebih besar pada hidup mereka sendiri. Oleh karena itu, meskipun partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm belum pada tingkatan partisipasi yang sempurna, namun partisipasi masyarakat telah mengarah pada proses partisipasi yang sebenarnya. Keadaan ini ditunjukkan oleh terbukanya proses kesadaran bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pihak pemerintah telah memberikan kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan HKm dan demikian juga dengan kondisi masyarakat mulai secara sadar melibatkan diri pada setiap tahapan pembangunan HKm. Namun masih banyak masyarakat tidak dapat berpartisipasi langsung karena lemahnya kelembagaan yang terbangun dan kurang optimal dalam mengadopsi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam pembangunan. Dengan demikian, pada kondisi yang demikian tersebut diperlukan modifikasi dari kelembagaan yang ada ditingkat petani dan pemerintahan desa. Proses menuju jalan partisipasi penuh masyarakat melalui modifikasi kelembagaan HKm dan Desa dinamakan sebagai “Partisipasi Termodifikasi”.

7.2. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat